“El, baca!” Katarina memberikan ponselnya ke Elegi yang masih menyetir.“Apa sih, Kak? Bacain,” Elegi menggerutu dengan berbagai ekspresinya.“kata kakakmu, mau nitip oleh-oleh apa? Ha ha ha, lah dia aja masih lama di sana. Ngapain coba tanya begini,” gerutu Katarina merutuki Rafka.“Jawab aja sih,” tukas elegi singkat.Katarina hanya tersenyum sembari membaca pesan Rafka, enggan memberikan jawaban secepatnya. Katarina malah asik menatap jalanan yang ramai, mendadak rindu itu merasuki hatinya yang dalam.‘Kadang aku berpikir bagaimana hubungan kita ke depannya, Mas. Akankah ini terus berjalan seperti ini atau aku harus menjadi wanita yang selalu ikhlas dalam menghadapi sikapmu?’ batin Katarina bertanya-tanya.Tanpa disadari Katarina, mobil itu berhenti di sebuah cafe dekat pusat kota. Elegi yang masih sibuk dengan ponselnya, menatap ke sebelahnya yang masih termenung.“Kak,” panggilnya lirih.“Kak Katarina!” panggilnya lebih keras.Katarina yang masih sibuk dengan isi kepalanya yang b
“Tapi, Kak,” ucapannya terdengar gugup.“Gak apa-apa, coba aja dulu.” Katarina menatap lekat ke arah Elegi yang masih terlihat gugup.Edgar yang ada di sampingnya hanya mengulas senyum tipis ke arah Katarina, membiarkan Elegi tetap dalam keadaan tenang di sampingnya. Tidak lama dari itu, seorang laki-laki yang tidak asing bagi Elegi dan Katarina datang secara tiba-tiba.“Hai, Elegi, Kak Kata. Senang bertemu kalian di sini, boleh bergabung?” sapa Atalas dengan mengulas senyum hangat.“I-iya, Kak.” Elegi hanya mempersilahkan Atalas.Dengan menatap nyalang ke arah Atalas, Katarina masih diam menatap ke sekeliling. Mengapa di mana-mana ada Atalas? Tidak biasanya lelaki itu ada di mana-mana.“Kenapa, Kak? Ada yang salah dari aku ya? Apa kakak tidak suka aku gabung di sini?” berondong tanya Atalas.Katarina hanya membalas dengan tatapan biasa saja, Atalas yang duduk di dekat Katarina hanya mengulas senyum tipis. Matanya menelisik ke arah Atalas dari ujung kaki hingga ujung kepala.“Dari man
“Maksudmu, Ta?” tanya Katarina menyelidik.Atalas terdiam dengan fokus ke gagang setir mobil, tanpa menjawab pertanyaan Katarina. Ia hanya berusaha fokus pada jalanan, gang rumah keluarga Zavier sudah ada di depan mata.“Ta, jawab!” gertak Katarina.“Aku bercanda, Kak. Jangan dimasukin hati, kalau kakak mau sih gak apa-apa,” ujar Atalas terkekeh.Katarina menghela napasnya panjang sebelum memberikan jawaban pada Atalas, ia hanya diam tanpa meminta penjelasan yang lebih detail.“Aku sudah menikah dengan sah, Ta. Jangan mengharapkan aku,” ucap Katarina lirih.“Bahkan aku sudah bilang padamu, Kak. Aku bercanda, jangan ditanggapi serius,” elaknya dengan terkekeh.Katarina masih diam, enggan memberikan tanggapan dari sebuah candaan Atalas. Sebenarnya ia juga merasakan hal yang sama dengan Atalas, namun ia sadar pernikahannya dengan Rafka tidak mungkin diakhiri begitu saja. Sama saja dia ingkar janji pada Rio.“Sudah sampai, silakan turun, Kak!” ujar Atalas saat membuka pintu mobil.“Terima
