Jantung Nala berdegup kencang. Perasaannya campur aduk dalam ketidakpastian. Ia menapaki setiap jengkal apartemen Sky dengan hati-hati dan gemetar. Tangannya menyentuh dinding, jaga-jaga kalau tubuhnya tak mampu membendung hasrat yang menggebu-gebu.
Matanya melihat-lihat sekumpulan pot kecil berisi kaktus mini. Sebuah penyiram air berbentuk gajah yang mungil, berada di dekatnya.“Kau.. kau berkebun?” tanya Nala, sementara Sky sedang menyeduh seteko kopi.“Kau tidak bisa menyebut seseorang yang memelihara kaktus sebagai tukang kebun, sayang.”Bibir Nala berkedut. Ia masih tak terbiasa mendengarkan suaminya berbicara centil kepadanya. Bahkan, apa yang mereka alami hari ini rasanya bagaikan mimpi yang bisa sewaktu-waktu dibuyarkan oleh satu sentakan brengsek seseorang yang dengan kasar membangunkannya dari tidur siang.Namun, tentu saja Nala berdoa dengan sungguh-sungguh agar semua yang ia alami memang benar-benar nyata. Semoga yang sedang tNala adalah orang pertama yang menggeliat begitu menangkap bayangan seseorang mematung memperhatikan dirinya telanjang bulat di bawah selimut bersama Sky. Matanya menyipit, mencoba mengolah informasi di tengah kegelapan. Samar-samar cahaya lampu ruang tengah, menyeruak memasuki kamar.Bayangan itu berjalan menjauh. Bayangan seorang wanita berambut panjang dan memakai stileto.Nala memekik, membangunkan Sky yang masih terlelap.“Ada apa?” tanya pria itu, menenangkan Nala. “Kau ketakutan.”“Orang..” Nala terbata-bata. “Aku lihat ada perempuan..”Sky mengerjapkan matanya sekali, dan tersenyum tipis. “Tak usah kau hiraukan.” Ia ambruk lagi, masuk ke dalam selimut yang hangat. “Bukan siapa-siapa.”Sky menjerit kecil tatkala pahanya dicubit. Nala membelalakkan matanya jengkel sebelum menarik selimut, membuat tubuh Sky terpampang jelas. Wajah wanita itu memerah.Dililitkannya selimut itu mengitari tubuh, dan berjalan hati-hati ke luar kamar. Suara televisi menyambutnya yang masih berusaha ker
Anya menggerakkan kakinya sambil menunggu menu utama dihidangkan. Semangkuk makanan pembuka, ia pandangi lekat-lekat. Hari ini ia lapar, namun tidak berselera sama sekali. Selalu seperti itu saat sedang baru menemukan kesenangan baru.“Ada apa, sayang?” tanya seorang wanita paruh baya bertubuh tinggi dan langsing yang duduk di seberang Anya. Rambutnya diatur rapi dan ditata. Wajahnya tegas dengan sorot mata yang tajam memikat. Senyumnya samar, menyiratkan kekuasaan dan kepuasan terpendam.“Ma, aku menyukai seseorang.” Anya menjawab malu-malu. Hartono yang mendengar pernyataan anak gadis semata wayangnya itu tak terlalu menggubris. Sudah beberapa kali ia mendengar anaknya menyukai pria berbeda dalam beberapa minggu terakhir. Pria itu sendiri terkejut saat George bisa dengan mudah berhubungan lebih dari dua bulan lamanya dengan Anya.“Oh? Apakah dia pria kaya?” sebaliknya, ibu dari gadis itu menampakkan rasa tertariknya yang mendalam. Saat itu, men
Nala memutuskan menginap di apartemen Sky. Semalaman mereka berdua menelepon Bayu dan dengan heboh berteriak-teriak kesenangan. Mereka bertiga, berempat dengan Blue yang sesekali menyahut, saling berebutan menceritakan pengalaman mereka masing-masing. Blue sempat memaki Sky yang dengan tega membuat Bayu bertemu wanita aneh berpawakan layaknya medusa tanpa perlindungan apapun. Nala juga ikut sepakat.“Ah, tapi kapan lagi aku bisa melakukan hal menegangkan seperti itu?” potong Bayu, tak ingin masalah berlarut-larut.“Ya, memangnya apa kemungkinan terburuk yang bisa dilakukan oleh kepala sekolah di tempat ia sedang bekerja? Reputasi SD Matahari yang dibangun dan citranya yang sudah sedemikian rupa, tak akan serta merta dicoreng begitu saja, kan?”Nala mengerucutkan bibir saat mendengar penjelasan Sky yang memang masuk akal. Sky mengecup bibir itu.“Hei, ada anak kecil di sini. Kami bisa mendengar suara tak senonoh, ngomong-ngomong,” tegur Blue.
