Klausul kerja yang dirancang Staf Administrasi Pinto telah dipelajari oleh Mas Ondi dan Mas Gagan. Tiada satupun poin yang memberatkan. Semuanya adil bagi penerima kerja. Mereka menempelkan tanda tangan pada kontrak kerja yang dibuat Staf Adminstrasi Pinto. Duo sosiolog resmi berstatus TA tambahan Pinto. Sekarang, pukul delapan pagi hadir di sekitar Mas Ondi dan Mas Gagan. Mereka berdua bersiap siaga. Bercokol di ruang kerja Pinto. Keduanya tengah menanti Pinto. Hendak menjabarkan salah satu rencana pekerjaan kepada tuan bos baru. Saat sedang bertukar lisan, Mas Ondi dan Mas Gagan menangkap bunyi derap kaki. Semakin lama semakin terdengar jelas suara tersebut. Pandangan mereka serta-merta beralih ke luar ruangan. Dan mereka melihat Pinto berdiri di samping pintu. “Lho, Mas Ondi sama Mas Gagan ada di sini?” Pinto menanya. Terperanjat dia menatap keberadaan Mas Ondi dan Mas Gagan. Pinto lalu menyalami kedua TA tambahannya. “Kami ada keperluan penting yang harus di
Celotehan Monik Okky memuat kerinduannya terhadap Pinto. Ingin sekali ia menemui Pinto. Saling berbagi buah tutur. Bertukar cerita menarik. Namun sayang, Monik Okky tersandera oleh jadwal padat. Kerinduan Monik Okky simetris dengan hasrat Pinto. Pinto terlalu ingin berada di sisi Monik Okky. Menikmati laku agung Monik Okky tanpa penghalang. Secara langsung merasakan kilau aura Monik Okky. Pinto enggan mengungkapkan hasratnya. Apabila Pinto mengungkapkan hasratnya, niscaya sangkaan keliru Monik Okky muncul. Dijamin, Pinto dilanda oleh kerepotan. Dia wajib mencurahkan isi perasaan sejatinya. Sudah tentu merembesi penawar kepahitan di sanubari Monik Okky. "Aku ada schedule di lokasi biasa hari Sabtu sore," Monik Okky mengabarkan rutinitasnya. "Kalau Kak Pinto pengin dateng, dateng aja." Pinto memahami kalimat terakhir Monik Okky. Monik Okky mengirimkan kode tersirat kepadanya. Jari tengah Pinto menggosok jidat. "Di situ ada wartawan, nggak? Kalau ada, wartawa
Rooftop yang menyandang konsep kafe sekaligus rumah kaca tersebut berselimut kemewahan. Lantainya terbuat dari granit. Meja-meja di dalamnya mengandung marmer. Di setiap sisinya banyak terdapat kursi buatan Italia. Sebuah sofa panjang bernilai puluhan juta rupiah dikuasai oleh sepasang kekasih. “Perpolitikan sekarang makin bobrok,” Saroh mengomentari berita politik yang baru dia baca. Arung menoleh ke arah Saroh. “Bobrok gimana?” “Parah separah-parahnya!” koar Saroh ketus. “Sebagian anggota DPR makin jago sandiwaranya. Di depan rakyat, mereka mentingin rakyat dan religius. Di belakang rakyat, mereka saling berangkulan sembari bagi-bagi duit. Itu anggota DPR apa pemain teater?” kritiknya keras. Kritik Saroh sangat mengena. Bahkan keruncingannya menembus benak Arung. Benak Arung menyetujui kritik Saroh. Entah mengapa, lidah Arung gatal. Ingin sekali menghubungkan kritik Saroh dengan Khalim Mansyur. “Untung Papa kamu nggak pernah jadi anggota DPR,” tuka
