Karel yang tadinya tidur, tiba-tiba terbangun ketika mendengar suara orang-orang yang tengah mengobrol. Matanya mengantuk, bahkan terasa perih untuk melek, hanya saja berusaha untuk bangun.Duduk dan menatap ke sekeliling. Ia dapati adanya Kiran, Arland dan Ziel sedang mengobrol.“Sudah pagi, ya,” gumamnya perlahan mengedarkan pandangannya ke sekeliling.Pandangan Ziel terarah padanya, kemudian tersenyum simpul. “Sudah bangun.”Beranjak dari posisinya dan berjalan gontai, hendak menghampiri ketiganya yang berada dekat tempat tidur Ziel. Hanya saja karena masih mode ngantuk dan belum bangun sempurna, seketika ia mengaduh karena lututnya menabrak sudut meja kaca yang jelas-jelas ada di depan langkahnya.“Ya ampun, Karel. Hati-hati dong, Nak.” Kiran langsung menghampiri Karel yang tampak mengaduh dan meringis memegangi lutut.Ziel spontan bangun dari posisi tidurnya, hanya saja tertahan ketika merasakan sakit di kepalanya saat bangun.“Nggak apa-apa, kan?” tanya Ziel.“Nggak,” jawab Kare
Karel kembali masuk ke dalam ruangan Ziel. Tadi masih mode santai, tapi sekarang karena tahu kenapa Ziel ngambek, ia malah takut berhadapan dengan dia.Ziel memang tak pernah membahas perihal masalah cowok yang berada di sekitarnya. Pun selama ini ia juga tak tahu, kan … seperti apa perasaan dia sebenarnya yang menganggap dirinya layaknya seorang adik. Hanya saja maaf, jika tanpa sengaja dirinya mendengar semua pembicaraan antara Kiran dan Ziel semalam.Kaget, shock dan semua rasa bercampur aduk ketika semua yang ia dengar dari Ziel, seolah membuatnya tak percaya. Berpikir jika selama ini hanya dirinya yang terkesan memendam rasa yang berbeda, tapi ternyata Ziel juga sama.Berjalan menghampiri sosok yang masih fokus pada tab yang ada dihadapan dia. Seakan benar-benar merasa kesal pada dirinya. Padahal ia juga tak tahu apa permasalahan Arga yang di maksud oleh Giska.“Kak.”“Hmm,” sahut Ziel singkat. Hanya saja tanpa berniat mengarahkan pandangannya pada Karel yang berdiri di sampingny
Menarik napasnya dalam dan menetralisir deguban jantungnya tak tak beraturan. Benar-benar, pertanyaan Kiran lebih mengerikan daripada sikap bar-bar Ziel beberapa hari ini padanya.“Tante kenapa juga sampai nanya kayak gitu, sih. Horor banget,” gumamnya masih bergidik ngeri.Langsung menuju ke arah kamar mandi dan membersihkan diri. Dari kemarin ia belum mandi dan sekarang rasanya serasa isi otaknya begitu tenang. Seakan masalah ikut terangkat kesiram air.Berniat untuk tidur, tapi seketika ia teringat akan papanya. Membuat hatinya kembali merasa sesak.“Papa sekarang lagi ngapain, ya? Apa papa nggak penasaran dengan kondisiku?”Menyambar ponselnya dan berniat untuk menelepon laki-laki paruh baya itu. Hanya saja rasanya masih takut jika panggilannya tak direspon. Yakin jika dirinya masih diingat sebagai anak? Atau jangan-jangan sudah dilupakan begitu saja karena saking bencinya?“Atau chat aja, ya,” gumamnya berpikir. “Yaudah, langsung telpon ajalah. Terserah papa mau marah, ngomel ata