“Mas Rafka ke mana ya? Apa dia tahu aku pulang sama Atalas. Huh, aku sudah rindu,” gerutu Katarina lirih.Di kamar yang sepi tanpa adanya Rafka, Katarina bolak-balik ke sana ke mari. Menatap sofa yang kini tidak ada tubuh Rafka yang terbaring.“Aku kangen, Mas. Kamu gak pengen gitu tiba-tiba ada di samping aku? Aku udah kaya orang tolol ini nungguin kamu pulang. Apa kabar dengan satu minggu LDR?” gerutu Katarina.Katarina hanya diam menatap sofa, dengan senyum simpul ia mencari-cari pakaian Rafka di almari. Memeluknya erat dengan mencium aroma tubuh Rafka yang tertinggal.“Suka aneh! Tapi aku sayang kamu, Mas!” ucap Katarina lirih.Tok tok tok!Ketukan pintu kamar Katarina, Katarina hanya berjalan malas ke arah pintu. Hari ini terlalu banyak orang yang mengetuk pintu kamarnya. Membuat ia malas membuka pintu kamar itu.“Siapa?” teriak Katarina keras.“Elegi di sini! Buka kak, cepet!” teriak Elegi dari luar.Tangannya tidak bisa berhenti mengetuk pintu kamar Katarina, seperti mahasiswa
“Bagaimana kalau kita mulai semua ini saat Rafka sedang di Yogyakarta?” tanya Pramana dengan menelisik ke arah Atalas.Kepulan asap rokok yang keluar dari mulut Atalas itu membuat Pramana semakin bertanya-tanya. Ia hanya menggelengkan kepala pelan, kepulan asap yang kembali keluar silih berganti.“Kataku sih, bisa jadi. Tapi tidak untuk kali ini, aku ingin menjalin hubungan yang lebih intens dengan Katarina. Setelah itu barulah kita beraksi,” jelasnya lirih.Pramana membelalakkan matanya lebar, masih tidak paham dengan jalan pikiran Atalas. Helaan napas panjang Pramana membuat Atalas menoleh.“Paman ada rencana lain?” tanya Atalas dengan memainkan rokoknya.“Aku kira kamu akan melakukan itu saat Rafka masih di Yogyakarta, akan sangat menyenangkan dia pulang disambut dengan drama. Tapi aku ikut rencana saja, Ta,” ujarnya dengan pasrah.Atalas mengetuk pelan ujung hidungnya, berpikir keras apakah pendapat Pramana bisa dipertimbangkan. Seperti ada yang kurang dalam pikirannya jika rencan
“Atalas, keterlaluan!” pekik Katarina keras saat tiba di kamar.Berulang kali Katarina berjalan mondar-mandir ke sana ke mari, dengan perasaan yang sangat aneh. Ia tidak tahu apa yang ia rasakan saat itu. Kakinya melangkah ke balkon kamar, udara dingin menyeruak ke seluruh tubuhnya.“Malam ini dingin banget, mas Rafka gak pengen ngabarin aku ya?” ucapnya lirih.Tidak lama dari itu, Katarina kembali masuk ke kamar. Langkahnya pelan dengan menutup tirai yang menutup pintu balkon. Matanya menatap layar ponsel yang tiba-tiba menyala, satu notifikasi pesan masuk terdengar di telinga Katarina.“Mas Rafka!” pekiknya keras.Mas Rafka : jangan begadang, besok datang ke kantor lebih pagi ya!Mata Katarina menyipit, rasanya senang mendapatkan perhatian lebih dari suaminya. Namun, ada perasaan yang mengganjal, kenapa rasanya ia ingin diperhatikan Atalas juga. Setelah kejadian di dapur itu, ada perasaan yang tidak dipahami oleh Katarina. Antara bingung dan bimbang, perasaan yang tiba-tiba datang t
“Hai, Kata! Ada apa?” tanya Rengga menyelidik.Rengga yang baru saja datang itu langsung melempar kalimat tanya secara tiba-tiba, Katarina hanya mengulas senyum. Matanya tidak beralih dari satpam yang baru berjaga itu.“Siapa ya, Pak? Bapak tahu tidak?” berondong tanya Katarina yang tidak berhenti.“Maaf, Bu Kata. Saya tidak tahu menahu siapa pengirim bunga mawar itu, tadi hanya ada kurir yang mengantar,” jelas satpam itu.Rengga yang tidak paham dengan apa yang terjadi memilih diam. Bingung melihat Katarina yang panik perkara bunga mawar.“Ada apa sih, Kata? Bunga mawar siapa yang kamu cari pengirimnya?” tanya Rengga menyelidik.“Panjang ceritanya! Ayo ke ruangan saja kalau begitu,” elak Katarina.Keduanya kini berjalan ke ruangan, mata Rengga tertuju pada satu buket bunga mawar yang cantik beserta satu notes di atasnya. Pelan ia membaca satu persatu kalimat yang ada di notes itu.“Kata ...?” panggil Rengga dengan penuh tanda tanya.Tatapannya mulai menyipit ke arah Katarina, dengan