Sebagaimana kebiasaannya, Saroh berangkat untuk pencarian nafkah ketika pagi masih menyatu dengan pukul delapan. Dia mengawalinya dengan gairah maksimum. Taksi online menjadi moda transportasinya. Satu-satunya aktivitas Saroh di kantornya ialah pengarahan singkat mengenai proyek penanggulangan bencana alam. Program yang digarap adalah perwujudan perlindungan sekolah dari bahaya bencana alam di Kota Bogor. Ia terlibat dalam pelaksanaan program tersebut. Sesudah pengarahan singkat berakhir, Saroh serta kolega-koleganya mengunjungi kantor BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Kota Bogor. BPBD Kota Bogor merupakan mitra kerja dalam proyek tersebut. Saroh, kolega-koleganya, serta para pegawai BPBD Kota Bogor menggelar sebuah rapat. Hal yang dibahas adalah rancangan peraturan-peraturan yang terkait dengan proyek tersebut. Rapat berlangsung hingga jam makan siang. Sehabis bersantap siang, Saroh serta kolega-koleganya menghadiri seminar pendidikan di Kampus Institut Pertanian
"HABIS INI KITA KE MANA?" ulang Saroh kesal. "Kalem sedikit, Say ...," sahut Arung pelan. Dia mengusulkan, “Bagaimana kalau kita ke Es Teler 77?” Tanpa berpikir panjang, Saroh menyetujui usul Arung. Arung menggenggam erat telapak tangan Saroh. Mereka berjalan menuju lantai pertama. Di atas tangga eskalator, keduanya bersepakat. Mereka berdua akan mengunjungi Toko Buku Gramedia ini pada hari-hari esok. Sesampainya di gerai Es Teler 77, Saroh dan Arung langsung memesan menu. Mereka menempati kursi di pojok ruangan. "Kapan kamu lanjut kuliah S2?" Arung memulai obrolan baru. Bahu Saroh terangkat. Saroh belum dapat menentukan tahun studi pasca sarjananya. Bisa tahun ini, bisa juga tahun berikutnya. Sebab keseharian Saroh dicengkeram oleh kesibukan pekerjaan. Konsentrasi Saroh tercurahkan untuk aktivitas di kantornya. "Kamu kuliah S2 di kampus aku aja," Arung menganjurkan. Dia mengutarakan alasan, "Kuliah di Stanford Graduate School of Business sanga
Pinto meninggalkan kantin di Gedung DPR. Permasalahan perutnya tuntas. Kelaparannya pun binasa. Demikian juga permasalahan otaknya. Akalnya bugar kembali. Di ruang kerjanya, Pinto bersiap untuk sebuah pertemuan. Dua pria akan memberikan laporan bernilai kepada Pinto. Ketika Pinto sedang menelaah hasil kunjungan kerja spesifiknya ke Provinsi Kalimantan Barat, batang hidung dua pria tersebut tampak. Pria pertama menjinjing tas ransel. Tas laptop tersampir di bahu pria kedua. Pinto langsung menyongsong mereka berdua. Mereka berdua menceritakan proses penelitian di Dapil Pinto. Dari mulai perkenalan dengan pemandu penelitian hingga wawancara mendalam dengan informan. Secara antusias Pinto menyimak cerita mereka berdua. Sesekali Pinto menaruh tanggapan pada ujaran mereka berdua. Beberapa tanggapan Pinto mengocok perut mereka berdua. Mereka berdua terkikik keras. “Mas Ondi dan Mas Gagan bisa menyampaikan datanya sekarang,” suruh Pinto secara tidak langsung kepada mereka ber
Mobil Lexus Pinto berlabuh di wilayah Kelurahan Tegalsari, Kota Tegal. Pintu penumpangnya terbuka lebar. Badan Pinto, kemeja batik bersepuh emas lengan panjang yang dikenakannya, dan arloji Rolex yang melingkari pergelangan tangannya keluar dari kabin penumpang. Pria di samping bodi mobil sigap memayungi Pinto. Pinto menyusuri gang-gang kumuh. Bagian bawah sepatu kulit Pinto menciumi tanah becek. Di sepanjang gang, Pinto menyapa penduduk yang menatapnya. Di ujung jalan sana, tenda berisi puluhan warga setempat berdiri tegap. Sedari tadi menunggu kedatangan Pinto. Dari arah berlawanan, seorang anggota tim sukses Pinto menghampiri Pinto. Dekapannya pada raga Pinto cukup erat. "Wis akeh sing teka, Mas Johan (Sudah banyak yang datang, Mas Johan)?" bisik Pinto. "Wis (sudah)," desis anggota tim suksesnya. Dia mengiringi langkah kaki Pinto. Masuklah Pinto ke dalam tenda. Kader-kader Partai Kesan langsung mengelukan kedatangan Pinto. Pinto membalas sambutan hanga
