"Lebih baik kamu keluar Sella." Zea menarik paksa adik sambungnya itu. Namun, Sella memberontak dan mendorong Zea hingga jatuh tersungkur. Melihat hal itu Gior pun gegas menghampiri Zea dan membantunya. "Kamu!" Netral Gior tajam menatap Sella. "Pak, dia yang lebih dulu membuat saya kesakitan," ujar Sella. "Saya tidak mau mendengar apa yang kamu katakan, lebih baik kamu tinggalkan tempat ini atau bukan hanya presentasi kamu yang saya batalkan, tapi kamu saya resign kan. Paham?"Sella terkesiap, dia merasa dunianya hancur dan semua itu karena Zea. Mana mungkin Pak Gior bisa membela Zea jika tak ada timbal balik. Dengan terpaksa Sella ke luar dari ruangan itu dengan napas yang memburu. Dia merasa apa yang mungkin dirasakan oleh Dara. Kegagalan, juga harapan mendapatkan bonus besar dari sang bos. "Kenapa hidupku seperti ini sih? Awas saja kamu Zea!" Masih saja Sella menyalahkan Zea, padahal Zea tak tahu apa pun tentang apa yang di lakukan suaminya untuk membalas dendam pada keluarga
"Aku dengan Pak Gior?""Iya kamu dan bos kamu. Apa benar apa yang terjadi dengan Farhat itu karena kamu?" Pertanyaan sang ayah membuat Zea bingung untuk menjawabnya. Tidak mungkin dia mengatakan jika Gior adalah Gio suaminya yang buruk rupa. Belum ada intruksi dari sang suami untuk membuka jati diirnya pada sang ayah. Hanya bisa menarik napas lalu kembali mencoba tenang dalam menjelaskan pada sang ayah. "Aku dan Pak Gior hanya sebatas bos dan karyawan. Kalau pemikiran ayah aku seperti yang dikatakan Kak Dara, berarti ayah belum berubah dan masih sama." "Bukan seperti itu Zea. Hanya saja ayah tak mau kamu di fitnah. Kamu wanita baik-baik yang lahir dari rahim wanita hebat. Ayah tidak suka mereka mengatakan hal demikian. Apalagi kamu punya suami. Ayah tidak mau suamimu berpikir hal yang tidak-tidak," ujar sang ayah. Benar kata ayahnya, tapi lidah Zea kelu tak bisa menjelaskan yang sebenarnya. Dia kasihan melihat sang ayah yang sedang kebingungan. "Kamu jangan ambil hati apa yang a
"Kamu dari mana Sella?" tanya sang ibu. Sejak tadi bu Lalya menunggu kedatangan sang anak, tapi Sella pulang malam tanpa mengabarinya. Sebagai ibu, dia pun merasa cemas. Sella muncul lalu menghampiri sang ibu. Masih dengan emosi yang melendak dia pun kembali menceritakan apa yang terjadi. Semua karena Zea, itu yang terlintar dari mulut Zea. Lagi-lagi Zea yang menjadi sasaran kemarahan Sella. "Kurang ajar. Semakin lama semakin menjadi si Zea itu. Kita harus bertindak," ujar sang ibu. "Awas saja kalian menyentuh Zea!" Tiba-tiba Pak Mansyur datang tanpa mereka tahu. Sontak Bu layla menahan Sella untuk tidak bicara lagi karena suaminya sedang emosi. "Pa tapi Zea merugikan aku. Kenapa sih sekarang Papa lebih membela Zea dari pada aku?" Tidak bisa ditahan Sella pun bicara dengan Pak Mansyur. "Karena Zea anak papa. Selama ini papa buta oleh perkataan kalian yang busuk. Ini bukan salah Zea, tapi memang semua balasan untuk kalian yang Zolim pada Zea."Netra Pak Mansyur begitu merah men
"Kita pergi dari sini," ujar Farhat pada istrinya. "Tapi Mas, dia ---"Belum juga selesai bicara, Farhat sudah menarik istrinya. Dia tidak mau terjadi sesuatu pada bisnisnya yang akan merugikan dirinya. Cukup kesalahannya kemarin yang membuat perusahaan sang ayah merugi. Dirinya tak mau jatuh miskin dan kehilangan harta yang kini dia jaga. "Mas, aku belum selesai." Dara menarik tangannya. "Cukup Dar. Kalau kamu kesana, pasti Zea kembali mengadu yang bukan-bukan pada Pak Gior. Kamu mau kita tambah susah? Bukannya kamu bilang Sella pun kehilangan kontraknya?"Dara bungkam, iya benar yang dikatakan oleh sang suami. Lebih baik dia diam dan menyusun strategi lain untuk membalas Zea. "Aku peringatkan kamu, jangan berbuat di luar sepengetahuan aku. Kalau aku tahu kamu lihat apa yang akan aku lakukan," ujar Farhat. Kali ini Dara tidak bisa membantah. Farhat tak mau mengambil resiko, sang ayah saja sudah berusaha menemui kakeknya Giro dan tidak berhasil. Bagaimana jika dirinya melakukan
