*Cepatlah, Bayu. Saya ada urusan penting di kantor* Perkataan sekretaris tuan muda di telepon.
*Iya, Pak.* Sangat sopan sang pengemudi menyahutnya.
“Sekali lagi maaf, nona. Sepertinya anda harus ikut saya ke yayasan ‘Enfanst’.”
Nona muda di belakang enggan menimpali, apapun itu ia akan tetap mengunjungi kediaman Riana, ada banyak pertanyaan memenuhi kepala. Kalau tidak disalurkan, bisa-bisa dia gila, karena tidak mengerti tujuan dia hidup sebagai Kiran, istri Wira.
***
Kiran memperhatikan dengan cermat tempat yang baru ia singgahi, dia memilih keluar mobil sembari menunggu sopir menemui sekretaris kaku itu. Kemanapun lelaki berseragam itu pergi, Kiran tidak memedulikannya.
“Aku merasa pernah melihat tempat ini, cukup tidak asing.” Nona muda menggunakan telunjuk menggaruk-garuk pelan dagunya.
“Nona, ayo kita kembali.” Kali ini Aris menemui Kiran, agar mereka segera pergi. Sekretaris putra tertua benar-benar sibuk.
“Kalia
bantu author menaikkan rating karya ini. berupa pemberian permata sebanyak-banyaknya, kemudian komentar baik dari kalian dan tambahkan ke library.
Putri Lukman melirik kursi tamu yang terlihat mahal, dipersiapkan untuk para tamu pimpinan ARS Corporation. Gadis itu sedikit ragu, pula mata hitamnya menyapu ke seluruh ruangan, lebih tepatnya menghindar mata coklat terang di sana. Wira meminta sekretaris pergi melalui gerakan mata. Tidak perlu lama untuk menyisakan mereka berdua saja. Kiran menelan ludah seketika, tubuh kecil ini bergerak gelisah, dia benar-benar dilanda kegugupan. “Apa urusan dengan temanmu sudah selesai?” Pertanyaan berbeda dari yang dipikirkan putri Lukman. Lelaki di balik meja berkata lembut. Berputar dengan kursi kerjanya membentuk setengah lingkaran, sehingga menghadap sang istri yang duduk tegap. “Be-belum.” Sahut lawan bicara. “Belum?” “Ya,” Kiran langsung menyambar. “Tadi Bayu menjemput sekretarismu buru-buru, kemudian aku dibawa mereka ke sini, awalnya aku sudah meminta ditinggalkan di rumah temanku saja. Aku… mengganggu pekerjaanmu, ya?” Putri Lukman menundu
Pertanyaan-pertanyaan terakhir yang bisa ia dengar sebelum ambruk pada sisi sofa.Seketika Wira berdiri, “Aris. Bawa istriku ke rumah sakit sekarang!” Bersamaan langkah cepat ia menyambar kunci mobil. Mereka meninggalkan pria paruh baya itu sendirian. Meski tanpa diminta, Lukman pasti mengkhawatirkan putrinya. Wira tak ada waktu untuk sekedar berbasa-basi pada mertua, Lukman sudah tahu apa yang harus dilakukan.“Biar aku yang mengemudi.” Wira membuka pintu kursi belakang, menyuruh sekretaris masuk lebih dulu.Kali ini Range Rover melesat di bawah kendali atasan ARS Corporation. Ada mobil lain mengikuti, dipastikan Lukman yang ingin melihat kondisi putrinya.‘Sial, baru kali ini aku khawatir dengan orang lain selain mama’. pikir Wira.“Aris, coba kau lihat, apa dia masih bernapas?” Sangat polos sekretaris menuruti perintah konyol atasan. Sejujurnya ia mencemaskan sang istri, hanya saja pertany
“Aku mau ke kamar kecil.” Ia tetap berjalan, menghiraukan lelaki di sofa ujung, ia tahu kalau Wira tidak ingin disentuh bahkan mendekat.Laki-laki berkemeja biru tua – dia belum pulang sejak Kiran pingsan dan setia menunggu – tak kunjung melihat perempuan itu kembali, setelah sekian menit ia memantau pintu toilet. Bahkan saat ini ia mondar-mandir di depan pintu tersebut, sebenarnya Wira sedang tidak tenang. Apa Kiran di dalam sana baik-baik saja, bagaimana kalau ada masalah kecil dan sejenisnya? Sesaat lalu dia belum menanyakan apapun untuk memastikan keadaan sang istri.Wira mengetuk pintu setelah ke sana ke mari selama lima menit, “Apa kau baik-baik saja?” raungnya. “Kalau selesai cepatlah keluar, kau belum makan dari siang.” Tidak ada jawaban dari Kiran.Wira mengetuk lagi pintu itu lebih keras, rasa di dadanya semakin besar. Membuatnya menghitung detik dari arloji mahal di pergelangan tangan. Ah, persetan denga
