Alana merasakan degup jantungnya semakin kencang, wajahnya pucat pasi, saat dia melihat sosok Alina yang sejenak dia sangka sebagai Ayana., yang seolah ingin membalaskan sebuah dendam kepada dirinya."Pergi kau! Jangan pernah mengganggu diriku!" Serunya penuh amarah, melihat sosok yang ia kira Ayana berdiri di hadapannya. Alina, tanpa mengerti situasi, tetap bersemangat untuk mendekati dirinya, seolah tak menyadari bahwa Alana ketakutan, tapi itu membuat Alina semakin curiga dan terus mendesak sosok istri tua suaminya untuk mengakui semua yang dia lakukan. "Mengaku saja Mbak. Apa kau saat itu telah membunuhku?" Kini Alina pura-puranya seolah dirasuki oleh sosok Ayana, yang membuatnya kini menjadi sosok Ayana yang sedang menuntut sebuah pembalasan atas kematiannya."Tidak mungkin.. apa benar dia adalah Ayana?" batin Alana ketakutan, ia benar-benar melihat Ayana yang seolah-olah sedang berjalan mendekatinya. Mungkin ia sedang berhalusinasi atau pikirannya terlalu kalut untuk bisa be
Penyelidikan yang dilakukan oleh AKP Miko mulai membuahkan hasil dalam mengungkap kasus pembunuhan istri Arkan, Ayana dan Rizka."Setelah kami dalami, ternyata barang bukti ini adalah milik korban dan terdapat bekas sidik jari milik istri Bapak di sana," ungkap AKP Miko, menjawab pertanyaan yang mengganjal di benaknya.Arkan terkejut, tak bisa mempercayai apa yang baru saja dia dengar dari mulut AKP Miko."Ya Tuhan, apakah itu benar? Jadi Alana adalah pelaku utama?" bisik Arkan pada diri sendiri, seakan berusaha meyakinkan hati yang gelisah. AKP Miko menganggukkan kepalanya dengan lemah, seolah merasakan kebingungan yang dia rasakan. Pikiran-pikiran liar mulai berkecamuk di benak Arkan."Apakah Istriku benar-benar melakukan kejahatan ini? Apakah Alana telah menyembunyikan kebenaran dariku selama ini? Bagaimana mungkin orang yang sangat ku cintai dan percayai mampu melakukan hal yang begitu keji?" gumam Arkan dalam hati."Baiklah, selanjutnya apa yang harus saya lakukan, Pak Miko?" ta
Aku terkesiap saat mendengar ucapan Mas Arkan. Entah mengapa, saat itulah aku merasakan ada suatu keanehan, seperti Mas Arkan sedang berusaha mengurungku di sini."Apakah dia benar-benar sengaja melarangku pergi?" gumamku dalam hati, takut akan apa yang akan terjadi selanjutnya. "Kamu melarangku pergi, Mas?" tanyaku, menatap wajah suamiku yang terlihat marah. "Apa yang membuatmu sampai seperti ini? Apa salahku, hingga Mas Arkan melarangku untuk pergi?" tanyaku dengan wajah mulai menuntut jawabannya."Iya, aku melarangmu pergi! Sebaiknya kau tetap tinggal di sini dan jangan pernah coba-coba untuk pergi tanpa seijinku. Aku akan memerintahkan anak buahku untuk mengawasi dirimu, Alana," tegas Mas Arkan.Aku merasa keberatan dengan ucapan Mas Arkan. Di benakku, muncul pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawabannya."Mengapa dia ingin mengurungku? Apakah ini karena rasa cemburu atau mungkin ada alasan lain? Atau mungkin ini berkaitan dengan kasus yang kini membelitku? Tapi buk
Alina terdiam, menahan perasaan yang bergolak dalam dadanya. Ia tahu bahwa Arkan, suaminya, hanya mencoba untuk memancing jawaban darinya. Namun, seolah-olah Arkan telah memahami isi hatinya tanpa harus Alina ungkapkan."Apa aku perlu menjawab pertanyaanmu, Mas?" ujar Alina dengan mencebikkan bibirnya, berusaha menutupi rasa cemburunya."Bukankah kamu sendiri sudah tahu bagaimana perasaanku, Mas?" Arkan tersenyum sedikit, seolah mengerti apa yang tengah Alina rasakan."Aku tahu kamu cemburu, Alina. Maafkan aku jika aku sudah menyinggung perasaanmu," ucapnya lembut, matanya menatapku hangat wajah Alina. "Ada apa, kok kamu mencariku?" Merasa tersentuh dengan perhatian suaminya, Alina terpaksa mengungkapkan kegelisahan yang menghantui hatinya."Aku hanya... mengkhawatirkan dirimu, Mas," ungkapnya dengan tatapan gelisah.Arkan menatap tenang, sambil mendengarkan legelisahan yang dirasakan oleh istrinya."Entah mengapa, akhir-akhir ini aku sering merasa tak tenang, seperti ada bayangan bur
