Ana menatap ponselnya berkali-kali dan sudah sangat bosan menunggu balasan chat dari Ian. Perasaannya menjadi tidak karuan sebab pria itu semakin sering menghiraukannya akhir-akhir ini. Ia bahkan sudah meminta dengan sangat agar pria itu tidak melakukannya.Tatkala sudah berada di kantor, pria itu akhirnya datang namun belum juga dapat menyenangkan hati Ana."Ian, bukannya kemarin aku sudah bilang ya agar datang lebih awal. Ini kan urusan kantor, tidak akan ada yang curiga kalau kita menghabiskan waktu sebentar. Kenapa kamu malah seolah menjauh akhir-akhir ini?""Tidak. Aku tidak menjauh, juga tidak berniat seperti itu. Aku hanya sedang sangat sibuk dengan semua pekerjaan. Jadi, maaf tidak bisa datang lebih cepat."Walau terdengar masuk akal, Ana masih saja tidak percaya begitu saja. "Jangan-jangan, kamu habis anterin istri kamu ke rumah sakit, ya?"Sebuah tuduhan bertajuk pertanyaan yang tidak ingin disanggah pria itu. Ia hanya mengangguk memberi jawaban yang segera berhasil membuat
Ica yang masih tampak marah sangat ingin memuaskan amarahnya kepada Tiffany yang ia anggap adalah akar dari segala masalah. Tanpa pikir panjang, ia bergerak ke sana sekarang.Hampir saja terjadi kecelakaan di jalan raya yang untung saja masih bisa dielakkan. Mobil dengan kecepatan tinggi itu kini mendekat ke arah ruko milik Tiffany.Akibat fatalnya, dinding teras rumah itu segera tertabrak dan hampir roboh. Tiffany dan temannya yang memang bekerja dengannya, pun sangat terkejut.Kedua gadis itu tampak ke luar untuk memastikan. Namun, setelah melihat siapa yang datang,Tiffany memutuskan untuk menuntaskannya sendiri.Ia tampak mendekat pada Ica yang segera menarik rambutnya. Ya, Ica menjambaknya sekarang.Tak berhenti di sana, ia juga mengacak pesanan bunga yang padahal tampak sudah diselesaikan. Mungkin hanya tinggal menunggu waktu pengiriman."Tante, kenapa pekerjaan saya dikacaukan seperti ini?" tanyanya merasa penasaran dan sangat bingung. Ia yang tidak diberi jawaban dan malah sema
Noah menatap Ana yang sekarang memang menjadi semakin lebih baik. Ia merasa bangga pada gadis itu. Bahkan sekarang, Ana mengajak Arzi untuk makan bersama.Ketiga orang itu tampak hendak memulai acaranya ketika Ai datang kemudian ikut bergabung. Kunjungan ayahnya memang tak pernah dilupakan. Mungkin itu adalah salah satu bukti jika ia sangat menyayangi pria itu."Makan, makan dulu," kata Ana menghentikan niat ayahnya yang hendak bicara.Hal lucu itu menjadi berubah serius sekarang ketika mereka saling menikmati makanan yang tersedia di meja. Noah yang memang selalu menilai makanan yang dimakannya, pun bersuara."Makanan ini enak sekali, tapi aneh," protesnya."Anehnya di bagian apa, Pa? Padahal baru saja aku beri aturan agar tidak bicara ketika makan," balas Ana."Makanan ini seperti dibeli," ucap Noah lagi namun setelah acara makan malam itu ditutup. Ana tersenyum kecut dibuatnya. Namun, segera berubah ceria dan penuh tawa."Iya, memang makanan ini dibeli tadi, Pa. Kenapa memangnya?"
