Ujian Akhir Sekolah telah berakhir, bersamaan dengan gedung kelas bekas kebakaran yang selesai direnovasi. Kini, kelas sebelas jurusan IPS telah menempati ruangan mereka masing-masing. Jadi mereka bisa secara privat menyiapkan lomba-lomba dalam class meeting, tanpa merasa terganggu atau menggangu yang lain.
"Nanti gak usah terlalu banyak hiasan, ribet, minimalis aja," kata Aldi memberi saran kepada tim penjaga bazaar kelasnya.
Tim itu terdiri dari empat orang termasuk dirinya. Empat orang itu dibagi lagi menjadi dua tim untuk bergantian menjaga, karena bazaar dilaksanakan dari jam 3 sore hingga jam 8 malam.
Mengikuti rundown panitia, puncak acara class meeting berlangsung lebih lama karena banyaknya kelas yang menampilkan pertunjukan. Ditambah lagi, sekolah mereka mengundang guest star dari band lokal sebagai penutup, yaitu Guyon Waton. Band dari Jogja dengan genre musik dangdut, yang sekarang sedang naik daun.
"Iya aku setuju. Berar
Keesokan harinya, Ran berbaikan dengan Angga setelah perdebatan kemarin. Tetapi, Ran mengundurkan diri sebagai koordinator bazaar. Ran menyadari bahwa dirinya tidak bisa melakukan tugas itu karena tidak percaya diri. Angga bahkan sampai memohon padanya dan mencoba menjelaskan situasi, namun Ran tetap menolak. Akhirnya Ran tidak ikut andil dalam acara class meeting dan jadi penonton saja.Kini Ran menemani Kinan yang sedang menunggu giliran lomba lari maraton, di garis start."Maafin aku ya, kita gak bisa promosii dessert karena aku mengacaukan semuanya. Bener kata Angga," ujar Ran pada Kinan."Gak masalah, kita tunda dulu aja ya, bentar lagi kan kelas dua belas pasti bakal sibuk. Waktu kuliah aja kita jualannya," balas Kinan, mencoba menenangkan Ran."Ini Ki yang kamu cari, madu energi," ujar Sunny dengan terbata setelah berlari mengambil madu untuk Kinan yang tertinggal di kelas, sesuai janjinya.Kinan tersenyum lebar lalu mengambil madu itu, dan
Sunny berjalan mengendap, sembari menoleh ke belakang mengawasi setiap orang yang ia lewati agar jejaknya tidak diketahui. Ia bersembunyi dibalik pohon ke pohon, hingga mencapai sebuah gedung terbengkalai yang terletak di belakang sekolahnya. Di depan gedung itu,Sunny mengepalkan kedua tangannya sembari mendongak ke lantai atas yang dirambati oleh ilalang liar. Gedung itu nampak seperti rumah hantu yang ia kunjungi semalam ketika kencan buta. Beberapa ingatan yang pernah Sunny lalui dalam gedung itu, mulai muncul. Ingatan yang selama ini datang menghantui mimpi-mimpinya. Ingatan yang ingin ia patahkan hari ini, untuk melanjutkan hidup. Setelah berdoa dan menguatkan diri, Sunny melangkahkan kakinya masuk ke dalam gedung itu. Setiap ruangan yang ia lewati, begitu menempel di memorinya. Ia teringat ketika pertama kali masuk ke dalam gedung, ia bergetar ketakutan karena membayangkan hantu muncul di depannya. Namun setelah keluar dari gedung itu ia sadar, bu
Para peserta cabang lomba lari maraton mulai terlihat dari jauh. Salah satu perwakilan kelas MIPA 2 memimpin di depan. Penonton mulai menyorakan kelas jagoan mereka masing-masing. Mendengar keriuhan itu, Ran lantas bangkit dari duduknya. "Dit, ayo," ujarnya sembari menarik lengan Adit. Sesampainya di tempat lomba, salah satu peserta dari MIPA yang tadinya memimpin di depan tumbang. Teriakan histeris yang menyayangkan hal itu saling bersahutan. Lalu di belakang tampak Kinan yang berlari dengan napas terputus-putus, dan bermandikan keringat. Di belakang Kinan seorang perwakilan dari kelas IPS 3 dan Angga menyusul. "Kinan!!! Lari!!!" teriak Ran memberi support pada sahabatnya itu. Adit pun ikut tersulut untuk menyemangati teman-temannya, akibat teriakan Ran. Beberapa detik kemudian, akhirnya Kinan sampai di garis finish. Ran dan teman-temannya merayakan kemenangan itu. Kinan sampai diangkat dan diterbangkan ke atas, seperti sedang festiva
