"Ponsel gue ambilin dong, Ja," pinta Karel pada Puja.
Segera menelepon seseorang.
"Lo mau nelpon siapa?" tanya Rena. Tapi pertanyaannya malah tak dijawab oleh sobatnya itu.
"Hallo."
"Kakak dimana?" tanyanya langsung saat panggilan teleponnya dijawab oleh yang bersangkutan.
"Karelyn, ini udah tengah malam, loh. Masih belum tidur," balasnya dengan nada lembut.
"Jemput aku," pintanya langsung.
"Kamu di luar?"
"Jemput aku ... kepalaku pusing, Kak," ujarnya.
"Kirim alamat, ya."
"Hmm."
Menutup percakapan dan langsung mengirimkan alamatnya lewat chat.
"Kamu minta siapa yang jemput, Rel?" tanya Rafa. "Sudah ku bilang, kan, biar aku saja yang mengantarmu pulang. Masalah dengan papamu, biar aku yang hadapi. Beliau pasti paham, kok," jelas Rafa.
Karel tak menanggapi perkataan Rafa. Ia hanya fokus pada rasa pusing dan tak nyaman di kepalanya. Seakan akan mau pingsan saja. Siapa coba yang dengan sengaja mengganti gelasnya, hingga malah mabuk begini.
"Kak Rafa, udah deh. Jangan berlagak seolah olah jadi pahlawan kemalaman. Enggak bakalan mampu ngelawan papanya karel. Memangnya kakak punya modal apa?"
Rafa menatap Puja dengan raut kesal. Ya, kesal karena bukan Karel yang heboh akan dirinya, tapi dua gadis ini yang seakan menentang dirinya untuk dekat dengan Karel.
"Udah udah, kenapa malah berdebat gitu, sih. Aku nggak kenapa kenapa, cuman pusing aja." Mengarahkan pandangannya pada Rafa. "Maaf, Kak ... aku udah ada yang jemput, kok."
Karel beranjak dari kursinya, menyambar tas dan berlalu pergi dari sana. Rasanya seperti melayang saat berjalan dengan kepala yang etrasa pusing.
Puja dan Rena segera mengekori Karel yang lebih dulu berjalan gontai keluar dari tempat acara. Begitupun dengan Rafa yang ternyata juga ikut menyusul.
Sampai di depan, ia memilih duduk di sebuah kursi dekat taman. Ponselnya berdering, tapi Rena dengan cepat mengambil alih benda itu dan menjawab panggilan dari si penelepon.
"Hallo, Kak ... ini Rena."
"Karel mana, Ren. Dia baik baik saja, kan?"
"Iya, Kak ... hanya pusing. Ini udah nungguin Kakak."
"Aku bentar lagi sampai, temenin dia, ya."
"Iya, Kak."
"Dari siapa? Siapa yang menjemput Karel?" tanya Rafa memberondongi Rena dengan rasa penasarannya akan sosok yang akan menjemput Karel.
Lagi lagi pertanyaan Rafa seakan tak diperdulikan oleh Rena. Keduanya entah kenapa memiliki rasa yang sama akan cowok ini. Yap, rasa kesal akut.
Tak lama, sebuah mobil berwarna putih memasuki area gedung. Lebih tepatnya berhenti tepat di dekat Karel dan yang lainnya sedang menunggu.
Si pemilik mobil turun dan dengan sedikit bergegas menghampiri Karel yang masih duduk di kursi. Sosok cowok berperwakan tinggi dengan kulit bersih, dan pakaian casual yang dia kenakan, seakan menimbukan pesona adem saat melihat.
"Rel, kamu kenapa?" tanyanya menyentuh wajah Karel.
"Kepalaku pusing," jawabnya.
Tak banyak bertanya, ia langsung saja mengenakan sebuah sweater pada Karel dana membawanya masuk ke dalam mobil. Tapi saat akan masuk ke dalam mobil dan berlalu pergi, tiba-tiba langkahnya terhenti saat seseorang menyebut namanya.
