Shera membantu Vivia mengenakan gaun hasil desainnya. Sangat sempurna, sesuai dengan gambar sketsa yang Vivia lihat hari itu. Bahkan ukurannya sangat pas di tubuh Vivi, tidak terlihat sedikit pun cela. Padahal, Shera tidak melakukan fitting padanya, kenapa bisa sangat sempurna?
Namun, bukan berarti Vivi akan melepaskan Shera. Akan selalu ada alasan untuknya menyindirnya.
“Aku pikir, setelah semua yang terjadi tujuh tahun yang lalu, seharusnya kau malu kembali ke kota ini. Tapi tampaknya kau baik-baik saja, Shera.” Vivia berbicara sambil memperhatikan Shera memasangkan aksesoris di gaunnya.
“Kenapa harus malu? Aku tidak mencuri milik orang lain,” sahut Shera, masih terus dengan pekerjaannya. Meski di dalam hati dia sesak ketika Vivi mengingatkan kenangan masa lalunya, dia cukup cerdas membalas Vivia tepat sasaran.
Lihat saja wajah Vivia, terlihat memerah kala Shera menyebutkan ‘mencuri milik orang lain.’ Dia merasa dituduh sudah mencuri Albian.
“Ya... kau tidak mencuri. Tapi, apa kau tidak merasa malu kembali ke kota ini? Aku dengar, ayahmu meminum racun karena malu memiliki anak sepertimu. Bagaimana bisa kau tidak terbayang-bayang akan hal itu? Oh ya, aku juga mendengar beritanya, racun itu dia minum di depanmu. Kau tidak merasa bersalah, Shera? Secara tidak langsung, kau membunuh ayahmu sendiri.”
Kedua tangan Shera gemetar mendengar kalimat panjang Vivia. Kejadian itu adalah sesuatu yang tak bisa Shera lupakan, bahkan di dalam mimpi. Dia mencengkeram pita terakhir sangat erat, menahan diri agar tetap bisa berdiri tegap.
“Kenapa berhenti? Tugasmu belum selesai. Lanjutkan itu,” kata Vivia lagi, sangat puas dia melihat Shera yang gemetar memasangkan pita aksesoris di gaunnya.
Kematian sang ayah adalah hal yang sangat sensitif bagi Shera. Bertahun-tahun Shera mendengar bisikan yang menyebutkan dia sudah membunuh ayahnya, membuat gadis itu terkurung dalam perasaan bersalah. Bahkan beberapa kali Shera hampir bunuh diri agar bisa menebus dosanya atas kematian sang ayah.
Di saat Shera mulai bisa menata hidupnya lagi, kembali dia harus mendengar tuduhan itu dan langsung dari mulut seseorang. Mata Shera memanas menahan sesuatu yang akan keluar dari sana.
“Aku bukan pembunuh. Jika bukan karena kau yang mencuri kebahagiaanku, ayahku tidak mungkin meminumnya,” bisik Shera menahan gemuruh di dalam dadanya.
Sakit... jantungnya bagaikan ditusuk-tusuk mendapat tuduhan sebagai pembunuh.
“Terkadang, kau harus tahu mana yang menjadi milikmu dan mana yang tak bisa kau miliki, Shera. Kesadaran diri itu penting, agar tidak mudah menuduh seseorang.” Tanpa rasa bersalah Vivia menjatuhkan semua kesalahan pada Shera.
“Apakah aku menuduh? Aku hanya mengatakan diriku tidak mencuri. Tapi berkat penjelasanmu aku akhirnya tahu, kejadian tujuh tahun yang lalu adalah pencurian.” Shera sengaja menyibukkan diri dengan tugasnya. Dia tidak melirik Vivia saat berbicara, agar tetap bisa mengontrol emosinya.
Sedangkan Vivia sudah tak tahan mendengar celoteh Shera, mulut gadis itu sangat berbisa, tidak seperti gadis bodoh yang dulu Vivi temui. Rencana untuk menjatuhkan mental Shera justru berbalik menyerang dirinya sendiri!
“Bahkan jika aku mencuri darimu, apa yang bisa kau lakukan? Albian tidak keberatan dengan itu, dia berhasil mencapai cita-citanya itu adalah berkat aku. Sadar dirilah, bahkan jika kau diberi kesempatan berenkarnasi, Albian tidak akan pernah menjadi milikmu!”
