“Ternyata manis juga, ya,” ujar Ziel tersenyum, sesaat setelah Karel memaksa ciuman itu terlepas.
“Kamu jahat, Kak,” berengut Karel dengan wajah kesal langsung bangkit dari posisinya yang masih berada di atas badan Ziel. Dengan cepat langsung menyambar tas sekolahnya dan berlalu pergi begitu saja.
Ziel malah tersenyum puas saat melihat aksi cemberut Karel atas sikapnya.
“Dia ngambek,” ujarnya bangun.
Menyambar kunci mobil dan ponselnya di meja. Kemudian segera berlalu menyusul Karel yang sudah lebih dulu menuju mobil.
Waktunya sudah mepet, jika menunggu taksi, bisa bisa ia beneran telat nyampe sekolah. Alhasil, rasa kesalnya pada Ziel akan ia tahan untuk beberapa menit perjalanan.
“Kamu kenapa, sih?” tanya Ziel tak langsung melajukan mobilnya.
“Jangan banyak nanya. Buruan jalan ... nanti aku telat,” responnya masih dengan nada kesal.
Dia pikir sikapnya tadi bisa dilupa
“Dia masih di rumah,” ujar Arland saat turun dari mobil bersama Kiran.“iya,” sahut Kiran membenarkan perkataan suaminya, karena mendapati kendaraan milik Leo masih ada di halaman.Keduanya mengetuk pintu utama, hingga seseorang terdengar dengan langkah cepat mengarah ke pintu ... hingga akses masuk itu terbuka lebar.“Tuan, Nyonya,” ujar Bibik yang menyambut keduanya.“Leo mana, Bik?”“Ada di dalam, Tuan,” jawab wanita paruh baya itu mengarahkan.Arland dan Kiran langsung saja masuk, berjalan menemui Leo yang mereka dapati sedang duduk di ruang keluarga. Yang membuat keduanya kesal adalah ... putrinya kabur dari rumah, sedangkan dia masih sibuk mengurus pekerjaan.Memang benar tebakan Ziel, jika orang tuanya sedang berbohong perihal tujuan keduanya. Buktinya, saat ini ... sebelum menuju ke kantor, ia mampir di kediaman Leo karena curiga.Memarkirkan kendaraannya di lu
Ziel segera berlalu dari kediaman Leo dengan langkah cepat. Rasanya begitu panas terus berada dihadapan laki laki yang bahkan tak memiliki perasaan sama sekali.Setengah perjalanan, rasa hatinya masih saja tak tenang ... hingga akhirnya menghentikan laju kendaraannya. Mengambil sebuah botol kaca berukuran kecil di samping kursi dan mengeluarkan beberapa butir pil di dalamnya. Setidaknya ia merasa sedikit tenang dengan benda benda ini.Ponselnya berdering, saat ia lihat ternyata mamanya lah yang menelepon. Apalagi kalau bukan mempertanyakan tentang sikapnya tadi.“Ya, ma?”“Ziel, kamu di mana? Kita perlu bicara.”“Aku mau ke kantor. Nanti saja bicaranya di rumah, Ma.”“Tapi ini ...”“Daah, Ma.”Langsung saja menutup percakapan di ponsel, kemu
Seperti yang ia katakan tadi pagi, kalau hari ini akan ada pelajaran tambahan. Yap, tepat saat jam menunjukkan pukul 5 sore barulah kelas usai. Tak semua kelas, hanya saja terkhusus untuk siswa dan siswi kelas 3.Raut murung tercetak di wajah Karel saat keluar dari kelas. Sebuah amplop di tangannya, jadi masalah yang sedang ia pikirkan saat ini.Kebingungannya sedikit tersentak saat rengkuhan lengan Rena mencapai pundaknya.“Lo bawa mobil?” tanya Rena.“Gue tadi diantar, soalnya mobil lagi bermasalah,” jawabnya memberikan alasan.“Gue anter, ya,” ujar Puja.Tadinya ingin berkata tidak, tapi surat undangan di tangannya membuat pikirannya kembali berubah.“Oke,” jawabnya akan ajakan Puja.Jadilah, ia diantar oleh Puja. Seperti biasa, Puja paling berani hanya sekadar mengantar sampai pagar jika sore begini. Karena dia tahu, jika di waktu ini papanya ada di rumah.Puja dan Kare