Mendengar rintihan Mbak Alana, seketika hatiku merasa iba padanya. Aku pun langsung menolong Mbak Alana yang saat itu sedang duduk kesakitan. Tanpa menaruh curiga, aku membantunya berdiri dan menanyakan keadaannya. "Mbak Alana, apa kamu baik-baik saja, Mbak?" tanyaku dengan menatap wajah Mbak Alana yang saat itu berpura-pura kesakitan. "Bawa aku ke rumah sakit saja, aku sudah tidak tahan, ini sakit sekali, aku bisa mati di sini jika kau tidak membantuku membawa ke rumah sakit" rintihnya dengan berpura-pura menahan rasa sakit yang luar biasa. Aku saat itu sempat berpikir, apakah aku seharusnya mengikuti ucapan Alana atau tidak? Mengingat saat itu di rumah dalam keadaan sepi dan semua orang sedang pergi sebentar. "Ya Allah, aku bingung. Haruskah aku membantunya pergi ke rumah sakit?" gumamku dalam hati, sambil mencoba menilai apakah ini sebuah situasi yang cukup genting untuk aku turut campur. Aku merasa perlu untuk menolong mbak Alana, tapi di sisi lain, aku juga tidak ingin meng
Aku terkejut saat mendengar apa yang diungkapkan oleh Mbak Alana. Sebuah perasaan takut dan panik mulai merayapi hatiku kala mendengar apa yang dikatakan oleh Mbak Alana."Apa maksudmu, Mbak? Apakah ini sengaja kau rencanakan?" tanyaku dengan suara gemetar dan tubuh yang bergetar.Mbak Alana terdiam, wajahnya tertunduk, tapi ada senyuman tipis di sudut bibirnya yang terlihat.Saat itulah aku merasa ada sesuatu yang aneh di sekitarku, seperti adanya suatu kehadiran yang tidak biasa. Angin bertiup kencang, menggetarkan jendela mobilku, seolah menegaskan kekhawatiranku. Bulu kudukku berdiri, ketakutan mulai menguasai pikiranku."Apakah ini sebuah pertanda ada makhluk lain di sini? Apakah ada sesuatu yang ingin memberitahuku lewat angin ini?" batinku, sementara aku merasa semakin kalut dengan situasi yang terjadi. Aku mencoba merenung sejenak, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana aku harus menghadapinya. Tak ada yang lebih penting bagi ku saat ini selain menenangkan dir
Sepanjang jalan aku mulai banyak berpikir tentang keadaan Alina. Entah apa yang terjadi dengan dirinya saat ini, ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? gumamku dalam hati.Aku sangat mencemaskan Alina, ingin rasanya aku segera sampai di sana.Beberapa saat kemudian handphone milikku berdering kembali.KringSegera aku memasang bluetooth di telingaku dan mendengar teriakan Alina yang saat itu terdengar memilukan.***Aku terseret dengan kasar oleh Mbak Alana, ke arah suatu tempat yang tak aku kenal. Hatiku berdebar kencang saat kami semakin dalam memasuki hutan dan akhirnya sampai di sebuah pondok tua yang tampak terlantar.Saat itulah, pikiranku berlari cepat mencari cara untuk menyelamatkan diri.Aku mengumpulkan keberanian saat Mbak Alana lengah membuka pintu pondok itu.Tangan ku bergetar, saat aku terburu-buru mengambil ponsel dalam tas milikku, tapi akhirnya aku berhasil menggenggam ponsel dan menekan nomor Mas Arkan, yang sudah aku simpan dalam mode speed dial."Ya Allah, semoga
Rencana jahat Mbak Alana ternyata gagal, semua berkat Mas Arkan yang secara kebetulan mengangkat teleponku dan berhasil melacak keberadaanku melalui jaringan seluler. Entah mengapa, saat itu ada perasaan lega sekaligus rasa khawatir yang menghantui pikiranku, beruntunglah Mas Arkan akhirnya datang tepat waktu dan segera menolongku.Sementara itu, Mas Arkan mengejar Mbak Alana dan berteriak memanggil Mbak Alana yang mencoba melarikan diri dari sini."Alana! Jangan lari!" teriak Mas Arkan, menghentikan mbak Alana yang semakin melangkahkan kakinya jauh.Tak lama kemudian, terdengar langkah kakinya yang semakin mendekat, dan ternyata itulah Mas Arkan, yang kembali ke pondok setelah gagal mengejar Mbak Alana."Kamu tidak apa-apa?" tanya Mas Arkan dengan wajah cemas sekaligus lega, sambil segera membuka ikatan tanganku. "Aku baik-baik saja, Mas. Tapi, tolong bantu Pak Dwi," pintaku sembari merasakan napas yang terengah-engah, dan mulai turun dari ranjang bambu tempatku terikat. Dengan sig