Shera tersenyum getir. Apakah dia akan menerima Albi saat tak memiliki apa-apa? Mata Albian tidak berkedip sedetik pun, takut terlewatkan jawaban dari Shera.“Kau meragukanku, Bi?”“Tidak, bukan begitu. Lebih tepatnya, harga diri seorang pria adalah pekerjaannya. Jika aku tak memiliki pekerjaan, aku takut kau akan tidak memandangku,” jujur Albi.Saat Albi dan Vivia di awal menikah, istrinya itu begitu perhatian dan sayang. Tak terlewatkan sedetik pun bagi Vivia untuk mengurus segala kebutuhan Albi, meski sering gadis itu dia abaikan. Akan tetapi, setelah Vivi mulai mengejar karier di tempatnya sekarang, Vivia menjadi sangat sibuk bahkan lupa menyiapkan segala kebutuhan Albi. Apalagi di saat Vivia naik jabatan menjadi pembicara handal yang mendapat banyak undangan dari sana sini, dia menjadi lalai akan pernikahan mereka. Vivia hanya peduli pada diri sendiri, menganggap Albi lelaki yang menumpangkan hidup padanya. Bahkan saat Albian naik jabatan menjadi Komisaris Besar pun, istrinya itu
Di pagi hari, Albian terbangun dari tidurnya yang begitu nyaman. Terkejut ia tak mendapati Shera sudah tak ada di sebelahnya. Pria itu memindai seluruh kamar dengan kedua mata, tak ada tanda-tanda keberadaan Shera di sana.Ke mana Shera? Tadi malam mereka sepakat akan menikah hari ini. Albi berharap Shera membangunkannya cepat dan bersiap mencari tempat mereka melangsungkan pernikahan.Dengan langkah sedikit gontai, Albi turun dari ranjang untuk mencari keberadaan kekasihnya. Ketika kakinya tiba di ruang tengah, terdengar suara gaduh dari arah dapur. Pria itu memutar wajahnya dan langsung bisa melihat punggung Shera.Gadis itu tengah sibuk menyiapkan sarapan. Albi bersandar di tiang pintu mengamati Shera yang belum menyadari keberadaannya. Ia tersenyum melihat begitu lihai Shera mengerjakan segalanya. Shera adalah istri impian yang selama ini Albi cari.Hal ini lah yang tidak Albi dapatkan dari Vivia. Istrinya itu hanya sibuk mengejar karier, tidak begitu telaten dalam mengurus suami
Tangan lelaki itu menggandeng Shera turun dari mobilnya. Mereka baru saja kembali dari rumah pak Arifin dan Bu Wati dengan perasaan bahagia. Ia tersenyum menatap wajah gadis yang sejak lama dia cintai. “Ada apa menatapku seperti itu?” tanya Shera, memutar kenop pintu masuk utama rumahnya. Mengecup kening Albi, dia kemudian masuk lebih dulu. “Aku sangat bahagia, akhirnya bisa memenuhi janjiku untuk menikahimu.” Dari belakang Shera memeluk pinggang Albi, menyandarkan wajahnya di punggung bidang pria yang kini resmi menjadi suaminya di dalam agama. “Terima kasih, Bi. Aku juga sangat bahagia, akhirnya kau memenuhi janji itu.” Dia peluk perut Albi lebih erat, seperti dunianya adalah sepenuhnya ada pada pria itu. “Lantas, kapan surat cerai akan kau kirimkan pada Vivia?” “Secepatnya, tentu saja. Aku sudah meminta pengacara membuatkannya untukku.” Shera mengangkat wajahnya dari punggung Albian, berputar dan berdiri di depan pria itu. “Secepat itu?”“Bukankah kita ingin ini secepatnya? A
Ketika Albi memasuki ruang private restoran itu, dia menemukan Vivia sudah menunggunya di sana. Segera Albi mengambil salah satu kursi di depan Vivi, lantas tak sabaran dia bertanya.“Apa yang akan kau tunjukkan?”Vivia tersenyum kecut menatap pria yang masih resmi sebagai suaminya. Sangat buru-buru, seakan Albi tak ingin berlama-lama menatap wajahnya. Miris. Pria yang selama ini ia harapkan akan menua bersama, sungguh menyakiti hatinya.Tanpa mengatakan apa pun, Vivia mendorong map di atas meja, tepat ke depan Albi.“Katakan, apa isi map ini?” tanya Albi, ragu dia menyentuh map berwarna cokelat itu. “Vivia, sebelumnya kau harus tahu. Aku tidak akan peduli perkataanmu, jika berpikir akan merusak hubunganku dan Shera. Apa pun yang berusaha kau lakukan, percayalah aku dan Shera tidak akan terpengaruh.”“Bahkan jika kekasih yang sangat kau cintai itu mendustaimu?” Vivia balik bertanya.Mata Albian bergetar. Apakah dia akan memaafkan jika Shera melakukan kecurangan? Hatinya tak yakin, t