Pandangannya mengarah pada orang tersebut.
"Pak Aziel, kan?"
"Ya," sahutnya.
"Bapak nggak mengenal saya?"
"Maaf, saya nggak kenal. Permisi," pamitnya langsung berlalu pergi.
Sementara Puja dan Rena seakan dibuat membeku akan sosok cowok bernama Ziel itu. Ya, dilihat dari sudut manapun dia memang tampan dan baik.
"Ada hubungan apa mereka berdua?" tanya Rafa pada dua gadis yang masih senyam senyum nggak jelas menatap kepergian Ziel.
"Kak Ziel dan Karel?" tanya Puja balik.
"Ya."
"Hubungan yang ... hmm, memiliki rasa yang sama. Pokoknya Karel itu segalanya bagi Kak Ziel, begitupun dengan Karel. Apapun masalah yang dia hadapi, pasti Kak Ziel bakalan beresin. Jadi, menurut Kakak mereka punya hubungan apa, ya?"
Sebenarnya Puja bukan sedang bertanya, tapi justru membuat Rafa berpikir sendiri tentang klu klu yang ia sebutkan itu.
"Mereka pacaran?"
"Bukan," jawab Rena cepat, membuat Puja malah kaget saat sobatnya tak bisa diajak kerjasama. "Sebenarnya Kak Ziel dan Karel itu punya hubungan yang lebih dari pacaran."
Rafa seakan gregetan sendiri dengan perkataan perkataan Rena dan Puja.
"Sepupu?"
"Yakali sepupu," tawa Rena. "Mereka itu sebentar lagi mau nikah, jadi Kakak udah deh jangan back back gangguin Karel lagi."
"Apa?!"
Puja dan Rena puas sekali melihat ekspressi kesal di wajah Rafa. Seakan akan gunung merapi akan segera meletus, hingga membuat keduanya memilih berlalu dari sana. Biar, cowok nyebelin ini berpikir satu malam dengan apa yang dilihat dan keduanya jelaskan barusan.
Ziel menghentikan laju mobilnya di depan sebuah toko.
"Kemana?"
"Beli minuman," jawabnya segera turun.
Karel membentur benturkan kepalanya ke belakang kursi mobil agar rasa pusing ini segera menghilang. Bisa dicakar ia sama Ziel kalau tahu dirinya minum minuman beralkohol.
Selang beberapa menit, Ziel kembali dengan beberapa botol air mineral di tangannya. Tak langsung memberikan pada Karel.
"Aku butuh penjelasan dulu," ujarnya menatap gadis yang duduk di sampingnya.
"Penjelasan apa, sih, Kak? Aku mau pulang, mau tidur ... kepala ku pusing," balasnya.
"Sudah berapa kali ku bilang ... jangan keluar malam. Kamu ini cewek, Rel. Di luaran itu banyak kejahatan, aku nggak mau sampai terjadi sesuatu yang buruk sama kamu."
Tuh, kan ... apa yang ia pikirkan tadi terjadi. Ziel pasti bakalan mengomelinya dengan omelan yang panjang. Ini baru satu perkara, belum yang lainnya.
"Aku udah minta ijin sama Papa secara baik baik, tapi selalu saja dilarang. Aku juga butuh hiburan, aku punya teman. Saat temanku mengadakan apapun acaranya, papa nggak pernah ngijinin."
"Tapi bukan kabur kaburan begini."
"Lalu, aku harus apa? Aku itu berasa jadi sesuatu yang seolah harus disembunyikan dari dunia luar."
Ziel Paham maksud dan kemana arah pembicaraan Karel, tapi untuk masalah sampai harus kabur di malam hari tanpa ijin, ia tak setuju.
"Tapi kalau aku kabur begini, otomatis Papa pasti ngomel dan banyak bicara padaku." Menghela napasnya berat. "Setidaknya itu lebih baik daripada aku didiamkan layaknya sebuah patung hidup."
