Notifikasi chat masih beruntun dari ibu-ibu yang lain. Aku menarik nafas panjang, sedang menimbang pesan balasan seperti apa untuk mematikan obrolan mereka. Geng BPJS di komplek ini memang selalu membuat huru-hara. Ya, aku menyebut Bu Haminah dan dua orang temannya itu Geng BPJS yang artinya Budget Pas-pasan Jiwa Sosialita.
“Apakah sudah saatnya aku membuka jati diriku? Toh Mas Indra sudah terbukti mencintaiku, kami sudah bisa melewati tahun keenam pernikahan dengan baik-baik saja, tapi aku berharap bisa mendidik Adinda dalam kesederhanaan, sehingga dia bisa menjadi wanita tangguh dan kuat tempaan,” batinku.
“Hmmm lagi pula, aku sudah terbiasa hidup seperti ini, merasa nyaman bisa berbaur dengan semua kalangan di sini. Jika mereka tahu aku orang kaya, apakah Hana, Bu Nani, masih bisa seakrab itu denganku?”
“Biar aku mencoba mendidik ibu-ibu biang rese itu dengan caraku dulu, jika nanti masih tidak bisa menghentikan ke angkuhannya mungkin tidak ada salahnya jika kumiskinkan dia untuk sementara. Semua menjadi selalu rusuh semenjak nyonya tua itu selalu merasa paling wah dan suka merendahkan orang lain, Bu Minah—ketua geng BPJS.”
Ah, segera kutepis pikiran-pikiran aneh ini. Kembali kualihkan fokus pada layar laptop yang masih menyala. Sesekali kumelirik Dinda yang terlihat masih bermain boneka panda kesukaannya. Sesekali gadis kecilku sudah mulai menguap.
Namun keinginan untuk memberinya pelajaran terus memutar di otakku. Entah hasutan dari mana akhirnya aku membuka aplikasi berwarna biru berlambang huruf F yang kini hanya sesekali kubuka. Kembali kuabaikan layar laptopku bersama sederet pekerjaan di dalamnya.
‘Ok, fix ... aku akan membuat sebuah akun baru, dia pamer mas murni, aku pamer berlian, dia pamer uang puluhan juta, aku pamerkan sekalian dalam angka miliaran, toh akun palsu ga ada yang tau juga siapa sebenernya aku, kalau asli aku pun takut perampok Mak ... biar dia sadar diri dulu, di atas langit masih ada langit,” gumamku.
Jemari segera menari membuat email baru dan akun F* baru. Ah sudah selesai, segera aku mencari wajah model cantik thailand yang raut wajahnya mirip-mirip dengan wajah orang indonesia. Photo yang tidak memperlihatkan wajah namun akan tetap terlihat elegan dan eksotis. Akun baruku kuberi nama R.Serena Hartawan--R kependekan dari namaku Restika. Ah, sudah terlihat keren.
Karena ini akun baru, butuh waktu beberapa hari untuk menyempurnakan tampilan. Jadi kuputuskan belum menambahkan Bu Haminah dalam daftar pertemanan. Seminggu ini aku harus menambahkan list pertemanan agar terlihat betul-betul akun bukan rekayasa.
Keasikanku terganggu oleh satu panggilan masuk. Ternyata dari Hana.
“Hallo, assalamu’alaikum Hana?”
“Res, kamu di rumah ga? Aku di depan nih, tapi sepi amet, pager juga kuncian.”
“Bentar, aku bukain.”
Aku bergegas keluar. Terlihat Hana sedang berdiri di depan pagar. Sepeda motor maticnya sudah dia standardkan. Aku membuka pagar dan mengajaknya masuk. Hana mendorong sepeda motornya dan mengambil parkir di bawah pohon mangga agar joknya tidak terkena panas.
“Ayo masuk, Han, habis dari mana emang?”
Hana mengikutiku dari belakang.