“Ini pasien mana?” tanya Nala, sambil mengacungkan selembar formulir pemeriksaan ke arah May.“Rawat inap,” jawab May. Suaranya teredam di balik masker yang ia kenakan. “Oh, tunggu. Tadi aku lupa jadinya masuk maternal atau umum.”“Pasiennya ibu hamil?”May tak sempat menjawab. Ia sudah buru-buru pergi mendengar suara statis yang dikeluarkan alat di ruang pemeriksaan.“Ya, akan kucek sendiri kalau begitu.” kata Nala, pada diri sendiri. Wanita itu menarik gagang telepon dan menekan tombol.“Ya, IGD.” suara yang semalam membuat Nala terlelap, menjawab panggilan. Walaupun secara resmi pria itu adalah suaminya, Nala masih belum merasa peristiwa yang terjadi nyata betulan.“Anu, dokter.” Nala gelagapan. “Pasien atas nama Nyonya Lizzie, rekam medis 000127, masuk rawat inap mana?”“Diagnosa yang ditegakkan hemoroid dan dispepsia sindrom. Masuk umum, ya.”“Baik, dok. Terimakasih.”“Oh, selain itu..” Ferdian men
Hari ini, seperti yang sudah diputuskan, Blue berkunjung ke sekolah Bayu, SD Matahari. Tempat paling mencurigakan yang sedang diselidiki oleh Rose, dan yang kemungkinan besar memang menyimpan sejuta misteri terkait organisasi terselubung milik Elang Group. Meskipun Blue melakukannya setengah hati, namun ia tetap totalitas menyamar menjadi kakaknya. Rambutnya mengeriting sempurna dari hari-hari sebelumnya karena Sky sudah membelikannya alat baru yang lebih modis dan canggih. Bayu bahkan memuji ketampanannya yang jarang bocah itu ucapkan. Blue berjalan sambil membusungkan dada. Tentu saja, kepercayaannya selalu penuh di setiap harinya. Hari ini, karena rambut yang oke, perasaan itu seolah bertambah berkali-kali lipat.“Pa-Ayah, kau tidak apa-apa?” Bayu melihat pamannya yang berbunga-bunga tampak aneh. Blue yang hobi tersenyum dan bersikap serampangan sudah menjadi hal yang biasa. Namun, aura yang pamannya keluarkan hari ini amat sangat berbeda. Ramah yang
Bayu memutar-mutar pensilnya yang ringan. Bola matanya memperhatikan tugas yang ditinggalkan seorang guru yang merasa sudah cukup memberikan materi. Seluruh kelas ramai dengan bisik-bisik, berniat menyelesaikan tugas yang diberikan sebelum batas waktu yang ditentukan.Bayu tak merasa kesulitan sama sekali. Ia malah bisa menyelesaikan soal-soal itu hanya dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Hanya saja, otaknya tak membiarkan tubuhnya bekerja. Jiwanya seolah melayang menuju tempat yang jauh, berusaha mengintip ke ruangan tempat Blue sedang menghadapi Bu Anggi. Bocah itu agak ngeri mengetahui kalau-kalau pamannya malah merayu kepala sekolahnya dan mereka bercinta di sana.Membayangkan gambaran itu, perut Bayu menegang. Seluruh sarapannya pagi ini, seolah berebut melompat keluar.“Kau tidak apa-apa?” Joana memperhatikan Bayu sedari tadi dari depan. “Wajahmu pucat dan terlihat.. kau mau muntah ya?”“Kau mual? Belum makan kah?” Aldo yang mendengar den
“Aku pulang..”Nala membenamkan tubuhnya ke atas sofa. Baju ganti yang dibawakan Rose tadi pagi masih baru. Terasa gatal bagi kulit Nala yang sensitif. Namun, wanita itu tetap berbaring sambil meluruskan kaki.Blue mendekatinya. Pria itu mengenakan celemek dan berbau enak. Dari penampakannya bisa diketahui kalau ia sedang memasak.“Halo, sayang..” sapa Blue. Ia meraih tas Nala yang tergeletak di atas lantai dan meletakkannya di meja. “Tak kusangka kau masih sudi pulang ke rumah kita.” sindirnya.“Mau bagaimana lagi? Yang orang lain tahu kau lah suamiku. Akan jadi masalah kalau ada yang mendapati aku serumah dengan Sky,” jawab Nala. Ia masih tidak berniat merubah posisinya yang terlentang.Blue menelan ludah. Posisi Nala membuat jantungnya berdebar. “Sky? Sudah berdamai kalau Bram hanyalah persona buatan?”“Ya, mau bagaimana lagi..”Sebelum pergi, Blue memuaskan dahaga keingintahuannya. Ia menatap kakak iparnya itu lekat-