“Selamat ulang tahun pernikahan, Ibu Vivi, semoga pernikahanmu selalu bahagia.”Para undangan dan rekan menyalami Vivia, mengucapkan selamat berbahagia untuk wanita yang dikenal sebagai pejuang hak perempuan itu. Malam ini adalah hari ulang tahun ketujuh pernikahannya dan Albi, yang dirayakan sangat mewah di sebuah hotel ternama.Vivia dengan balutan gaun panjang berwarna hijau muda terlihat sangat cantik. Rambut panjangnya disanggul tinggi ke atas, hingga menonjolkan lekuk leher jenjang yang putih bersih. Selain karena namanya yang tercium wangi di hadapan para wanita, penampilan Vivia yang selalu anggun juga membuat semua orang sangat kagum padanya.“Terima kasih, doa yang sama buat kalian. Semoga rumah tangga kita semua selalu bahagia,” sahut Vivi memamerkan senyum manis yang tak pernah lekang dari bibirnya.“Ibu Vivi sangat cantik, Pak Albian pasti sangat bersyukur memiliki istri seperti ibu.”“Tentu saja. Pak Albian selalu ada di mana pun Ibu Vivi berada, sudah pasti mereka sali
Vivia menatap Shera tajam. Jantungnya terasa diremas mendengar ucapan selamat dari Shera, yang tentu saja itu adalah sebuah penghinaan. Tak akan dia biarkan perempuan mantan kekasih suaminya itu tertawa melihat pesta ini tidak berjalan dengan lancar, sebab tujuan Vivi adalah untuk membuat Shera sadar diri, bahwa pernikahannya bahagia dan baik-baik saja. Benar. Tujuan Vivi mempertemukan Albi dengan gadis masa lalu ini, untuk memperingatkan semua orang, bahwa Albian sekarang hanya miliknya.“Oh, terima kasih untuk ucapannya. Tentu saja, suamiku pasti segera datang. Dia mencintaiku sangat banyak dan akan terus seperti itu. Tak ada kesempatan untuk perempuan mana pun di matanya, apalagi di hatinya. Tidak terkecuali dengan masa lalu seperti dirimu!” sahut Vivia geram, gigi-giginya saling mengatup ketika menegaskan agar Shera tidak berharap.Sedangkan Shera, dia tertawa kecil menyaksikan kepergian perempuan itu. “Benarkah?” bisiknya sendiri. Kembali dia ketik sesuatu di layar ponselnya dan
“Kau mencintaiku seperti dulu?” kata Shera.Albi mengangguk, mengeratkan pelukannya di tubuh Shera. “Ya, selamanya akan seperti itu.”“Maka jadikan aku satu-satunya orang yang kau cintai. Aku tidak peduli dengan status pernikahanmu, yang aku mau, kita memulainya dari awal.”Tubuh Albian terlonjak ke atas. Albi terkejut, itu yang Shera tangkap dari sikapnya. Shera menampar dirinya ke bawah untuk tidak terbawa perasaan pada lelaki yang kini menatap manik matanya.“She....”“Aku tidak akan memaksa secepat itu. Aku tahu, pernikahan yang sudah berjalan tujuh tahun ini tidak akan mudah kau lepaskan begitu saja. Tapi, jika benar kau mencintaiku dan peduli pada anak kita, tolong yakinkan aku dengan kata-katamu,” potong Shera, sebelum Albi meneruskan kalimatnya.Meletakkan kepercayaan pada Albian adalah hal yang tidak akan pernah Shera lakukan. Sudah cukup satu kali dia terasa seperti akan mati, ketika mempercayai semua janji-janji lelaki ini. Semua ini dia lakukan untuk membuat Albi melupaka