Segera membawa Karel kembali pulang ke rumah. Jujur saja, hatinya begitu terasa teriris jika mendapati gadis ini terus menangis tanpa henti. Tak ada ada yang terucap dari bibir itu, hanya air mata dan isakan tangis yang jadi perantara.Turun dari mobil dan membawa gadis itu masuk. Yap, tatapan sendu, bahkan bulir air mata itu terus saja turun bergelinding di pipinya.Arland dan Kiran yang mendapati keduanya datang, segera menghampiri dengan raut cemas. Ya, cemas karena dari tadi keduanya menghubungi Ziel dan Karel, mereka bahkan tak menjawab panggilan telepon satupun.“Karelyn, kamu kenapa, Nak. Apa yang terjadi?” tanya Kiran cemas dan khawatir karena mendapati gadis itu datang dalam keadaan menangis. Bahkan matanya sembab.Tak mendapat jawaban dari Karel, kini pandangan Arland dan Kiran terarah pada Ziel.“Ada apa, Zi?”“Om sama Tante selama ini tahu, kan ... kenapa Papa mengabaikanku?”“Maks
Sudah satu jam ia menunggu kedua orang tuanya kembali, tapi belum ada tanda tanda mereka akan pulang. Mencoba menelpon pun justru keduanya tak ada yang merespon sama sekali.Ziel berjalan menuju dapur, menghampiri Bibik yang sedang beberes.“Bik.”“Ya, Den?”“Aku mau nyusul Mama Papa. Karel udah tidur, kalau ada apa apa langsung hubungi aku, ya,” jelasnya.“Baik, Den,” sahut wanita paruh baya itu paham.Ziel segera bergegas untuk pergi, tapi ketika hendak memasuki mobil, niatnya terhenti mendapati sebuah mobil yang memasuki area rumah. Ya, kendaraan milik orang tuanya.Mengurungkan niatnya dan menunggu di teras.“Papa sama Mama dari mana?”Tak mendapatkan jawaban, tapi melihat wajah mamanya, ia yakini jika wanita paruh baya itu habis mennagis. Matanya masih tampak merah.“Mama nangis?”“Ada sesuatu yang ingin papa bicarakan sama k
Matanya masih terpejam, saat jantungnya terasa berdetak tak karuan. Kejadian barusan, seakan benar-benar sudah berada di depan matanya.Sebuah sentuhan di kepalanya, membuat fokusnya langsung beralih. Membuka matanya dan kaget saat dihadapkan pada seseorang yang terlihat kesakitan dihadapannya.Ringisan itu membuatnya langsung kaget dan segera beranjak dari posisinya yang ternyata ia sadari berada di dekapan Ziel.“Kak Ziel, Kakak ... Kakak kenapa? Kakak baik-baik saja, kan,” tangisnya langsung pecah, apalagi saat mendapati darah segar mulai mengalir dari arah belakang kepala cowok yang tengah berada dalam pangkuannnya itu.“Jangan seperti ini, aku nggak mau kamu kenapa-kenapa, ku mohon.”Menangis sejadi jadinya ketika genggaman tangan Ziel di tangannya terasa semakin mengerat. Dia batuk, diiringi oleh darah yang keluar dari mulutnya hingga perlahan tangan itu melemah dan benar-benar tak sadarkan diri.“Ka
Dokter memberikan izin untuk bisa menemui Ziel di ruang ICU. Hanya saja tak boleh berbarengan, alias harus gantian. Kiran mendapat giliran yang pertama kali masuk dan menemui putranya. Lanjut dengan Arland dan hingga akhirnya Karel.Ragu, itulah yang dirasakan Karel saat hendak melangkah masuk menemui cowok itu. Tapi ia ingin benar benar memastikan terlebih dahulu, bagaiamana kondisi Ziel saat ini.“Sayang, kamu masuk dulu, ya. Om sama Tante mau menemui dokter,” ujar Kiran pada Karel saat gadis itu hendak masuk.“Iya, Tante.”Setelah mendapatkan ijin dari dokter, ia masuk diantar oleh seorang suster jaga. Tangannya gemetar, hawa dingin dan aroma obat-obatan yang makin kuat seakan menyerangnya. Saat melangkah masuk, hingga pintu ruangan itu terbuka ... suara monitor mulai terdengar di indera pendengarannya. Ya, suara yang menurutnya menak