Sky memperhatikan tampilannya di depan cermin. Jas berwarna hitam dengan dalaman kaos polo dan celana yang senada membungkus badannya yang tegap dan atletis. Rambutnya disisir rapi, lurus ke belakang. Matanya sudah diatur sedemikian rupa dan tampak sipit seperti Ferdian yang dikenal karyawan rumah sakit, dan juga Anya. Sentuhan terakhir, dua semprotan parfum, melengkapi keseluruhan penyamarannya malam ini. Ferdian sudah menata hati mengunjungi rumah ayahnya, setelah lebih dari dua dekade pergi dari sana. Dalam perjalanannya yang panjang, ia mengendarai mobilnya dalam keheningan. Ferdian sadar, suasana hatinya sedang kacau dan debaran jantungnya tak menentu. Pria itu menyalakan radio. Lagu pop romantis lawas, Killing Me Softly with His Song mengiringi perjalanannya. “Killing me softly..” Ferdian bersenandung seolah berbicara pada seseorang. Dia tahu tak ada gunanya menunda pertemuannya dengan pria bengis dan tamak itu. Cepat
Setahun kemudian.. Sky, Nala, dan Bayu, sedang menikmati sore di taman kota. Setelah sekian lama berjuang melawan berbagai tantangan dalam hidup, mereka akhirnya menemukan kedamaian dan kebahagiaan di kehidupan mereka saat ini. Bayu baru saja mulai bersekolah lagi di SD Matahari bersama teman-temannya, Joana dan Aldo. Mereka tinggal di kompleks yang sama dengan Joana dan Aldo, sehingga setelah berjalan-jalan santai, mereka kembali ke rumah mereka. Anya telah meniti karier yang sukses sebagai direktur Rumah Sakit Besari, mendedikasikan dirinya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di komunitas mereka. Elang Group, perusahaan yang dipimpin oleh Blue, atau yang sekarang dikenal sebagai Langit, terus berkembang dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Sementara itu, Rose berhasil mendapatkan naturalisasi dan membuka toko bunga yang indah di dekat kompleks tempat tinggal Nala. Tokonya menjadi tempat favorit bagi penduduk setempat yang mengagumi keahli
Tiger, Nala dan Rose tiba di tepi pantai dengan napas terengah-engah, terdengar gemuruh ombak di kejauhan. Mereka menghentikan langkah mereka mendadak ketika mendengar suara letusan yang mengejutkan dari arah dermaga.Dor!Hati Nala berdebar kencang, naluri mereka langsung mengarahkan pandangan ke arah Sky dan Blue yang terendam di dalam air.Nala, dengan mata berkaca-kaca, berlari mendekati Sky yang terdampar di tepi pantai. Dengan gemetar, dia jatuh berlutut di pasir pantai. Riak air tiba-tiba berhenti, menandakan mereka berdua sudah jauh tenggelam.Nala dan Rose mencoba mendekati tempat kejadian, namun para polisi mencegahnya. Beberapa petugas ada yang menyelam, mencari mereka. Namun, nihil. Tak ada tanda-tanda tubuh mereka ditemukan."Sepertinya mereka terbawa arus," ucap salah satu di antara mereka. "Kami tidak menemukan apapun."Rose dan Nala menjerit tak karuan. Setelah beberapa saat, mereka mencoba menenangkan diri di pin