"Vi, di mana Albi? Orang-orang semakin ramai, pesta harus segera dimulai."Suara ibunya datang dari sisi kiri. Vivia yang tengah berusaha menghubungi suaminya, segera melirik."Mungkin sebentar lagi, Bu," sahut Vivi sedikit gugup, memeluk layar ponselnya ke dada. Ibunya tidak harus tahu Vivi tengah berusaha menghubungi Albi yang tidak juga mengangkat telepon.Wanita paruh baya itu mengamati perubahan wajah Vivi, tahu ada sesuatu yang tidak beres di sana."Jangan berbohong. Di mana Albi? Jangan bilang dia tidak menghadiri pesta ulang tahun pernikahannya sendiri," selidik ibu Vivi lagi.Vivi tersenyum, dia usap lengan ibunya untuk menenangkan wanita yang melahirkannya itu."Ibu jangan berpikir yang bukan-bukan. Albi tidak mungkin tidak datang," ucap Vivia, padahal di dalam hatinya juga ragu Albi mungkin tidak akan datang. "Dan kalau pun Albi tidak datang, itu... pasti ada sesuatu yang tidak bisa dia tinggalkan," lanjut Vivi, hatinya tidak rela mengucapkannya.Ervina menghela napas. Seba
“Kau sangat penting bagiku, seperti yang aku katakan terasa ingin mati mencarimu tujuh tahun ini.” Albian mengelus pipi mulus Shera, rasa rindunya terhadap gadis itu memang sudah lama menggebu di dalam dada, sehingga dirasa tak ingin melepaskan malam ini menjadi sia-sia. Tapi, Albi juga tahu bahwa ada hal yang harus dipertahankan dan bahkan lebih penting dari sekedar melepas rindu.“Namun, aku harus meminta maaf.” Dia tarik tangannya dari wajah Shera, lantas mengecup kening gadis itu sangat lembut. “Demi nama baikku di kepolisian, kumohon mengerti untuk malam ini. Aku akan segera menemuimu begitu segalanya selesai, oke?” kata Albi berjanji.Janji bukanlah sesuatu yang baru didengar telinga Shera. Sudah terlalu banyak janji yang membuatnya mual, bahkan terkadang ingin muntah setiap kali teringat dengan janji-janji Albian. Tidak akan dia lepaskan Albi pergi begitu saja, sebelum puas membuat Vivia menderita di bawah sana.“Baik, aku akan membiarkanmu pergi ke bawah sana. Tapi dengan satu
Ballroom hotel itu sepi hanya tersisa beberapa petugas kebersihan yang tengah menjalankan pekerjaannya. Albi tersentak. Kenapa tidak ada keluarga dan istrinya di sini? Undangan yang tadi begitu ramai pun, sudah tidak terlihat batang hidungnya.“Permisi, apakah ada aula lain di hotel ini?” tanya Albi pada salah satu petugas kebersihan yang melewatinya. Ia merasa mungkin salah masuk ruangan.“Tidak, Pak. Ini satu-satunya aula yang disediakan untuk publik,” sahut petugas wanita itu.Lantas, ke mana semua orang?Albi belum memahami situasi itu, jadi dia kembali bertanya, “Lalu, ke mana semua orang? Bukankah seharusnya di sini ada pesta ulang tahun pernikahan?”Petugas itu mengangguk. “Benar, Pak. Tapi pesta sudah berakhir sejak satu jam yang lalu.”Berakhir?Albian semakin bingung. Ia bahkan belum menyaksikan pesta itu dimulai, lantas sudah berakhir saja?Sudah pukul berapa sekarang? Albi mengangkat lengannya, ia sangat terkejut saat melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan, su
Apakah Albi pernah mencintai Vivia? Entahlah... Albi sendiri tidak yakin apakah dia pernah mencintai wanita yang menjadi istrinya ini. Albi juga tidak menemukan jawaban, apa yang harus Vivi lakukan, agar Albi bisa melupakan Shera. Nyatanya, selama tujuh tahun Albi menikah dengan Vivia, bayangan wajah Shera selalu terpatri di hatinya.Andaikan Vivi tidak pernah hadir di dalam hidupnya, Albi seharusnya sudah menikah dengan Shera. Kehadiran Vivia, menurut Albi hanya menjadi jurang yang menghancurkan kisah cintanya. Sebab itu Albi selalu bersikap acuh pada Vivia. Tapi, apakah dengan mengatakan semua itu akan membuat segalanya kembali ke belakang? Biarlah segalanya berjalan begitu saja, hingga tak ada yang tahu apa tengah Albi pikirkan.Albian memegangi kepalanya. Embusan napas kasar terdengar saat lelaki itu menghampiri sang istri yang masih duduk di sisi ranjang. Albi mengambil posisi di depan Vivi, berlutut di depan istrinya, menatap langsung ke inti mata Vivia yang penuh air mata.“Aku