Kepala Mas Gagan terangkat. Indera penglihatannya membeliak. Terperanjat dia menatap ekspresi Pinto. "Ja-di be-gini, Pak Pinto ...," Mas Gagan gugup menenangkan Pinto. Ia mengusap keringat di dahi. "Kami akan memberitahukan usul berharga kepada Pak Pinto saat kami dan Pak Pinto tiba di Jakarta. Kami tidak memberitahukannya sekarang karena situasinya belum pas. Sekarang kami dan Pak Pinto sedang sibuk mengikuti reses kedua. Kalau kami memberitahukannya sekarang, fokus Pak Pinto bisa pecah," lidahnya mengalirkan maksud pengungkapan Mas Ondi. Rona merah di wajah Pinto memudar. Menandakan bahwa gumpalan kemarahan di dadanya hancur. "Oh, itu maksudnya. Saya kira, Mas Ondi malas memberitahukan usul berharga ke saya," Pinto terbangun dari kesalahpahamannya. "Untung saya belum pecat Mas Ondi," kelakarnya sembarangan. Ketakutan yang menekan sekaligus mengerikan Mas Gagan sirna. Napas kelegaannnya berembus kencang. Sementara Mas Ondi terkekeh keras. Mereka bertiga b
Hari ini bukan untuk kesuraman pada kemarin. Perjalanan waktu sepatutnya menuju kebahagiaan. Jikalau kesenduan kita masih bersemayam di dalam sanubari, kita mesti lekas-lekas mengenyahkannya. Jangan sampai mengendap dan menjelma menjadi duka nestapa. Lebih baik kita bersiap menghadapi esok. Begitulah pendapat Pinto berbunyi. Pendapat Pinto berlaku untuk kejadian semalam. Tindakan Caca Yunita sudah ia lupakan. Sekalipun diterpa oleh kata-kata negatif Caca Yunita, ia masih dapat meledakkan gelak. Luka sulit menghampiri hati Pinto. Pinto mampu menangkis beruntai-untai kepedihan dan berjuntai-juntai keperihan. Sekarang, Pinto tengah menikmati Minggu pagi. Menghirup udara segar sambil berlayar di dunia maya. Saat layar laptop menampilkan portal berita, dering telepon seluler Pinto meraung-raung. Dia menyambar alat komunikasi itu. “Lagi ada di mana, Bro Pinto?” terdengar suara Ardan di ujung sana. “Di rumah dinas.” Pinto menutup layar laptopnya. “Tumben, lu telepon gua
Sepuluh menit berselang. Sesosok perempuan bertubuh langsing mendekati keberadaan Pinto, Norma, dan Ardan. Tisu ada pada genggamannya. “Kamu habis dari mana, Sar?” tanya Pinto kepadanya secara serius. Saroh menduduki kursinya. “Dari toilet.” Langsung terembus napas kelegaan dari hidung Pinto. Degup jantungnya yang semula kencang, kini kembali normal. Dugaannya nyata-nyata keliru. “Biasa, Mas Pinto …,” Norma menyambar. “Saroh lagi ngadepin urusan cewek. Tempatnya di toilet,” selorohnya ringan. “Sis Saroh,” panggil Ardan pelan. Orang yang dipanggil Ardan menoleh ke arah Ardan. “Tadi, Bro Pinto minta Sis Saroh ceritain kisah asmara Sis Saroh,” Ardan mengingatkan Saroh. Saroh mengangguk mengerti. Dia masih ingat dengan permintaan Pinto. Seperempat menit dia berpikir. “Aku mau ceritain tuntutan papa aku.” Pikiran Pinto menajam. Diucapkannya sebuah kata yang menggugah keingintahuannya, “Tuntutan?” Saroh mengiakan sebuah kata tersebut. “Tuntu