‘Lucu,' batin Katarina lirih.Perlahan ia membuka kotak makan yang dikirim Atalas, nasi goreng dengan telur mata sapi. Entah makanan yang dia masak sendiri atau membelinya. Satu sendok dua sendok Katarina melahap nasi goreng itu.“Tumben banget bawa bekal, padahal mau aku ajak makan di luar,” sergah Rengga yang baru saja datang.“Dikirimin Atalas, entah dia kesambet apa tiba-tiba kirim makan siang. Oh iya, Rengga, setelah ini aku pulang ya,” jelas Katarina.Rengga hanya menganggukkan kepalanya paham, “Mau aku antar pulang?” tanya Rengga.Katarina seolah memberhentikan makannya sejenak, mendongakkan kepalanya ke arah Rengga yang sekarang berdiri di dekat pintu.“Tidak, Elegi nanti yang jemput aku. Kamu fokus aja di kantor,” titah Katarina lirih.Rengga hanya mengulas senyum tipis, langkahnya keluar dari ruangan dengan perlahan. Belum sepenuhnya keluar dari ruangan, Katarina sudah memanggilnya dengan keras.“Rengga! Aku boleh minta tolong tidak?” tanya Katarina.Rengga hanya menaikkan d
"Sudahlah, Ayah. Sekarang keadaan sudah lebih baik, ayah juga sekarang memiliki cucu yang lucu dan menggemaskan. Tidak perlu mengingat masalalu yang sudah-sudah," jelas Rafka panjang. "Benar juga!" Pramana menepuk pundak Rafka dengan terkekeh. Dua pria itu kini berjalan keluar dari ruangan bayi, menemui Elegi untuk bertanya ruang inap Katarina. Sepanjang koridor Rafka merasa senang sekaligus terharu. "Raf, kamu sudah mengabari Rengga? Ayah rasa dia sangat cemas denganmu yang selama beberapa jam ini sibuk menemani Katarina di ruang bersalin," ujar Pramana. Rafka hanya mengangguk, sudah beberapa jam ponsel itu tidak ia sentuh. Beberapa pesan dan telepon masuk dari Rengga. "Ayah duluan saja, ini Rengga mau telepon," ucapnya. Tidak berselang lama ponsel itu bersering, notifikasi telepon masuk dari Rengga. "Halo, ke mana aja?!" tanya Rengga dengan keras dari seberang. "Katarina lahiran, ada apa? telepon banyak banget, tadi ponselnya mati," jelas Rafka tanpa di minta. "Wah aku jadi
"Aku mau hidup sama kamu seumur hidup aku," bisik Rafka dengan memeluk tubuh istrinya. Katarina hanya pasrah dalam dekapan Rafka, ia menitikkan air matanya. Ucapan Rafka membuat hati Katarina tersentuh dalam. Jarang sekali Rafka mengatakan kalimat magic tersebut. "Mas, aku juga ingin bersamamu seumur hidupku, jangan lagi menjadi dingin seperti es batu, ya!" tegas Katarina terisak. Keduanya saling menguatkan satu sama lain, enggan melepas pelukan satu sama lain. Malam itu semua hal terasa sangat menguras air mata, namun dalam hati Katarina paling dalam ia ingin bahagia bersama Rafka. "Kita jaga anak ini sama-sama, dan kita akan menjadi orang tua kebanggaan mereka!" ucap Rafka dengan antusias. "Iya, mereka akan sangat bangga dengan kita, Mas!" ujar Katarina keras. *** Tiga bulan setelah perubahan Pramana, laki-laki paruh baya itu mempersiapkan semua kebutuhan acara tujuh bulanan Katarina. Dan hari ini adalah waktu acaranya, seluruh rumah didekorasi dengan sangat cantik dan Elegan