Saat terbangun di pagi hari, Vivi mendapati suaminya tengah menatap wajahnya. "Selamat pagi, kau sudah bangun?" sapa Albi, menyunggingkan senyum untuk Vivia.Vivi yang belum benar-benar sadar, sedikit tergugup dengan sikap Albi yang tidak seperti biasanya.Bagaimana tidak? Posisi mereka saat ini sangat intens, dengan Vivi yang tidur berbantalkan lengan Albi. Wajah mereka berada sangat dekat sehingga Vivi bisa merasakan hangat napas Albi menyentuh wajahnya, saat berbicara. Vivi sampai tertegun beberapa saat, sampai Albi kembali menyapanya."Kenapa menatapku seperti itu?" Vivia ingin menarik dirinya menjauh dari lengan Albi, tetapi lelaki itu segera menahannya. Albian memeluk leher Vivia sehingga Vivi tidak bisa bergeser."Tidur lah jika kau masih mengantuk. Hari ini aku akan mengambil cuti, dan menemanimu," katanya.Satu kejutan lagi yang tidak pernah Vivi dengar. Albi akan mengambil cuti hanya untuk menamani Vivi? Itu sesuatu yang sangat tidak pernah Vivi bayangkan.Ya, Albi terkena
Satu-satunya orang yang bisa menolong Shera adalah Edward. Dalam hal apa pun itu, hanya Ed yang selama ini bisa Shera andalkan mengurus masalahnya. Meski Shera sudah membuat sangat banyak kesalahan, Edward masih dengan sabar di sisi gadis itu, bahkan tak sungkan Ed meminta maaf meski Shera yang melakukan kesalahan. Entah apa yang terjadi padanya sampai begitu sensitif, hanya karena Shera mempertanyakan apakah pria itu tulus padanya.“Edward, kau sedang demam?” Shera mengulurkan punggung tangannya ke kening Edward, suhu badan pria itu tidak panas. Tidak mungkin Edward badmood karena PMS kan? Dia laki-laki.“Aku baik dan aku tidak demam. Shera, tolong jawab pertanyaanku. Apakah semua yang kita lalui selama ini tidak berarti bagimu? Apakah kesabaranku menunggu hanya kau anggap sebuah lelucon, sampai kau pikir aku tidak tulus mencintaimu? Untuk apa aku bersabar menunggu, jika aku tidak tulus padamu?” sahut Edward, kali ini kalimatnya lebih panjang.Selama tujuh tahun ini sudah banyak hal
“Kamu nggak berangkat ke kantor?” tanya Shera yang melihat Albi bermalas-malasan di depan televisi. Pria itu menggeleng, seperti orang yang tak punya harapan hidup saja kelakuannya. Jujur Shera merasa tidak senang melihat Albi hanya diam di rumah.“Bi, kau harus tetap bekerja,” katanya, mengambil posisi duduk di sebelah pria itu.“Untuk apa? Adi Wangsa akan tetap memecatku.” Albi memeluk istri keduanya, membawa Shera ke dalam pelukan. “Mendingan aku habiskan waktu bareng kamu, kan?”Hah! Bukan seperti ini yang Shera inginkan. Meski dia dengan terpaksa harus menikah dengan Albi, dia sama sekali tidak berharap berduaan seperti ini terus menerus. Sejujurnya, bahkan Shera muak mendapat ciuman seperti sekarang dari Albi.“Bi...” bisiknya, menarik diri dari ciuman Albi yang bertubi-tubi di lehernya. “Aku tahu apa yang kau pikirkan sekarang. Kau takut kehilangan pekerjaanmu ‘kan? Tapi, meski nanti akan seperti itu, kau tidak boleh bolos bekerja. Kau harus tetap hadir di kantor, meski hanya u
