Setelah mengantarkan Nadia, Dewi kembali ke kampung tempatnya tinggal, dia meminta supir melewati rumahnya yang terbakar semalam. Puing berserakan di halaman sekarang, beberapa orang dengan seragam rompi berlogo konstruksi ternama sudah berada di halaman rumah Dewi juga."Tuan besar memanggil mereka untuk segera menyelesaikan semuanya nyonya. " Yasmin menjelaskan, pagi tadi Deren bos nya sudah memberi tahu lebih dulu.Dewi membuka kaca Mobilnya dan melihat lebih jelas sisa kebakaran itu di amgkur dengan mobil bak terbuka entah kemana."Wi, Dewi!" Sebuah suara membuat wanita itu menatap ke belakang. Rupanya satu tetangganya sudah mengejar dengan terenggah."Berhenti pak, berhenti sebentar." Ucap Dewi pada supir pribadinya.Setelah mobil menepi dan berhenti, Dewi keluar mendekati wanita empat puluh tahun bernama bu Lasih itu."Ada apa bu, kok sampai lari-lari begitu?""Kamu benar mau beli rumah ini?" Lasih bertanya dengan napas hampir tercekat."Duduk dulu bu, duduk dulu. " Dewi mengaja
Dewi bicara dari hati ke hati dengan ibunya, setelahnya wanita itu kemudian menatap dengan senyum- senyum saat melihat ibunya sudah rapi berdandan."Bu, ibu kan sudah cantik ini, ikut Dewi pergi yuk bu?"Manik mata Reni membelalak. "Pergi kemana to nduk, ibu ini tadi cuma ganti baju dan pengen segera ketemu kamu tadi, cantik dari mana?""ibu cantik apa adanya kok, Ini juga sudah ketemu Dewi kan bu, jadi ayo sekalian Dewi ajak jalan-jalan. Hari ini mas Alif meminta Dewi mencari rumah bu, rumah sementara buat kami tinggal.""Kenapa nggak tinggal di rumah ibu saja to nduk.""Nggak bisa bu, kami banyak orang, mas Alif punya pegawai satu RT sekarang, rumah ibu bisa sumpek kalau mereka datang semua."Reni tertawa mendengar ucapan anaknya, sejak tadi dia memang terus mencuri pandang ke arah luar rumahnya."Di luar ada dua mobil itu mobil mu semua?" Reni bertanya pada Dewi."Mobil mas Alif, Dewi mana tau mobil itu atas nama siapa, sudah bu jangan mikir lagi, ayo kita jalan-jalan. Sinta juga,
Pagi itu Alif datang ke pabrik cabang dekat rumah nya dan Dewi, tentu saja untuk bertemu dan mencari tau kenapa pabrik ini punya daya jual yang jauh di banding pabrik lain, sementara bahan baku mentah selalu di kirim dalam jumlah yang sama."Mana laporan pabrik ini?" Alif meminta pada pimpinan utama dan dengan tertunduk lelaki tambun bernama Harjo itu menjawab."Semua pengiriman dan alokasinya ada di tangan orang pak Beni tuan.""Maksud nya bagaimana?""Orang pak Beni datang mengambil barang jadi dari pabrik kami dan mengirimnya sendiri."Alif mengerutkan alisnya, bukankah setiap cabang punya pengelolaan sendiri, kenapa Om nya Beni justeru yang memegang kendali di sini?"Lalu mana laporan pengiriman dari orang-orang itu?""Mereka langsung memberikannya pada pak Beni""Apa maksudnya ini pak Harjo? anda ini pimpinan di sini,, punya tanggung jawab juga menjalankan semua fungsi dengan baik, kenapa tiba-tiba orang luar memegang kendali? tak benar anda ini!" Alif menjawab dengan kesal."Say