"Ngapain kamu ke mari? Sudah lupa ingatan atau memang tidak tau malu?""Kenapa juga aku harus malu, Tante?" tanya Danny dengan nada santai."Hei, pergilah dari sini. Saya tidak sudi melihatmu ada di rumah saya," usir Ica tanpa peduli dengan perkataan pria itu.Danny masih tetap dengan sikapnya yang sedikit angkuh. Kini, ia duduk bersantai sambil menatap Ica yang keningnya tengah diperban. Senyumannya menyeringai."Sepertinya itu hukuman untuk orang yang terlalu sembarangan.""Pergi kamu!" Masih mengusir membuat Danny menaikkan nada suaranya."Dengarkan aku!" Seketika Ica terdiam mendengar bentakan Danny. "Kamu seharusnya bertanya pada Rald, ke mana dia pergi, apa saja yang dia lakukan di luar sana. Itu jauh lebih baik dari pada dengan gampangnya menuduh orang lain merusak putramu.""Tau apa kamu soal Rald? Kamu mau menolong gadis itu lagi? Sssh ... benar-benar tidak tau malu." Menggeram dengan nada kesal sembari memperhatikan keadaan sekitar, sungguh tidak ada siapa-siapa selain mereka
"Sayang, hari ini aku sangat sibuk. Untuk masalah pemotretan Ana, coba kamu yang handle. Tidak capek, kok. Hanya memberi perintah dan memperhatikan kurangnya saja," kata Ian pada sang istri ketika akan berangkat bekerja."Jam berapa, Mas?" tanya wanita itu membalas perkataan suaminya sambil merapikan dari di leher pria itu."Sorean saja, Sayang. Kalau kamu memang mau, boleh ajak siapa saja. Mama, Papa, siapapun boleh, kok.""Sore?" balas wanita itu bergumam sambil memikirkan jadwal sibuknya hari itu. "Iya, iya, mungkin aku akan ke kantor setelah cek ke dokter nanti.""Oh iya, lupa!" Menepuk jidatnya sendiri. "Hari ini kan jadwal kamu cek. Gimana dong, Sayang? Aku tidak bisa antarin dan temenin kamu sekalian.""Tidak apa-apa, Mas. Kan, alasannya juga sangat jelas. Banyak pekerjaan. Aku bisa ngerti, kok."Ian cukup senang dengan cara wanita itu memberikan perhatian dan pengertian untuknya. Ia tidak lupa menyuapkan sisa makanan di piring ke mulut istrinya. "Biar cepat sembuh," katanya de
Sesaat terdiam mengingat perintah sang ayah. Ana menolak untuk mengikuti perintah itu. Kali ini, ia segera menyuruh beberapa staff untuk menyediakan keperluannya.Ia bahkan tidak peduli dengan usaha mereka yang telah menyiapkan segalanya dari waktu sebelumnya. Tatkala ia mendengar sungutan dari bawahannya, bentakan dan makian segera ia layangkan."Jangan sampai kalian aku pecat!"Begitulah kalimat ancaman yang tak pernah gagal untuk menakuti mereka. Tak satu pun dari mereka yang bahkan berani untuk melapor pada atasan lainnya."Mulai saja sekarang, rias sebaik mungkin!" titahnya.Sebuah benda kecil jatuh ke arah kakinya. Menyadari hal itu, senyuman licik segera ia layangkan. Benda itu ia pungut dengan kakinya, kemudian menyelipkannya di antara jemarinya."Ambillah," titahnya.Semua orang yang ada di ruangan itu saling menatap. Ingin sekali rasanya mereka melawan sikap otoriter yang ditunjukkan oleh Ana, namun lagi mereka benar-benar tidak ada kuasa untuk hal itu."Loh, kenapa malah ben
Noah merasa penasaran dengan putrinya yang tidak ke luar dari kamar sejak tadi malam. Hal itu membuatnya untuk segera memastikan. Tatkala hendak menuju kamar putrinya, ia segera sadar jika Ana telah berada di tepian kolam renang. Gadis itu tampak lesu dan tidak ada semangat."Ehem." Mencoba berdehem. "Ada apa denganmu, Sayang?"Ana tidak segera menjawab. Ia menyeka air matanya lalu meneguk minuman yang ada di dekatnya. "Cerita sama Papa.""Pa, sepertinya perbuatanku sudah sangat salah, ya? Tapi, itu semua terjadi di luar dugaanku, Papa. Aku tidak pernah ingin jika Ian bersama wanita lain. Dia hanya milikku, semua orang pun tau itu. Tapi kenapa dia harus menikah dengan saudara tiriku?"Noah menggelengkan kepalanya, paham jika gadis ini pasti sedang ada masalah dengan Ian. Hal yang dapat ia lakukan sekarang adalah bicara dengan gadis itu secara pelan."Segala sesuatu yang dimulai harus diselesaikan, Ana. Kalau ada awal, pasti ada akhir. Kamu tau itu.""Ya." Menundukkan kepalanya lemas