Kiran mengarahkan pandangan pada Arland, seakan bingung mau menjawab pertanyaan yang dilontarkan Ziel. Seketika kembali menatap putranya sambil tersenyum.“Ziel, kamu masih lemah. Jangan banyak bicara dulu,” respon Kiran mengalihkan pertanyaan Ziel.“Dia nggak terluka, kan?” Menahan rasa sakit di kepalanya, tapi saat pertanyaannya perkara Karel tak mendapatkan jawaban, itu justru lebih menyakitkan. “Dia di mana?”“Zi, kamu tenang dulu,” sahut Arland berusaha menenangkan Ziel. Ia tak ingin jika kondisi putranya malah kembali buruk saat tahu kondisi sebenarnya. “Karel nggak kenapa-kenapa. Dia nggak terluka, karena kamu sudah berhasil menyelamatkann dia. Sekarang kamu tenang dan jangan banyak berpikir dulu.”Papanya bilang Karel tak kenapa-kenapa, tapi dia di mana? Kenapa dia tak ada di sini? Apa mereka berbohong.Ingin beranjak sebenarnya dari posisi ini, tapi rasanya benar-benar belum kuat.
Giska kembali menghampiri Karel dengan muka cemberutnya.“Mana buahnya?” tanya Karel.“Dimakan noh sama Kak Davian,” jawab Giska sambil menghempaskan bokongnya duduk di kursi.“Lah,” keluh Karel.Giska menatap fokus pada Karel. “Trus gimana? Lo bantuin gue sama Puja. Kita udah sahabatan lama, El … masa gara-gara perkara beginian sampai musuhan.”Karel bukannya bingung, tapi ia takut jika kedua sahabatnya berpikiran yang tidak-tidak tentangnya. Puja menyukai Davi, tapi Davi lebih mendekati Giska. Mereka berdua sahabatnya, makanya ia jadi bingung.“Gue nggak ada niatan sama sekali bikin Puja sakit hati. Dia mau gue hapus kontaknya Kak Davi, gue mau. Minta gue jangan dekat-dekat, oke nggak apa-apa. Tapi Puja nya nggak mau bicara sama gue.”Giska langsung menangis saat bicara. Ya bagaimana tak sedih, jika yang kesal dan marah padanya adalah sahabatnya sendiri.“Lo jangan nangis dong, Giska.”“Gue sedih tahu nggak.”“Apa gue minta Puja datang ke sini buat bicarain semua?”“Tadi pagi aja di
Dari jam pagi sampai jam pelajaran akhir, serasa benar-benar panjang. Biasanya ada Puja dan Karel. Sekarang ia hanya sendirian. Ada Puja, tapi malah sedang kesal padanya. Setiap diajak bicara, malah seolah menghindar.Sampai di dalam mobil, Giska menelepon mamanya.“Hallo, Ma.”“Ya, Nak?”“Aku pulangnya agak telat, ya, Ma. Soalnya mau main kerumahnya Karel. Tadi dia nggak masuk karena nggak enak badan, jadi aku mau jenguk.”“Iya, hati-hati, ya. Titip salam dari Mama buat Karel.”Selesai meminta izin, barulah Giska memutuskan untuk segera berlalu dari sana … meninggalkan area parkiran sekolah menuju rumah keluarga Ziel.Dalam perjalanan, ponselnya berdering. Terlihat nama Davian yang tertera. Benar-benar malas rasanya untuk menjawab, apalagi setelah peperangannya dan Puja tadi.Pada akhirnya ia biarkan benda pipih itu diam dengan sendirinya. Mau meriject, malah nggak enak. Ntar dikira sengaja. Kalau dibiarkan, kan dia pasti menyangka kalau dirinya masih ada kelas.Pak satpam membukakan
Pagi harinya, Ziel bergegas turun dan langsung menuju ke arah meja makan. Tak duduk, tapi justru hanya menyambar satu lembar roti tawar dan meneguk segelas green tea.“Loh, Aden nggak sarapan?” tanya Bibik.“Udah, Bik. Aku buru-buru,” jawabnya.“Loh, kok nggak makan?” Giliran Kiran yang baru datang dari arah teras samping bertanya. “Karel mana?”“Aku ada pertemuan pagi ini, Ma. Semalam juga sudah bilang bisa sama Davi. Karel masih di kamar, masih tidur … jangan dibangunin. Aku kasih izin libur hari ini.”“Tapi, Zi …”Ziel menyambar dan mencium punggung tangan Kiran.“Dah, Ma … aku berangkat.”Kiran hanya bisa menarik napas panjang, menatap kepergian putranya hingga keluar dari rumah.“Ada apa?” tanya Arland yang baru keluar dari kamar dan duduk di kursi yang ada di meja makan.“Ziel, udah berangkat.”“Tumben pagi-pagi.”“Katanya ada pertemuan pagi ini dan semalam udah mastiin sama Davi.”“Karelyn?”“Dia kasih izin libur satu hari,” jawab Kiran dengan senyuman.Sementara Karel di kamar