"Nggak mbak, aku serius. Aku sudah membaca hasil kerja mbak Tri, mempertimbangkan segala hal dan maaf mbak, mbak Tri tidak bisa berada di posisi pimpinan HRD dulu.""Kenapa? apa karena perlakuanku padamu dan Dewi? kamu dendam lif padaku? katakan sesuatu lif!" Tri terlihat binggung, ia tak ingin di pindahkan ke gedung belakang yang terkenal angker dan juga kotor."Dendam dan bisnis dua hal yang berbeda mbak Tri, aku memang sangat marah padamu dan mas Aziz, tapi ini tak ada hubungan nya dengan keputusanku.""Tapi Lif, coba katakan padaku apa yang sebenarnya kamu mau? Apa tak ada kesempatan untukku?" Tri terus berharap Alif merubah keputusannya."Jika mbak Tri keberatan, mbak boleh mengajukan surat pengunduran diri, aku masih punya beberapa kandidat baik juga di sini.""Tidak Lif, aku berada di sini dari saat pabrik ini baru di buka dua belas tahun lalu, aku memulai segalanya dari bawah Alif, bahkan menjadi bagian dari pada buruh sudah pernah aku lalui dan sekarang kenapa aku harus memul
Bel pulang sekolah berbunyi, Nadia dengan sedih keluar kelas nya, ia selalu berharap bisa akur dengan Lisa, namun hari ini kakak sepupunya itu kembali membuat hatinya terluka. Menunggu jemputan datang, Nadia duduk di dekat taman, dirinya melihat dari kejauhan Lisa terus memamerkan botol baru itu ke semua temannya."Botol jelek!" Ucap Nadia tak suka, dia sudah tak tertarik lagi dengan barang mewah itu, bahkan saat Lisa melirik dengan sombong ke arahnya nadia hanya berdecak meremehkan, dia sudah malas sekali menatap kakak sepupunya itu."Apa bagusnya punya botol mahal, isinya juga air putih!" Ucapnya pada diri sendiri.Nadia menatap ikan di sudut kolam, mereka berenang seolah semua adalah teman, bahkan ada yang saling berputar seakan sedang bermain riang, dia begiru iri melihat ikan-ikan itu saling punya banyak teman."Kalian lucu sekali." Ucapnya pelan, berharap bisa juga punya sahabat sedekat itu.Sejak kecil Nadia tak pernah benar-benar punya teman, di rumahnya hanya dua teman yang d
Tri bergegas pulang saat hari menjelang sore, ia sudah meminta saudaranya menjemput dua anaknya di sekolah. Sore ini dia sudah membuat janji dengan seseorang yang sangat penting untuk mempertahankan posisinya di pabrik milik Alif.Tri memarkirkan mobilnya di lobi sebuah hotel, berjalan masuk ke restoran di dalam hotel wanita itu duduk dan menunggu seseorang datang. Tri memesan Espresso panas untuk menemaninya menunggu, sembari jarinya berselancar di dunia maya melihat berbagai setatus orang-orang yang di kenalnya.Jemari Tri berhenti pada setatus Sinta adik Iparnya, sebuah tas mewah dari brand ternama di foto dengan cantik di dalam kotak kardus dan selembar sertifikat yang hanya terlibat ujungnya saja di dalam sebuah kantung kain putih. Mata Tri membelalak membaca setatus di bawah foto itu.[Thanks my Sisster, udah nolak tetap di paksa ambil.]"Dewi membelikan tas ratusan juta buat Sinta? apa dia gila? tidak waras?" Tri bicara sendiri, dia merasa apa yang di lihatnya tak masuk akal se
Diana menatap lekat paras ayu yang baru saja bicara padanya, wanita di hadapannya ini punya senyum yang hangat, namun semakin membuat hati Diana benci padanya."Apa kita pernah bertemu?" Diana bertanya dengan sok akrab, berusaha menyembunyikan rasa kesalnya pada sosok Dewi di hadapannya itu.Dewi terdiam sebentar, mencoba mengingat mungkin mereka pernah bertemu di suatu tempat, namun rasanya tak bisa dia ingat juga."Saya rasa anda salah orang." Ucap Dewi dengan lembut lalu kembali memilih makanan di hadapannya.Kali ini Dewi memang turun bersama satu pengasuh Nadia dan Yasmin di mintanya menunggun di atas, menemani Nadia bermain sementara dirinya turun untuk mengambil kudapan untuk Nadia.Tri mendekat dengan ragu, sedikit penasaran mengapa Diana begitu tertarik dengan adik iparnya itu. Dewi melirik ke arah Tri dan menghentikan aktifitasnya, menatap kakak ipar nya dengan seksama sebelum akhir nya dia putuskan menyapa."Mbak Tri ada urusan di sini?" Tanya Dewi dengan wajah dingin.Tri