"Maksudnya ayah, saya kerja di kantor ayah?" tanya Gio pelan.Seolah-olah apa yang baru saja ia dengar itu seperti bukan kenyataan yang ada. Maka dari itu Gio berusaha untuk memastikan jika apa yang dirinya dengar itu tidaklah salah.Gio menoleh kearah Zea. Keduanya saling pandang dan terlihat jelas Zea sangat cemas. Lucu bukan yang terjadi kali ini. Sang mertua tidak mengerti dan mengajak menantunya untuk bekerja di perusahaan dirinya hanya hampir bangkrut.Mungkin Pak Mansyur akan tertawa dan setengah malu jika mengetahui yang sebenarnya jika ternyata perusahaan Gio itu jauh lebih besar dan Gio tidak seperti apa yang dibayangkan olehnya itu."Apa Ayah tidak takut perusahaan ayah semakin buruk kalau memperkerjakan Mas Gio?" tanya Zea pelan.Dirinya benar-benar tidak menyangka dengan apa yang dipikirkan oleh sang ayah, mengapa bisa-bisanya ayahnya itu justru menawarkan hal yang benar-benar sangat diluar dugaan sekali. Kenapa Pak Mansyur justru menawarkan perusahaannya untuk dikelola o
"Makanya jadi perempuan jangan sombong, Zea. Pas dilamar juragan teh ditolak, malah milih sama pria miskin dan jelek. Susah sendiri kan sekarang?” "Bayangkan coba kalau punya anak. Pasti di mukanya ada tompel juga, kayak bapaknya.” “Lah, iya. Aduh.” Tawa berkumandang. “Mendingan juragan teh waktu itu. Meski tua, tapi kan dia kaya.” “Bener. Yang ini juga, meski miskin, harusnya ganteng gitu. Paling nggak enak dilihat. Bukannya cupu dan lusuh begini.” “Kayaknya benar kata tetangga. Si Zea diguna-guna, makanya mau sama suaminya.” “Heh, guna-guna juga butuh duit. Suaminya kan miskin!” Zea hanya diam saja sembari menyiapkan nasi untuk Gio, suaminya. Ia mencoba tidak memedulikan ocehan ibu tiri dan kedua saudara sambungnya, sekalipun ia tahu dengan pasti bahwa mereka tengah mengejek sang suami yang baru saja menikahinya dua minggu yang lalu. Pernikahan Zea memang termasuk dadakan dan tiba-tiba. Ia pun sebenarnya belum terlalu lama mengenal Gio. Hanya saja, pria itu pernah menyelamatka
"Atau apa, Bu?" "Kupaksa Gio Menceraikan kamu dan kamu harus menikah dengan juragan teh!" Sang ibu mengancam Zea. Zea meremas ujung baju. Dia merasa jengkel dan kesal. Apa yang ibunya katakan membuat dirinya geram. "Bu, cukup! Apa salah aku? Kalian kenapa selalu memperlakukan aku tidak baik. Kalian pilih kasih, harusnya aku yang mendapatkan kasih sayang." Sebuah tamparan mengenai pipi Zea, Bu Layla tidak suka jika anak sambungnya ibu membantahnya. Untuk apa membicarakan kasih sayang jika tidak ada keuntungan. "Tampar saja lagi, aku sudah kebal. Bahkan, aku merelakan calon suami aku untuk Dara. Hanya karena Dara menyukai dia." "Heh, jaga mulut kamu! Farhat itu cintanya sama Dara. Lagi pula keluarga Farhat itu enggak suka sama kamu yang enggak berpendidikan. Dara lulusan S1, berpendidikan. Jauh sama kamu yang lulusan SMA doang," ujar Bu Layla. Zea tersenyum miris sembari memegangi pipinya yang merah. Lucu sekali ibu sambungannya itu, mentertawakan hal yang memang sudah d
"Non, ngapain di sini?" tanya Bi Romlah. "Biasa Bi, mereka kalau enggak nyuruh aku sehari aja kayanya enggak bisa. Apalagi Ibu, senang banget bikin aku repot." Zea menggerutu kesal. "Yang sabar, Non." Zea hanya tersenyum, dia senang berada di dekat Bi Romlah. Asisten pribadi di rumahnya yang sudah dianggap seperti ibu kandung. Bahkan, dulu saat dia sakit Bi Romlah yang merawatnya. "Aku juga enggak tahu kenapa nasib aku kaya gini." Sembari memotong sayur, Zea terus meluapkan isi hatinya. Terlebih saat semua orang mengejek suaminya yang katanya jelek dan hanya kuli bangunan. Zea paham, suaminya jauh dari kata tampan. Dia pun menyadari, tapi setidaknya jangan menghina. "Eh, Zea keluar dulu. Bantuin di depan, tuh ibu nya Farhat sebentar lagi datang." "Bu, di sini belum kelar," tolaknya. "Cepat sudah." Ditariknya Zea ke ruang tamu, dia melihat suaminya pun sudah ada di sana membantu ayahnya menyapu dan mengepel. "Aduh, Bang ngapain si," ujar Zea yang langsung m