Sky dan Blue memacu mobil mereka dengan cepat mengejar Hartono yang melarikan diri. Lampu-lampu kota yang masih hidup, berkedip-kedip di sekitar mereka saat mereka melaju melewati jalan-jalan yang ramai. Mereka mengejar mobil Hartono yang berbelok-belok di antara lalu lintas, mencoba untuk tidak kehilangan jejak."Kita hampir mendapatkannya!" seru Sky, matanya tetap fokus pada mobil di depan mereka.Blue, yang duduk di kursi penumpang dengan tegang, mengangguk setuju. "Tetap fokus, Sky. Kita harus menangkapnya sebelum dia bisa kabur lebih jauh."Mereka terus memacu mobil mereka, mengikuti dengan cermat setiap gerakan mobil Hartono. Jalanan mulai sepi ketika mereka mendekati dermaga yang terletak di pinggiran kota. Lampu-lampu jalan redup di belakang mereka, memantulkan kekhawatiran yang mereka rasakan.Hartono, yang terus melaju dengan cepat, akhirnya memarkir mobilnya di ujung dermaga yang sepi. Dia keluar dengan cepat, menghadapi Sky dan Blue ya
Suara letusan senjata menggelegar di dalam vila yang sunyi, menyela hening pagi yang mulai terang. Tiger, yang menunggu di mobil dengan tegang, mendongak mendengar itu. Dia menatap Nala dengan mata penuh kekhawatiran."Kau merasa gugup?" Tiger bertanya dengan lembut. "Setelah ini, semuanya akan berakhir."Nala, yang duduk di sampingnya dengan wajah tegang, menggeleng pelan. Dia mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri meskipun jantungnya berdegup kencang."Ya, sedikit," jawab Nala akhirnya, suaranya bergetar sedikit. "Ini semua terasa seperti mimpi buruk. Kuharap tidak ada yang terluka dari letusan itu."Tiger meraih tangan Nala dengan penuh dukungan. "Kita akan melalui ini bersama-sama, Nala. Kami sudah mendekati akhir dari semua ini."Mereka berdua duduk dalam hening sejenak, mengumpulkan keberanian dan fokus untuk apa yang akan mereka hadapi selanjutnya.Lalu, tiba-tiba suara radio mengejutkan mereka."Lapor, Tiger.
"Ahhhh!!!" Olivia, dengan hati yang penuh kegelisahan, melihat Pak Was jatuh dari balkon dengan terkejut yang mendalam. "Tidak, tidak. Was!! Was, jangan tinggalkan aku, Was. Jangan pergi! Was! Kau sudah berjanji padaku, Was. Kau harus hidup, jangan tinggalkan aku! Jangan tinggalkan akuu!!!"Olivia berteriak histeris, mencoba menjangkau pak Was yang terbaring tak bergerak di tanah. Anya, putrinya yang ketakutan, berlari mendekat untuk menahan ibunya. Namun, dalam kepanikan yang melanda, Olivia terlalu kuat untuk ditahan."Mama, sudah. Jangan seperti ini, atau mama akan jatuh. Ma, tolong. Ayo, ma kita turun. Ma,"Anya bisa melihat dari kejauhan kalau rumahnya sudah dikepung. Ia tahu sebentar lagi akan menjadi akhir dari perjalanan orang tuanya dalam melakukan kejahatan. Tapi, ia sendiri tidak menyangka akan menyaksikan peristiwa jatuhnya Pak Was. Dari tampilannya, tampaknya tubuh Pak Was sudah tak lagi bernyawa. Pria itu sudah tak lagi bisa diselam
Di luar jendela, matahari mulai terbit, menyisakan langit senja yang memancarkan cahaya oranye dan merah muda yang lembut. Suasana itu memberikan kontras dengan keheningan yang menyelimuti ruangan Hartono yang sepi.Pikirannya melayang ke masa lalu, saat semuanya masih normal. Pak Was, yang selalu setia dan dedikatif dalam pekerjaannya, kini telah mengkhianatinya. Dia merasa kehilangan sosok yang telah menjadi bagian dari kehidupannya selama bertahun-tahun.Hartono menatap foto keluarganya, foto Liliana dan kedua anak kembarnya, di meja kerjanya, sorot matanya tampak penuh penyesalan. Dia berdoa dalam hati, berharap agar Liliana tenang di tempat yang lebih baik.Suasana pagi itu di ruang kerja Hartono memantulkan perasaannya yang campur aduk: kesedihan, penyesalan, dan tekad balas dendam yang membara. Langit fajar yang merona menjadi saksi dari perubahan yang mendalam dalam hidupnya, suatu perubahan yang tidak pernah dia rencanakan atau bayangkan sebelumny