Ai memperhatikan kertas di tangannya. Kertas yang menyatakan jika dirinya telah sembuh total. Ia telah bebas beraktivitas sekarang. Namun, tampaknya hal itu tak berhasil membuatnya kegirangan seperti reaksi yang diberikan manusia pada umumnya.Amplop yang lain segera ia buka dan mendapati isi yang menyatakan jika dirinya tengah hamil. Ia berlari dan masuk ke dalam toilet. Tangisannya pecah tatkala sadar jika anak itu mungkin akan bertumbuh tanpa ayah kandung atau mungkin tanpa seorang ayah. Mencoba mengingat-ingat, entah kapan lagi mereka melakukannya, ia sangat menyesal sekarang.Hampir sejam berada di sana, ia mencoba mengecek ponselnya dan tak mendapati satu pesan pun dari suaminya. Pria itu sama sekali tidak peduli, tidak mengkhawatirkan dirinya, mungkin juga lupa. Seketika ia benar-benar sadar jika dirinya tidak seberharga itu di mata Ian.Dengan langkahnya yang gontai, ia ke luar dan berjalan sendiri di koridor rumah sakit. Ia tampak berdiri di parkiran dan segera mendapat pang
Ai mendapatkan kebahagiaannya sekarang. “Ada kalanya keluarga menjadi bagian terpenting dalam hidup. Namun, ada kalanya rasa iri menghancurkan segalanya tanpa mementingkan kepentingan kekeluargaan.”Ucapan itu terdengar nyaring membuat Ian mendongak. Ia sadar akan perbuatannya selama ini. Jika saja, ia tak menyakiti Ai dengan sengaja, mungkin hidupnya tak akan berakhir seperti ini.Wanita itu terlihat sangat menawan. Ia seolah jatuh cinta untuk kedua kalinya. Namun, kali ini berbeda. Rasa cinta itu tumbuh karena sikap dan sifat baik wanita itu.Danny juga mendekat sekarang. Walau ada rasa sesak di hati masing-masing. Namun, umur tua menambah tuntutan agar bersikap lebih dewasa dan mulai belajar untuk saling mengikhlaskan.“Kamu lihat, kan? Istriku cantik sekali. Wih, dia benar-benar membuatku jatuh cinta.”“Sudahlah, Dan. Akhiri omong kosongmu. Aku tau, kamu datang ke sini hanya untuk meledekku. Kamu ingin aku merasa sakit hati dengan apa yang kamu punya saat ini. No, hatiku sudah be
Dua tahun kemudian, Danny dan Ai pertama kalinya mengunjungi rumah keluarga Mario yang kini terlihat baik-baik saja. Namun, terasa sangat sepi. Hal itu membuat mereka merasa penasaran."Ian sudah lama tidak tinggal di sini, semenjak istrinya menikah. Dia tinggal di perbatasan kota, di sana kan sepi," terang Rainy yang tengah menjamu tamunya."Dia tidak pernah pulang, Ma?" balas Ai yang tengah membantu mantan mertuanya itu."Ya, tidak pernah memang, Nak. Kami yang sering mengunjungi dia ke sana. Dia benar-benar belum ada niat untuk punya pengganti Ana juga sepertinya. Sampai sekarang belum juga ada kabar tuh tentang wanita yang dia dekati."Arzi yang baru ke luar dari toilet dan mendengar percakapan itu pun segera meluncur untuk bergabung. Berbeda dengan Danny dan Mario yang malah mengajak bermain sang anak."Keeano Halburt, kamu tampan sekali, Nak?" Rainy yang sudah tidak tahan ingin bicara dengan anak kecil itu pun segera berlari heboh kemudian menggendongnya. Semua orang ikut tersen