"Caramu salah, Rel. Itu bukan cara mengambil hati papamu. Justru malah membuat kamu malah semakin dilihat salah sama Om Leo."
"Aku haus, Kak," ujarnya menghindari pembicaraan Ziel yang tak akan ada habisnya kalau didengarkan.
"Satu penjelasan lagi."
Karel memberengut saat balasan cowok ini selalu berhasil bikin kesal. "Apalagi, sih, Kak?"
"Kamu minum minuman beralkohol, ya."
Karel merasa kepergok. "Enggak," jawabnya.
"Aku nggak bertanya. Itu pernyataan yang ku yakinkan padamu."
"Aku nggak minum, Kak Ziel. Aku cuman ..."
"Nggak sengaja? Atau, hanya mencoba sedikit?" Ziel langsung saja menimpal alasan alasan pasaran yang akan diberikan Karel padanya.
"Serius, aku benar benar nggak minum, Kak." berusaha meyakinkan Ziel.
Ziel malah menarik Karelyn agar mendekat ke arahnya, kemudian mendekatkan wajahnya pada gadis yang terpaut usia sekitar 7 tahun di bawahnya.
Mata Karel sedikit membola saat mendapati sikap Ziel yang tak biasa. Apa yang akan dilakukan cowok ini padanya? Jangan bilang kalau dia akan melakukan sesuatu yang bikin jantungnya tak karuan.
Hanya beberapa centi, bahkan Karel merasa napas Ziel terasa menerpa wajahnya. Saking deg deg'an, tangannya bahkan sampai mencengkeram ujung bajunya
"Benar, kan ... kamu minum tadi," ujar Ziel seketika menjauh dari Karel.
"A-apa?"
"Ada aroma alkohol di bibirmu. Kamu nggak bisa bohong lagi," ungkap Ziel.
Karel lagi lagi merasa dirinya seakan dipermainkan oleh Ziel. Apa apaan sikap cowok ini, apa memberikannya harapan palsu. Astaga! Maafkan otak dan hatinya yang tba-tiba jadi aneh saat berdekatan dengan Ziel. Sungguh, ia tak bermaksud merasa begini.
"Kalau Kakak nggak percaya, boleh tanya sama Rena atau Puja. Aku nggak memesan minuman, tapi saat aku minum gelasku sudah berganti dengan minuman beralkohol."
"Bohong."
"Aku kesal padamu! Kenapa, sih ... nggak percaya padaku. Apa aku pernah berbohong padamu, Kak? Katakan."
Ziel diam dengan tatapan fokus pada gadis yang ada di sampingnya.
"Antarkan aku pulang," ujar Karel menyenderkan badannya dan mengalihkan pandangan dari Zel.
Ziel mengambil sebotol air mineral dan membuka tutupnya. Kemudian menyodorkan pada Karel.
"Minum dulu."
"Percaya padaku atau tidak?" tanya Karel menatap fokus pada Ziel.
"Hmm," angguknya. Setelah mendapatkan jawaban itu, barulah Karel menerima minuman yang ia sodorkan.