“Kau tahu, tujuh tahun lamanya aku menikah dengan Vivi, tapi dia tak bisa memberiku keturunan. Aku sangat merindukan seorang anak, Shee, aku ingin segera bisa bertemu dengan anak kita,” ucap Albi ketika melihat senyum manis Shera tiba-tiba memudar. ‘Dan tentu saja anak itu alasan kuat bagiku kembali padamu, Shera. Aku tidak ingin anakku bertumbuh tanpa kehadiran seorang ayah.’ Dia melanjutkan kalimat itu di pikiran, sebab tak ingin Shera menduga Albi menikahinya hanya karena seorang anak. “Bi.” Shera melepas tangannya dari leher Albi. “Aku paham kau sangat ingin bertemu anak kita. Tapi... bukankah kita juga harus sedikit bersabar? Anak itu tumbuh tanpa seorang ayah sampai dia berusia enam tahun. Kita... kita tidak bisa buru-buru dan membuatnya terkejut, bukan begitu?” imbuhnya, meski jelas terlihat senyum itu bagaikan dibuat-buat. Benarkah semua bukti yang Vivi tunjukkan? Benarkah anak itu sudah tiada, dan Shera hanya mengulur waktu? Tapi apa alasan Shera tidak berkata jujur saja? A
“Baik. Tunggu aku di Indonesia, aku akan membawakan Shabi padamu.”Sejak dulu, Edward tidak pernah mengingkari ucapannya. Tak pernah pria itu menolak apa pun yang Shera pinta, meski itu terbilang permintaan yang sangat mustahil. Shera tak merasa khawatir lagi akan permintaan Albi. Dia percaya seutuhnya pada Ed, jika Shabi akan segera datang ke hadapannya. “Aku akan membuat kau bahagia di awal, Bi. Sebelum menjatuhkanmu sangat sakit,” bisik Shera menyentuh rambut pria itu. Dia elus pelan, seperti seorang ibu memanjakan putranya. Tak ubahnya dengan Shera, di tempat lain pun Vivia mengatur rencana baru untuk mengungkap betapa jahatnya seorang Shera. Dia tertawa terbahak-bahak saat menerima email dari seorang pesuruh. “Wah, aku harus mengakui kau begitu cerdik, Shera. Di balik wajah polos yang pamerkan, ternyata kau tak beda liciknya dariku.” Sekali lagi dia tertawa, tak menduga gadis yang ia anggap lugu ternyata jelmaan iblis seperti dirinya. Gadis polos dari mana yang akan memanfaa
“Aku sudah menghubungi orang itu, dia bernama Edward. Ketepatan sekali, ternyata pria itu pemilik perusahaan yang menaungi Shera sebagai desainer. Jadi... dia tidak akan curiga saat aku menghubunginya.”“Hm... bagus. Atur pertemuan dengannya. Aku ingin mengetahui banyak dari pria itu, sebelum melancarkan rencana ini.” Sebelum berperang, Vivia akan mengumpulkan peluru untuk membidik targetnya tepat sasaran. Dia membutuhkan banyak informasi dari pria bernama Edward itu.“Sudah, Bu Vivia. Aku sudah mengatur semuanya. Ketepatan sekali, pria itu akan berkunjung ke Indonesia dalam minggu ini.”Tampaknya keberuntungan tak pernah meninggalkan Vivia. Dia tersenyum membayangkan bagaimana terkejutnya wajah Shera nanti saat bertemu pria itu.“Selain dia yang menyokong hidup Shera selama ini, ternyata pria itu juga yang menolong Shera tujuh tahun yang lalu.”“Maksudmu?” Vivia tak sabaran kala mendengar kata ‘tujuh tahun yang lalu’.“Saat Shera kehilangan janinnya. Pria itu yang menolong Shera dan
Mendapat kesempatan berkuliah juga diberikan rumah yang layak di tengah kota, siapa pun pasti tergiur untuk mendapatkan semua itu. Tak ubahnya dengan Lewin, dia sangat ingin bisa berkuliah dan mewujudkan cita-citanya menjadi seorang desainer. Tapi melenyapkan nyawa seseorang sebagai taruhan, apakah itu bisa dia lakukan? Gadis belia itu menatap tak percaya pada wanita di depannya.“Melenyapkan bayi Shera?” bisik Lewin bertanya pada dirinya sendiri. Meski janin itu belum lahir ke muka bumi, tetap saja dia memiliki nyawa. Melakukan apa yang dikatakan oleh gadis di depannya ini sama saja membuat Lewin menjadi seorang pembunuh.“Kamu salah orang kalau berpikir aku akan melukai temanku dan janinnya. Dan aku katakan padamu, aku akan melaporkan rencanamu ini pada polisi!” kata Lewin tegas.Sejak tadi Lewin berusaha bersikap ramah, berbicara sopan dengan memanggil gadis seusianya itu dengan sebutan kakak, sebab dia pikir untuk menghormati pelanggan yang datang. Tapi setelah mendengar permintaa