"Ran, Sunny kalian di lantai enam ya, kamar 608," ujar Kinan sembari menyodorkan card hotel pada Ran.Setelah menerima card itu, Ran dan Sunny masuk ke dalam lift untuk menuju ke kamar mereka. Sedangkan Kinan menuju kamar suite room yang dipesan khusus oleh keluarganya.Usai acara class meeting tadi, Kinan memang membawa kedua sahabatnya itu untuk langsung ke hotel, karena acara ulang tahunnya berlangsung esok hari. Meskipun dimualainya acara utama pada sore hari, ia ingin kedua sahabatnya itu merasakan akhir pekan di hotel.Sesampainya di kamar, Ran dan Sunny melepar tubuhnya ke kasur. Seharian beraktivitas di sekolah, membuat tubuh mereka letih. Tidak ada obrolan yang mereka bangun, sampai beberapa detik lamanya. Maing-masing sibuk melemaskan otot dalam tubuh.Ran menghembuskan napas pelan. "Kapan-kapan aku ingin mengajak Nenek Mariyati liburan deh," gumamnya."Kenapa gak diajak sekalian tadi?" tanya Sunny."Udah aku ajak, tapi gak mau ikut karena ada janjian sama Mbok Darmi ke pasar
Keesokan paginya, Ran dan Sunny diundang Kinan untuk sarapan bersama keluarga besarnya di taman hotel. Kinan menjemput mereka berdua di kamar, tiga puluh menit sebelum sarapan dimulai, untuk melakukan briefing pada mereka. Mengingat keluarganya yang begitu kaku. Kinan menjelaskan tata cara makan yang selama ini dia pelajari, secara kilat kepada dua sahbatnya itu. Tentang bagaimana duduk, meletakkan alat makan, meminum teh, dan mengunyah. "Tau gitu, kita gak usah ikut. Mana ini masih jam enam pagi, Kinan," tukas Sunny yang terlihat bermalas-malasan di sofa. "Pagi-pagi buta disuruh make up dan pakai dress begini," tambah Ran. Kinan menghembuskan napasnya, sembari duduk di pinggiran tempat tidur. "Ini yang aku rasakan tiap hari sebelum berangkat sekolah. Ada keluarganya Ben, aku gak mau sendiri, butuh kalian disana," balasnya. Melihat wajah murung Kinan, Ran mengumpulkan tekadnya untuk mempelajari hal-hal yang Kinan ajarkan tadi. Ran kembali foku
Pukul 16.00 WIB Pesta ulang tahun Kinan dimulai sejam lagi. Namun Kinan menghilang sejak perang dingin di acara sarapan pagi tadi. Bahkan orang tua Kinan sampai mengerahkan bodyguard untuk mencari putri mereka di seluruh kota. Ran dan Sunny ikut membantu, diantar oleh Raka. Kini mereka bertiga sedang menuju tempat karaoke yang biasanya Kinan kunjungi bersama Ran dan Sunny. Letaknya lumayan jauh dari perkotaan, dekat pantai. Sebuah tempat yang menjadi rumah pelarian tiga sahabat itu ketika sedang ada masalah. "Baru pertama kali aku melihat Bunda Kinan mengutarakan emosinya dengan jelas. Bukankah dia wanita elegan?" celetuk Raka sembari fokus menyetir. "Kami sudah sering melihatnya," balas Ran. "Lebih tepatnya sering dimarahi, yah begitulah Bunda Kinan membenci kami," tambah Sunny. Raka membelokkan mobilnya di tikungan, ketika melihat papan nama tempat karaoke yang disebutkan Ran sudah terlihat. "Kalo boleh tahu, apa hubungan Ban