Rakin dengan sikap semaunya mendatangi Wira yang sedang serius mengamati bacaan-bacaan aneh – julukan dari Rakin pada setiap buku kakaknya. Kalau disandingkan, jelas mereka dua manusia berbeda dalam segi keahlian, sifat dan keinginan. Hanya saja, orang lain bisa mengatakan kalau mereka saudara dengan wajah yang memiliki kesamaan. Rakin duduk tak jauh dari sang kakak, melihat laki-laki di depan dari ujung kepala hingga ujung tangan. Jangan harap Wira memberikan suara pertamanya. Lebih baik dia membaca lusinan buku daripada meladeni bocah nakal. “Tidak usah pura-pura, kak. Aku tahu kau memikirkan kakak ipar.” Senyum mengejek mulai ia keluarkan. Lalu ia menggeserkan tubuh agar bersandar pada sofa. “Adikmu siap mendengar curahan hati seorang kakak, tuh.” Rakin kembali mengeluarkan omong kosong seraya mata itu mengamati gerak-gerik Wira. Lelaki di balik meja menghela napas, “Aku mengaku kalah. Benar aku sedang memikirkan Kiran, tapi tidak ada urusannya denganmu. Sekarang
“Ya, tidak masalah. Aku akan memanggilmu ‘suamiku’.”Wira terheran sekaligus berpikir, memangnya tidak ada yang lebih mudah dari ini? Mengapa dia harus gugup segala tadi? Ia pun berasumsi Kiran akan menolak. Atau gadis itu sudah mengantuk setengah mati? Terserahlah. Terpenting mereka memiliki panggilan baru.Malam ini sang suami akan bergelut dengan sofa lagi sebagai pembaringan. Sebenarnya tubuh tinggi itu tak begitu nyaman tidur di sana, bergerak pun terbatas. Sesaat ia berbaring – gelisah menghadap ke kiri dan kanan. Akhirnya, bangkit dan keluar dari kamar. Wira memilih tidur di kamar kosong. Lama-lama menghabiskan malam di sofa bisa menyebabkan tubuh pegal-pegal.Kamar rapi yang belum pernah tersentuh terbentang dihadapan Wira, akan tetapi wangi kamar ini berbeda. Tidak ada harum bunga yang lembut bercampur kesegaran buah. Entahlah, dia mulai menyukai wangi khas Kiran dan mengenalinya.Belum sempat ia merebahkan tubuh, pa
“Anak asuhku dulu juga bernama sama denganmu. Semenjak diangkat sebagai putri keluarga kaya, dia tidak pernah berkunjung. Aku bahkan kehilangan alamat mereka. Kiran kecil kami mungkin sudah bahagia bersama papanya. Dia terus bermimpi memiliki keluarga yang melimpahkan kasih sayang padanya, bermain dengannya setiap saat. Kalau aku menolak adopsi itu, sama saja aku membunuh keinginan terbesar Kiran kecil kami.” Bunda Anna bersedih, mata keabuannya berkaca-kaca. “Nama pengadopsi tersebut… Lukman?” Anna terkejut. “Bisakah bunda Anna memberitahuku pohon besar yang di dekat pintu utama ketika masuk yayasan?” tambah Kiran, ia melihat bunda Anna belum bersuara. “Ka-kamu….” Anna terpusat pada nama pengadopsi. “Saya putri Lukman, bunda.” Tanpa ragu Anna mengambil tangan Kiran lalu menggenggamnya. “Bo-boleh bunda memelukmu, nak?” suara bergetar milik Anna – menahan haru. Gadis itu pun mengangguk pelan. Bunda Anna menumpahkan kasih sayang bercampur