Kiran begitu panik dengan keadaan Karel. Darah terus mengalir dari telapak tangan dia. Ia pikir hanya luka gores, ternyata benda tajam itu benar-benar melukai tangan dia. Rasanya begitu mencekam baginya menghadapi kondisi seperti ini. Ditambah lagi di dalam rumah hanya dirinya dan bibik.“Bik, ambil kotak obat, ya. Sekalian … pokoknya semua obat-obatan!” histerisnya sampai bingung harus melakukan tindakan seperti apa.Wanita paruh baya itu langsung melakukan apa yang diminta oleh majikannya. Segera berlari keluar dari sana dan mengambil kotak obat-obatan yang ada di dalam lemari. membersihkan luka dan darah di telapak tangan Karel.“Nak, darahnya nggak berhenti.” Tangis Kiran semakin menjadi, ketika cairan kental berwarna merah itu seakan terus mengalir keluar dari luka di telapak tangan Karel. Bahkan menetes di lantai yang saat itu masih berserakan pecahan kaca.Kiran histeris bahkan menangis, sementara Karel seolah tak memperdulikan kondisi luka di telapak tangan dan pergelangan ta
Seperti apa yang pernah dikatakan Ziel, melihat dan mendapati seseorang yang kita cintai dalam keadaan sakit, itulah sakit yang sebenarnya.Terkadang nasib suka mempermainkan sebuah keteguhan hati, hingga suka sekali mengajak bercanda dengan hal itu. Tahu jika dirinya tak bisa jika Karel sakit atau terluka, sekarang malah menghadapkannya pada situasi itu.Memegang kepalanya saat rasa nyeri seperti sedang ikut datang di waktu yang tak tepat. Ingin fokus pada dia, kenapa rasanya justru membuatnya ikut merasa sakit.“Ada apa?” tanya Davi melihat reaksi Ziel yang tampak meringis sambil memegangi kepalanya di bagian belakang.Ziel hanya menggelang menjawab pertanyaan itu dan kembali bersikap baik-baik saja.“Kamu balik ke ruang rawatmu, ya. Kondisimu masih belum pulih, Zi. Kalau terus dipaksakan, bisa-bisa …”“Aku baik-baik saja, Pa. Jangan terlalu fokus padaku,” sanggahnya langsung atas saran papanya. “Sebelum aku tahu kondisi Karel, jangan memaksaku untuk pergi kemana-mana.”Kiran masih
Arland dan Davian berada di sebuah ruang perawatan. Ya, Karel sudah dipindahkan setelah dokter menyatakan jika kondisi gadis itu merespon dengan baik.Luka fisik sepertinya akan pulih dengan cepat, tinggal menunggu Karel sadar karena efek obat bius juga. Hanya saja dokter seolah memperingatkan kalau Karel sepertinya mengalami hal yang mengganggu pemikiran dia. Hingga efeknya membuat tekanan darah yang terkadang naik tiba-tiba, bahkan detak jantung dia seolah tak beraturan.“Apa ada hal lain yang membuatmu berpikiran seperti itu?” tanya Arland ketika berbicara dengan dokter yang menangani Karel, saat mengecek kondisi dia.“Aku nggak bisa memastikan, tapi sepertinya dia mengalami tekanan hingga membuatnya mentalnya seperti terus dia ajak untuk baik-baik saja, tapi pada kenyataannya justru sebaliknya.”“Maksudnya?”“Karel memaksa dirinya untuk terlihat baik di depan kita semua, di depan semua orang, tapi pada kenyatannya pikiran dia sedang berkecamuk. Paham, kan?”Arland diam. Ia memaham
Langsung masuk ke dalam ruangan yang sudah diberitahukan oleh Davian. Tampak pandangan tertuju padanya karena datang tiba-tiba.“Zi, kamu kok malah ke sini,” komentar Arland malah dibuat kaget karena kondisi Ziel yang masih belum membaik, untuk kedua kalinya melarikan diri dari ruangan dia.“Kabur lagi, ya,” ujar dokter Reza menebak. Karena kalau meminta izin, untuk kondisi Ziel sepertinya tak akan diberikan.Ziel tak fokus pada papanya dan dokter Reza, karena yang jadi pemikirannya sedari tadi adalah Karelyn. Gadis itu tampak terlelap dengan luka di tangan dia yang tampak tertutup perban.“Dia kukuh ingin bertemu denganmu. Padahal kondisinya benar-benar belum membaik. Hanya penenang, sebentar lagi dia akan kembali sadar,” jelas Arland pada Ziel.Reza menyambar lengan Ziel yang duduk di kursi, kemudian mengecek kondisi dia. Lega, karena ternyata hasilnya sudah lumayan baik.“Jaga emosi. Kalau tidak, kondisimu nggak akan membaik.”Reza segera berlalu dari sana setelah pamit pada Arland
