***[Danendra : Aku tunggu di lobi.]Adara mengukir senyum tipis ketika pesan tersebut muncul di layar ponselnya. Memandang kembali komputer di depannya, dia segera mengakhiri pekerjaan untuk menghampiri Danendra yang siang ini mengajaknya makan bersama.Sebenarnya—setelah depat pagi tadi bersama Ginanjar dan kejadian penamparan yang dilakukan sang Papa, Adara sangat malas pergi ke mana-mana.Dia ingin menyibukkan diri untuk melupakan sakit hatinya pada sang Papa yang tega membuang semua barang-barang Rafly lalu tega menamparnya. Namun, ketika Danendra mengajaknya makan siang,Adara sungkan menolak.Danendra sudah melakukan banyak hal—termasuk mengorbankan hubungannya dengan Felicya. Tak etis sekali jika Adara menolak permintaan suaminya itu yang hanya ingin menghabiskan makan siang bersama."Semoga Danendra enggak sadar sama pipi aku," gumam Adara sambil menyentuh pipinya yang kini terlihat sedikit biru.Selalu seperti itu. Setiap Ginanjar murka, perlakuan kasar pasti selalu dilakuka
***"Makasih buat makan siangnya, Dan. Aku masuk dulu ya.""Aku antar sampai ke ruangan kamu."Selesai makan siang, Danendra tentu saja mengantar kembali Adara ke kantor sekaligus mengambil mobil yang dia parkirkan di sana. Sampai di lobi, alih-alih pergi, Danendra justru menawarkan diri untuk mengantar Adara ke ruangannya karena memang setelah itu ada sesuatu yang harus dia selesaikan."Kenapa?" tanya Adara yang tentu saja heran ketika Danendra tiba-tiba saja ingin mengantarnya ke ruangan. Padahal dia pun dalam keadaan baik-baik saja dan tak perlu kawalan. "Apanya yang kenapa?""Kamu, kenapa pengen antar aku sampai ke ruangan kerja?" tanya Adara. Memandang Danendra yang menatapnya sambil mengukir senyum, Adara tiba-tiba saja mengubah raut wajahnya ketika sebuah kemungkinan tiba-tiba saja terlintas di pikirannya. "Dan kamu ... ""Kamu apa?""Kamu enggak ada niatan buat nemuin Papa aku, kan?" tanya Adara, karena memang di restoran tadi Danendra terlihat tak suka setelah Adara mengatak
***"Ini rumah sakitnya."Berhenti di parkiran sebuah rumah sakit besar di kota Jakarta, Danendra bergegas turun. Melepas jas hitam yang semula dia pakai karena rasa gerah melanda, Danendra bergegas menuju meja resepsionis untuk menanyakan keberadaan ruangan Felicya karena memang setelah mendengar kabar Felicya kecelakaan dari sang mama, Danendra langsung memutuskan sambungan telepon secara sepihak tanpa sempat menanyakan ruangan rawat gadis itu.Informasi yang didapat Danendra dari Teresa juga sangat minim. Hanya tempat kecelakaan, penyebab, hingga yang terjadi.Dan tentu saja rasa bersalah kembali merasuki Danendra karena ternyata Felicya mengalami kecelakaan tadi pagi dan Danendra yakin jika semuanya terjadi tepat setelah Felicya pergi dari apartemennya.Kehilangan fokus dalam berkendara, Felicya hampir menabrak pengendara lain. Namun, dia berhasil membanting setir dan pada akhirnya mobil yang dikendarai Felicya menabrak pohon sampai membuat bagian depan mobil rusak parah."VIP 101
***"Akhirnya selesai tepat waktu."Adara mengukir senyuman setelah dokumen yang sejak tadi dia kerjakan akhirnya selesai. Menyiman file tersebut, Adara langsung mematikan laptop lalu melipatnya kembali.Tak ada kerjaan yang harus dia bawa, hari ini laptop tersebut akan Adara tinggal saja di kantor."Danendra," gumam Adara. "Dia udah datang belum ya?"Memundurkan kursi kerja yang sejak tadi dia