“Aku habis dari rumah Bu Indah, tadi kan di grup pada mau hunting perhiasan, ya? Aku kira dia sudah pegang uang, cuma mau nagih utangnya lima bulan lalu yang lima ratus ribu.” Hana duduk di sofa ruang tengah. Aku mengambilkan minuman dari dalam lemari es dan disuguhkan untuknya.
“Ya, alhamdulilah kalo udah balik uangnya, Han.” Aku duduk pada sofa yang ada di sudut lainnya.
“Apaan, panjang lebar bikin alesan, katanya uangnya belum di ambil di ATM, terus ATM-nya ke blokir, dia janjiin aku minggu depan lagi, huh ... padahal aku butuh banget buat beli seragam Devita,” ucapnya dengan wajah murung. Aku menatapnya iba.
“Sabar, ya Han. Aku ada uang simpanan, kalau mau pake dulu gak apa, nanti minggu depan kamu tagih lagi aja sama Bu Indah.” Aku menawarinya pinjaman. Bagiku, Hana sudah seperti saudara sendiri. Dan dia bukan tipe orang yang gampang meminjam uang namun susah bayar seperti ketiga orang yang hobinya bersenang-senang.
“Emang kamu beneran ada Res? Kamu juga kan harus beli perlengkapan sekolah Dinda,” tanyanya terlihat sungkan. Aku berdiri dan menepuk bahunya.
“Tenang aja, kita tetangga harusnya saling membantu dan saling menitipkan. Aku ambilin dulu, ya Han.” Aku segera berlalu ke kamar, terlihat Dinda telah tertidur sambil bersandar memeluk boneka. Aku memindahkannya ke atas dipan dan kukecup keningnya.
Dalam dompet cadanganku ada nominal lima juta rupiah. Aku sengaja memisahkannya agar tidak terpakai kebutuhan harian yang tidak ada habisnya. Uang ini cadangan jika terjadi hal emergency sehingga tidak perlu berteriak dan meminjam tetangga. Kuambil lima lembar seratus ribuan.
“Ini Han, pakai aja dulu. Bisa kamu ganti kalau udah ada, syukur-syukur kalau minggu depan Bu Indah beneran bayar.” Hana mengambil uang yang kusodorokan.
“Maaf ya, Res, jadi merepotkan. Padahal aku kesini cuma mau numpang curhat, abisnya ya ampun kesel banget Res. Selalu ngegampangin mentang-mentang kaya. Aku udah bosen di janjiin sama Bu Indah, Res, selalu saja ada alasannya,” keluh Hana sambil memasukan uang lima ratus ribu itu pada dompetnya.
“Sabar Han, nanti kita beri pelajaran mereka biar mengerti,” ucapku sambil tersenyum.
“Yang bikin ga nahan tuh, ya Res, mereka selalu pamer kekayaan, uang, perhiasan, jalan-jalan di sosial media, nyebelin banget kan kalau sama utang aja lelet minta ampun ... dan tahu gak Res?”
Ah, Hana ini memang seringkali memancingku untuk keasyikan ghibah. Namun tetap saja aku penasaran akan kelanjutan ucapannya.
“Apaan, Han?”
“Reni kan ikut belajar ngaji di Bu Itoh,” ucapnya.
“Bu Itoh?” Sebuah nama yang terasa asing bagiku.
“Ih itu, lho, Bu Siti Masitoh ....”
“Oh iya, iya, terus? ....”
“Sudah setahun kan ya Res, masa dia belum bayar iuran bulanan sama sekali, alesannya katanya jumlahnya terlalu kecil, nanggung, nanti bayarnya sekalian ... ujung-ujungnya di cicil engga, di lunasin sekali juga engga.” Hana melanjutkan informasinya.
Mengobrol dengan Hana tidak akan ada habisnya. Hampir satu jam, akhirnya Hana berpamitan. Aku kembali melanjutkan pekerjaan. Menyisir satu per satu email. Menganalisis data yang memerlukan pertimbangan.