Arland dan Kiran kembali ke ruangan Karel. Mengingat kondisi Ziel juga masih belum stabil, keduanya berpikir untuk meminta dia kembali ke ruangannya. Hanya saja sampai di sana, justru malah mendapati adegan manis antara Karel dan Ziel.Kiran yang membuka pintu, kembali menutup dan memilih untuk keluar.“Kenapa?” tanya Arland ketika Kiran malah menutup kembali pintu.“Bisa aku minta tolong?”“Ya?”“Tas ku ketinggalan di ruangan Ziel. Davi juga lagi keluar kamu minta beliin makanan, kan,” terangnya.Arland mengangguk. “Aku ambil bentar, ya.”Jadilah, Arland kembali ke ruangan rawat Ziel, sedangkan Kiran memilih untuk duduk di kursi tunggu. Setidaknya ketika suaminya kembali, di dalam sudah mode aman.Selang beberapa menit, Arland kembali dengan tas milik Kiran di tangannya. Pun bertepatan dengan Davian yang membawa makanan yang barusan dia beli.Ketiganya masuk, disambut senyuman manis dari Karel. Ingin tak percaya, tapi harus diakui jika Ziel itu memang membawa pengaruh besar pada dia.
Giska kembali menghampiri Karel dengan muka cemberutnya.“Mana buahnya?” tanya Karel.“Dimakan noh sama Kak Davian,” jawab Giska sambil menghempaskan bokongnya duduk di kursi.“Lah,” keluh Karel.Giska menatap fokus pada Karel. “Trus gimana? Lo bantuin gue sama Puja. Kita udah sahabatan lama, El … masa gara-gara perkara beginian sampai musuhan.”Karel bukannya bingung, tapi ia takut jika kedua sahabatnya berpikiran yang tidak-tidak tentangnya. Puja menyukai Davi, tapi Davi lebih mendekati Giska. Mereka berdua sahabatnya, makanya ia jadi bingung.“Gue nggak ada niatan sama sekali bikin Puja sakit hati. Dia mau gue hapus kontaknya Kak Davi, gue mau. Minta gue jangan dekat-dekat, oke nggak apa-apa. Tapi Puja nya nggak mau bicara sama gue.”Giska langsung menangis saat bicara. Ya bagaimana tak sedih, jika yang kesal dan marah padanya adalah sahabatnya sendiri.“Lo jangan nangis dong, Giska.”“Gue sedih tahu nggak.”“Apa gue minta Puja datang ke sini buat bicarain semua?”“Tadi pagi aja di
Dari jam pagi sampai jam pelajaran akhir, serasa benar-benar panjang. Biasanya ada Puja dan Karel. Sekarang ia hanya sendirian. Ada Puja, tapi malah sedang kesal padanya. Setiap diajak bicara, malah seolah menghindar.Sampai di dalam mobil, Giska menelepon mamanya.“Hallo, Ma.”“Ya, Nak?”“Aku pulangnya agak telat, ya, Ma. Soalnya mau main kerumahnya Karel. Tadi dia nggak masuk karena nggak enak badan, jadi aku mau jenguk.”“Iya, hati-hati, ya. Titip salam dari Mama buat Karel.”Selesai meminta izin, barulah Giska memutuskan untuk segera berlalu dari sana … meninggalkan area parkiran sekolah menuju rumah keluarga Ziel.Dalam perjalanan, ponselnya berdering. Terlihat nama Davian yang tertera. Benar-benar malas rasanya untuk menjawab, apalagi setelah peperangannya dan Puja tadi.Pada akhirnya ia biarkan benda pipih itu diam dengan sendirinya. Mau meriject, malah nggak enak. Ntar dikira sengaja. Kalau dibiarkan, kan dia pasti menyangka kalau dirinya masih ada kelas.Pak satpam membukakan