duduki, Adara mengambil ponsel yang sejak tadi disimpan di dalam laci dan tentu saja seulas senyum terukir di bibirnya saat dia melihat walpaper lama yang sampai detik ini belum diganti.Masih fotonya dengan Rafly ketika liburan beberapa lalu."Raf, perlahan aku mau belajar mencintai Danendra. Semoga kamu enggak kecewa ya," gumam Adara sambil mengusap layar ponselnya lalu setelah itu dia mencari kontak Danendra karena sampai saat ini tak ada pesan maupun panggilan dari suaminya itu."Enggak diangkat," gumam Adara setelah panggilan pertamanya diabaikan Danendra. Penasaran, Adara kembali menghubu
***"Sudah, habis ini kamu bisa beristirahat dengan tenang. Adara kayanya enggak akan ganggu lagi.""Makasih, Tante."Felicya mengukir senyum tipis pada seorang perempuan paruh baya yang baru saja menolongnya dari Adara yang selalu mengganggu dengan menelepon Danendra.Sejak kedatangannya ke rumah sakit siang tadi, Danendra memang tak kembali ke kantor—lebih tepatnya tak diperbolehkan kembali oleh Teresa yang memintanya untuk menjaga Felicya karena siang tadi Teresa harus menghadiri acara salah satu temannya.Dan sekarang, tepat pukul enam sore Teresa baru datang untuk menggantikan Danendra yang sudah tertidur sejak tiga jam lalu di sofa ruang rawat Felicya, sementara ponselnya ada di atas meja nakas untuk dicharge setelah kehabisan baterai."Sama-sama cantik," kata Teresa. Menoleh ke arah Danendra yang masih terlelap dengan posisi terlentang, perempuan itu menarik kursi lalu duduk di samping ranjang Felicya. "Gimana keadaan kamu, sudah lebih baik?""Lumayan, Tante. Cuman wajah aku ma
***"Dan."Adara yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung mengedarkan pandangannya ketika dia tak mendapati Danendra di kamar.Masih memakai bathrobes lengkap dengan handuk yang menggulung rambut di atas kepala, Adara melangkahkan kakinya menjauh dari kamar mandi lalu berjalan menuju meja untuk mengecek ponsel—barangkali ada notifikasi pesan masuk.Namun, tak ada. Lagipula siapa yang akan mengiriminya pesan malam-malam begini, kecuali Rafly. Ah, lagi-lagi Adara kembali merindukan sosok lelaki itu."Ayolah, Dar. Lupain," gumam Adara pelan. Menyimpan kembali ponselnya di atas meja, Adara memfokuskan lagi tujuannya mencari Danendra.Tak ada di kamar, Adara membuka pintu lalu melangkahkan kakinya ke ruang tamu. Namun, di sana pun Danendra tak ada, hingga suara dari dapur membuat perhatiannya beralih.Mengukir senyum tipis, Adara melangkahkan kakinya menuju dapur dan di sanalah Danendra berada.Berdiri di depan meja makan, Danendra yang sudah seksi dengan celana pendek juga kaos put
"Fe-Felicya mau tinggal di sini?"Adara memandang Danendra lekat-lekat, mencari keseriusan di raut wajah pria itu setelah melontarkan ucapan yang jujur saja membuat Adara kaget sampai tak bisa berkata-kata.Tak tahu harus merespon apa, tapi yang jelas Adara terkejut—bahkan sangat terkejut dengan apa yang dikatakan Danendra."Iya," kata Danendra. "Sampai dia sembuh.""Ja-jadi, ti-tidur di sini sama kita?" tanya Adara memastikan. Sialnya, dia tak bisa berkata dengan lancar karena bibirnya tak tahu kenapa tiba-tiba saja terasa kelu."Kamu kenapa?" tanya Danendra. "Enggak apa-apa kan, hm?"Adara menggeleng. "Enggak, aku enggak apa-apa, cuman kaget aja," ucapnya kemudian—setelah kini dia bisa berbicara dengan lancar kembali."Kalau kamu enggak ngizinin enggak apa-apa, aku nanti bilang sama Felicya dan kasih dia pengertian," ucap Danendra. "Aku juga enggak enak sama kamu. Pasti enggak nyaman kan nanti kalau serumah sama Feli.""Jangan, Dan," kata Adara."Jangan apa?""Kamu jangan ngomong ka
