Nesya memandangi hasil USG kandungannya, ia bingung harus bagaimana. Mempertahankan kandungannya atau menyingkirkannya. Meminta pertanggungjawaban pada Gunawan pun itu mustahil karena ia begitu membenci Gunawan. “Aku harus bagaimana, Kak Bintang.” Nesya mengusap air matanya.Bintang mengusap punggung tangan Nesya.“Pertahankan, aku tahu ini sulit untuk kamu, Nes. Tapi anak itu tidak tahu apa-apa. Kalau kamu tidak mau minta pertanggungjawaban dari mertua Adipati, kamu bisa besarkan anak itu sendiri. Tidak mudah memang, tapi kamu harus terima kenyataan dan aku akan membantumu untuk mengurus anakmu.”“Tapi bagaimana mungkin, Kak. Aku hamil tanpa suami, apa kata orang? Apa aku harus jujur kalau aku dinodai, begitu? Itu tidak mungkin, Kak Bintang. Gunawan pasti akan terus menerorku.” Nesya seakan putus asa.“Tapi saranku, lebih baik kamu bicarakan. Minta pertanggungjawaban Gunawan,” balas Bintang. “Menikah dengannya? Oh shitt … itu tidak mungkin itu lakukan.”“Kalau saja aku belum tunanga
Tiga hari sudah Nesya tidak masuk ke kantor. Ia masih berada di rumah sakit dan tidak ada yang menunggunya. Hanya Bintang yang sesekali datang untuk membawakan makanan. Shinta asistennya pun tidak bisa datang karena begitu sibuk menggantikannya. Hatinya begitu sedih, bingung. Tidak tahu harus berbuat apa dan mengadu dengan siapa. Ingin kembali ke Surabaya pun ia ragu dan takut. Takut Gunawan menyebarkan semua videonya dan membuat malu orang tuanya, walau itu bukan kesalahannya.“Aku pasti bisa melewati ini semua, iya pasti bisa. Aku bisa melewati hidup tanpa papa, sekarang aku bisa melewati ini juga tanpa dukungan papa. Maafkan aku pa. Aku tidak setegas yang papa ajarkan, aku lemah pa.” Nesya menyemangati dirinya sendiri. “Halo, Ibu Nesya. Apa kabar hari ini,” sapa dokter tiba-tiba masuk bersama dua suster.“Halo, Dok. Kabar baik, Dok” jawab Nesya masih terlihat lemah tetapi kondisi tubuhnya sudah membaik.“Hari ini sudah boleh pulang ya, Bu. Tapi sebelum pulang nanti USG dulu ya. J
Arya kemudian memeluk sang adik setelah Nesya menceritakan semuanya, Arya begitu merasa bersalah tidak bisa melindungi adiknya sendiri. Ia merasa tidak bisa menepati janjinya pada sang papa. “Maafkan Kakak, Nes. Kakak tidak bisa menjagamu, harusnya Kakak tidak membebaskanmu untuk pilihanmu bekerja di perusahaan lain, harusnya kamu di rumah saja. Harusnya–”“Kak, semua sudah terjadi. Jangan salahkan diri kakak. Aku yang salah. Aku tahu ini begitu sakit dan aku juga tidak bisa menerima ini semua tapi, nyatanya ujian ini Tuhan berikan padaku, Kak. Tapi, sakit.” Nesya menangis kembali. “Maafkan Kakak, Nes. Kakak pasti akan membalas rasa sakitmu ini.” Arya menakup wajah Nesya.“Dia tidak mau bertanggung jawab, Kak. Aku harus bagaimana, semua sudah hancur, masa depanku hancur, semua karena Gunawan, Kak.” Arya mengusap air mata adiknya.“Kakak tahu apa yang harus kakak lakukan,” ucap Arya begitu emosi dengan sorot mata tajam. “Gunawan, tunggu kehancuran dirimu.” Hati Arya begitu mendidih