Diperjalanan, keduanya tak banyak bicara. Ziel yang fokus pada jalanan, sedangkan Karel malah tidur di sampingnya. Sesekali ia mengarahkan pandangan pada dia, mengecek apa dia baik baik saja.Ponsel miliknya berdering, membuat Ziel menghentikan laju kendaraannya. Mengambil benda pipih itu ... terlihat kalau yang sedang menelepon adalah Leo, papanya Karel."Hallo, Om," jawab Ziel.Mendengar percakapan itu, membuat Karel terbangun dari tidurnya. Mendapati Ziel sedang bicara dengan seseorang di telepon."Zi, Om bingung mau cari Karel. Dia kabur lagi dari rumah tanpa ijin. Dan berkali kali Om telepon, dia nggak menjawab." Laki laki paruh baya itu bicara dengan suara yang menunjukkan kalau dia khawatir akan keadaan putrinya."Om nggak usah khawatir, dia bersamaku." Mengarahkan
Suara ketukan pintu membuat si pemilik kamar terbangun dari tidur nyenyaknya. Dikira pusingnya bakalan ilang, ternyata masih berasa sampai pagi. Rasanya seakan malas untuk beranjak dari tempat tidur.Mencoba mengabaikan ketukan pintu, tapi justru malah makin terdengar jelas di pendengarannya. Hingga akhirnya bangun dan berjalan gontai menuju pintu.Pintu terbuka, mendapati seorang wanita paruh baya tengah berdiri dihadapannya."Non, Nyonya bilang Non Karel harus segar bangun. Karena harus sekolah," jelasnya.Karel mengangguk tak bersemangat saat mendengar penjelasan itu. Ya, sekolah. Rasanya begitu malas untuk sekolah. Bisa tidak, menghentikan waktu agak beberapa jam ... agar ia bisa kembali tidur."Iya Bik, aku ambil ponsel dulu," ujarnya.Kembali ke dalam kamar. Merapikan rambutnya dan menyambar benda pipih yang ada di kasur. Kemudian segera kelua
Seharian hanya menangis sepuasnya. Kebiasaannya memang begini bahkan dari saat ia tahu rasanya sedih. Setidaknya saat semua tangis ia keluarkan, setelah itu hatinya lumayan akan jauh lebih baik. Turun ke lantai bawah setelah mandi dan berbenah diri. Duduk di sofa sambil menonton televisi. Tak lama terdengar suara deru mobil yang memasuki area pekarangan rumah. Yap, papanya pulang. Terdengar derap langkah memasuki rumah dan berjalan mengarah padanya yang masih duduk. Pandangannya beralih pada sosok yang memberikan tatapan dingin padanya. Karel beranjak dari posisi duduknya. Menyambar kemudian mencium punggung tangan laki laki paruh baya itu. "Papa ..." "Ini yang kamu mau?!" "Aku ..." "Sekarang kamu yang harus mendengarkan papa, Karel!" Bentakan papanya membuat Karel seketika terdiam. Bahkan matanya sampai terpejam saat suara bass itu tertuju padanya. "Sudah berapa kali Papa bilang untuk bersikap layaknya an
Selesai berdebat bahkan sebuah tamparan ia terima dari papanya. Jangan berpikir jika sikap itu bisa ia lupakan begitu saja. Bahkan ia tak berniat melupakan itu semua, karena yang melakukan adalah papanya sendiri.Kurang apa ia selama ini sebagai seorang anak? Pintar, penurut, berprestasi, yang kemana mana harus dapat ijin ... semua sudah dilakukannya demi mewujudkan keinginan papanya. Hanya demi mendapatkan perhatian dari laki laki paruh baya itu. Tapi semua percuma.Masih menangis, meskipun ia tak ingin menangis. Toh, menangis sejadi jadinya pun tak akan mengubah hati papanya. Tetap ia yang salah dan jadi anak yang tak diinginkan.Mengambil sebuah bingkai foto yang ada di nakas. Mengusap lembut gambaran seorang wanita yang sedang tersenyum."Apa aku memang tak diinginkan untuk lahir ke dunia ini? Aku bingung dengan sikap Papa. Setidaknya jika ada sebuah penjelasan, mungkin aku bisa berbenah diri demi mewujudkan apa yang Papa mau. Tapi alasan itu tak ku d