***"Kamu seriusan enggak apa-apa aku tinggal?Sekali lagi—sebelum pergi, Danendra kembali melayangkan pertanyaan yang sama pada Adara sebelum pergi ke rumah sakit untuk menemui Felicya.Tak lagi memakai piyama, Danendra kini sudah mengganti bajunya dengan celana jeans juga kaos hitam yang dibalut jaket bomber. Berat rasanya Danendra meninggalkan Adara, tapi dia pun tak bisa menolak setelah Teresa berkata jika Felicya membutuhkannya."Enggak apa-apa, Dan. Kamu kan tinggalin aku di apartemen, bukan di hutan," jawab Adara.Danendra kemudian melirik arloji yang dia pakai. Sudah cukup malam sebenarnya karena jarum jam pun sudah menunjukkan pukul sembilan malam."Ya udah kalau gitu aku pergi ya, kamu hati-hati. Jangan asal bukain pintu kalau ada yang ngetuk, lihat dulu di intercom," ucap Danendra memperingatkan."Iya, Dan. Kamu hati-hati di jalan ya," kata Adara. "Iya," jawab Danendra dengan senyumannya. Sebelum pergi, dia mendekatkan wajahnya lalu tanpa ragu mendaratkan sebuah kecupan di
*** "Onty, Reano mana. Kok enggak kelihatan dari tadi?" Adara yang sedang menyapa para tamu seketika menoleh saat sebuah pertanyaan diucapkan seorang laki-laki muda yang malam ini tampan dengan kemeja navy bluenya. Danial. Yang baru saja bertanya pada Adara adalah Danial. "Eh, Nial. Rean kayanya masih di jalan." "Lho, enggak bareng?" "Mana maulah bareng sama Onty," kata Adara. "Dia kan jemput pacarnya." "Masih sama Lula?" "Masih." Danial tersenyum. "Awet juga ya, enggak kaya kakaknya." "Haha iya." "Ya udah, Nial gabung dulu sama yang lain ya Onty." "Iya, Nial." Malam ini adalah malam yang cukup membahagiakan bagi keluarga besar Alexander—khususnya keluarga Adam karena sebuah pesta tengah digelar di ballroom hotel berbintang di kota Jakarta. Bukan pertunangan atau pernikahan, pesta yang dirancang oleh anak-anak juga para menantu Adam itu adalah sebuah perayaan aniversary pernikahan Adam dan Teresa yang ke lima puluh delapan tahun. Cukup lama Adam menjalin
***"Duh siapa sih?"Masih dengan kedua mata terpejam, Alula mengulurkan tangannya—meraba-raba meja nakas di samping kasur untuk mencari ponsel yang saat ini berdering cukup nyaring.Entah siala yang menelepon, yang jelas Alula merasa sangat terganggu oleh bunyi dering ponselnya tersebut."Ketemu," gumam Alula ketika akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya.Mengambil ponsel tersebut, perlahan Alula membuka matanya dan yang dia temukan di layar adalah nama Reano."Reano. Ngapain sih?"Beringsut, Alula mengubah posisinya menjadi duduk sebelum akhirnya menjawab panggilan dari Reano."Halo, Rean. Kenapa?" tanya Alula parau."Baru bangun?""Iya.""Dih, belum sholat dong?" tanya Reano."Emang ini jam berapa?" tanya Alula yang memang belum sempat melihat jam baik itu di ponsel mau pun di dinding kamar."Jam lima pagi," kata Reano. "Ke air gih sana, cuci muka, wudhu, terus sholat.""Iya.""Nanti jam enam aku ke kamar kamu," ungkap Reano—membuat Alula seketika mengerutkan keningnya."Mau nga
***"Jaga diri baik-baik di sana, awas jangan macam-macam.""Iya, Ma. Siap."Pukul delapan pagi, Reano sudah siap dengan penampilannya yang bisa dibilang cukup rapi. Membawa koper berwarna hitam berisi