Keduanya menuju rumah sakit. Seperti yang sudah dijanjikan, bahwa hari ini Karel akan melakukan cek-up secara menyeluruh. Lebih cepat mengetahui seberapa parah sakit yang dia alami, itu justru semakin baik. Karena mencegah lebih baik daripada mengobati saat semua sudah berada di titik parah.“Nanti kalau lulus, aku boleh lanjut kuliah, kan?” tanya Karel.“Tentu saja. Kalau kamu nggak maupun, akan aku yang paksa.”Karel sampai tertawa mendengarnya. “Suami macam apa yang melakukan tindakan pemaksaan pada istrinya.”“Kan aku memaksa ke jalan yang benar, bukan pada kesesatan, Sayang. Ilmu itu penting. Dan aku nggak mau hanya karena status pernikahan, membuatmu sampai stop untuk lanjut kuliah.”Dengar, kan. Orang pinter ngomongnya gitu, ya. Apa-apa bahasannya pasti perkara menuntut ilmu, belajar, dan perkara otak. Udah nikah saja masih tetap membahasa perkara pendidikan.“Boleh ke luar negri?” tanya Karel langsung pada titik pertanyaan yang paling inti.Seketika Ziel menghentikan laju kend
Karel menyodorkan sebuah map pada Ziel yang langsung dia terima.“Kakak dari mana? Katanya mau tidur, mau istirahat. Tetap aja pas aku nyampe rumah, kamunya baru balik.” langsung mengomel mode emak-emak.“Nganterin tante ke bandara.”“Lah, udah balik?”“Udah,” jawab Ziel.“Padahal aku belum ngobrol banyak. Malah udah pada bubar semua,” gerutunya dengan wajah cemberut. Kemudian berlalu dari hadapan Ziel dan langsung masuk ke dalam rumah dengan pintu yang tampak terbuka lebar.“Kenapa, sih … pulang sekolah langsung cemberut?” tanya Kiran yang baru datang dari arah teras samping.Karel yang tadinya berniat langsung menuju ke arah kamar, beralih menghampiri Kiran. Menyambar dan mencium punggung tangan wanita paruh baya itu.“Kenapa semua udah pada balik? Kan kita belum ngobrol banyak.”“Ngobrolnya ntar denganku saja,” sahut Ziel terkekeh, kemudian melanjutkan langkahnya menuju lantai atas.“Jangan ke ruang kerja ya, Kak … aku beneran mau bicara loh!”Tak ada sahutan dari Ziel. Oke, itu ar
Pulang sekolah, seperti apa yang dikatakan oleh Ziel padanya. Hanya saja saat hendak menelepon, tiba-tiba Giska menawarinya untuk pulang bareng. Karena dari sekolah, Giska akan mampir ke rumahnya yang lama untuk menjemput Bibik.“Gimana? Ini kebetulan gue mau jemput Bibik ke tempat papa. Kan satu arah.”“Gue duluan, ya,” ujar Puja pada Giska dan Karel, kemudian langsung saja menyelonong pergi meninggalkan keduanya.Keduanya sampai saling pandang karena bingung harus bersikap seperti apa.“Hati-hati, Ja!” teriak Giska.Karel sampai tersenyum menanggapi sikap dan balasan Giska pada Puja. Padahal harusnya kesal, kan … tapi ini malah dibawa candaan.“Gue nggak merasa bersalah. Jadi abaikan saja kekesalan dia yang nggak jelas itu,” gumam Giska.“Ayok, gue bareng lo,” ujar Karel menyetujui ajakan Giska. Setidaknya ia tak mengganggu jam istirahat Ziel. Semoga saja dia benar-benar istirahat. Agak curiga, seseorang dengan jam bisnis kelas sibuk begitu mana mau disuruh istirahat dengan santai.