“Aku ada urusan sedikit, berbeda denganmu. Aku usahakan pulang cepat. Lagi pula ada apa denganmu? Tidak biasanya menanyakan kepulanganku.”“Kau itu aneh, Wira. Aku tak mengerti mengapa kau jadi menakutkan hanya karena anak kecil mendekatimu. Kau takut mobil mahal ini lecet? Mereka berbeda denganmu, yang memiliki segalanya. Memangnya satu kata maaf bisa menghancurkan reputasi keluargamu? Katanya sering ke yayasan, menghargai anak kecil saja tidak bisa.” Kiran tersenyum getir – pria berkelas ini benar-benar tidak mengerti cara menghargai manusia.Kiran mengingat obrolan mereka ketika Wira mengatakan bahwa Lukman rela berlutut demi menikahi putri yang diadopsi dari yayasan Enfants. Bahkan kehidupannya saat ini lebih buruk dari kehidupan sebelumnya – sebagai Arina.“Sepertinya kau sudah terlalu jauh, Kiran. Kita tidak cukup dekat – untuk kau mengatakan itu.”Perempuan di belakang tertegun, ternyata perkira
“Tidak, ma. Kami hanya bercerita hal yang menarik.” Kiran menjawab cepat.Ibu mertua melanjutkan kunjungan terhadap bunga-bunga di sana, mengabaikan urusan si bungsu dan menantu. Peace lily putih dan merah menjadi tujuan pertama Ningrum. Berbeda dengan sang menantu, bukannya dia tidak menyukai tanaman itu, hanya saja ia enggan merawat bunga dan bermain tanah.“Kiran, bisakah kamu pegang ini?” Ningrum memberikan kumpulan peace lily yang ia potong. Segera istri Wira menyambutnya, bahkan dia sudah berada tepat di belakang ibu mertua. Kalaupun Ningrum memintanya, ia akan lebih sigap dari siapapun.“Ah, aku sangat jarang melihat mama melakukan hal ini.” kata Kiran. “Kukira Wira berbohong.” Ia mengecilkan suara. Seketika perempuan anggun itu berhenti – menoleh Kiran tak percaya.“Maksudmu Wira membicarakan Mama, Kiran?”Menantu mengangguk ragu, “Ya… setiap di
Kecelakaan tak terkira dan seolah takdir buruk bagi Wira Arasatya, harus disembunyikan dari muka publik. Wisnu yang seorang pemilik nama terpandang tidak mungkin membiarkan kasus buruk mencoreng Ars Corporation.Kecurigaan dari masyarakat yang mengamati berita tersebut terus menjadi bahan ocehan. Dan tentu saja Wisnu tidak ingin putranya menjadi konsumsi publik – sebab kasus itu merupakan berita buruk, di mana putra sulung Arasatya menyetir dalam keadaan mabuk. Mudah sekali untuk media yang haus akan kasus para konglomerat.Namun, saat itu kasus Wira seolah lenyap. Para reporter dan penulis berita juga enggan mengambil risiko.***Pagi ini tuan muda menemui Jimmy, ia semakin penasaran dengan otaknya yang terkadang sengaja mengingat kejadian memilukan. Memori perempuan bergaun merah serta seringainya membuat pria yang memiliki tekanan jiwa – akan hal itu – semakin bermunculan.“Kebiasaan barumu ya datang tanpa menelepon dulu? Tidak sulit kalau menyuruh asistenmu berbicara padaku barang
[SEBELUM PERNIKAHAN] “Aris. Kau pulang saja, aku bisa menyetir sendiri.” Tuan muda memerintah sekretaris. Menikmati segelas alkohol pertama sedikit membuat tenggorokan tersengat, Wira beberapa kali mendesah. Malam akhir pekan. Kala itu… untuk pertama kalinya Wira dan Aris minum bersama, tuan muda mulai merasa jenuh dengan kehidupannya yang monoton. Liburan? Ia habiskan untuk bekerja dan dituntut oleh ambisi-ambisi yang harus ia capai. “Tidak. Bisa-bisa kau mabuk. Aku tidak mau ada apa-apa denganmu!” Sembari Aris menolak tawaran minum untuk gelas keduanya. “Kau sudah bekerja keras, luangkan waktumu untuk istirahat.” Wira terdengar memaksa. Tuan muda sengaja menyewa kamar hotel – tanpa seorang pun pengganggu. Beserta botol minuman beralkohol dengan harga tinggi. Kehidupannya yang berbeda atau bahkan di mata orang-orang tampak aneh, hanya dia dan Aris. Para kolega direktur Ars Corporation mulai mempertanyakan pernikahan putra tertua Arasatya, sungguh memuakkan kata-kata yang kelua