pakaian ganti, remaja yang satu bulan lalu baru saja genap delapan pelas tahun itu sudah tiba di bandara, diantar Adara juga Danendra.Tujuannya? Tentu saja Jerman. Memanfaatkan libur panjang sebelum masuk kuliah, Reano memang meminta izin pada kedua orang tuanya untuk pergi ke Jerman menemui Nara.Tak sendiri, Reano pergi bersama Alula yang memang ingin menghabiskan waktu liburan di luar negeri.Berhubung kedua orang tuanya sibuk, Alula memutuskan untuk ikut bersama Reano yang sejauh ini bisa dipercaya menjaga putri bungsu seorang Arkananta itu."Jangan macam-macam kalian di sana. Ingat, pisah kamar," kata Aludra memperingatkan."Iya, Mama. Masa satu kamar?" tanya Alula. "Lagian uncle Danen kan udah pesenin dua kamar buat aku sama Reano.""Tenang aja, Ra. Aku udah pesenin kamar yang be
***'Hati-hati di jalan.'Elara yang baru saja memasukkan beberapa baju ke dalam tas seketika mengukir senyumannya ketika sebuah pesan yang bisa dibilang cukup romantis masuk ke ponselnya—membuat dia terbang ke angkasa dengan perasaan yang berbunga-bunga.Bukan dari orang sembarangan, pesan tersebut berasal dari Regan yang memberikan peringatan pada Elara karena sore ini gadis itu akan berangkat menuju Bandung untuk menginap di rumah Aksa selama dua malam.Alasannya? Tentu saja Elara ingin menemui Regan yang satu minggu lalu resmi menjadi pacarnya.Dicomblangkan oleh Respati lalu saling mengenal via virtual selama sebulan lebih, Elara dan Regan sepertinya memiliki banyak kecocokan lalu pada akhirnya memutuskan untuk menjalin hubungan setelah Regan menyatakan cintanya lebih dulu seminggu yang lalu.Regan memang jarang bicara bahkan terkesan dingin, tapi di dekat orang yang membuatnya nyaman, Regan kadang berubah seratus delapan puluh derajat dan bagi Elara, Regan ternyata cukup menyena
***"Oke, istirahat dulu aja ya.""Siap, Kak!"Menyimpan semua peralatan yang ada, para siswa juga siswi yang siang ini memakai pakaian olahraga lantas membubarkan diri lalu berjalan ke pinggir lapangan pun dengan siswi yang kini melangkah untuk menghampiri seseorang di bangku pinggir lapangan."Kamu kalau bosen, pulang aja."Istirahat dari latihannya, Alula langsung menghampiri Reano yang sejak tadi setia menunggu sambil bersandar pada tembok.Sejak masuk di SMA yang sama Alula dan Reano bisa dibilang cukup dekat—lebih tepatnya sengaja didekatkan oleh Adara yang memang menginginkan Reano lupa dengan perasaannya pada Nara.Setiap pagi juga siang setelah pulang sekolah, Reano diwajibkan menjemput dan mengantar Alula ke rumahnya bersama supir karena memang usia yang belum tujuh belas tahun membuat Reano belum diizinkan memakai kendaraan sendiri.Reano sebenarnya sudah beberapa kali menolak karena memang didekatkan paksa seperti ini membuatnya tak nyaman.Namun, sederet ancaman penyitaan
***"Reres, kamu ngapain ke sini?"Keluar dari pintu gerbang sekolah, Elara mengerutkan kening ketika mendapati seorang siswa laki-laki dengan seragam yang berbeda dengannya tengah berdiri sambil mengukir senyuman.Respati.Bukan pacar atau gebetan, siswa laki-laki yang kini tengah bersandar di pintu mobil sedan hitam adalah sepupu Elara—anak dari saudara Danendra."Hai, Kak El," sapa Respati sambil mengangkat telapak tangannya. "Apa kabar?""Baik," kata Elara apa adanya. "Kamu apa kabar?""Baik juga," ucap Respati."Kamu ngapain ke sekolahan aku? Ada urusan apa gimana?" tanya Elara."Iya ada