Usai menunaikan ibadah Salat Subuh berjamaah di dalam mushala rumah, Ilham, Ustaz Thorik, dan Ustaz Fahmi lari pagi di sekitar jalan raya. Ilham dan kakaknya berniat untuk mengatakan semuanya pada sang ayah.
“Abi Ilham tidak bersedia untuk dijodohkan,” suara Ilham membelah keheningan di antara mereka, menghentikan langkah kaki Ustaz Fahmi seketika.
Ustaz Fahmi berdehem beberapa kali, “Thorik kamu memberi tahu adikmu?” nada suaranya tidak menggambarkan kemarahan, namun sorot matanyalah yang memancarkan amarah.
“Abi maafkan Thorik tapi abi harus mendengarkan Ilham terlebih dahulu,” Ustaz Thorik berusaha menjelaskan pada ayahnya.
“Sudahlah abi tidak perlu mendengar penjelasan apa pun, keputusan abi sudah bulat kamu akan abi jodohkan dengan anak teman abi.”
Ustaz Fahmi melanjutkan lari paginya dan meninggalkan dua putra kesayangannya.
“Abi, Ilham sudah memiliki pilihan hati sendiri,” Il
Suasana siang musim panas tidak menghalangi mahasiswa untuk belajar di luar ruangan universitas. Hal tersebut terbukti dengan masih banyaknya mahasiswa yang belajar di taman-taman depan kampus. Tak terkecuali pelajar asal Indonesia yang memiliki rambut sedikit ikal itu juga lebih memilih untuk mengerjakan tugasnya di salah satu bangku taman. Ia terlihat sibuk membolak-balik halaman buku yang dipegangnya, kemudian mencatatnya di dalam buku catatan yang ia letakkan di samping tempat duduknya.Tiba-tiba di tengah keseriusannya itu, seorang wanita berparas cantik dengan tinggi badan sekitar 170 cm yang sedang menggenakan setelan jilbab berwarna hijau muda dengan gamis berwarna senada datang menghampirinya.“Assalammualaikum,” ucap gadis berlesung pipi itu dengan ramah.“Waalaikum salam,” pandangan pria itu masih terpaku pada halaman buku di tangannya.“Kaifa khalukum[1] ya Ustaz?”
Kini Ahda mulai dapat menebak kisah hidup wanita yang pernah dikaguminya itu atau bahkan masih dikaguminya. Namun, Ahda tetap diam, dia ingin mendengarkan cerita Faza hingga tuntas.“Aku tetap berusaha berpikir positif dan terus berdoa agar hasil dari pemeriksaan itu positif, namun takdir berkata lain, melalui pemeriksaan lanjutan itu, dokter menyatakan bahwa di rahimku memang terjadi peradangan. Hal itu benar-benar memukulku. Dokter memang tidak mengatakan bahwa aku tidak bisa memiki anak, tapi bagiku kenyataan itu sama beratnya,”Faza menghapus air matanya yang kembali luruh dengan tisu yang ia pegang, kemudia ia memandang Ahda yang masih duduk di sampingnya dan dengan khusyuk mendengarkan kisah hidupnya.“Kisah selanjutnya, pasti kamu bisa menebaknya,” Faza tersenyum, namun wajahnya masih diliputi kesedihan, matanya memancarkan luka.Ahda nampak berpikir beberapa saat kemudian dengan hati-hati mulai berbicara, “Kamu mengat
Faza tertawa kecil sebelum menyetujui permintaan Ahda karena melihat tingkah sahabatnya yang tidak berubah, “Baiklah aku akan mentraktirmu, mau pergi sekarang?”“Tentu saja, ayo aku sudah sangat lapar karena mendengar semua kisah hidupmu itu,” Ahda berusaha menggoda sahabatnya agar Faza kembali tersenyum.“Baiklah, baiklah ayo pergi!”Faza berjalan kembali ke tempat duduk untuk mengambil tasnya, begitu pula dengan Ahda, ia membereskan buku-buku dan peralatan tulisnya yang berada di atas kursi.“Tolong jangan pernah merahasiakan apa pun dariku lagi, jika kau memang masih menganggapku sahabat baikmu, bagilah duka dan kesedihanmu padaku,” di sela-sela Ahda membereskan bukunya ia kembali berbicara.“Maafkan aku Ahda, aku hanya tidak ingin membuatmu atau keluargamu ikut merasa sedih dengan masalah yang menimpa kelurgaku,” gadis itu kembali terisak.Ahda kembali menatap gadis di sampingny