Alif keluar pabrik setelah semua urusannya selesai, esok ia mungkin harus meninggalkan Dewi dan Nadia di tempat ini dulu untuk sementara waktu, selagi dia menyiapkan segalanya di kota tempat papanya tinggal, terlalu berbahaya melibatkan mereka pada urusan yang bahkan tak seharusnya mereka tanggung."Sepertinya dugaanmu benar." Deren memulai pembicaraan pada sahabatnya itu, ia baru saja menerima konfirmasi siapa dalang di balik kebakaran rumahnya."Dugaan apa?""Kebakaran di rumah itu ulah adik iparmu." Deren bicara sembari menaikkan alisnya, lelaki muda itu bahkan tak habis pikir apa yang ada dalam pikiran adik ipar Alif."Jika begitu haruskah kita akan ke rumah Hendra setelah urusan kita dengan bu Bandi selesai?" Alif bertanya meminta pendapat lalu berjalan masuk ke dalam mobil."Aku lebih suka membalasnya dalam diam." Ucap Deren, dia suka menjalankan sesuatu tanpa di ketahui dan tiba-tiba BOOM! Sesuatu itu meledak dan menggemparkan semua orang.Alif tersenyum "Aku suka caramu!" Uca
201"Tidak, Nadia!" Aku berteriak panik saat melihat bola yang Nadia bawa terlempar tak jauh dari tubuh lelaki yang terlihat sedang bersembunyi di balik pohon besar itu."Ada apa?" Mas Alif nampak panik melihat aku berlari keluar dan berteriak."Ada apa Wi?" Mas Alif menarik tanganku dengan cemas."Mas, lelaki itu datang lagi mas, dia di bawah." Ucapku dengan panik dan segera berlari menghampiri Nadia dan Caca.Aku tak dapat memikirkan apapun lagi sekarang, rasanya banyak hal yang mengancam kedua putriku saat ini."Wi, jangan berlari." Suara mas Alif masih dapat ku dengar saat aku menuruni anak tangga. Bagaimana aku tak berlari jika bayangan lelaki asing itu menghantui seolah akan membuat nadia atau Caca dalam bahaya."Sayang, pelan saja!" Suara mas Alif kembali terdengar.Aku sudah keluar dari bungalow dan berlari menuju halaman belakang, ku lewati begitu saja kolam renang nan cantik yang terus ku kagumi dari lantai dua kamar kami, kakiku bahkan menginjak rerumputan tanpa alas, sebe
Pov Dewi.Aku masih tak habis pikir, siapa lelaki yang kami temui di minimarket tadi, aku sepertinya pernah melihat wajah lelaki itu, tapi aku tak tau dimana dan siapa."Apa kita perlu membawakan anak-anak cemilan nyonya?" Yasmin membuyarkan lamunanku.Caca dan Nadia memang sudah naik ke lantai atas dan bersiap ke pantai, karena itu Yasmin bertanya apa yang perlu dia bawa untuk menemani anak-anak."Bawakan saja beberapa jajanan yang mereka suka, jangan terlalu jauh dari bibir pantai Yas, ombak sore hari biasanya lebih besar."Aku memberi Yasmin nasehat agar tak lupa, sebab Nadia anak yang sangat ingin tau, dia pasti akan meminta ini dan itu bila rasa penasarannya sudah memuncak."Saya akan ingat nyonya." Ucap Yasmin lalu berjalan menjauhiku.Aku lantas berjalan menuju kamar, mas Alif sedang mengganti bajunya saat aku masuk tanpa mengetuk pintu. Wajahnya nampak terkejut, takut jika pegawai kami yang masuk tanpa izin."Maaf_" Aku menyengir kuda, lupa jika mas Alif sudah naik ke kamar ka