Wira merasakan lehernya tercekat, seakan udara sulit menetralkan dadanya, penyesalan dan rasa bersalah datang kian membesar.‘Apa hubungannya kejadian itu dengan Kiran?’ ia benar was-was.Putra tertua Arasatya berusaha mengontrol dirinya untuk memudahkan suara keluar dengan sempurna.“A-apa gadis di mimpimu meninggal?” cara bicaranya yang pelan sekaligus ragu.Sesuai apa yang ditakuti Wira, perempuan di depannya mengangguk. Dadanya seolah bergemuruh, namun ingatan tentang Kiran tetap di sampingnya ketika ia berbicara kisah gadis bermidi dress – memberi sedikit ruang lega.‘Ternyata kejadian memilukan itu adalah diriku sendiri, takdir hendak memberitahuku dengan cara mendatangkan mimpi tersebut. Bagaimana bisa ingatanku tentang kehidupan sebelumnya bisa terlupakan?’ Kiran semakin tidak mengerti.“Mi-mirip sekali dengan gadis yang aku tabrak.” Ucapan Wira setengah berbisik.“Apa?” Sialnya Kiran bisa mendengar. Hanya saja ia terkejut.“Lupakan.” Titah pria itu.Ada setitik curiga dalam b
“Berapa lama lagi aku berada ditubuhmu? Kemungkinan terburuknya jiwaku akan mati mengikuti jasadku?”Gadis di balik meja menundukkan pandangan, “Aku tidak tahu. Setelah perjanjian yang kita sepakati, begitu saja aku di tempatkan di perpustakaan ini.”“Jika jiwamu terkurung di sini, bukan tidak mungkin ia akan kembali bukan? Kalau benar asumsiku, cepat atau lambat aku akan mati, Kiran. Dan perjanjian itu untuk pertama kali aku menyesalinya. Aku merasa dimanfaatkan! Tidak. Ini tidak adil bagiku.” Arina memundurkan langkah perlahan.Gadis penunggu perpustakaan klasik masih termenung, gurat wajahnya tetap datar seperti biasa. Kulit putihnya bersinar, memancarkan cahaya dalam sekejap. Tiba-tiba gadis itu berada tepat di depan jiwa Arina.“Darahmu sudah menjadi saksi perjanjian, dan kau manusia yang terpilih untuk bertukar jiwa denganku.”***“Da-darah?” Kiran berjiwa Arina terjaga dari mimpi. Dada itu seakan sesak di iringi napas yang terengah.Bayangan gadis bermidi dress hitam kemarin ke
“Kalau begitu kau boleh pergi.” Wira berkata cepat. Ia bisa menjadi manusia setengah mati kalau benar-benar Kiran melakukan ucapannya tadi. Membayangkannya saja membuat Wira sesak napas.‘Ternyata kau sungguh takut dengan perempuan ya?’ Kiran tersenyum miring, asumsinya semakin menunjukkan kebenaran.Kemudian tubuh mungil menurut Wira pun melenggang pergi.Sementara itu, lelaki di sofa menyambar gelas berisi air putih di samping – lalu meminumnya. Tenggorokan yang basah berhasil menyisihkan sedikit kecemasan.Kemudian hening.Rumah besar terasa kembali seperti pertama kali Wira menapakkan kaki ketika Jimmy memperbolehkannya pulang. Semua orang terlihat enggan berbicara pada si sulung. Di saat malam tiba, mimpi buruk menghantui Wira kecil.Ketakutan serta tangisan terdengar pilu bagi seorang ibu. Ningrum tak bisa berbuat apa-apa selain terisak hingga tak bersuara lagi.Rakin lah orang yang mampu mengajak s
Misteri kapan kembalinya jiwa Kiran ke tubuh yang digunakan sosok Arina saat ini semakin membuat kepala menantu keluarga Arasatya berdenyut.Rasanya ia tidak rela pergi dari tubuh ini.‘Kalau Kiran meminta badannya kembali, lalu jiwaku akan berpindah ke mana? Apa aku bisa mati mengikuti jasad seorang Arina yang terkubur?’ pikirnya. ‘Aku harus bagaimana? Jika Kiran benar-benar memaksaku memberikan tubuh ini, sama saja dia egois bukan? Tidak ada untungnya bagiku. Lebih baik dari awal aku tidak menerima tawarannya’. Ia mulai goyah pada perjanjian di antara mereka.Seperti angin menyelinap ke dalam ingatan, Kiran teringat teman dekat – Riana. Sesuatu yang mengganjal akhir-akhir ini.‘Aku tidak bisa percaya sepenuhnya sebelum melihat langsung kuburan tubuhku.’ Tubuh Arina yang ia maksud. ‘Apa aku bisa membujuk Riana?’ Kiran berpikir sambil memainkan kuku ibu jari tangan, sedikit menggigitinya pelan.