Setelah menghabiskan waktu sepanjang siang dengan mengenang masa-masa ketika mereka masih kanak-kanak, Ahda mengajak Faza untuk menunaikan ibadah Shalat Ashar di masjid terdekat. Gadis itu menyambut dengan senang hati ajakan Ahda. Mereka pun pergi bersama-sama menuju masjid.Usai Shalat Ashar berjamaah di masjid, Ahda meminta Faza untuk mempertemukannya dengan Umi Fatimah, ibunda Faza. Ahda juga merasakan rindu pada wanita yang telah dianggapnya seperti ibunya sendiri. Gadis berlesung pipi itu dengan senang hati membawa Ahda ke rumahnya untuk bertemu dengan sang ibunda tercinta.“Kalau kamu kuliah atau pergi umi di rumah dengan siapa?” Ahda bertanya pada Faza ketika berada di dalam bus kota, kendaraan menuju rumahnya.“Ada orang yang jaga, ada yang bantu-bantu urus rumah juga, jadi umi tidak sendirian,” gadis itu berucap sambil menerawang ke lantai bus.Tiba-tiba air mata gadis itu kembali menetes, setetes, dua tetes, hingga akhirn
Sepanjang perjalanan menuju flat tempat tinggalnya Ahda masih memikirkan tentang kehidupan Faza. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa beban yang ditanggung oleh sahabatnya itu selama ini begitu berat. Semua penilaiannya selama ini salah. Ahda selalu menganggap bahwa Faza telah melupakannya karena hidup bahagia dengan suaminya, padahal sejatinya Faza berada dalam kesulitan. Ia merasa begitu buruk di hadapan Faza. Di saat Faza kesusahan, dirinya tidak dapat berbuat apa-apa, padahal mengaku sebagai sahabat. Beribu penyesalan bersemayam pada dirinya.Ahda sangat berharap dapat menghapus segala duka yang dirasakan sahabatnya itu. Dadanya merasa sesak ketika menyaksikkan wanita keturunan Pakistan itu menangis tersedu-sedu. Andai Ahda bisa, sangat ingin ia tanggung seluruh rasa sakit yang dirasakan Faza.Hingga tiba di kamar flatnya, Ahda masih terus memikirkan tentang Faza dan ibunya. Dia berusaha menghapus bayangan tentang Faza dalam pikirannya, namun gagal. Setelah sekian
Semalaman Ahda terus memikirkan surat yang dikirimkan oleh Rania. Setelah berkali-kali membaca isi surat Rania, Ahda pun meminta petunjuk dan kemudahan kepada Dzat yang Maha Pengasih dengan melakukan Shalat Istigharah. Ahda berharap Allah memberikan jalan yang terbaik untuk dirinya, Rania, dan juga Faza. Ia tidak ingin menyakiti siapa pun, ia ingin semuanya berakhir dengan bahagia tanpa ada yang tersakiti.Usai melaksanakan Shalat Istigharah dan Shalat Malam, Ahda memilih untuk menulis surat balasan pada Rania dan keesokan harinya akan langsung dikirimkannya melalui pos kilat. Ia tidak ingin gadis itu terlalu lama memikirkan reaksi Ahda. Ahda memahami dengan sangat bahwa ia tidak bisa memaksakan kehendaknya pada siapa pun termasuk pada Rania. Kejujuran Rania merupakan kode bagi Ahda bahwa ia bukanlah tipe perempuan yang senang dibatasi. Ahda mengerti dengan benar ia melakukan kesalahan besar karena sedari awal tidak jujur pada Rania tentang latar belakang dirinya. Ia pikir ha