Orang tua Kinan terlihat berjalan mondar-mandir di depan pintu ballroom hotel. Tamu undangan sudah memenuhi ballrom, sedangkan sampai saat ini belum ada perkembangan dari pencarian putrinya. Tidak mungkin mereka akan membubarkan tamu undangan begitu saja, tanpa alasan yang jelas. Namun lebih tidak mungkin lagi jika mereka mengatakan hal yang sebenarnya, karena itu akan melukai reputasi perusahaan. Salah seorang pengawas pesta ulang tahun Kinan yang merupakan staff hotel, berjalan menghampiri Ayah Kinan. Pria itu terlihat membisikkan sesuatu. "Lanjutkan saja acaranya," kata Ayah Kinan memberi perintah, yang membuat staff itu terkejut. Andini pun menghampiri suaminya dengan tatapan shock. "Apa maksudmu? Kau sedang bunuh diri?" bisiknya. Ayah Kinan tak menggubris, dan meminta staff itu untuk segera melaksanakan perintahnya. Kemudian seketika dari arah pintu hotel, muncul seseorang yang menjadi bintang pesta hari itu. Ayah Kinan tersenyum menyaksi
“Pak Aksa udah nikah??? Gila!” tukas Sunny yang tak kalah terkejutnya dengan Ran. “Sepertinya itu yang membuat Pak Aksa resign dari sekolah,” sahut Angga yang tiba-tiba datang dengan membawa segelas air. Ran, Sunny dan Adit menatap Angga bersamaan. “Sejak kapan resign?” tanya Adit. “Hari ketiga ujian. Apakah kalian gak bertanya-tanya kenapa beliau gak kelihatan lagi, selama ini?” kata Angga. “Wah keren... tapi yang bikin gua lebih shock, dia pewaris departement store terbesar di Indonesia,” balas Adit. Angga menjentikan jari, setuju dengan perkataan Adit. Identitas guru sejarah sekaligus wali kelasnya itu, memang misteri yang sudah umum bagi warga sekolah. Namun siapa sangka, dugaan asal yang mereka pikirkan bahwa Aksa seorang anak konglomerat, menjadi kenyataan. Sunny mengusap punggung Ran, memberi gadis itu kekuatan. Ran mencoba berdiri tegak, dan menguatkan diri seolah tidak terjadi sesuatu. Ketika ia menatap kearah panggung, matanya langsung berte
Terdengar ledakan dahsyat dari dalam hutan, membuat langkah Ran, Sunny dan Grace terhenti. "Ben meledakan gubuk agar tidak meninggalkan bukti," gumam Grace. Ran menatap tajam Grace, lalu berkata penuh dengan penekanan, "Kejam sekali kalian." Grace tidak berani mengangkat pandangannya pada Ran, karena merasa bersalah. Ia juga merasa malu setelah menjadi bagian dari kejahatan itu, yang akhirnya menjadikannya korban. Dari balik semak Adit dan Angga berlari kearah mereka dengan tergesa-gesa. "Guys kenapa kalian berhenti! Ayo lari!" teriak Adit dari kejauhan. Lalu, Ran, Sunny dan Grace melanjutkan langkahnya. Terdengar suara tembakan beberapa kali dari arah kejauhan, membuat mereka panik, sampai berlari tak tahu arah. Hanya mengandalkan insting untuk memilih jalan mana yang mudah dilewati, karena mereka terjebak dengan ilalang yang membutakan arah. "Tinggalkan saja aku disini! Kalian kabur saja," ujar Grace semakin merasa bersalah, karena menjadi beban. "Tutup mulutmu brengsek!" Be
"Sialan!!! Ulah siapa ini?" Gerutu Ben sembari membanting pecut yang ia pegang, penuh emosi karena lampu seketika padam di tengah kegiatan yang ia lakukan. Kemudian terdengar sirine alarm kebakaran yang membuat panik orang-orang dalam ruangan itu. Ben lantas bangkit dari tempat tidur dan meraih jubah mandi yang tergantung di dekat pintu dan memakainya. Ia keluar dari ruangan dengan langkah penuh amarah sembari meneriakkan nama anak buahnya. Empat orang pria yang merupakan teman-teman Ben, menyusul pria itu keluar ruangan. Meninggalkan Sunny dan Grace. Sunny memanfaatkan keadaan itu dengan bergegas melepas ikatan tangan dan kakinya. Dengan tubuh telanjang di tengah kegelapan, ia memungut pakaiannya yang berceran di lantai. Sedangkan Grace yang masih terkuai lemas di tempat tidur, hanya bisa menangis menahan perih di kulitnya, akibat pecut yang diayunkan oleh Ben sejak tadi. "Grace ayo kabur dari sini," tukas Sunny. "Aku tidak bisa menggerakkan kaki," ujar Grace. Sunny mengeluarka