Keduanya masuk ke dalam mobil dan berlalu dari sana. Diam, hanya itulah yang terjadi sepanjang perjalanan hingga sampai di rumah.Baru sampai di pintu masuk, di sana sudah ada Arland dan Kiran yang ternyata sudah menunggu."Karel, kamu kenapa, Sayang?" tanya Kiran melihat wajah sembab Karel yang tentu saja ia paham kalau dia habis menangis.Karel langsung saja memeluk Kiran. Tak memiliki seorang Mama, setidaknya ada sosok Kiran yang selalu membuatnya merasa nyaman dan bisa melepaskan rasa keinginannya akan pelukan seorang Mama."Ada apa?" Giliran Arland yang bertanya pada putranya.Bukan apa-apa, hanya saja keduanya merasa kepikiran sedari tadi. Karena saat sampai di rumah, setelah mendapatkan telepon, Ziel langsung bergegas pergi dengan raut khawatir."Om Leo benar benar membuatku emosi. Karel ku bawa ke sini," ungkapnya singkat."Apa yang dia lakukan?" tanya Arland."Aku istirahat sebenta
"Antusias banget mau tahu alasanku begitu baik padamu." Ziel tersenyum melihat reaksi Karel yang menurutnya tak biasa."Jadi?""Tentu saja karena ..." Ziel menghentikan kata katanya. Kemudian melirik jam di nakas. "Ini sudah larut malam, Rel. Sebaiknya kamu tidur sekarang, ya."Berasa dipermainkan oleh makhluk yang ada dihadapannya ini. Padahal kan ia penasaran. Jangan jangan Ziel baik padanya karena ada maunya. Misalnya, mau mengambil ginjalnya untuk dijual atau mau mengambil bola matanya."Kenapa wajahmu begitu?" tanya Ziel heran melihat wajah cemberut Karel."Kakak masih bertanya kenapa wajahku begini? Harusnya kamu paham situasi dan kondisi. Ish ... kamu nggak peka sekali jadi cowok," ocehnya memberengut kesal akan sikap Ziel.Ziel menyambar tangan Karel yang hendak memukul dadanya, kemudian menahan agar tak bisa bergerak. Tak sampai di situ, ia
"Kalian berdua masih mau lanjut?" tanya Arland membubarkan adegan aneh dua sejoli itu."Aku siap siap dulu," ujar Karel langsung berlalu dari hadapan Ziel dengan langkah cepat. Takut pada Ziel dan takut telat juga untuk berangkat sekolah.Sementara Ziel, melihat reaksi Karel malah membuatnya tersenyum di sudut bibrinya. Kenapa dia jadi secanggung itu? Apa karena memikirkan perkataan dan sikapnya semalam? Begitu besarkah pengaruh kejadian semalam pada dia?"Papa nggak ke rumah sakit?" tanya Ziel mendapati papanya masih dengan pakaian rumahan."Hari ini Papa sama Mama mau ke rumah Kakek nenek kamu," jawab Arland.Dahi Kiran berkerut pertanda bingung dengan alasan yang dikatakan suaminya. "Kok nemuin Mama sama Papa, sih. Kita, kan mau ke ..." Seketika Kiran menyadari sesuatu saat mendapatkan tatapan menohok dari suaminya. Kemudian sedikit tertawa. "Hmm ... oiya. Mama s