Ujung waktu menjemput Rapat Intern Komisi VI DPR. Pinto berpacu ke tempat awal. Ia membereskan berkas-berkas yang berserakan di ruang kerjanya. Alat tulis kantor tertata indah di atas meja kerja milik DPR. Tumpukan kertas tersusun rapi di dalam lemari yang dimiliki DPR. Komputer yang disediakan DPR sudah dalam keadaan mati. Agenda Pinto berikutnya adalah pertemuan dengan Wahid dan Bisma. Lokasi pertemuan dekat dari ruang kerja Pinto. "Selamat sore, Mas Pinto,” sapa Wahid kepada Pinto yang baru datang di ruang kerjanya. Dia memandangi baju batik yang menempel pada fisik Pinto. “Tumben, Mas Pinto pakai kemeja batik lengan panjang pada hari Senin. Biasanya, Mas Pinto pakai kemeja biasa lengan panjang.” "Ini bukan sembarang batik. Ini batik spesial. Saya beli ini di Dapil saya waktu menjalani masa reses," Pinto menerangkan. "Hai Mas Pinto! Apa kabar?" panggil Bisma disertai senyuman. Pandangan Pinto membelok ke paras campuran Bisma. "Kabar saya baik." Bisma m
Hari ini bukan untuk kesuraman pada kemarin. Perjalanan waktu sepatutnya menuju kebahagiaan. Jikalau kesenduan kita masih bersemayam di dalam sanubari, kita mesti lekas-lekas mengenyahkannya. Jangan sampai mengendap dan menjelma menjadi duka nestapa. Lebih baik kita bersiap menghadapi esok. Begitulah pendapat Pinto berbunyi. Pendapat Pinto berlaku untuk kejadian semalam. Tindakan Caca Yunita sudah ia lupakan. Sekalipun diterpa oleh kata-kata negatif Caca Yunita, ia masih dapat meledakkan gelak. Luka sulit menghampiri hati Pinto. Pinto mampu menangkis beruntai-untai kepedihan dan berjuntai-juntai keperihan. Sekarang, Pinto tengah menikmati Minggu pagi. Menghirup udara segar sambil berlayar di dunia maya. Saat layar laptop menampilkan portal berita, dering telepon seluler Pinto meraung-raung. Dia menyambar alat komunikasi itu. “Lagi ada di mana, Bro Pinto?” terdengar suara Ardan di ujung sana. “Di rumah dinas.” Pinto menutup layar laptopnya. “Tumben, lu telepon gua
Malam menggelap pekat. Pinto mempercepat langkah kakinya. Buru-buru keluar dari Gedung DPR RI. Bergegas meluncur ke kediaman pribadi orang tuanya. Ia ingin menemui Woro Supriyanto dan Yeni Supriyanto. Memanfaatkan waktu senggang keduanya. Yang jarang tersedia untuk Pinto. Sesudah bersusah-payah menerobos kemacetan, mobil dinas Pinto akhirnya mencapai halaman kediaman pribadi Woro Supriyanto. Pinto masuk ke dalam rumah. Langsung menghampiri lantai dua. "Udah pulang?" sapa Yeni Supriyanto ketika Pinto baru menginjakkan kaki di ruang keluarga. "Udah," balas Pinto. Pinto berjalan ke arah sofa panjang berwarna merah. Duduk di samping Yeni Supriyanto. Di hadapan mereka, berdiri sofa panjang berwarna putih yang ditempati Woro Supriyanto. Pandangan Pinto bertaut pada Woro Supriyanto. “Serius sekali Bapak bacanya ...," ia mencandai Woro Supriyanto. Bibir Woro Supriyanto melukiskan senyum tipis. “Bapak sedang baca jurnal penelitian. Isinya menarik ,” timpalnya sera
Televisi yang ada di depan Pinto menyala. Layarnya memperlihatkan seorang pesohor bernama Feni Kinantya. Feni Kinantya bertutur bahwa dirinya sedang menekuni bisnis kuliner. Pinto tercengang menonton tayangan bincang-bincang itu. Dia baru mengetahui bisnis kuliner Feni Kinantya. Feni Kinantya tidak pernah menceritakan bisnis kulinernya kepada Pinto. Saat cengangan Pinto belum surut, ponselnya berceloteh. Dia meraih HP-nya. Mencermati bagian depan gawai tersebut. Ternyata, orang yang meneleponnya ialah Feni Kinantya. “Halo, Mas Pinto. Apa kabar?” sapa Feni Kinantya hangat. Pinto menyambar remote televisi. Dia mengurangi volume suaranya. “Kabar saya baik,” ujar Pinto singkat. “Gimana kabar kamu?” dia balik bertanya. “Baik dan sehat, Mas Pinto,” Feni Kinantya menyampaikan keadaannya. Mereka berdua saling menanyakan kondisi kesehatan orang tua lawan bicaranya. Pinto menanyakan kondisi kesehatan orang tua Feni Kinantya. Begitu juga dengan Feni Kinantya, m