Tiffany mengintip dari jauh, tentang apa yang sedang dilakukan oleh Rald sekarang. Pria itu terlihat sangat sibuk di dekat mobil keluarganya.Beberapa saat kemudian, ketika sang sopir sudah datang, ia buru-buru menjauh dari sana.Tiffany yang tau kelakuan pria itu pun segera mendekat."Loh, kok bannya bisa bocor begini, ya? Sepertinya ada yang sengaja, nih." Keluhan sang sopir yang tentu saja segera ditepis oleh Rald."Jangan banyak menuduh dan berpikiran buruk, Om. Tidak baik untuk kesehatan dan sekitar.""Tidak, Nak. Ini memang benar, tadi saya tinggal masih baik-baik saja, kok.""Ini minumannya, aku pulang duluan, ya?" ujar Tiffany yang tentu saja membuat Rald kaget.Ia punya firasat buruk tentang kelakuannya yang mungkin sudah disaksikan oleh gadis itu."Om, aku pulang duluan, ya. Om perbaiki mobil saja dulu, nanti jemput di rumah Bang Danny!"Ia juga segera berlari untuk mengejar Tiffany yang sudah pergi jauh meninggalkannya."Tiff, kamu lihat semuanya, ya?""Apanya yang aku liha
Sebulan telah berlalu, naluri seorang ayah terhadap putrinya tidak akan bisa terpatahkan begitu saja. Hal itulah yang sedang dirasakan oleh Ian sekarang. Ia membawa begitu banyak pakaian anak-anak bersama kedatangannya ke sana.Masih dengan jarak yang jauh, namun Ai sudah dapat melihat kedatangan pria itu. Ia yang memang masih merasakan trauma mendalam yang entah kapan sembuhnya pun segera menutup semua akses untuk kedatangan pria itu.Ai yang memang hanya tinggal bersama pembantunya tak dapat berbuat apa-apa selain menghindar. Tampak jika Ian tengah membuat penawaran sekarang. Bagaimana tidak, ia sangat takut jika tidak diberi kesempatan."Sudah, Bi. Suruh saja dia pergi. Aku tidak mau kalau dia datang ke sini, tidak suka." Perintah Ai yang dikirimkan lewat pesan wa itu membuat Ian semakin sedih. Ia segera berlutut sekarang."Ai, tolong beri aku kesempatan untuk melihat wajah putraku. Aku tidak mau dihantui rasa bersalah ini terus-terusan. Hidupku terasa sangat menderita, jadi tolon
Danny buru-buru pindah ke rumah Arzi. Ia memang sengaja mengalah dalam hal itu agar lebih dekat dengan istri dan anaknya. Bagaimana pun, saat ini yang paling ia utamakan adalah kebahagiaan sang istri.Arzi tersenyum lebar ketika melihat kedekatan antara anak dan menantunya itu. Ia juga tidak terlalu mempermasalahkan apapun yang menjadi pilihan pasangan itu."Yah, ini Keeano tidak mau diam dan tenang. Sepertinya harus mandikan bundanya dulu." Pria itu segera memberikan anaknya kepada Arzi. "Aku bantu Ai mandi sebentar ya, Yah.""Iya, tenang saja. Serahkan pada ayah." Arzi segera bergerak ke luar dari ruangan keluarga kemudian mendekati sang istri yang tengah tersenyum menunggunya sekarang. Ia terpaku menatap arah dada istrinya yang cukup besar sebab mengalami pembengkakan."Hei, apa yang kamu lihat? Aku tidak suka pria genit ya, Dan.""No. Bukan itu masalahnya, Ai. Kenapa ukurannya malah semakin membesar? Ada masalah kah, kita periksakan ke dokter, yuk?"Ai menggeleng sambil tersenyum
Sementara Ai, ia mengeluhkan rasa sakit yang teramat. Entah kenapa, pikirannya terus terbayang pada ibunya yang sekarang tak lagi bersama dengannya.Ia kemudian meminta sang ayah untuk menghubungi ibunya sebab bagaimana pun, wanita itu akan tetap menjadi orang yang paling berarti baginya sebab telah melahirkannya ke dunia ini."Ada kami di sini-""Om, please lakukan saja. Kita tidak tau bagaimana wanita menahan rasa sakit yang teramat ketika akan melahirkan. Aku bisa menjamin seratus persen kalau semuanya akan segera baik-baik saja setelah Ai mendengar suara Tante Elvina."Menyerah dan tidak ingin berdebat lebih panjang, Arzi pun melakukan hal itu. Dokter dan perawat yang menanganinya pun ikut bersuara. Mereka berbincang sekarang dan dalam hitungan menit, anak itu lahir ke dunia."Selamat, Bapak dan Ibu, anak kalian laki-laki. Dia sangat tampan," puji sang dokter membuat Ai merasa sangat penasaran."Kenapa jadi mirip sama kamu sih, Dan?" tanyanya sebelum akhirnya tak sadarkan diri.Se