Sudah pukul tiga sore. Kulihat Dinda masih terlelap. Aku segera membersihkan beras dan memasaknya menggunakan magic com. Kemudian mengambil sayuran yang bisa di masak dari dalam lemari es. Ada bunga kol, jamur dan ba’so serta satu potong tempe. Kuambil bahan-bahan tersebut untuk membuat sop jamur campur baso dan tempe goreng.
Bahan-bahan tersebut dengan cekatan kupotong dan kubersihkan. Setelah itu aku meracik bumbu sop dan bumbu marinasi untuk tempe. Sambil menggoreng tempe, aku teringat masih memiliki labu siam. Segera kuambil untuk di rebus sebagai lalapan. Mas Indra sangat menyukai lalap dan sambel. Bahan-bahan untuk membuat sambal segera kucuci bersih dan kutiriskan agar ketika di goreng tidak terlalu banyak cipratan.
Ah, rupanya stock tomat dan penyedap rasa habis. Segera ku matikan kompor dan mengambil uang sepuluh ribuan di atas lemari es. Kebiasaan burukku suka menaruh kembalian tercecer.
Segera berjalan keluar, nasib baik tidak bertemu dengan Bu Minah. Gerbang rumahnya tertutup, mungkin ibu sosialita itu masih tidur siang. Namun keberuntungan tidak bertahan lama. Suara seseorang memanggilku dari belakang.
“Mba, Resti!”
Kumenoleh, terlihat Lela tergopoh mengejarku. Malas sebetulnya berbicara dengannya. Lela—wanita yang pernah menaruh hati pada Mas Indra di masa lalu. Wanita bermuka dua yang memihak kemana saja tergantung keuntungan yang akan dia dapatkan. Lela yang mulutnya lembut tapi sifatnya lebih licin dari pada Bu Hanimah yang blak-blakan. Dialah Lela yang mengejarku sekarang.
"Iya La.” Aku menoleh dan mengehentikan langkahku. Menunggunya yang sedang mengejarku.“Mbak, mau kemana?” tanyanya ketika sudah berada tepat di sampingku.“Mau membeli tomat sama penyedap rasa,” jawabku sambil tersenyum memberi kesan ramah untuknya.“Oh, pasti buat Mas Indra, ya?” tebaknya sambil menyeringai.“Ya iya lah, masa buat Mas Ardi. Mas Ardi, kan suamimu?” jawabku di sertai senyuman yang di paksakan.“Mas Indra itu kan suka banget Mbak sama sambel tomat, dulu kalau pas main ke rumah, pasti sambel tomat buatanku habis Mba, malah nagih dia,” ucapnya sambil tertawa. Entah apa yang lucu, bagiku terdengar tidak lucu sama sekali.“Terus, Mbak, Mas Indra tuh –.““Maaf, ya La, aku buru-buru Dinda takut keburu bangun.” Aku memotong ucapannya dan mempercepat jalanku. Beruntung Lela tidak mengejarku, dia berbelok ke rumah H
"Kok dibuang, Res?” Mas Indra melongo menatapku yang melengos pergi meninggalkannya.Aku tidak peduli jika Lela melihat dari gerbang rumahnya, toh sudah biasa dia memata-mataiku dan melapor pada Mas Indra. Biar saja dia tahu, kalau sambal buatannya sudah tidak layak untuk suamiku.Mas Indra menyusulku ke dalam. Dia menyimpan tas kerjanya kemudian menghujani Dinda dengan ciuman. Aku sudah berlalu ke kamar menyiapkan pakaiannya.“Res, kamu bete gitu, gara-gara Bu Minah atau gara-gara sambel?” Mas Indra menanyaiku sambil melepas kemejanya dan mengambil handuk untuk mandi.“Dua-duanya,” jawabku singkat sambil meninggalkannya kembali ke ruang tengah.Mas Indra mengikutiku sambil terkekeh. Entah apa yang menurutnya lucu. Dia berlalu menuju kamar mandi setelah mencubit pipiku.“Menyebalkan,” umpatku.Magrib menjelang. Aku segera menyiapkan Dinda untuk pergi ke peng