Kami semua sudah ada di dalam mobil, perjalaanan yang akan kami tempuh cukup jauh, dua jam dari tempat kami tinggal. Mas Alif menyetir sendiri kendaraan kami, sementara yang lajn mengikiti dari belakang.Caca dan Nadia bercanda terus sampai kami ikut tertawa dengan keberadaan mereka dalam mobil, meski aku sendiri masih sangat jengkel dengan kejadian di rumah pagi ini, namun tawa Caca dan Nadia membuat aku terus merasa bersyukur."Buk, boleh tidak kami beli ice cream buk." Nadia meminta saat perjalanan kami sudah sangat jauh.Aku tersenyum mendengar ucapannya. Tak ada salahnya juga membeli ice cream untuk di nikmati bersama, lagi pula ini kan liburan."Baiklah, kita akan berhenti kalau ada minimarket di depan." Ucapku yang membuat dua anak itu kegirangan tak sabar. Aku dan mas Alif hanya bisa tersenyum melihat tingkah merek yang memgemaskan bagi kami.Tak berapa lama mas Alif membelokkn mobilnya dan terparkir tepat di depan sebuah minimarket dengan logo anak lebah itu. "Nadia sama mbak
Dewi masih menatap kesl ke arah Yanti, dia lantas mendekti wanita itu lagi dan melihat ada sorot tahut di sana."Yang lain boleh kembali bekerja!" Ucap Dewi dingin, sementara satu persaru pengasuh anaknya pergi turun dari lantai atas.Yanti masih diam dan tak berani melihay ke arah Dewi, bahkan firinya masih berdiri di tempat yang sama dan dalam posisi tak berubah sama sekali."Duduklah Yan, aku ingin mendengarkan penjelasmu!" Dewi meminta Yanti duduk yang tenang sebab bnyak orang akan tai itu keponkan linnya masih menungguMas, kenapa Lukas kasar sekali padaku!"Tri bersikap begitu manja pada Beni saat mereka tiba di rumah, pertemuan Beni dan Lukas yang tanpa sengaja itu membuat mereka bersitegang di depan umum.Tri masih memegang pergelangan tangannya yang berdenyut, Lukas dengan sangat kasar meremas pergelangan tangannya hingga memar kemeraha.Beni tak pernah bisa bersikap kasar pada Tri, entah kenapa dirinya selalu saja meniruti apa perintah wanita itu, bahkan ketika Tri mutuskan
Hari ini Dewi berencana membawa Caca dan Nadia ke pantai, setelah kepergian Papa mertuanya ke luar negeri, Dewi sering melihat Caca melamun sendiri, hingga akhirnya dia berpikir untuk membawa Nadia dan Caca ke pantai untuk bersenang-senang.Sejak semalam mereka sudah tak berhenti menyiapkan segala hal yang di butuhkan untuk tamasya."Buk, baju ini bagus tidak?" Nadia menunjukkkan dres bunga putih nan cantik, dres itu hadiah dari Yasmin untuk Nadia saat baru datang ke rumah ini.Yasmin tersenyum mendapati pemberiannya jadi nb pilihan nona cilik yang dia jaga."Cantik, Nadia bisa pakai ini jika mau." Ucap Dewi dengan senyum mengembang dan gadis itu berjingkrak senang masuk kembali ke dalam kamarnya.Dewi lantas menatap ke arah Caca yang sejak tadi hanya berdiri di depan pintu kamar."Hay cantik, ada apa sayang?" Dewi mendekati Caca dan membelai kepala gadis kecil itu."Caca bingung mau pakai apa." Ucapnya lugu.Dewi menarik gadia itu kembali ke kamanya. Membuka lemari yang disediak
Wajar saja bila Aziz tak lagi mau memikirkan istrinya Tri, setekah penghianatan yang dia terima Aziz bahkan tak lagi perduli dari mana semua itu.Setiap orang datang denhan hadapanndan keinginan batuAku dan semua saudaraku memang sangat dekat sejak kecil, bapak memperlakukan kami dengan sangat baik hingga kami saling menolon satu sama lain. Mbak Dewi mmemang yang paling banyak berkorban untuk kami, bahkan dia terpaksa berhenti kuliah kedokteran hanya karena tak ada yang membantu merawat nenek saat ibu bbekerja dulu."Sudahlah mbak, aku tak mau lagi bertengkar di sini, aku ingin mbak tau bahwa kami memang sangat ingin semuanya berjalan dengan baik sekarang dan mas Hendra tak ada lagi dalam kehidupan kami!" Ucapan Ratna sungguh sangat menyakiti hatiku."Aku tak ingin bertengkar untuk sekarang mbak, calon suamiku sedang sakit, tolong jangan buat aku dan keluargaku bersikap buruk pada kalian di sini. Lagi pula mas Hendra memang sudah tak cukup layak untuk jadi suamiku sekarang, aku meras