Ai menatap ke arah pintu kamarnya yang tengah terbuka sejak tadi namun tidak ada yang masuk. Pada akhirnya, ia ke luar sekarang. Mencoba menelusuri seluruh sudut rumah dan masih tidak mendapati siapa-siapa di sana.Pada akhirnya, ia turun ke lantai bawah dengan maksud untuk mencari sang ayah. Langkahnya tertatih sebab perutnya yang sudah semakin besar sekarang.Bayi dalam kandungannya pun begitu aktif memberikan tendangan untuknya sehingga ia harus menahan rasa sakit esktra."Sayang, tunggu sebentar, ya. Kita cari papa kamu dulu," gumam wanita itu sambil terus melangkah hingga akhirnya ia tidak sengaja mendengar percakapan antara ayah dan orang-orang yang entah siapa mereka."Jadi, kecelakaan Ai waktu itu adalah rencana Ian?" tanya Arzi dengan nada kencang.Ia masih tak percaya hingga sekarang.Beberapa saat kemudian, Ana datang. Ia membenarkan kabar itu sebab rekaman suara itu didapat dari ponsel milik Ian sendiri. Ia memang telah melewati batas dengan memeriksa ponsel pria itu, namu
"Sekarang juga kamu harus menikah dengan Ana," gertak Mario penuh amarah tatkala putranya siuman dari tidur panjangnya.Pria itu memang sudah tidak sadarkan diri selama dua bulan lamanya. Mungkin karena benturan hebat di otaknya. Semua orang seolah memberi tekanan yang membuatnya merasa tidak dihargai, seolah segala sesuatunya menjadi sulit.Sementara Ai, ia menjadi lebih tenang sekarang sebab kandungannya sebentar lagi akan segera ke luar ke dunia. Ia juga tak lagi bekerja di luar rumah.Traumanya jauh lebih besar dari keinginan untuk bisa bekerja selayaknya harapannya dari jauh-jauh hari."Apa yang dia lakukan tanpaku?" tanyanya pada Ana yang segera memberikan tamparan di wajahnya sekarang."Perutku sudah semakin besar dan kamu masih memikirkan wanita lain? Sialan kamu, Ian. Aku tidak mau tau, kamu harus segera menikahi aku!"Kecaman itu segera membuat Ian sadar jika ia memang telah melakukan hal itu pada Ana. Ia sendiri juga yang telah berjanji jika akan segera menikahi wanita itu,
Ai merasakan sakit yang teramat di perutnya. Ia segera memperhatikan arah kakinya, rasanya cukup lega sebab tidak ada darah yang ke luar.Namun, rasa sakit itu masih tak berhenti. Ia berteriak hingga akhirnya mendengar suaranya sendiri yang bergema. Tau jika dirinya tengah disekap di ruangan itu, ia mulai mencari jalan ke luar untuk segera ke luar dari sana."Ya Tuhan, aku sangat ketakutan," gumamnya.Suara langkah kaki menyadarkan ia jika seseorang telah datang, mungkin untuk memastikan keadaannya. Ia masih berpura-pura tidak sadarkan hingga sebuah tangan menyentuh dagunya."Bangunlah, jangan berpura-pura lagi," ujar Ian yang membuat Ai sungguh tidak menyangka.Rasa takutnya kembali memuncak dan menjadi lebih agresif sekarang. Pria yang hendak menyentuhnya itu segera ia hantam kepalanya. Ia juga mendorong pria itu dan menggigit tangannya sekuat tenaga."Aw," pekik Ian merasa geram menahan sakit. "Kamu jangan bertindak di luar batas, ya. Aku bisa saja membunuhmu sekarang. Aku sudah cu