"Apakah aku perlu membuat Bu Minah merasakan kekurangan dulu agar dia mengerti penderitaan orang lain? Tapi jahat nggak sih, kalau tiba-tiba memberhentikan Pak Dermawan tanpa kesalahan apapun?”Sepanjang jalan menuju rumah, pikiranku menimbang-nimbang. Sudah geram rasanya mendapati kelakuan tetangga yang tidak ada habisnya membuat kekesalan.“Assalamu’alaikum ....”“Wa’alaikumsalam!”“Eh, ini ada pizza dari siapa?”“Tadi Lela ke sini, nganterin pizza buat Dinda,” jawab Mas Indra.Darahku langsung naik ke ubun-ubun melihat potongan pizza. Pastinya Bu Minah memberikan pizza sisa ini pada Lela. Sudah dipastikan juga, Lela hanya mencari alasan untuk mengobrol dengan Mas Indra sewaktu aku tidak ada.“Buang, Mas!”“Lho, kenapa? Mubazzir Res.”“Udah ah, Mas ... sini, panjang kalau harus j
Ah, bisa-bisanya jempolku menulis sekeren itu. Aku jadi ingin pergi ke luar rumah untuk melihat langsung ekspresi wajahnya. Hening, tidak ada jawaban mungkin dia sedang memikirkan balasan yang tepat untuk kalimatku yang merendahkannya.Cukup lama belum ada jawaban lagi. Terdengar suara klakson motor di depan. Aku bergegas ke luar. Kubuka pintu gerbang, terlihat Haira sudah di sana dengan satu staffnya membawa sepeda motor baru sesuai pesananku.Memang takdir selalu mempertemukan kami. Belum sempat Haira masuk, mobil Bu Susi terlihat datang dan terparkir di tepi jalan. Tidak berapa lama Nyonya Manager keluar dengan dandanan yang super norak, menurutku.Bagaimana tidak geli, sepertinya dia memakai semua perhiasan yang dia miliki. Kalung berjumlah tiga dengan tiga ukuran yang berbeda. Gelang entah berapa, kulihat sampai setengah lengannya dia memakai gelang itu, serta tiga buah cincin yang membuatnya terlihat semakin ramai.Dia meliri
[Hai ... Bu @R. Serena Hartawan ... jika berencana mau hunting perhiasan kami siap mengantar.] Foto pertama dengan mereka bertiga bergaya di depan mobil memamerkan perhiasannya.Aku segera membalasnya. Aku masih ingat punya foto berlian pemberian ayahku sewaktu ulang tahun dulu. Beruntung masih tersimpan dalam galeri.[Oh, beruntung kalau ibu suka berburu perhiasan juga, lain kali kita hunting bareng ya, saya kebetulan sedang mencari diamond ring terbaru untuk nambah koleksi saya.] Aku mengirimkan foto berlian milikku membalas chat darinya.Sunyi senyap, tidak ada balasan lagi. Kulihat beranda FB-nya sudah penuh dengan upload photo gelang dan kalung emas yang modelnya sebetulnya gitu-gitu saja. Segera aku mencari foto koleksi berlian mamaku. Dulu aku sempat mengambil gambarnya.[Sudah bosan dengan yang ini. Mau cari yang baru, kapan Bu @Nyonya Manager bisa mengantar saya berburu berlian? Kita belanja sama-sama, ya?]Sengaja ku-tag, karena tad