Pagi harinya, Ziel bergegas turun dan langsung menuju ke arah meja makan. Tak duduk, tapi justru hanya menyambar satu lembar roti tawar dan meneguk segelas green tea.“Loh, Aden nggak sarapan?” tanya Bibik.“Udah, Bik. Aku buru-buru,” jawabnya.“Loh, kok nggak makan?” Giliran Kiran yang baru datang dari arah teras samping bertanya. “Karel mana?”“Aku ada pertemuan pagi ini, Ma. Semalam juga sudah bilang bisa sama Davi. Karel masih di kamar, masih tidur … jangan dibangunin. Aku kasih izin libur hari ini.”“Tapi, Zi …”Ziel menyambar dan mencium punggung tangan Kiran.“Dah, Ma … aku berangkat.”Kiran hanya bisa menarik napas panjang, menatap kepergian putranya hingga keluar dari rumah.“Ada apa?” tanya Arland yang baru keluar dari kamar dan duduk di kursi yang ada di meja makan.“Ziel, udah berangkat.”“Tumben pagi-pagi.”“Katanya ada pertemuan pagi ini dan semalam udah mastiin sama Davi.”“Karelyn?”“Dia kasih izin libur satu hari,” jawab Kiran dengan senyuman.Sementara Karel di kamar
Keduanya menuju rumah sakit. Seperti yang sudah dijanjikan, bahwa hari ini Karel akan melakukan cek-up secara menyeluruh. Lebih cepat mengetahui seberapa parah sakit yang dia alami, itu justru semakin baik. Karena mencegah lebih baik daripada mengobati saat semua sudah berada di titik parah.“Nanti kalau lulus, aku boleh lanjut kuliah, kan?” tanya Karel.“Tentu saja. Kalau kamu nggak maupun, akan aku yang paksa.”Karel sampai tertawa mendengarnya. “Suami macam apa yang melakukan tindakan pemaksaan pada istrinya.”“Kan aku memaksa ke jalan yang benar, bukan pada kesesatan, Sayang. Ilmu itu penting. Dan aku nggak mau hanya karena status pernikahan, membuatmu sampai stop untuk lanjut kuliah.”Dengar, kan. Orang pinter ngomongnya gitu, ya. Apa-apa bahasannya pasti perkara menuntut ilmu, belajar, dan perkara otak. Udah nikah saja masih tetap membahasa perkara pendidikan.“Boleh ke luar negri?” tanya Karel langsung pada titik pertanyaan yang paling inti.Seketika Ziel menghentikan laju kend
Karel menyodorkan sebuah map pada Ziel yang langsung dia terima.“Kakak dari mana? Katanya mau tidur, mau istirahat. Tetap aja pas aku nyampe rumah, kamunya baru balik.” langsung mengomel mode emak-emak.“Nganterin tante ke bandara.”“Lah, udah balik?”“Udah,” jawab Ziel.“Padahal aku belum ngobrol banyak. Malah udah pada bubar semua,” gerutunya dengan wajah cemberut. Kemudian berlalu dari hadapan Ziel dan langsung masuk ke dalam rumah dengan pintu yang tampak terbuka lebar.“Kenapa, sih … pulang sekolah langsung cemberut?” tanya Kiran yang baru datang dari arah teras samping.Karel yang tadinya berniat langsung menuju ke arah kamar, beralih menghampiri Kiran. Menyambar dan mencium punggung tangan wanita paruh baya itu.“Kenapa semua udah pada balik? Kan kita belum ngobrol banyak.”“Ngobrolnya ntar denganku saja,” sahut Ziel terkekeh, kemudian melanjutkan langkahnya menuju lantai atas.“Jangan ke ruang kerja ya, Kak … aku beneran mau bicara loh!”Tak ada sahutan dari Ziel. Oke, itu ar
Pulang sekolah, seperti apa yang dikatakan oleh Ziel padanya. Hanya saja saat hendak menelepon, tiba-tiba Giska menawarinya untuk pulang bareng. Karena dari sekolah, Giska akan mampir ke rumahnya yang lama untuk menjemput Bibik.“Gimana? Ini kebetulan gue mau jemput Bibik ke tempat papa. Kan satu arah.”“Gue duluan, ya,” ujar Puja pada Giska dan Karel, kemudian langsung saja menyelonong pergi meninggalkan keduanya.Keduanya sampai saling pandang karena bingung harus bersikap seperti apa.“Hati-hati, Ja!” teriak Giska.Karel sampai tersenyum menanggapi sikap dan balasan Giska pada Puja. Padahal harusnya kesal, kan … tapi ini malah dibawa candaan.“Gue nggak merasa bersalah. Jadi abaikan saja kekesalan dia yang nggak jelas itu,” gumam Giska.“Ayok, gue bareng lo,” ujar Karel menyetujui ajakan Giska. Setidaknya ia tak mengganggu jam istirahat Ziel. Semoga saja dia benar-benar istirahat. Agak curiga, seseorang dengan jam bisnis kelas sibuk begitu mana mau disuruh istirahat dengan santai.