“Ternyata manis juga, ya,” ujar Ziel tersenyum, sesaat setelah Karel memaksa ciuman itu terlepas.“Kamu jahat, Kak,” berengut Karel dengan wajah kesal langsung bangkit dari posisinya yang masih berada di atas badan Ziel. Dengan cepat langsung menyambar tas sekolahnya dan berlalu pergi begitu saja.Ziel malah tersenyum puas saat melihat aksi cemberut Karel atas sikapnya.“Dia ngambek,” ujarnya bangun.Menyambar kunci mobil dan ponselnya di meja. Kemudian segera berlalu menyusul Karel yang sudah lebih dulu menuju mobil.Waktunya sudah mepet, jika menunggu taksi, bisa bisa ia beneran telat nyampe sekolah. Alhasil, rasa kesalnya pada Ziel akan ia tahan untuk beberapa menit perjalanan.“Kamu kenapa, sih?” tanya Ziel tak langsung melajukan mobilnya.“Jangan banyak nanya. Buruan jalan ... nanti aku telat,” responnya masih dengan nada kesal.Dia pikir sikapnya tadi bisa dilupa
Giska kembali menghampiri Karel dengan muka cemberutnya.“Mana buahnya?” tanya Karel.“Dimakan noh sama Kak Davian,” jawab Giska sambil menghempaskan bokongnya duduk di kursi.“Lah,” keluh Karel.Giska menatap fokus pada Karel. “Trus gimana? Lo bantuin gue sama Puja. Kita udah sahabatan lama, El … masa gara-gara perkara beginian sampai musuhan.”Karel bukannya bingung, tapi ia takut jika kedua sahabatnya berpikiran yang tidak-tidak tentangnya. Puja menyukai Davi, tapi Davi lebih mendekati Giska. Mereka berdua sahabatnya, makanya ia jadi bingung.“Gue nggak ada niatan sama sekali bikin Puja sakit hati. Dia mau gue hapus kontaknya Kak Davi, gue mau. Minta gue jangan dekat-dekat, oke nggak apa-apa. Tapi Puja nya nggak mau bicara sama gue.”Giska langsung menangis saat bicara. Ya bagaimana tak sedih, jika yang kesal dan marah padanya adalah sahabatnya sendiri.“Lo jangan nangis dong, Giska.”“Gue sedih tahu nggak.”“Apa gue minta Puja datang ke sini buat bicarain semua?”“Tadi pagi aja di
Dari jam pagi sampai jam pelajaran akhir, serasa benar-benar panjang. Biasanya ada Puja dan Karel. Sekarang ia hanya sendirian. Ada Puja, tapi malah sedang kesal padanya. Setiap diajak bicara, malah seolah menghindar.Sampai di dalam mobil, Giska menelepon mamanya.“Hallo, Ma.”“Ya, Nak?”“Aku pulangnya agak telat, ya, Ma. Soalnya mau main kerumahnya Karel. Tadi dia nggak masuk karena nggak enak badan, jadi aku mau jenguk.”“Iya, hati-hati, ya. Titip salam dari Mama buat Karel.”Selesai meminta izin, barulah Giska memutuskan untuk segera berlalu dari sana … meninggalkan area parkiran sekolah menuju rumah keluarga Ziel.Dalam perjalanan, ponselnya berdering. Terlihat nama Davian yang tertera. Benar-benar malas rasanya untuk menjawab, apalagi setelah peperangannya dan Puja tadi.Pada akhirnya ia biarkan benda pipih itu diam dengan sendirinya. Mau meriject, malah nggak enak. Ntar dikira sengaja. Kalau dibiarkan, kan dia pasti menyangka kalau dirinya masih ada kelas.Pak satpam membukakan
Pagi harinya, Ziel bergegas turun dan langsung menuju ke arah meja makan. Tak duduk, tapi justru hanya menyambar satu lembar roti tawar dan meneguk segelas green tea.“Loh, Aden nggak sarapan?” tanya Bibik.“Udah, Bik. Aku buru-buru,” jawabnya.“Loh, kok nggak makan?” Giliran Kiran yang baru datang dari arah teras samping bertanya. “Karel mana?”“Aku ada pertemuan pagi ini, Ma. Semalam juga sudah bilang bisa sama Davi. Karel masih di kamar, masih tidur … jangan dibangunin. Aku kasih izin libur hari ini.”“Tapi, Zi …”Ziel menyambar dan mencium punggung tangan Kiran.“Dah, Ma … aku berangkat.”Kiran hanya bisa menarik napas panjang, menatap kepergian putranya hingga keluar dari rumah.“Ada apa?” tanya Arland yang baru keluar dari kamar dan duduk di kursi yang ada di meja makan.“Ziel, udah berangkat.”“Tumben pagi-pagi.”“Katanya ada pertemuan pagi ini dan semalam udah mastiin sama Davi.”“Karelyn?”“Dia kasih izin libur satu hari,” jawab Kiran dengan senyuman.Sementara Karel di kamar