Aku menoleh pada Bu RT yang nyengir kuda merasa bersalah. Bagaimana dia bisa memberikan namaku untuk di umumkan. Dua mata langsung menuju padaku. Mata penuh kekesalan dari Bu Minah yang sudah senyum-senyum sendiri berharap namanya yang di sebut. Dan tatapan heran dari suamiku yang memang tidak aku kasih tahu berapa nominal yang kusumbangkan.Seketika wajah ceria Bu Minah berubah merah padam. Bagaimanapun dia sudah sejak tadi bersiap menjadi ratu dalam acara ini, tiba-tiba harapannya terpatahkan oleh satu kalimat pendek dari pembawa acara. Sang Nyonya Manager langsung mengayun langkah cepat menuju ke arah Bu RT yang masih menatapku sambil garuk-garuk kepala tak gatal.Aku menunduk, pikiranku langsung merangkai kalimat jika Mas Indra kemudian mencari tahu berapa jumlah nominal yang kusumbangkan.“Coba saya lihat rekapan penyumbang dananya? Saya mau nama saya jadi penyumbang terbesar dalam acara ini, masa yang suaminya manager kalah sama yang suam
"Dia, nitipin istri sama anaknya ke kita, secara kita adalah tetangga yang rumahnya paling dekat,” ucap Mas Indra sambil menarik satu kursi dan ikut duduk di sampingkua.“Apa?!!!!!!!!!!!!”Mas Indra mengisyaratkanku untuk diam. Dia menggelengkan kepala melihat ekspresiku yang berlebihan.Ah, terkadang kelembutan Mas Indra ini membuatku gregetan. Kenapa juga mau-mau saja di titipkan anak dan istri orang. Ulahku mengirim Pak Dermawan tugas ke luar kota, kini berbalik kepada diri sendiri.Jika Mas Indra bukan orang yang amanah, pasti hanya sekedar mengiyakan saja. Namun aku yakin sepenuhnya jika Mas Indra sudah menyanggupi sesuatu, dia akan menjalankannya.Acara berakhir damai meski berawal dengan sedikit keributan. Satu per satu tamu yang hadir pulang. Anak-anak dari panti asuhan sudah mengantri rapi mengikuti petunjuk Pak Dermawan dan beberapa p
[Hai, Bu … ada berlian terbaru nih, masih cetar-cetarnya, harganya murah saja cuma tiga ratus jutaan, saya mau beli dua , kalau @Nyonya Manager mau, saya beliin seklian, uangnya di transfer saja.] R. Serena Hartawan.Sengaja kukirim di beranda facebook dengan menandainya.Sambil menunggu ayah datang, aku mengecheck beberapa email masuk. Serta menyempatkan menyenggol Bu Minah di jejaring sosial media. Mau tau responnya seperti apa. Aku yakin, akan muncul kembali beribu alasan untuk menolak tawaranku.Tanpa kusadari, Dinda sudah berdiri di samping kursiku.“Mah, Dinda pengen maen ke rumah Reni,” rengeknya.Meskipun kami—para orang tua berselisih, tapi tetap saja tidak bisa mendoktrin anak-anak untuk tidak bermain bersama. Aku menarik nafas panjang, mencoba membujuknya dulu.“Dinda, kan mau nunggu Kakek, kalau mai
“Reni!” teriakku.Langkahnya terhenti. Dia menoleh kearahku. Tanpa basa-basi dan berkata apa-apa lagi. Aku melemparkan keresek hitam berisi buah-buahan busuk itu. Hampir saja mengenai wajahnya.“Apaan sih, Mbak?” pekiknya sambil menghindar.“Sepertinya makanan itu cocok buat kamu! Soalnya sama ….” Ucapku sambil melengos pergi meninggalkannya yang sedang menghentak-hentakan kaki kesal.“Sama-sama busuk seperti hati pemiliknya,” sambungku dalam batin.***Semenjak kejadian itu. Aku semakin dia sisihkan. Satu minggu lagi katanya hari pernikahannya. Kulihat setiap hari dia begitu sibuk wara-wiri dengan mobil mewah calon suaminya. Dengar-dengar, Tante Haminah ingin merayakan