“KAU TIDAK TIDUR?” Wira terkejut bukan main, layaknya pencuri yang ketahuan.“Aaaa…. Kau mengejutkanku Wira!” gadis di depannya berteriak juga.Dengan segera putra tertua Arasatya kembali ke tempat tidurnya – ia tampak menyembunyikan kegelisahan.Kamar yang awalnya sunyi semakin menambah kesunyiannya, pasangan suami istri muda tidak saling sapa lagi.“Ku-kukira kau sudah mendengkur, Kiran.” Wira membuka pembicaraan mereka lebih dulu.“Mendengkur? Bagaimana bisa aku mendengkur, tidur saja tidak.” istri Wira merapatkan selimutnya – di iringi kekesalan. “Kau juga kenapa mendekatiku? Kau mau mesum ya?” Kiran menambah tuduhan.“Enak saja! Aku kan tidak bisa disentuh sembarang orang.”“Itu kan kalau kau yang disentuh. Akan berbeda jika kau menyentuh lebih dulu.” Balas istrinya. Wira pun tak bisa menyanggah. Ia termangu untuk sesaat sambil
“Iya, baiklah. Bisakah kau duduk terlebih dahulu. Kepalaku sakit melihat ke atas terus.” Wira meminta sembari matanya menangkap sesuatu yang kemerahan pada wajah Kiran. Ia sedari tadi sadar akan hal itu. Hanya saja pengetahuannya yang kurang – pria ini tidak tahu penyebab munculnya rona di pipi seorang gadis. “Terlalu dekat?” Kiran bertanya sesaat setelah ia duduk. Khawatir Wira memberikan peringatan lagi. “Tidak.” “Wira. Aku melakukan kesalahan, ya?” Netranya masih enggan menatap lawan bicara. Putri Lukman tetap menunduk. “Aku minta maaf. Sungguh aku tidak tahu kalau kau tidak suka denganku. Bahkan kau membuatku ketakutan, kukira kau tidak akan bangun lagi.” “Memangnya kalau aku tidak bangun lagi kau akan menangis sampai tak bersuara?” pria kaku ini melempar candaan. “Tentu saja!” diiringi pandangannya yang terangkat. “Walaupun kau aneh, kau kan suamiku.” Wira kembali terkekeh. Ternyata istrinya begitu lucu. “Bukannya ti
“Hai, kita bertemu lagi, nona.” Teman pria di mimpi Kiran menyapa penuh senyum bersamaan lambaian tangannya. “Apa kita akan ke restoran waktu itu?”Kiran pun baru teringat kalau dirinya mengunjungi kembali dunia mimpi, dunia yang selalu membuat teka-teki.Perempuan yang diajak bicara masih termenung, berpikir sambil mengamati wajah laki-laki di depannya. Mengapa ia tidak bisa mengenali pria ini? meskipun ia sangat tahu nama dan identitas lawan bicara.“Nona, apa aku mengganggumu. Kemarin kan kau yang menemuiku lebih dulu.” Tambah si pria.“Ah, em, tidak – kau tidak mengenaliku, ya?” Kiran bertanya dengan raut muka yang menuntut.“Kenal. Bukannya kita sudah bertemu sebelumnya?” giliran laki-laki itu yang keheranan.Kiran sedang berpikir keras, dengan mengikuti alur alam bawah sadar – ia akan semakin terkunci dan mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang baru. Seperti suatu l