"Ayah, ada apa?" tanya Rafka dengan penasaran saat Pramana diam tidak melanjutkan ucapannya. "Em, Ayah sudah memikirkan sesuatu tentang ... anak kalian," ucap Pramana dengan ragu. Rafka dan Katarina berakhir saling menatap, keduanya tidak percaya akan ucapan Pramana. Sejak di awal kehamilan Katarina, Pramana terlihat acuh dan tidak peduli sama sekali. "Maksud ayah apa?"" tanya Katarina lirih. "Acara tujuh bulanan anak kembar kalian biar ayah yang persiapkan. Terus ayah juga kepikiran menyumbang nama untuk anak kalian nanti," jelas Pramana dengan antusias. "Hah! ini ayah serius?" tanya Rafka dengan penuh keraguan. Matanya masih memicing ke arah Pramana yang kini duduk di hadapannya. Laki-laki yang dulunya sangat menentang keras hubungan keduanya kini luluh karena kabar bayi kembar? "Iya, ayah sudah mencari vendor yang bagus untuk acara tujuh bulanan anak kalian. Terus ayah sudah memikirkan nama anak yang sangat lucu, sayangnya kita belum tahu ya jenis kelaminnya," keluh Pramana
"Hm," singkat jawaban Pramana beranjak meninggalkan Rafka begitu saja. 'Ada apa dengan ayah? kenapa dia tidak suka aku punya anak, bukannya ini hal baik ya dia akan menimang cucu dari anak sulungnya,' gumam Rafka dalam batinnya. Rafka hanya menghela napas panjang, ia berjalan masuk ke dalam rumah. Melihat tingkah Pramana yang seolah biasa saja, membuat perasaan Rafka sedikit kacau dan takut. "Tapi ayah tidak akan berbuat yang macam-macam pada Katarina, em lagian semua asetnya sudah aku kembalikan sesuai janji. Kalau ayah masih nekat mencelakai Katarina, seharusnya dia tahu apa akibatnya," ucap Rafka sepanjang langkah ke kamar. "Kak!" seru Elegi keras. Rafka menoleh, "Ada apa, El?" tanya Rafka dengan ketus."Gak apa-apa, cuma manggil aja. Kak Kata di mana, Kak?" tanya Elegi lagi. "Kamar," singkat jawaban Rafka lalu beranjak meninggalkan adiknya. *** Saat tiba di kamar, Rafka melihat Katarina sudah bangun dari tidurnya. Hanya saja ia hanya duduk diam di ranjang, matanya menatap
"Raf, maaf ganggu. Ini ada meeting yang kamu harus datang," ucap Rengga di telepon. "Emang gak bisa diwakili? biasanya juga kamu yang wakili," tanya Rafka sedikit berbisik."Enggak bisa, client pengennya kamu yang presentasi. Udah sempet aku rayu tapi tetep gak mau," jelas Rengga. "Siapa sih, Reng?" tanya Rafka dengan tegas. Rengga sejenak diam, ditelpon Rafka sudah menunggu jawaban dengan penuh tanda tanya. "Andini," singkat jawaban Rengga membuat Rafka bungkam. "Duh, aku lagi gak bisa ninggal Katarina sendirian di rumah. Reng, Katarina hamil, badannya masih belum kuat banget trimester pertama," jelas Rafka dengan antusias. "Terus ini gimana? Andini tetep minta kamu," tegas Rengga. Sejenak Rafka menghela napasnya, berpikir panjang apakah ia bisa meninggalkan Katarina 1-3 jam saja. "Gimana? aku butuh jawaban," tegas Rengga di telepon. "Bentar aku mikir!" gertak Rafka. Rafka mempertimbangkan banyak hal, meeting hanya 1-3 jam. Akan tetapi, keselamatan Katarina selama 1-3 jam i
"Kak!" teriak Elegi keras dari luar kamar.Mata Katarina dan Rafka kini tertuju pada pintu, percakapan itu terhenti begitu saja. Rafka segera beranjak ke pintu, menemui Elegi yang secara tiba-tiba mengetuk pintu dan berteriak sangat keras. "Ada apa?" tanya Rafka setelah membuka pintu. "Em, itu, ayah aneh banget!" gerutunya. "Terus? kamu ngapain malem-malem ke sini?" tanya Rafka dengan sedikit keras."Gak apa-apa sih, cuma pengen iseng aja," Elegi terkekeh lalu berlari ke kamarnya. Rafka hanya menggelengkan kepalanya, melihat tingkah adiknya yang sangat aneh itu. Kini ia hanya memijit pelan pelipisnya yang terasa sakit. "Mas, ada apa?" tanya Katarina lirih. "Adik iparmu, cari ribut mulu," jawab Rafka terkekeh."Apa katanya?" Katarina berbalik tanya dengan melihat tangan Rafka yang memijit pelipisnya. pria itu hanya menggelengkan kepalanya, merebahkan tubuhnya di dekat Katarina. secara tiba-tiba Katarina ikut memijat pelipis Rafka, tanpa permisi dan basa-basi. "Pusing ya? kamu k