Jam pelajaran kedua selesai, guru juga sudah meninggalkan area kelas.“Ke kantin, yuk,” ajak Giska pada Karel dan Puja. Serius, ya … ia sebenarnya masih mode kesal pada Puja. Hanya saja berusaha jika masalahnya dan sobatnya tak terus berlanjut. Terserah dia mau marah atau apa, yang jelas ia sudah berusaha untuk tetap baik. Karena ia merasa tak salah.“Gue ikut, ya … tapi minum doang,” jawab Karel beranjak dari posisi duduknya. Peringatan dari Ziel dan papa mertuanya membuatnya harus pilah pilih makanan mulai sekarang, Apalagi makanan cepat saji.“Yok, Ja,” ajak Giska.“Kalian duluan aja, gue mau ke toilet bentar,” respon Puja dengan wajah tak bersahabat, kemudian berlalu pergi begitu saja dari hadapan Karel dan Giska.Tadinya masih tenang, tapi balasan dan sikap Puja barusan sukses membuat Giska seketika emosi.“Lo liat, kan, El. Dia kenapa, sih? Sumpah, ya. Paling kesal tuh kalau diacuhkan dan dicuekin tanpa tahu sebabnya apa. Perasaan gue nggak ada lakuin hal yang bikin dia kesal,
Langsung bergegas menuju ruang kelas, saat sampai sudah me dapati Giska dan juga Puja di sana. Mereka fokus pada buku dihadapan masing-masing.Melihat Karel yang datang, keduanya langsung heboh dan kegirangan. Ya apalagi, pasti keduanya akan membahas hal yang-tidak lagi.“El, gimana gimana?” tanya Puja bersemangat.“Heh, apanya yang gimana?”“Duh, sok lugu lagi. Yang kita berdua pertanyakan, gimana semalam. Lancar? Aman? Jebol nggak?”Seketika tangan Karel dengan cepat memberikan sentilan pada masing-masing jidat sobatnya itu. Bisa-bisanya mereka membahas hal yang sangat-sangat privasi itu di sekolah, bahkan di detik-detik menuju ulangan.“Kalian berdua ya ampun. Kenapa gue nyampe sekolah malah nanyain hal itu. Trus kalau gue bilang, kalian penasaran dan nyobain. Memangnya sudah ada objeknya?”“Dih, pelit amat sih, El. Kan buat berbagi pengalaman aja. Biar kapan-kapan kita berdua mau praktek, nggak kaget-kaget banget,” balas Puja dengan muka mesumnya.“Apa yang mau gue ceritain, kan k
“Aneh banget loh Kak Davian,” ujar Karel pada Ziel ketika keduanya turun menuju lantai bawah.“Aneh gimana?” tanya Ziel.“Masa dia nanyain alamatnya Giska.”“Buat apa?”“Katanya mau balikin ponsel milik Giska yang ketinggalan di cafe semalam.”Ziel mengarahkan pandangannya pada Karel, seolah ikut bingung dengan apa yang dikatakan oleh Karel.“Iya, Kak. Beneran gitu. Aku aja bingung. Pas ku tanya, kok bisa? Tapi dia nggak ngasih penjelasan.”Lanjut berjalan hingga keduanya sampai di bawah. Langsung menuju ruang makan. Ternyata di sana sudah ada semuanya.“Ya ampun, masih pagi buta sudah bangun aja ini pengantin baru. Padahal kami pikir nggak bakalan bangun seharian,” ujar Linzy dengan sengaja meledek Karel dan Ziel yang baru datang.Alvin sampai memberikan pelototan tajam pada putrinya itu. Sudah jadi hal yang lumrah, dua putrinya memang rada ceplas-ceplos.“Aku juga berpikir demikian, masalahnya mataku mengantuk berat. Tapi tahu sendiri kalau hari ini sekolah dan …” Melirik sedikit ke