Kondisi Nesya sudah membaik, walau setiap pagi masih mengalami mual muntah. Saat ini ia sedang menikmati masa-masa bebas dari pekerjaannya karena ia sudah bertekad keluar dari perusahaan milik Gunawan. Semua ia serahkan pada sang kakak, Arya. Tetapi pagi ini ponselnya berdering sudah ada dua puluh kali panggilan masuk tetapi ia tidak menggubrisnya. “Non, itu hapenya dari pagi bunyi terus,” ucap asisten rumah tangga rumah Arya.Nesya duduk santai sambil memakan buah mangga.“Biarkan saja, Bi. Itu dari pria brengsek. Paling sekarang kalang kabut, karena banyak pekerjaan bagian yang saya pegang tidak ada yang beres,” ucap Nesya santai. “Tapi kasian juga tim yang ada dibawahnya, Non Nesya. Pasti mereka dimarahi habis-habisan.” Nesya tampak berpikir.“Bibi benar, tapi aku sudah tidak mau tahu, Bi. Biarkan saja.”“Non, ini dari Shinta, ini sudah dua puluh lima kali,” Si bibi memberikan ponselnya pada Nesya.Nesya menghela nafas panjang lalu meletakkan garpu di piringnya setelah itu meng
Gunawan tidak sadarkan diri di ruang UGD, Rafi pun panik dan berusaha memberikan yang terbaik sebagai dokter kepada pasiennya. Setelah selesai menangani Gunawan, Rafi pun menghubungi Nesya. “Halo, Nes,” ucap Rafi. “Ya, Kak,” jawab Nesya.“Gunawan sudah masuk rumah sakit. Kak Arya yang menghajarnya, tadi sempat kritis tapi kondisinya saat ini sudah stabil, tinggal menunggu keluarganya datang,” jelas Rafi membuat Nesya syok tidak percaya jika sang kakak benar-benar menghajar pria kejam tersebut.“Nes, kamu masih mendengar kakak, kan?” tanya Rafi karena tidak ada respon dari Nesya.“I-iya, Kak. Tapi, kenapa kak Arya malah menghajarnya sampai masuk rumah sakit, kalau mati bagaimana, kak Arya bisa masuk penjara. Aku hanya minta Gunawan tanggung jawab dan dia masuk penjara, itu saja, Kak.” Rafi tersenyum dibalik sambungan ponselnya.“Tidak ada seorang kakak yang tinggal diam jika adiknya terluka, Nes. Kamu tidak perlu khawatir, Gunawan tidak mati, cuma babak belur. Selebihnya nanti kak Ar
Gunawan membuka matanya, melihat sekeliling ruangan. Yang ia rasakan saat ini kepala dan seluruh tubuhnya sakit dan kaku. Ia melirik ke kiri dimana Sarah, putrinya, sedang tertidur di sofa panjang. “Sarah,” panggilnya lirih. Sarah tersentak dan langsung bangkit dari tidurnya dan menghampiri papanya.“Papa, papa sudah sadar.” Sarah memegang tangan Gunawan.“Hem, air.” Dengan sigap Sarah mengambil air dan membantu papanya minum.“Pelan-pelan, Pa. Aku panggilkan suster dulu ya.” Gunawan hanya diam, Sarah kemudian keluar untuk memanggil suster setelah Gunawan selesai minum. “Sus, papa saya sudah sadar,” ucap Sarah pada suster jaga."Papa?Saya pikir suami ibu.” Suster bangkit dari duduknya.“Suster ngelawak, saya anak kandungnya.” Sarah kemudian sedikit menarik suster tersebut berjalan mengikutinya. “Habisnya papanya Ibu masih terlihat muda sekali,” gumam suster. “Hah, Suster ini. Bisa saja.” Suster itu tertawa kecil mengikuti Sarah masuk kamar rawat Gunawan.Suster memeriksa denyut
Dua minggu sudah Nesya dan Gunawan berada di Surabaya. Mereka ada di tempat tinggal masing-masing. Nesya saat ini berada di rumah utama keluarga dari papanya, rumah almarhum opanya, Bram Sanjaya. Yang saat ini ditempati Bianca, adik sang Papa. Walau sudah sering berkunjung, Nesya tampak masih canggung berada ditengah-tengah keluarga papanya. Ditambah sang papa sudah tiada. “Nes, ayo sarapan. Tante sudah masak kesukaan kamu,” ajak bu Bianca pada Nesya yang tengah duduk di teras samping rumah sambil memberi makan ikan di kolam ikan. “Nanti saja, Tante. Masih mual.” “Loh, ini sudah jam sembilan, sebentar lagi kakak kamu datang.” Nesya dengan malas meletakkan kotak makanan ikan di meja lalu sekilas tersenyum melihat Bu Bianca. Bu Bianca merangkul Nesya masuk kedalam menuju ruang makan.Nesya melihat makanan dimeja dan mencium aroma makannya seketika perutnya mual“ Tante maaf, Nesya mual!” Nesya menutup mulutnya dan ingin muntah, ia pun berlari kecil menuju kamar mandi tamu.Bu Bianca