Jam pelajaran kedua selesai, guru juga sudah meninggalkan area kelas.“Ke kantin, yuk,” ajak Giska pada Karel dan Puja. Serius, ya … ia sebenarnya masih mode kesal pada Puja. Hanya saja berusaha jika masalahnya dan sobatnya tak terus berlanjut. Terserah dia mau marah atau apa, yang jelas ia sudah berusaha untuk tetap baik. Karena ia merasa tak salah.“Gue ikut, ya … tapi minum doang,” jawab Karel beranjak dari posisi duduknya. Peringatan dari Ziel dan papa mertuanya membuatnya harus pilah pilih makanan mulai sekarang, Apalagi makanan cepat saji.“Yok, Ja,” ajak Giska.“Kalian duluan aja, gue mau ke toilet bentar,” respon Puja dengan wajah tak bersahabat, kemudian berlalu pergi begitu saja dari hadapan Karel dan Giska.Tadinya masih tenang, tapi balasan dan sikap Puja barusan sukses membuat Giska seketika emosi.“Lo liat, kan, El. Dia kenapa, sih? Sumpah, ya. Paling kesal tuh kalau diacuhkan dan dicuekin tanpa tahu sebabnya apa. Perasaan gue nggak ada lakuin hal yang bikin dia kesal,
Langsung bergegas menuju ruang kelas, saat sampai sudah me dapati Giska dan juga Puja di sana. Mereka fokus pada buku dihadapan masing-masing.Melihat Karel yang datang, keduanya langsung heboh dan kegirangan. Ya apalagi, pasti keduanya akan membahas hal yang-tidak lagi.“El, gimana gimana?” tanya Puja bersemangat.“Heh, apanya yang gimana?”“Duh, sok lugu lagi. Yang kita berdua pertanyakan, gimana semalam. Lancar? Aman? Jebol nggak?”Seketika tangan Karel dengan cepat memberikan sentilan pada masing-masing jidat sobatnya itu. Bisa-bisanya mereka membahas hal yang sangat-sangat privasi itu di sekolah, bahkan di detik-detik menuju ulangan.“Kalian berdua ya ampun. Kenapa gue nyampe sekolah malah nanyain hal itu. Trus kalau gue bilang, kalian penasaran dan nyobain. Memangnya sudah ada objeknya?”“Dih, pelit amat sih, El. Kan buat berbagi pengalaman aja. Biar kapan-kapan kita berdua mau praktek, nggak kaget-kaget banget,” balas Puja dengan muka mesumnya.“Apa yang mau gue ceritain, kan k
“Aneh banget loh Kak Davian,” ujar Karel pada Ziel ketika keduanya turun menuju lantai bawah.“Aneh gimana?” tanya Ziel.“Masa dia nanyain alamatnya Giska.”“Buat apa?”“Katanya mau balikin ponsel milik Giska yang ketinggalan di cafe semalam.”Ziel mengarahkan pandangannya pada Karel, seolah ikut bingung dengan apa yang dikatakan oleh Karel.“Iya, Kak. Beneran gitu. Aku aja bingung. Pas ku tanya, kok bisa? Tapi dia nggak ngasih penjelasan.”Lanjut berjalan hingga keduanya sampai di bawah. Langsung menuju ruang makan. Ternyata di sana sudah ada semuanya.“Ya ampun, masih pagi buta sudah bangun aja ini pengantin baru. Padahal kami pikir nggak bakalan bangun seharian,” ujar Linzy dengan sengaja meledek Karel dan Ziel yang baru datang.Alvin sampai memberikan pelototan tajam pada putrinya itu. Sudah jadi hal yang lumrah, dua putrinya memang rada ceplas-ceplos.“Aku juga berpikir demikian, masalahnya mataku mengantuk berat. Tapi tahu sendiri kalau hari ini sekolah dan …” Melirik sedikit ke