Mereka melanjutkan perjalanan menuju apartemen yang telh Beni siapkan untuk Tri, setelah amukan Lukas tempo hari, Tri merajuk untuk tinggal di tempat yang hanya dirinya sendiri yang punya kuasa di sana dan jadilah Beni membelikan apartemen mewah di pusat kota.Mobil mereka tiba di parkiran basement gedung, Beni keluar lebih dulu dan membukakan pintu untuk Tri. Wanita yang kini berpenampilan begiru elegant itu keluar dengan senyum manis menyambut tatapan hangat lelaki yang tengah tergila-gila padanya itu.Tri lantas berjalan dengan merengkuh lengan Beni dalam dekapan, mereka nampak begitu hangat dan saling menebarkan cinta hingga tak sadar sepasang mata sedang menatap dari balik kaca mobil dengam amarah memuncak.Beni mengantarkan Tri hingga ke depan lif untuk naik ke lantai atas."Aku harus kembali ke kantor sekarang, banyak audit dari pusat dan aku harus segera tiba di kantor lebih dulu." Beni membelai tengkuk Tri dengan lembut, dan mereka saling melemparkan senyum penuh bahagia."Ji
"Papa minta tolong untuk jaga Caca saat papa ada di Eropa ya wi."Papa tiba-tiba saja bicara saat kami sedang duduk bersama di gazebo belakang rumah utama."Papa akan ke Eropa?" Aku terkejut lantas menatap ke arah mas Alif yang ternyata nampak tenang dan seakan sudah tau apa yang akan di katakan papa pada kami."Papa harus mengurus beberapa bisnis kita di sana dan tak mungkin juga membawa Caca bersama kan. Anak iti butuh keluarga yang utuh Askara dan papa saja tak bisa memenuhi ruang hatinya yang hampa."Aku mendengarkan dalam diam, sebab apa yang papa katakan memang benar adanya. Caca hanyalah gaddia kecil yang masih ingin di sayangi dan di manja dengan cinta dan kasih sayang yang berlimpah."Papa rasa kalian lebih patas membesarkannya seperti anak sendiri.""apa maksud papa kami lebih pantas?" Aku tak bisa menyembunyikan tanya dalam benak."Kalian adalah keluarga yang bahagia, Caca sangat dekat dengan Nadia dan kamu Wi, Papa rasa menitipkan Caca padamu adalah pilihan yang tepat."Se
"Tidak, jangan begitu. Aku akan menunggu kekasihku ini kembali ke dalam mobil dan segera berangkat ke pabrik." Tri memutar tubuh Bebelakanginya lantas sedikit mendorong tubuh itu berjalan maju ke depan."Baiklah, aku akan pergi lebih dulu. Kamu yakin tak apa-apa aku tinggal di sini?" Beni memastikan bahwa Tri tak merasa keberatan di tinggalkan sendiri.Tri tersenyum dengan manja. "Aku tak apa-apa. Sungguh." Ucapnya lagi meyakinkan sang kekasih.Merasa Tri tak keberatan untuk di tinggalkan, Beni memberikan kecupan di kening dan bibir wanit itu, lantas berpamitan untuk kembali ke pabriknya."Aku pergi dulu." Ucapnya pelan lantas berjalan pergi meninggalkan Tri sendiri.Tri terus memerhatikan mobil mewah Beni pergi meninggalkan basement. Tri lantas kembali menunggu lif turun dari lantai atas ke tempatnya. Berada di lantai bawah gedung dengan suasana tak terlalu terang tak membuat Tri meras takut biasanya, namun entah kenapa kali ini dia merasa ada yang sedang menatap dirinya."Ada apa in