Keduanya menuju rumah sakit. Seperti yang sudah dijanjikan, bahwa hari ini Karel akan melakukan cek-up secara menyeluruh. Lebih cepat mengetahui seberapa parah sakit yang dia alami, itu justru semakin baik. Karena mencegah lebih baik daripada mengobati saat semua sudah berada di titik parah.“Nanti kalau lulus, aku boleh lanjut kuliah, kan?” tanya Karel.“Tentu saja. Kalau kamu nggak maupun, akan aku yang paksa.”Karel sampai tertawa mendengarnya. “Suami macam apa yang melakukan tindakan pemaksaan pada istrinya.”“Kan aku memaksa ke jalan yang benar, bukan pada kesesatan, Sayang. Ilmu itu penting. Dan aku nggak mau hanya karena status pernikahan, membuatmu sampai stop untuk lanjut kuliah.”Dengar, kan. Orang pinter ngomongnya gitu, ya. Apa-apa bahasannya pasti perkara menuntut ilmu, belajar, dan perkara otak. Udah nikah saja masih tetap membahasa perkara pendidikan.“Boleh ke luar negri?” tanya Karel langsung pada titik pertanyaan yang paling inti.Seketika Ziel menghentikan laju kend
Karel menyodorkan sebuah map pada Ziel yang langsung dia terima.“Kakak dari mana? Katanya mau tidur, mau istirahat. Tetap aja pas aku nyampe rumah, kamunya baru balik.” langsung mengomel mode emak-emak.“Nganterin tante ke bandara.”“Lah, udah balik?”“Udah,” jawab Ziel.“Padahal aku belum ngobrol banyak. Malah udah pada bubar semua,” gerutunya dengan wajah cemberut. Kemudian berlalu dari hadapan Ziel dan langsung masuk ke dalam rumah dengan pintu yang tampak terbuka lebar.“Kenapa, sih … pulang sekolah langsung cemberut?” tanya Kiran yang baru datang dari arah teras samping.Karel yang tadinya berniat langsung menuju ke arah kamar, beralih menghampiri Kiran. Menyambar dan mencium punggung tangan wanita paruh baya itu.“Kenapa semua udah pada balik? Kan kita belum ngobrol banyak.”“Ngobrolnya ntar denganku saja,” sahut Ziel terkekeh, kemudian melanjutkan langkahnya menuju lantai atas.“Jangan ke ruang kerja ya, Kak … aku beneran mau bicara loh!”Tak ada sahutan dari Ziel. Oke, itu ar
Pulang sekolah, seperti apa yang dikatakan oleh Ziel padanya. Hanya saja saat hendak menelepon, tiba-tiba Giska menawarinya untuk pulang bareng. Karena dari sekolah, Giska akan mampir ke rumahnya yang lama untuk menjemput Bibik.“Gimana? Ini kebetulan gue mau jemput Bibik ke tempat papa. Kan satu arah.”“Gue duluan, ya,” ujar Puja pada Giska dan Karel, kemudian langsung saja menyelonong pergi meninggalkan keduanya.Keduanya sampai saling pandang karena bingung harus bersikap seperti apa.“Hati-hati, Ja!” teriak Giska.Karel sampai tersenyum menanggapi sikap dan balasan Giska pada Puja. Padahal harusnya kesal, kan … tapi ini malah dibawa candaan.“Gue nggak merasa bersalah. Jadi abaikan saja kekesalan dia yang nggak jelas itu,” gumam Giska.“Ayok, gue bareng lo,” ujar Karel menyetujui ajakan Giska. Setidaknya ia tak mengganggu jam istirahat Ziel. Semoga saja dia benar-benar istirahat. Agak curiga, seseorang dengan jam bisnis kelas sibuk begitu mana mau disuruh istirahat dengan santai.