“Kenapa kamu mau menikah denganku, bukannya kamu membenciku?” tanya Nesya pada Gunawan.“Bukankah kamu yang meminta aku bertanggung jawab,” jawab Gunawan melihat Nesya duduk disampingnya.“Yang aku mau, kamu masuk penjara.” Nesya menatap dingin ke arah Gunawan. “Kenapa kamu tidak melaporkan saja.” Gunawan masih melihat Nesya “Aku tidak mempunyai bukti kuat untuk memasukkan kamu ke penjara.” Gunawan tertawa kecil.“ Bukannya keluargamu mempunyai kekuasaan?” “Aku tahu.” Nesya menatap Gunawan kembali.“Lantas?” “Aku tidak mungkin hamil tanpa suami.” Nesya kembali berlinang air mata. Gunawan bagkit dari duduknya lalu berjalan mengambil tisu dan memberikannya pada Nesya.“Ya, aku tahu. Kita akan menikah hanya untuk sebuah formalitas tanpa ada rasa yang lebih,” ujar Gunawan.“Aku juga tidak pernah mengharapkan itu.”“Tapi aku benar-benar minta maaf atas perbuatanku, Nes.” Nesya menganguk karena sudah tahu Gunawan pasti dalam tekanan sang Kakak' dan imbasnya jika kakaknya bertindak leb
Nesya membuka mata, lalu melihat suaminya yang masih tidur disampingnya sambil memegang perutnya. Nesya menghela nafas panjang, pelan-pelan ia menyingkirkan tangan suaminya dari perutnya. Tangan satunya meraih ponsel di meja nakas. “Ck, kenapa aku lupa mencharge hp ku,” keluhnya setelah melihat ponselnya mati.Ia melihat ponsel Gunawan dan mengambilnya, beberapa kali ia memasukkan password nya, namun tetap gagal. Nesya tersenyum miring, ia berniat membangunkan Gunawan yang masih tertidur. Ia baru ingat jika orang bangun tidur pasti sedikit linglung dan sudah pasti akan memberikan password tersebut.“Bangun, Mas. Mas.” Nesya menggoyang pelan bahu Gunawan.“Hem,” balas Gunawan masih memejamkan mata.“Aku pinjam hp kamu ya? Mau telpon kak Arya,” ucap Nesya pelan lalu mencium pipinya. “Hem.” masih dengan posisi yang sama. “Passwordnya apa?”“Tanggal lahir Sarah,” jawab Gunawan parau dan masih posisi yang sama. Nesya menghembuskan nafas kesal, bisa-bisanya ia tidak terpikir selama ini
Nesya berjalan santai di samping Gunawan saat memasuki kantor cabang yang dulunya tempatnya bekerja. Tidak peduli tatapan semua karyawan lain padanya, ditambah perutnya yang sudah mulai terlihat membesar dan Gunawan menggenggam tangannya dengan erat seolah tidak ingin melepasnya. Gunawan tersenyum bangga karena bisa mendapatkan Nesya yang begitu cantik, cerdas dan bisa dibilang primadona kantornya. Namun tidak dengan Shinta yang sudah tahu misi Nesya. Shinta hanya diam dan diam-diam mendukung apa yang dilakukan Nesya.Sesampainya di ruangan, Gunawan meminta Nesya duduk di sofa dan bersantai. Sedangkan dirinya meeting bersama karyawannya. “Nes,” panggil seseorang.“Shinta,” balas Nesya. Keduanya saling berpelukan melepas rindu karena sudah beberapa bulan tidak bertemu.“Apa kabar? Bagaimana jadi istri bos. Pasti pak bos manjain kamu ya?” goda Shinta membuat seulas senyum kecut dibibir Nesya."Iya sih, tapi aku masih benci sama dia. Misiku tetap masih sama, aku mau di masuk penjara.