Reni dan Tante Haminah sudah menempati rumah itu sejak dua minggu yang lalu. Tepatnya keesokan harinya setelah acara selamatan malam itu.Sejak saat itu pula, Hilma menjadi lebih sering bermain ke rumahku. Terlebih dia mulai merasa tidak nyaman atas sindiran-sindiran sarkas dari mantan madunya itu. Namun sialnya, Reni sepertinya menyangka jika aku memihak pada adik ipar baruku ini. Dia selalu terlihat sinis bahkan sama sekali tidka pernah menyapaku lagi.Dengan uang yang dimilikinya, Reni sudah mulai mengambil hati orang-orang disekitarnya. Salah satunya Bu Onah---pemilik warung langgananku. Dan beberapa tetangga komplek yang sering mendapatkan asupan gizi gratis dari kantongnya.Memang bagi orang-orang yang suka mengambil kesempatan, maka Reni adalah sebaik-baik orang yang bisa dimanfaatkan. Cukup disanjung sedikit, melambung dan menghamburkan begitu saja hitungan rupiah yang tidak susah payah dia dapa
Penemuan mobil mewah di depan rumah baru itu akhirnya menjadi topik utama pembicaraanku dengan Ambar siang ini. Namun kami hanya seperti membicarakan pepesan kosong. Tidak ada makna dan tidak ada hasil apapun dari hasil pembicaraan kali ini.Baiklah, hanya tinggal menunggu waktu sekitar dua bulan lagi. Pasti akan muncul sendirinya siapa sang empunya rumah yang kini tengah dibangun itu.***Ali kulihat sedang duduk murung. Sejak pagi dia sudah nongkrong di teras rumahku. Istrinya katanya sedang ada keperluan jadi tadi gak masak dulu juga sebelum berangkat. Namun bukan itu yang menjadi sorotanku saat ini. Ali terlihat murung tidak seperti biasanya.Aku yang baru saja mencantolkan gagang kain pel berlalu ke dalam untuk mengambil bayam yang akan kusayur. Aku duduk serta bersama mereka sambil menyiangi bayam untukku sayur bening.“Mbak, kalau aku bercerai d
"Dicari! Buronan polisi … bandar narkoba! Berdasarkan data intel, orang tersebut melarikan diri ke daerah sekitar pinggiran Jakarta!”Ah memang zaman sekarang pekerjaan orang sudah bermacam ragam. Terlebih mereka yang memiliki gaya hidup tinggi tapi penghasilan pas-pasan. Bahkan mungkin dibawah standardDengan tipisnya iman ya akhirnya salah satu jalan pintas yang menggiurkanlah yang mereka ambil. Menjadi bandar narkoba salah satunya.Aku menghabiskan waktu sampai setengah sampai keripik kentangku habis. Diluar sudah sepi sepertinya. Reni mungkin sudah pulang.Aku mengambil kerudung simple, rencana hari ini mau berbelanja alat kebersihan ke toko klontong. Sapu ijukku rambutnya sudah rontok, kain pel juga warna putihnya sudah berubah menjadi cokelat.Baru aku sampai ke luar gerbang. Kulihat Hilma sedang tertegun sambil memegang dua kantong plastik. Dia tersenyum melihat
Hanya satu harapanku saat ini. Rumah ini tidak sesuai kriteria dan memiliki mitos-mitos yang mereka percaya, sehingga aku tidak akan bertetangga sedekat ini dengan mereka.“Bu Tejo kenapa rumahnya dijual?” tanyaku sambil melirik pada tetangga yang hampir tidak pernah bertegur sapa itu. Kehidupan Bu Tejo dan keluarganya selama ini sangat tertutup.“Suami saya sakit, sudah tidak kuat bertahan … Dia minta dibawa pulang ke rumah keluarga di kampung,” jawabnya. Wajahnya terlihat tidak nyaman, mungkin dia tipe orang yang tidak suka bercerita. Baiklah aku kini kembali focus pada Hilma.Kulihat Hilma, Ibu dan pamannya baru saja keluar dari dalam rumah. Wajah mereka tampak puas. Sepertinya harapanku akan sia-sia.Benar saja, Hilma berhambur ke arahku dengan