“Raf, apa ini tidak berlebihan?” tanya Pramana dengan tatapan sendu.‘Ada masalah apa dia mengatakan ini berlebihan? Bukannya dia sendiri yang membuat ulah hingga kejadiannya seperti saat ini,’ batin Rafka bertanya-tanya.“Bagiku ini sudah tepat, ayah!” tegas Rafka.Matanya melihat Pramana yang sibuk memainkan tangannya berulang, laki-laki paruh baya itu terlihat ragu. Rafka yang tidak ada ampun mendesak ayahnya untuk memberi jawaban.“Gimana? Apakah ayah sudah memiliki jawaban?” tanya Rafka dengan suara sedikit mendesak. [“Raf … berikan ayah waktu untuk berpikir dan mempertimbangkannya sedikit lagi. Sepertinya waktu setengah jam masih kurang,” jawabnya dengan menghindari pandangan Rafka.“Tidak, ayo berikan jawaban ayah sekarang, aku tidak punya banyak waktu!” ujar Rafka dengan tegas.Pramana kini duduk menghadap Rafka, helaan napas panjang yang sempat terlihat oleh Rafka. Pria paruh baya itu hanya menunduk pilu, terlihat keresahan yang ada dalam dirinya.“Bagaimana ayah? Apa ayah m
“Loh, Ra ....” Belum sempat Pramana melanjutkan ucapannya Rafka sudah menyangkal perkataan laki-laki paruh baya itu. “Bubar kalian semua!” teriak Rafka keras. Rafka saat itu hanya memijit pelipisnya pelan, tangan kanannya kini mempersilakan Katarina dan Elegi untuk masuk ke kamar. Meja ruang tamu yang kini berisi berbagai minuman dengan bau sangat menyengat. “Pamit dulu, Pram,” ujar seorang teman dengan membawa beberapa temannya. Mata Rafka hanya menatap nyalang ke arah Pramana, ia sudah keheranan dengan tingkah ayahnya yang tidak henti-hentinya berulah. “Ikut aku!” ujar Rafka dengan berjalan ke ruang kerjanya. Rafka menghela napas panjang, matanya masih tertuju pada laki-laki yang kini berdiri dengan wajah biasa saja. Pramana hanya mengulas senyum tipis tanpa banyak bicara. “Ada apa?” tanya Pramana tanpa berdosa. “Masih bisa tanya ada apa? Ayah, apa yang kamu lakukan beberapa hari setelah aku berangkat ke Yogyakarta? Pantas begitu!” dengan suara keras Rafka membentak
“Jadi selama aku tidak pulang ke rumah ayah berbuat ulah ya, Kak. Seharusnya aku tidak meninggalkan rumah dan menjaga ayah,” ucap Elegi dengan suara purau.Usapan pelan pada pundak kiri Elegi dari Edgar membuatnya menoleh. Rafka yang menedengar ucapan ELegi semakin banyak beban di kepalanya.“Enggak apa-apa, semuanya sudah terjadi,” ujar Rafka.“Aku tidak paham lagi dengan maksud ayah, tapi kalau kakak butuh bantuan untuk ngobrol sama ayah aku bantu,” tegas Elegi dengan antusias.“El, terima kasih ya sudah mau membantu kakak menyelesaikan semua ini,” ucap Rafka dengan senyum yang terulas di bibirnya.Katarina hanya mendengarkan percakapan adik dan suaminya, ia merapal doa untuk apa pun yang mereka lakukan. Ia masih merasa sangat bersalah dengan apa yang sudah terjadi, mungkin jika Atalas masih hidup semua kejadian yang terjadi sekarang tidak akan terjadi.“Em, Mas, El. Maafkan aku ya, akibat dari kejadian yang bermula dari aku semuanya jadi seperti saat ini,” ungkap Katarina dengan m