Setelah perjalanan yang tegang dan cepat dari kota menuju vila terpencil di pinggiran hutan, Blue, Nala, Sky, dan Rose tiba di tempat tujuan mereka. Hutan di sekeliling vila memberikan kesan sunyi namun tegang, dengan sinar fajar yang mulai membuat bayangan di balik pohon-pohon rimbun. Mereka turun dari mobil dengan hati-hati, siap untuk bertindak cepat dan efisien, menunggu pasukan lain dan Tiger tiba.Setelah beberapa saat, belasan mobil polisi dan dua mobil yang mengangkut pasukan khusus, mulai berdatangan. Tiger muncul di antara mereka dengan membawa senapan laras panjang dan senyum di wajahnya."Bagaimana? Siap?" pria itu bertanya. "Helikopter sudah dalam perjalanan. Kali ini, Hartono tidak akan kabur.""Bukankah jumlah ini terlalu berlebihan?" Rose tampak melongo dengan sejumlah pasukan yang mengitari mereka. "Memangnya kita menangkap gerombolan orang jahat ya?""Ya, Hartono setara dengan ratusan penjahat, sih. Jadi ini sepadan, hehe."
Anya melangkah dengan cepat di koridor vila, menuju kamar Olivia. Setiap langkah yang ia ambil, membuat ingatannya memainkan gambaran masa lalu yang penuh cahaya, berbeda dengan suasana saat ini yang dipenuhi dengan ketegangan dan kekhawatiran. Dia berusaha menenangkan dirinya sendiri sambil mencari-cari ibunya, Olivia, yang mungkin masih terlelap dan tidak tahu atas apa yang akan terjadi.Sebagai anak dari Olivia dan Hartono, Anya tumbuh di lingkungan yang sering kali menawarkan lebih banyak teka-teki daripada jawaban. Ayahnya, Hartono, adalah seorang pria yang selalu tampak gelap dan misterius yang dibalut dengan senyum hangatnya, sementara ibunya, Olivia, adalah sosok yang mencoba sekuat tenaga untuk menjaga ketenangan dan keseimbangan dalam kehidupan keluarga mereka, tentu saja dengan cara-cara licik yang belakangan Anya ketahui. Namun, situasi yang sering kali tegang dan penuh tekanan telah membuat Anya belajar untuk memilih langkah-langkahnya denga
Suasana malam yang dingin dan tenang menyelimuti kota saat Sky, Nala, Blue, dan Rose menerima telepon darurat dari Anya. Mereka duduk bersama di ruang tengah pondok kayu, tempat mereka kini berkumpul, atmosfer yang sebelumnya santai berubah menjadi tegang seketika. Anya, dengan suara gemetar, memberitahukan bahwa Hartono memergoki istrinya, Olivia, sedang bermesraan dengan Pak Was. Entah bermesraan yang seperti apa, yang pasti Anya tampak takut akan terjadi sesuatu yang buruk.Sky, yang duduk di sofa dengan laptopnya, segera menutup layar dan menatap serius ke arah Blue dan Nala. "Kita harus segera ke sana. Anya bilang dia sudah mengirimkan alamatnya padamu, kan?"Blue, yang biasanya santai, kini tampak tegang. Dia mengangguk cepat. "Aku ambil kunci mobil."Nala, yang sedang mengaduk secangkir teh, menaruh sendoknya perlahan. "Aku ambil kit medis dari lemari."Rose, yang duduk di pojok ruangan dengan buku di tangannya, mengangguk setuju. "Aku ambi