Setelah pertemuan dengan Lewin, setiap hari Vivi menerima pesan dari gadis bodoh itu, sebagai bukti Shera sudah meminum obat yang dia berikan. Seperti hari itu, Vivia tersenyum melihat Video saat Lewin memasukkan obat-obatan itu ke dalam botol vitamin Shera. Bertepatan sekali memang, warna dan bentuk obat penggugur kandungan yang ia beli sama persis dengan vitamin milik Shera. Gadis itu pasti tidak curiga jika yang ia minum adalah obat untuk membunuh janinnya.[Shera sudah meminum obatnya. -Lewin]Sebuah foto ikut terkirim di bawa pesan yang Lewin kirimkan. Vivi hanya membacanya tanpa membalas satu kata pun.Tak berselang lama, pesan masuk lagi ke ponselnya dan itu lagi-lagi dari Lewin.[Kapan obatnya akan bereaksi, Bu Vivi? Sudah tiga hari Shera minum tapi tampaknya dia baik-baik saja. -Lewin][Sabar. -Ibu Vivi]Hanya kata itu yang Vivi kirimkan.Obat itu memang tidak langsung menunjukkan reaksi apa-apa saat diminum. Tapi di dalam sana, perlahan obat itu akan membuat gerak si janin m
Mendapat kesempatan berkuliah juga diberikan rumah yang layak di tengah kota, siapa pun pasti tergiur untuk mendapatkan semua itu. Tak ubahnya dengan Lewin, dia sangat ingin bisa berkuliah dan mewujudkan cita-citanya menjadi seorang desainer. Tapi melenyapkan nyawa seseorang sebagai taruhan, apakah itu bisa dia lakukan? Gadis belia itu menatap tak percaya pada wanita di depannya.“Melenyapkan bayi Shera?” bisik Lewin bertanya pada dirinya sendiri. Meski janin itu belum lahir ke muka bumi, tetap saja dia memiliki nyawa. Melakukan apa yang dikatakan oleh gadis di depannya ini sama saja membuat Lewin menjadi seorang pembunuh.“Kamu salah orang kalau berpikir aku akan melukai temanku dan janinnya. Dan aku katakan padamu, aku akan melaporkan rencanamu ini pada polisi!” kata Lewin tegas.Sejak tadi Lewin berusaha bersikap ramah, berbicara sopan dengan memanggil gadis seusianya itu dengan sebutan kakak, sebab dia pikir untuk menghormati pelanggan yang datang. Tapi setelah mendengar permintaa
“Aku sudah menghubungi orang itu, dia bernama Edward. Ketepatan sekali, ternyata pria itu pemilik perusahaan yang menaungi Shera sebagai desainer. Jadi... dia tidak akan curiga saat aku menghubunginya.”“Hm... bagus. Atur pertemuan dengannya. Aku ingin mengetahui banyak dari pria itu, sebelum melancarkan rencana ini.” Sebelum berperang, Vivia akan mengumpulkan peluru untuk membidik targetnya tepat sasaran. Dia membutuhkan banyak informasi dari pria bernama Edward itu.“Sudah, Bu Vivia. Aku sudah mengatur semuanya. Ketepatan sekali, pria itu akan berkunjung ke Indonesia dalam minggu ini.”Tampaknya keberuntungan tak pernah meninggalkan Vivia. Dia tersenyum membayangkan bagaimana terkejutnya wajah Shera nanti saat bertemu pria itu.“Selain dia yang menyokong hidup Shera selama ini, ternyata pria itu juga yang menolong Shera tujuh tahun yang lalu.”“Maksudmu?” Vivia tak sabaran kala mendengar kata ‘tujuh tahun yang lalu’.“Saat Shera kehilangan janinnya. Pria itu yang menolong Shera dan
“Baik. Tunggu aku di Indonesia, aku akan membawakan Shabi padamu.”Sejak dulu, Edward tidak pernah mengingkari ucapannya. Tak pernah pria itu menolak apa pun yang Shera pinta, meski itu terbilang permintaan yang sangat mustahil. Shera tak merasa khawatir lagi akan permintaan Albi. Dia percaya seutuhnya pada Ed, jika Shabi akan segera datang ke hadapannya. “Aku akan membuat kau bahagia di awal, Bi. Sebelum menjatuhkanmu sangat sakit,” bisik Shera menyentuh rambut pria itu. Dia elus pelan, seperti seorang ibu memanjakan putranya. Tak ubahnya dengan Shera, di tempat lain pun Vivia mengatur rencana baru untuk mengungkap betapa jahatnya seorang Shera. Dia tertawa terbahak-bahak saat menerima email dari seorang pesuruh. “Wah, aku harus mengakui kau begitu cerdik, Shera. Di balik wajah polos yang pamerkan, ternyata kau tak beda liciknya dariku.” Sekali lagi dia tertawa, tak menduga gadis yang ia anggap lugu ternyata jelmaan iblis seperti dirinya. Gadis polos dari mana yang akan memanfaa