Ahda hanya duduk dalam diam melihat sahabatnya itu menangis tersedu-sedu. Ia tidak dapat melakukan apa-apa untuk menenangkan kekalutan hati gadis bermata indah itu. Ahda tahu kata-kata saja tidak akan cukup untuk memberikan ketenangan. Kedua mata indah gadis itu terlihat bengkak dan merah, Ahda tahu pastilah gadis itu telah menangis selama berhari-hari.Sejak beberapa hari lalu, Ahda terus mencari-cari sosok sahabatnya itu di sekitar kampus, namun sosok gadis itu seakan raib begitu saja. Tanpa jejak, tanpa kabar. Ia mendatangi kelas kuliah Faza, namun gadis itu juga tidak hadir di kelasnya. Teman-teman sekelasnya juga tidak ada satu pun yang tahu kemana gerangan gadis itu menghilang. Sudah lima hari ia tidak masuk kelas tanpa kabar berita. Ahda mencoba menelepon hp nya, namun hanya suara operator yang menjawab. Khawatir. Itulah perasaan yang dirasakan Ahda. Khawatir jika gadis itu menghilang kembali.Akhirnya, siang itu, usai mengikuti kelas, Ahda memutuskan untuk bert
Waktu berlalu bergitu cepat, tanpa terasa waktu pengabdian untuk Rania tinggal hitungan jari. Satu minggu usai hari raya ia bebas dari kewajiban yang mengikatnya dan tinggallah mengambil ijazah di Pondok Maarif pusat. Tentu mengambil ijazah juga bukan hal yang mudah, butuh kesabaran dan keuletan. Rania, Syifa, dan Marwah telah berencana untuk langsung ke pondok pusat selesai dibebas tugaskan. Mereka telah memesan tiket kereta sejak satu bulan yang lalu. Barang-barang yang sudah tidak begitu mereka perlukan telah dibereskan dan dikirim ke rumah masing-masing. Meski jarak rumah Rania tidak terlalu jauh, namun ia juga memilih untuk menggunakan jasa paket karena tidak ingin menyusahkan keluarganya. Syifa dan Rania memutuskan untuk menceritakan segala rahasia yang mereka sembunyikan dari Marwah ketika melakukan perjalanan ke pondok pusat. Mereka tidak ingin Marwah mendengar dari orang lain karena ditakutkan akan menimbulkan kesalah pahaman.Rania merasa tidak sabar untuk segera le
“Rania tunggu,” Robert tiba-tiba memanggil Rania yang telah berada beberapa langkah di depannya. “Ada apa Em?” Rania menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Robert. Rober pun berjalan mendekat ke tempat Rania berdiri. “Akar dan batang adalah dua hal yang tidak bisa terpisahkan, tanpa akar tumbuhan akan mati, begitu pula tumbuhan bila tanpa batang bagaimana mungkin ia akan ditumbuhi daun, yang akan terjadi adalah akar yang mengering. Adibah Rania Zahara, aku ingin kita menjadi seperti akar dan batang yang saling menguatkan, yang hidup saling melengkapi, saling menyempurnakan satu dengan lainnya. Rania maukah dirimu menjadi matahari di siang ku dan bulan di malam ku. Aku memang bisa hidup tanpamu, namun aku tidak sempurna tanpamu, seperti langit yang tak akan sempurna di siang hari tanpa matahari dan bulan bintang di malam hari, begitulah diriku tanpamu.” Rania tidak pernah menyangka akan mendengar kata-kata indah tersebut dari Robert. Ia masih m
Rania dan keluarganya segera kembali ke rumah mereka. Faza dan Ahda yang datang ke acara wisuda Rania juga ikut ke rumah Rania. Mereka ingin menikmati kesejukan udara kebun teh. Rania sangat bahagia karena bisa berkumpul dengan orang-orang yang disayanginya. Meski sempat kesal karena Robert menjahili dirinya, tetapi sesungguhnya gadis itu merasa sangat senang karena pria bermata hazel itu telah memberinya kejutan yang benar-benar mengejutkan.“Jadi, setelah ini kamu mau lanjut S2 atau menikah Ran?” Faza membuka percakapan di dalam mobil. Saat itu Rania, Robert, Ahda, dan Faza berada dalam satu mobil milik Ahda. Rania duduk bersama Faza di kursi belakang sedangkan Robert duduk di kursi penumpang sebelah kursi kemudi mobil yang dikemudikan oleh Ahda.“Kak Faza ini bisa saja. Mau menikah dengan siapa kak? Lagi pula tidak ada calon,” Rania merasa malu dengan pertanyaan itu.“Memang benar tidak ada calonnya? Jangan bilang kamu masih belu