Ruang Rapat Fraksi Kebijaksanaan Nasional (Kesan) berangsur senyap. Segala suara menguap. Para peserta rapat berganti kegiatan. Tak terkecuali Pinto, Wahid, dan Bisma. Bisma sibuk menggarap tugasnya. Pinto dan Wahid baru sampai di ruang kerja Wahid. “Saya sudah bertemu dengan dua peneliti sekaligus konsultan sosial yang nantinya akan menjadi TA tambahan Mas Pinto. Saya juga sudah mewawancarai mereka,” Wahid membuka pembicaraan. Sungguh Pinto tidak mengira begitu lekasnya bantuan Wahid. Tanpa sangsi, dia memuji setengah mati bantuan Wahid. Wahid merendah. Ia menolak anggapan Pinto. Bagi Wahid, bantuannya untuk Pinto tergolong biasa. Sekadar pertolongan untuk sahabat. “Mereka cocok untuk membantu Mas Pinto,” nilai Wahid serius. “Cocok bagaimana, Mas? Bisa dijelaskan, nggak?” “Mereka merupakan peneliti di sebuah lembaga riset sosiologi di Jakarta. Mereka bergelar PhD,” Wahid menyingkap latar belakang pekerjaan dan pendidikan dua calon TA tambahan Pinto.
Perintah Woro Supriyanto mengusik ketenteraman Pinto. Semisal hantu yang terus menghantui Pinto. Ke manapun raga Pinto bergerak, perintah Woro Supriyanto tetap membayangi Pinto. Di dalam keramaian, Pinto merasakan kesepian. Sendirian merenungkan perintah Woro Supriyanto. Selain itu, perintah Woro Supriyanto mengaduk-aduk benak Pinto. Membuat Pinto berkecamuk sekaligus pusing tujuh keliling. Pinto bingung, tindakan apa yang mesti diambil. Ia enggan menangisi kekhilafan yang diperbuat. Takut terhadap kesalahan yang mengacaukan kehidupannya. Terlebih, perintah Woro Supriyanto menentukan masa depan asmaranya. Pinto sukar menilai apakah perintah Woro Supriyanto tepat atau keliru. Dia bukan pakarnya. Yang jelas, Pinto memikul kegalauan. Sekiranya dibiarkan, kegalauan tersebut mungkin menjelma menjadi kekalutan. Memang, Woro Supriyanto telah membeberkan alasan di balik perintahnya kepada Pinto. Ditambah celotehan Yeni Supriyanto yang menepatkan alasan Woro Supriyanto. Namun, P
Kendaraan Pinto menjauhi rumah Ardan. Melaju secara kencang. Melintasi jalan-jalan yang tadi dilewati. Pinto dan kendaraan yang mengangkutnya balik ke komplek perumahan dinas anggota DPR RI. "Woooiii ... Mas Pinto!" pekik Bisma ketika mendapati siluet Pinto di beranda depan rumah dinasnya. Pinto menoleh ke Bisma. "Tumben kamu dateng ke sini malem-malem," Bisma berbasa-basi. "Iya. Maaf ya, Mas. Saya mengganggu jam kelonan Mas Bisma," canda Pinto dengan muka kuyu. Bisma mengakak. "Nggak usah minta maaf. Orang kamu nggak salah," tepis Bisma. "Jam segini saya belum kelonan sama istri saya. Lagian, istri saya tidur di rumah pribadi saya," sambungnya menegaskan. Ia menyilakan, "Ayo, kita masuk ke dalem." Dia menggapai bahu Pinto dan merangkulnya. Mereka melangkahkan kaki bersama ke ruang tamu. Di ruang tamu, Pinto melakukan hal yang sama persis dengan hal yang dilakukannya di rumah Ardan. Diamenceritakan perintah Woro Supriyanto, alasan di balik perintah