“Kau tahu, tujuh tahun lamanya aku menikah dengan Vivi, tapi dia tak bisa memberiku keturunan. Aku sangat merindukan seorang anak, Shee, aku ingin segera bisa bertemu dengan anak kita,” ucap Albi ketika melihat senyum manis Shera tiba-tiba memudar. ‘Dan tentu saja anak itu alasan kuat bagiku kembali padamu, Shera. Aku tidak ingin anakku bertumbuh tanpa kehadiran seorang ayah.’ Dia melanjutkan kalimat itu di pikiran, sebab tak ingin Shera menduga Albi menikahinya hanya karena seorang anak. “Bi.” Shera melepas tangannya dari leher Albi. “Aku paham kau sangat ingin bertemu anak kita. Tapi... bukankah kita juga harus sedikit bersabar? Anak itu tumbuh tanpa seorang ayah sampai dia berusia enam tahun. Kita... kita tidak bisa buru-buru dan membuatnya terkejut, bukan begitu?” imbuhnya, meski jelas terlihat senyum itu bagaikan dibuat-buat. Benarkah semua bukti yang Vivi tunjukkan? Benarkah anak itu sudah tiada, dan Shera hanya mengulur waktu? Tapi apa alasan Shera tidak berkata jujur saja? A
Ketika Albi memasuki ruang private restoran itu, dia menemukan Vivia sudah menunggunya di sana. Segera Albi mengambil salah satu kursi di depan Vivi, lantas tak sabaran dia bertanya.“Apa yang akan kau tunjukkan?”Vivia tersenyum kecut menatap pria yang masih resmi sebagai suaminya. Sangat buru-buru, seakan Albi tak ingin berlama-lama menatap wajahnya. Miris. Pria yang selama ini ia harapkan akan menua bersama, sungguh menyakiti hatinya.Tanpa mengatakan apa pun, Vivia mendorong map di atas meja, tepat ke depan Albi.“Katakan, apa isi map ini?” tanya Albi, ragu dia menyentuh map berwarna cokelat itu. “Vivia, sebelumnya kau harus tahu. Aku tidak akan peduli perkataanmu, jika berpikir akan merusak hubunganku dan Shera. Apa pun yang berusaha kau lakukan, percayalah aku dan Shera tidak akan terpengaruh.”“Bahkan jika kekasih yang sangat kau cintai itu mendustaimu?” Vivia balik bertanya.Mata Albian bergetar. Apakah dia akan memaafkan jika Shera melakukan kecurangan? Hatinya tak yakin, t
Tangan lelaki itu menggandeng Shera turun dari mobilnya. Mereka baru saja kembali dari rumah pak Arifin dan Bu Wati dengan perasaan bahagia. Ia tersenyum menatap wajah gadis yang sejak lama dia cintai. “Ada apa menatapku seperti itu?” tanya Shera, memutar kenop pintu masuk utama rumahnya. Mengecup kening Albi, dia kemudian masuk lebih dulu. “Aku sangat bahagia, akhirnya bisa memenuhi janjiku untuk menikahimu.” Dari belakang Shera memeluk pinggang Albi, menyandarkan wajahnya di punggung bidang pria yang kini resmi menjadi suaminya di dalam agama. “Terima kasih, Bi. Aku juga sangat bahagia, akhirnya kau memenuhi janji itu.” Dia peluk perut Albi lebih erat, seperti dunianya adalah sepenuhnya ada pada pria itu. “Lantas, kapan surat cerai akan kau kirimkan pada Vivia?” “Secepatnya, tentu saja. Aku sudah meminta pengacara membuatkannya untukku.” Shera mengangkat wajahnya dari punggung Albian, berputar dan berdiri di depan pria itu. “Secepat itu?”“Bukankah kita ingin ini secepatnya? A