Aku terdiam sejenak. Kalau aku jawab itu tespeck Hilma kira-kira apa dia akan berteriak histeris? Atau jawab saja tespeck punyaku dan masalah akan selesai? Eh, nanti kalau dia woro-woro ke seisi komplek malah jadi runyam, ya?Namun belum sempat aku menjawab, tiba-tiba Hilma muncul lagi sambil berlari. Dia menerobos kami begitu saja.“Wah, untung ketinggalannya di sini! Kirain jatuh!” gumamnya. Dia melirik ke arahku dan tersenyum. Namun dia sama sekali tidak menyapa Tante Haminah.“Misi, Mbak!” ucapnya lagi sambil tergopoh-gopoh pergi.Kulihat perubahan raut muka Tante Haminah. Dia menatap punggung Hilma dengan tatapan penuh kebencian.“Permisi!”Tante Haminah melengos pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Kuhanya menatap punggungnya yang kemudian menghilang terhalang rumah-rumah samping
Terhalang satu rumah dari rumahku, mobil itu ternyata berhenti. Benar saja kecurigaanku terbukti. Reni celingukan kemudian tergesa menaiki mobil itu.“Mas!”Aku meneriaki Mas Harso yang masih asyik dengan dunianya sendiri. Namun tidak ada sahutan. Mobil yang kuperhatikan malah semakin menjauh.“Maaas!” Kali ini kumenariakinya lebih keras.“Apa, Rum?” Mas Harso menoleh ke arahku.“Sini! Cepetan!” panggilku lagi dengan intonasi yang semakin tinggi. Aku sudah kesal mau bercerita, Mas Harso malah bersantai Ria.“Apa sih, Rum?” tanyanya lagi sambil berdiri. Dia menggeliatkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Mobil yang kupandangi sudah raib kini. Mobil mewah itu sudah berbelok ke tikungan.Mas Harso berlenggang santai ke arahku.“Ada apa, Rum?” tanyanya Ket
Setelah drama perebutan suami yang terjadi di rumahku kemarin, baik Reni maupun Ali tidak pernah menampakkan batang hidungnya lagi.Aku bisa saja mengunjungi mereka, tapi buat apa? Meskipun jarak aku dekat dengan kontrakan mereka, tapi gelayut rasa malas benar-benar membuatku tidak ingin kemana-mana. Sudah hampir satu bulan aku tidak bertemu mereka.Namun ada hal yang menggelitik pikiranku. Sudah dua kali aku melihat sosok wanita yang mirip Reni naik ke sebuah mobil mewah. Pertama kali, Ketika aku dan Ambar sedang berbelanja di pasar. Kemudian yang kedua kali Ketika aku menemani Rihana di acara sekolahnya. Acara liburan ke dunia fantasi pekan lalu. Aku pun melihat orang yang mirip dengannya.Aku mengatakan mirip, karena belum memastikan jika itu benar-benar Reni. Bahkan waktu di dunia fantasi aku melihatnya berjalan mesra dengan seorang laki-laki.Akhirnya weekend ini Ketika Mas Harso k
"Wanita jalang!” teriak Reni sambil memburu Hilma yang sedang meringis kesakitan.Reni hilang kendali dan menindih tubuh wanita yang lebih semok itu darinya. Dia menjambak rambut Hilma sambil memaki tanpa henti.“Hilma!” pekik Ali.Dia berlari memburu kedua wanita yang sedang berguling-guling di halaman rumahku. Aku memijat pelipis. Kubiarkan dulu mereka beberapa menit.Percuma juga kupisahkan orang yang sedang bergulung dengan emosi itu. Lagian itu juga buah dari perbuatan mereka berdua yang hendak menyakitiku. Aku kejam? Terserah juga jika mereka berpikiran seperti itu.Kulihat Ali memburu dan memeluk Hilma. Ternyata adik lelaki Mas Harso itu cukup menyebalkan juga. Dia lebih melindungi istri barunya dari