urusan sama Kak El," ucap Respati—membuat Elara seketika mengerutkan keningnya."Urusan apa?""Hm." Respati bergumam pelan, sementara wajahnya terlihat menunjukkan sebuah keraguan. "Mau minta bantuan sih, Kak?""Bantuan apa?"Respati menggaruk tengkuknya yang bahkan tak gatal sama sekali."Res?""Ah iya, Kak. Bantuan apa sih?" tanya Elara. "Ngomong aja. Enggak usah ragu.""Hm, nanti malam Kakak s
***"Baik-baik di sekolah. Jangan banyak tingkah."Sambil mengoleskan selai ke roti, ucapan tersebut dilontarkan Adara pada Reano yang saat ini baru saja duduk di meja makan.Setelah dua minggu liburan berlangsung, tahun ajaran baru akhirnya tiba dan hari ini Reano akan memulai kegiatan sekolahnya di SMA.Sesuai perintah, mau tak mau Reano menurut untuk bersekolah di SMAN 8. Padahal, sudah sejak jauh-jauh hari remaja itu menginginkan sekolah di SMAN 34 karena memang hampir semua teman dekatnya bersekolah di sana."Mau joged di tengah lapangan," celetuk Reano."Apaan sih? Kalau dikasih tahu itu jawab yang benar. Bukan kaya gitu."Elara yang baru saja siap, lantas menoyor kepala adiknya itu dengan tangan kanan sementara tangan kirinya menarik kursi untuk duduk."Kamu juga apaan? Kepala itu sensitif. Enggak usah pake noyor," ketus Reano tak suka.Berbeda dengan kebanyakan siswa yang biasanya bahagia ketika masuk di sekolah baru, Reano justru sebaliknya.Selain karena sekolah yang dia tem
***"Kamu kenapa?"Menghampiri Adara di pinggir kolam, Danendra langsung mengucapkan pertanyaan tersebut setelah beberapa menit lalu terus memperhatikan sang istri yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu."Dan. Kamu di sini.""Orang-orang di dalam, kamu kok di luar?" tanya Danendra. "Lagi mikirin apa sih, hm?""Reano," kata Adara.Danendra mengerutkan keningnya. Dia yang datang membawa segelas air putih lantas menarik kursi lalu duduk di depan Adara."Apa yang kamu pikirkan tentang Reano?" tanya Danendra."Kamu lupa sama apa yang dia omongin tadi di mobil?" tanya Adara. "Reano bilang dia cinta sama Nara, Dan.""Terus masalahnya di mana?""Kok kamu nanya gitu, Danen?" tanya Adara tak suka. "Ya enggak bolehlah! Reano sama Nara itu saudara. Mereka enggak boleh saling mencintai lebih dari sekadar saudara.""Tapi kan bukan kandung," ucap Danendra. "Dalam segi agama ataupun negara, mereka sah-sah aja kalau mau punya hubungan.""Enggak!" pungkas Adara. "Sampai kapan pun aku enggak akan res
***"Males ikut, Ma."Mendengar ucapan tersebut, Adara menoleh seketika lalu memandang putranya sambil menaikkan sebelah alis."Males ikut apa?""Rean malas ikut ke Bandung."Pagi ini—seminggu setelah kepergian Nara ke Jerman, keluarga Adara akan bertolak menuju Bandung, menghadiri undangan yang diberikan keluarga Aksa.Bukan pesta besar, di Bandung sana Aksa hanya merayakan syukuran atas kelulusan putri angkatnya Aileen di salah satu universitas terbaik di kota Bandung dengan nilai yang juga tentunya sangat baik.Tak hanya Danendra dan keluarga, nantinya Adam juga Teresa pun akan datang bersama supir lalu Danish juga terbang dari Surabaya bersama keluarganya."Kenapa?" tanya Adara.Tak tahu tentang yang terjadi pada Nara, Adara memang mulai bersikap biasa kembali. Perempuan itu mencoba menghibur diri dari rasa sedih kehilangan Nara karena tentunya dia berpikir sang putri tak akan lama pergi.Berbeda dengan Adara yang berusaha menghibur diri, Reano justru seperti orang tak bersemangat