WARNING!!! Isi Bab ini terdapat kekerasan seksual yang tidak cocok untuk anak dibawah umur. Mohon bijak memilih bacaan yang cocok dengan umur anda. ** "Kalian mengenal orang-orang itu?" tanya Ran. Adit dan Angga menggeleng bersamaan. "Melihat dari postur tubuh dan wajah kedua orang itu, sepertinya sudah berumur," kata Angga. "TOLONG!" Teriak seseorang yang membuat dua pria bertubuh kekar tadi masuk ke dalam gubuk. Sedangkan Ran, Angga dan Adit bergetar ketakutan mendengar suara pekikan yang begitu putus asa itu. "Apa sebenarnya yang mereka lakukan dalam gubuk itu?" tanya Adit. Tidak ada jawaban dari Ran dan Angga. Angga lantas menutup laptopnya, dan berjalan mendekat ke Adit. Kemudian ia membuka tas yang digendong oleh temannya itu, dan memasukan laptopnya. "Mumpung dua orang itu tidak ada, ini kesempatan kita mencari tahu," ujar Angga seraya menutup resleting tas kembali. "Benar ayo kita masuk," balas Ran. "Tunggu... apa kalian gak takut? Melihat dua orang tadi, sepertinya
Angga telah menyelesaikan surat izin mereka bertiga dan dikirim melalui email pada Aksa yang masih menjadi wali kelas.Sebuah kertas yang terdapat coretan dibentangkan di atas kasur. Ran, Adit dan Angga menatap kertas-kertas itu dengan seksama, agar tidak ada kesalahan dalam menjalankan misi mereka nanti. Sebuah misi yang menjadi pengalaman baru dalam hidup mereka, karena berurusan dengan anak-anak petinggi sekolah."Mereka adalah geng yang bisa melakukan kekerasan, kalian harus hati-hati nanti. Terutama kamu Ran, cewek harus tetap bersama kami," ujar Adit.Ran mengangguk."Baik, mari ganti pakaian yang nyaman, setelah itu kita menuju ke lokasi," kata Angga.Adit berjalan menuju kopernya, dan meraih sebuah jaket beserta masker, lalu memberikannya pada Ran. "Pakailah..""Terimakasih, aku kembali ke kamarku dulu untuk membersihkan diri."**Ran menghentikan langkahnya sembari menatap gedung hotel yang menjulang tinggi di belakangnya. Matanya berhenti di kaca jendela lantai 3, tempat dim
"Kamu memimpikan apa, sampai berteriak begitu?" tanya Adit. "Aku bisa minta kertas dan pulpen?" Adit mengernyitkan dahinya bingung. Namun ia tidak bertanya lebih dan meraih sebuah buku catatan kecil fasilitas dari hotel beserta pulpennya. Ia berikan dua barang itu pada Ran. Ran kemudian menulis ulang hal-hal yang Sunny tidak suka, dan mengurutkannya seperti di mimpi. "Apa ini?" tanya Adit bingung. "Coba kamu baca dari huruf awalnya, urut ke bawah." "Aku minta tolong..." gumam Adit. "Mungkin kamu bakal mikir aku gila. Semalam Sunny menyebutkan hal-hal ini. Awalnya aku pun merasa aneh, karena yang dia sebutkan random. Dia memintaku membuatkan puisi dari awalan kata hal-hal yang dia sebutkan ini." "Kamu memimpikannya," ujar Adit menebak. Ran menatap Adit kagum. "Bagaimana kau tahu?" "Bukankah tadi waktu kamu bangun, yang kamu teriakan nama Sunny? Sudah tentu yang kamu impikan gadis itu," jawab Adit, "Aku tidak menganggapmu gila, karena hal-hal seperti ini pernah terjadi padaku.