Nesya diam-diam ke ruangan kerja Gunawan, ia mencari beberapa berkas perusahaan penting. Ia tahu perusahaan suaminya itu sedang tidak baik-baik saja dan ia ingin mengambil alih perusahaan tersebut dengan bantuan sang kakak, Arya. “Dimana berkas perusahaan itu, hari ini aku harus menemukannya,” gumam Nesya mencari di lemari rak buku dan berkas penting lainnya. “Nes, kamu ngapain!” seru seseorang membuat Nesya terkejut.Nesya menoleh rupanya sang suami sudah pulang dari kantor.“Ah, ini aku cari buku yang kemarin kamu baca,” Nesya kemudian menarik nafas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan.“Oh, Buku itu ada di laci meja nakas.” Gunawan menghampiri Nesya lalu memeluknya.“Kamu sudah makan,” tanya Gunawan masih memeluk Nesya.Nesya mengatur nafasnya. Ia takut ketahuan mencari dokumen penting perusahaan suaminya.“Belum, aku pengen makan ramen.”Gunawan melepaskan pelukannya. Ia tersenyum melihat Nesya lalu mengusap perutnya.“Baiklah, kita ke restoran langganan kita.” Nesya tersenyum ti
Nesya duduk termenung di depan jendela besar rumah orang tuanya. Ingatannya kembali saat kedua orang tuanya masih hidup. Ingin sekali ia kembali ke masa lalu, kehidupan yang begitu harmonis bersama keluarganya. Namun, ia juga sadar, itu semua tidak mungkin terjadi. “Papa, mama. Mungkin ini jalan Tuhan yang terbaik. Aku akan melanjutkan hidupku. Kalian berdua sudah bersama, Nesya akan berusaha untuk menghadapi hidup ini tanpa kalian, Nesya pasti bisa,” batin Nesya lalu mengusap air matanya. Sudah satu minggu lebih, Gunawan juga masih begitu sedih melihat istrinya yang seolah belum menerima kepergian sang mama. Ia tahu rasanya ditinggal orang yang sangat dicintai. “Nes, makan dulu ya sebelum pulang,” ucap Gunawan sambil mengusap pundak Nesya.Nesya melihat Gunawan, pria dihadapannya itu sudah beberapa hari terakhir begitu perhatian padanya dan lebih protektif. Sebenarnya ia risih diperlukan seperti itu. “Mas, bisa tidak satu hari lagi kita menginap di rumah ini. Aku masih ingin dir
“Ma, secepat ini mama pergi menyusul papa. Nesya sama siapa ma. Apa mama tidak mau melihat Nesya mencari keadilan untuk diri Nesya. Sedikit lagi Nesya mendapatkan keadilan itu ma. Gunawan sudah jatuh hati dengan Nesya. Sedikit lagi bukti itu akan Nesya dapatkan,” batin Nesya diatas pusara sang mama. Nesya hanya bisa diam dan air matanya terus mengalir tanpa permisi. Untuk saat ini ia bingung harus melakukan apa. Dunianya serasa runtuh kehilangan orang yang sangat ia cintai setelah sang papa.Gunawan begitu setia menemani Nesya, merangkul dan mencoba memberikan semangat.“Sabar, Sayang,” ucap pelan Gunawan mencium pucuk rambut Nesya.“Nesya, pulang ya. Semua orang sudah pulang. Biarkan mamamu istirahat dengan tenang,” ucap Arya mengusap pundak sang adik.Nesya mengusap air matanya lalu bangkit dibantu Gunawan. Namun, tiba-tiba ia tidak sadarkan diri. Semua kerabat yang masih ada di pemakaman panik terlebih Gunawan dan Arya. “Nesya,” ucap Gunawan menepuk lembut pipinya, kemudian membop