Hari berlalu begitu cepat, tanpa terasa Rania akhirnya dapat menyelesaikan studinya dalam waktu tiga setengah tahun. Keluarganya merasa bangga atas apa yang telah dicapai oleh gadis itu. Kerja keras dan usaha yang dilakukannya selama ini akhirnya berbuah manis, ia dapat menyelesaikan kuliahnya lebih cepat dari kebanyanyakan teman-temannya.Banyak hal yang telah terjadi dalam kehidupan Rania dalam tiga setengah tahun terakhir ini. Ia menemukan teman-teman baru yang tentu saja sangat berbeda dengan kepribadia anak-anak pesantren. Mereka berasal dari sekolah yang berbeda-beda, suku berbeda, agama berbeda, dan sifat yang berbeda-beda pula. Namun, gadis bermata teduh itu sangat menikmati segala perbedaan yang ia rasakan.Bukan hanya tentang kehidupan pertemanan saja yang ia temui, tentang percintaan pun ia mengalami. Meskipun bukan Rania yang merasakan cinta. Banyak teman laki-lakinya baik dari jurusan yang sama maupun dari jurusan yang berbeda berusaha mendekati Rania bahk
Matahari musim panas terasa begitu menyengat membakar kulit, gadis Sunda itu sebenarnya sudah terbiasa dengan udara panas karena ia hidup di negeri tropis, tapi baginya udara dan matahari musim panas di London tetaplah berbeda dan membuatnya merasa terbakar.“Kamu bilang tidak suka berada di luar rumah saat musim panas lalu kenapa sekarang kamu berada di sini,” Rania menatap pria di sampingnya yang sedang membersihkan tumbuhan-tumbuhan mati.“Rania, ini masih di dalam rumah, ya meskipun memang tidak beratap, tapi bagiku ini masih kawasan dalam rumah,” ucap pria itu tanpa mengalihkan pandangannya dari batang-batang kering yang ia kumpulkan.“Ah, sudahlah bicara denganmu membuatku selalu terlihat salah,” Rania merasa kesal.Robert menghentikan gerakan tangannya mengumpulkan tumbuhan kering dan memandang ke arah Rania.“Rania, maksudku tidak senang pergi keluar rumah itu, sepetti ke pantai, climbing,
Rania tersenyum pada Robert, “Maaf aku jadi bercerita panjang lebar, padahal harusnya aku hanya menjawab masih atau tidak.”“Tidak Rania, aku senang mendengarkan jawabanmu itu. Aku senang mendengarkan ceritamu,” Robert tersenyum menyakinkan Rania.“Baiklah sudah cukup cerita tentangku. Aku yakin nenek juga pasti sudah banyak bercerita tentang aku, sekarang giliran kamu, aku sama sekali tidak tahu tentang dirimu.”“Eits, tunggu dulu, kamu belum mengatakan jawaban yang diberikan oleh Allah apa atas Shalat Istigharah yang kamu lakukan.”“Allah memberiku petunjuk melalui mimpi dan dari mimpi itu aku memantapkan hatiku untuk tidak melanjutkan hubunganku dengan Ustaz Ahda.”“Memangnya apa mimpimu?” Robert bertanya dengan penuh antusias.“Rahasialah.”“Ah Rania, kamu ini membuatku penasaran. Mimpi tentang apa memangnya?” Robert mendesak Rania untu