Jam pelajaran kedua selesai, guru juga sudah meninggalkan area kelas.“Ke kantin, yuk,” ajak Giska pada Karel dan Puja. Serius, ya … ia sebenarnya masih mode kesal pada Puja. Hanya saja berusaha jika masalahnya dan sobatnya tak terus berlanjut. Terserah dia mau marah atau apa, yang jelas ia sudah berusaha untuk tetap baik. Karena ia merasa tak salah.“Gue ikut, ya … tapi minum doang,” jawab Karel beranjak dari posisi duduknya. Peringatan dari Ziel dan papa mertuanya membuatnya harus pilah pilih makanan mulai sekarang, Apalagi makanan cepat saji.“Yok, Ja,” ajak Giska.“Kalian duluan aja, gue mau ke toilet bentar,” respon Puja dengan wajah tak bersahabat, kemudian berlalu pergi begitu saja dari hadapan Karel dan Giska.Tadinya masih tenang, tapi balasan dan sikap Puja barusan sukses membuat Giska seketika emosi.“Lo liat, kan, El. Dia kenapa, sih? Sumpah, ya. Paling kesal tuh kalau diacuhkan dan dicuekin tanpa tahu sebabnya apa. Perasaan gue nggak ada lakuin hal yang bikin dia kesal,
Langsung bergegas menuju ruang kelas, saat sampai sudah me dapati Giska dan juga Puja di sana. Mereka fokus pada buku dihadapan masing-masing.Melihat Karel yang datang, keduanya langsung heboh dan kegirangan. Ya apalagi, pasti keduanya akan membahas hal yang-tidak lagi.“El, gimana gimana?” tanya Puja bersemangat.“Heh, apanya yang gimana?”“Duh, sok lugu lagi. Yang kita berdua pertanyakan, gimana semalam. Lancar? Aman? Jebol nggak?”Seketika tangan Karel dengan cepat memberikan sentilan pada masing-masing jidat sobatnya itu. Bisa-bisanya mereka membahas hal yang sangat-sangat privasi itu di sekolah, bahkan di detik-detik menuju ulangan.“Kalian berdua ya ampun. Kenapa gue nyampe sekolah malah nanyain hal itu. Trus kalau gue bilang, kalian penasaran dan nyobain. Memangnya sudah ada objeknya?”“Dih, pelit amat sih, El. Kan buat berbagi pengalaman aja. Biar kapan-kapan kita berdua mau praktek, nggak kaget-kaget banget,” balas Puja dengan muka mesumnya.“Apa yang mau gue ceritain, kan k
“Aneh banget loh Kak Davian,” ujar Karel pada Ziel ketika keduanya turun menuju lantai bawah.“Aneh gimana?” tanya Ziel.“Masa dia nanyain alamatnya Giska.”“Buat apa?”“Katanya mau balikin ponsel milik Giska yang ketinggalan di cafe semalam.”Ziel mengarahkan pandangannya pada Karel, seolah ikut bingung dengan apa yang dikatakan oleh Karel.“Iya, Kak. Beneran gitu. Aku aja bingung. Pas ku tanya, kok bisa? Tapi dia nggak ngasih penjelasan.”Lanjut berjalan hingga keduanya sampai di bawah. Langsung menuju ruang makan. Ternyata di sana sudah ada semuanya.“Ya ampun, masih pagi buta sudah bangun aja ini pengantin baru. Padahal kami pikir nggak bakalan bangun seharian,” ujar Linzy dengan sengaja meledek Karel dan Ziel yang baru datang.Alvin sampai memberikan pelototan tajam pada putrinya itu. Sudah jadi hal yang lumrah, dua putrinya memang rada ceplas-ceplos.“Aku juga berpikir demikian, masalahnya mataku mengantuk berat. Tapi tahu sendiri kalau hari ini sekolah dan …” Melirik sedikit ke