"Apa? di rumah sakit mana?” tanya Nesya terkejut karena sang mama masuk rumah sakit."Baik, aku kesana sekarang.” Nesya menutup sambungan ponselnya. “Mas! Mas …!” teriak Nesya memanggil Gunawan. "Ada apa sih, Nes. Masih pagi sudah teriak-teriak.” balas Gunawan membuka separuh pintu kamar mandi.“Mama, Mama masuk rumah sakit!” “Ha, kapan?” Nesya sambil menyiapkan baju untuk Gunawan.“Tidak tahu, bibi cuma memberitahu mana masuk rumah sakit.” “Ya sudah, tunggu sebentar.” Gunawan bergegas menyelesaikan mandinya.Nesya mengganti bajunya dan buru-buru menyiapkan bapa yang harus ia bawa.“Mas buruan!” teriak Nesya. Nesya berjalan kesana kemari seperti tidak memikirkan kandungannya membuat Gunawan yang baru keluar dari kamar mandi langsung menghampirinya."Kamu bisa pelan tidak? Kamu itu sedang hamil.” Gunawan menarik pelan tangan Nesya. "Aku, panik. Aku tidak mau terjadi sesuatu dengan mama,” balas Nesya yang suaranya bergetar menahan tangis. "Mama baik-baik saja dan sudah ditangani d
Nesya saat ini sedang melihat ponsel Gunawan, ia berusaha membukanya tetapi sayang ponselnya menggunakan password. “Sial,” cicitnya melempar ponsel suaminya di atas tempat tidur. Kemudian ia berbaring diatas tempat tidur dan meraih ponselnya kembali.“Passwordnya apa sih?” gumam Nesya.“Nes, lihat hapeku?” tanya Gunawan tiba-tiba masuk ke kamar.Nesya mengangkat ponselnya.“Ini,” balas Nesya malas.“Kamu buka hapeku?” “Awalnya, tapi tidak bisa dibuka, semua di kunci. Aku seperti istri tidak dianggap. Tidak tahu isi hape suamiku,” balas Nesya lalu duduk melihat Gunawan yang juga duduk di sampingnya.Gunawan menatap Nesya dengan tajam. “Kamu curiga aku berbalas pesan dengan wanita lain?”Nesya menggeleng lemah. “Tidak, untuk apa? Kalau mau selingkuh terserah kamu, aku cuma mau lihat isi hape kamu, apa aku salah?” Nesya memasang wajah datar. Tetapi Gunawan menganggapnya cemburu. Gunawan menarik nafas dalam-dalam lalu mendekati Nesya.“Bagus, karena kamu tidak boleh membuka ponsel ini,
“Nes, aku tahu kamu sangat membenciku saat ini. Aku tahu kesalahanku padamu tidak bisa dimaafkan. Tapi, mengapa harus mertuaku yang menjadi pilihan terakhirmu?” Nesya seperti sudah lelah dengan semua pertanyaan Adipati tentang pilihannya menikahi mertua sang mantan. Ia juga lelah memberikan jawaban yang sama. “Mas, ini mungkin terakhir kali aku katakan padamu, setelah ini, tolong jangan pernah lagi bicara atau menanyakan hal serupa lagi padaku. Aku hamil anak mertuamu dan dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Ini semua juga salahmu, jika kamu jujur, mungkin aku tidak terjebak dengan pernikahan yang tidak aku inginkan.” “Maaf, Nes. Tapi aku harap kamu tidak jatuh cinta dengannya. Aku harap rasa itu masih untukku.” Adipati memandang Nesya penuh harap. Berharap masih ada cinta di hati Nesya untuknya. “Untuk itu, itu urusanku. Tidak ada yang tahu hati ini untuk siapa. Begitu juga dirimu, hanya kau yang tahu isi hatimu. Pulanglah, jangan sampai Sarah melabrak diriku lagi. Aku
“Iya kak Bintang. Aku baik-baik saja. Jaga diri kakak juga ya. Bye,” salam Nesya pada Bintang diakhir sambungan ponselnya."Siapa?” tanya Gunawan tiba-tiba di belakang Nesya, membuat dirinya terkejut.“Astagfirullah! Kau kenapa tiba-tiba datang! Kaget tahu!” kesal Nesya. “Kamu saja keasyikan telpon sampai suami pulang tidak tahu, telepon dengan siapa” saut Gunawan menatap Nesya.“Hubungan kita hanya status, jadi aku telepon dengan siapapun itu hak ku.” “Aku hanya bertanya, bukan melarang. Iya aku tahu, status kita hanya diatas kertas.” Gunawan kemudian mengangkat sambungan ponselnya karena sedari tadi berdering.“Ya, Rin. Jadi dong. Besok kau siapkan saja berkas untuk meeting di Solo.” Gunawan sekilas melirik Nesya yang menirukan ia bicara.“Menginap di hotel seperti biasa, satu kamar saja berdua sama kamu,” balas Gunawan dan masih melirik Nesya yang saat ini seperti kesal mendengar kalimat Gunawan pada sekretarisnya. “Ok, sampai ketemu besok.” Gunawan mematikan sambungan ponselnya