Malam hari, usai menjalankan Salat Isya berjamaan dengan Nenek Ainun dan Robert, Rania pun mengutarakan niatnya untuk pulang ke Indonesia pada sang nenek. Sontak saja hal tersebut membuat Nenek Ainun terkejut, pasalnya cucu tercintanya itu baru dua hari menginjakkan kaki di London, tapi sudah ingin kembali pulang ke Indonesia.Nenek Ainun menentang keputusan Rania, ia meminta cucunya untuk setidaknya menetap selama satu minggu lagi. Namun, Rania tetap menolak, ia menjelaskan kepada sang nenek alasan dia harus secepatnya kembali ke Indonesia. Nenek Ainun tetap tidak menerima alasan tersebut. Robert juga membantu Rania menjelaskan pada sang nenek, tetapi perempuan 67 tahun itu tetap tidak menerima. Ia menyuruh agar Rania melepaskan universitas yang menerimanya dan sebagai gantinya Nenek Ainun akan mendaftarkan Rania di London. Namun, dengan lembut gadis bermata teduh itu menolak keinginan sang nenek.“Rania janji Nek, suatu hari nanti Rania akan datang ke sini dan
“Wau, kamu benar-benar susah ditebak ya,” Rania memberikan tepuk tangan ketika Robert mengeluarkan kue bolu yang dibuatnya dari dalam oven.“Maksud kamu?”“Ya aku kira kamu seorang pebisnis yang tidak suka pergi ke dapur atau melakukan pekerjaan wanita seperti ini, tapi ternyata aku salah sangka, bahkan kue buatan mu lebih bagus dari kue milik ku,” Rania memandang dua kue yang ada di atas meja dapur.“Bagus di luarnya belum tentu enak kan, siapa tahu kue milikmu lebih enak,” Robert berusaha membesarkan hati Rania.“Em iya juga sih, tapi menurut ku kue milikmu juga lebih enak” Rania memandang kue miliknya dengan pandangan aneh.“Kalau begitu kita buktikan saja dulu.”Robert memotong kue miliknya dan mencicipinya, begitu pula dengan Rania. Namun, baru mengunyah kue miliknya, Rania langsung berlari ke washtafel dan memuntahkannya
Usai mandi dan sarapan Rania memilih untuk menonton televisi di ruang keluarga tanpa disangka Robert pun sedang berada di ruang keluarga, namun pria itu tidak sedang menonton siaran televisi, ia sedang memandangi layar laptop miliknya.“Kamu sedang apa?” Rania menyapa Robert.“Eh kamu Ran, sejak kapan di situ.”Rania memutar bola matanya kesal, “Robert,,,Robert aku tanya apa kamu jawab apa,” keluh Rania.“Iya,,,iya aku dengar kok pertanyaan kamu. Aku sedang mengecek laporan kantor dari sekertarisku.”“Oh begitu, pantas saja serius banget. Kalau aku nonton tv terganggu atau tidak?”“Tidak kok, tonton saja ini sebentar lagi juga selesai.”Rania pun mengambil remot tv yang tergeletak di atas meja. Gadis itu terus memencet-mencet tombol remot untuk mencari saluran yang menarik, namun tidak juga mendapatkan siran yang menarik. Robert menyadari bahwa R
Rania terbangun ketika mendengar Adzan Subuh dari hp miliknya. Dengan mata yang masih setengah tertutup ia melihat jam dinding yang terpajang di dalam kamar yang ditempatinya. Rania berjalan dengan gontai menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri dan mengambil air wudu.Usai menyelesaikan urusannya di dalam kamar mandi, Rania pun mengambil mukenahnya yang diletakkan di atas sofa kamar, ketika Rania sedang menggelar sajadahnya, tiba-tiba seseorang mengetuk pitu kamar tidurnya.“Rania, kamu sudah bangun sayang?” suara Nenek Ainun menyertai ketukan tersebut.Rania menggeletakkan sajadahnya yang belum tergelar dengan sempurna begitu saja, kemudian berjalan kearah pintu kamar. Ia membuka pintu itu dengan perlahan, sosok Nenek Ainun yang sedang menggunakan mukenah berdiri tegak di balik pintu.“Nenek,,,” Rania tersenyum melihat sang nenek.“Kamu sudah salat Rania?” Nenek Ainun memperhatikan cucunya dari kepala hingga k