"Sikapmu tidak perlu terlalu jelas begitu, kalo orang lain sadar, akan timbul skandal. Menarik juga kisah cinta masa kecil yang bodoh masih kau pertahankan. Dia gadis itu bukan?" gumam Elina. Aksa tersenyum kecut. Kemudian ia mengeluarkan sebuah amplop berukuran kecil berwarna cokelat dari saku jas nya. "Kau juga, jangan terlalu jelas," balas Aksa sembari melemparkan amplop itu di meja. Elina menatap amplop itu cukup lama, kemudian menoleh pada suaminya. "Apa ini?" "Padahal setelah proyek berhasil, kita bisa bercerai seperti perjanjian. Kalo proyek rusak, itu akan jadi salahmu." Elina bergegas meraih amplop itu dan melihat isinya. Betapa terkejutnya ia melihat foto-foto yang ada di dalam amplop itu. Foto dirinya yang tertangkap basah sedang berkencan dengan seorang pria. Bahkan, fotonya yang sedang berciuman dan telanjang ada disana. Bibir Elina bergetar ketakutan. Ia langsung mengembalikan foto-foto itu ke dalam amplop, dan menatap Aksa tajam. "Tujuanku mendekati Raka hanya un
Ran menghentikan langkahnya sembari mendongakkan kepala ke lantai dua. Ia tidak bisa mengabaikan sesuatu yang masih terasa ganjil dalam benaknya. Dadanya terasa sesak, dengan alasan yang dia tidak ketahui. Adit ikut menghentikan langkah dan menatap gadis itu. "Apa kamu merasa ada sesuatu yang mengganjal juga?" Ran mengangguk, dengan pandangan yang masih menuju lantai dua. "Kamu juga Dit?" "Yah apapun itu, biarlah jadi urusan mereka." "Kamu benar." "Yaudah ayo makan di pestanya Sunny, sebelum acara itu berakhir," kata Adit. Ran menatap pria itu. "Dit, makan di resto hotel aja ya, aku gak terlalu nyaman sama keramaian." Adit tersenyum sembari menganggukkan kepalanya. Kemudian mereka berjalan menuju restoran yang berada di sebelah lobi hotel. Pemandangan restoran itu langsung mengarah ke view kota Jogja, yang akan indah bila disaksikan malam hari. Jalanan yang begitu ramai dengan gemerlap lampu kota dan lampu kendaraan. Mereka mem
"Sialan lu, kita hampir ketahuan!" ujar Ben kesal. PLAK!!! Sebuah tamparan mendarat di pipi Sunny. Sunny yang lemas, tak bisa melakukan apa-apa. "Udah ngechat Ran belum?" tanya Ben. "Barusan gua chat," jawab Grace sembari menunjukan ponsel Sunny yang berada dalam genggamannya. Ben menghembuskan napas kasar, sembari melonggarkan dasi yang terasa mencekik lehernya. Kemudian ia berkacak pinggang menatap ke arah luar jendela. Seketika terdengar suara langkah kaki seseorang dari jauh, yang membuat mereka bersiaga. Sunny yang sudah dimasukkan ke dalam tempat sampah besar, diletakkan di pojok ruangan. Kemudian Ben menarik Grace dalam pelukannya, dan mendorong gadis itu ke dinding. "Kalian kalo mau bermesuman jangan disini," ujar Adit. Jantung Ben dan Grace seolah disambar petir, mendapati kehadiran pria itu bersama Ran. "Kalian juga kenapa berduaan?" ujar Ben. Ran mendengus kesal. "Sialan kau Ben, menakutiku hanya untuk melindungi hubungan rahasi
Ran mendorong Aksa dengan sekuat tenaga, hingga pria itu terjatuh di lantai. Kemudian ia keluar dari kamar itu, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Hatinya bingung dengan kenyataan yang tadi ia lihat, bahwa pria itu telah menikah dengan seorang wanita. Pernyataan cinta tadi, membuat hatinya kian kesal karena merasa dipermainkan. Terjawab sudah semua teka-teki yang selama ini ia simpan sendiri di hati, kenapa pria itu menghilang tak berkabar. Ran tidak memilih lift untuk turun ke lantai utama. Ia menggunakan tangga darurat, menghindari Aksa yang mengejarnya. Napas Ran mulai tersenggal-senggal, ketiika ia sampai di lantai tiga. Kakinya pun terasa ngilu, akibat menuruni tangga menggunakan heels. Ia cukup menyesali keputusannya yang menggunakan tangga darurat. Menyiksa diri sendiri, hanya untuk seorang pria yang sama sekali tidak menghargainya. Ran melepas heelsnya, dan menuruni tangga tanpa alas kaki. Seketika saat ia mencapai lantai dua, terlihat sekelebatan se