"Untuk apanya saya kurang tahu, Pak," jawab Indra. "Tapi setahu saya dengan bupati tempat kita sekarang ini," ucapnya lagi, melanjutkan.
"Oh iya, di hotel mana mereka melakukan pertemuan?" tanya Yanto.
"Hotel "IB" Pak, daerah Slipi Jakarta barat," jawab Indra.
"Berarti kamu tahu nomor telepon Pak Riswan dari Julius?"
"Benar Pak, orang rendahan macam saya, mana punya nomor telepon big boss macam Pak Riswan ini," jawab Indra, sembari menoleh ke arah Riswan.
"Apa saya telepon dia saja, menanyakan keberadaannya, lalu menyuruhnya untuk menemui saya di rumah, jadi anak buah Pak Yanto tidak perlu jauh-jauh ke Jakarta untuk menangkapnya?" ucap Riswan, menyampaikan idenya.
"Boleh juga Pak Riswan, Bapak juga harus bersikap seolah-olah belum tahu tentang segala kejahatannya." Yanto menyetujui usulan Riswan.
"Pasti Pak," jawab Riswan, yang langsung mengambil handphone-nya, dan mulai mencoba menghubungi Julius.
Beberapa kali Riswan me
Team pengaman yang menjaga rumah Riswan segera membuka pintu gerbang secara otomatis, dan para petugas komisi anti rasuah yang menggunakan dua mobil itu pun akhirnya dipersilahkan masuk.Satu orang petugas yang memakai rompi bertuliskan KPK, yang sepertinya pimpinan dari team tersebut segera menghampiri Riswan, mengulurkan tangan dan langsung memperkenalkan diri."Mohon ijin untuk memperkenalkan diri Pak. Nama saya Iqbal Maulana, kami dari komisi pemberantasan korupsi perwakilan daerah. Diperintahkan oleh kantor pusat untuk menyerahkan dua surat ini kepada bapak. Kami mohon kerjasamanya," jelas Iqbal, sembari menyerahkan dua amplop surat tersebut kepada Riswan.Surat pertama yang dibuka Riswan adalah surat ijin penggeledahan, dan surat ijin yang kedua adalah surat ijin pemeriksan. Riswan terdiam, sembari melipat kembali surat-surat tersebut."Atas dasar apa surat penangkapan ini dikeluarkan?" tanya Riswan, menatap dalam Iqbal. Sementara itu secara tidak t
Setelah hampir dua jam para petugas itu menggeledah kediaman dan ruang kerja Riswan, hampir mendekati tengah malam, rombongan para petugas itu mulai meninggalkan rumah Riswan. Ada beberapa barang yang dianggap sebagai barang bukti mereka bawa serta. Berupa laptop pribadi milik Riswan pun turut mereka amankan guna mencari bukti-bukti petunjuk.Sebelum meninggalkan tempat kediaman Riswan. Iqbal kembali menemui Riswan, sekedar untuk mengingatkan jadwal pemeriksaan terhadap dirinya esok hari, dan sekali lagi Riswan menyanggupi untuk hadir esok hari di Jakarta.Saat para petugas itu mulai meninggalkan tempat kediaman Riswan, keadaan depan gerbang masuk rumah Riswan semakin ramai. Para wartawan dari media cetak, elektronik, dan online semua terlihat semakin ramai. Terlihat juga beberapa mobil yang bertuliskan logo televisi nasional dan mancanegara.Dugaan keterlibatan Riswan, pria nomor lima terkaya di negri ini, seolah-olah menjadi magnet para wartawan untuk mengorek
Emak aja yang cerita, Mak," pinta Risma, sambil mengusap air matanya."Adik-adikmu sakit, Darman.""Maksudnya apa Mak?""Samsiah keguguran kemarin," ucap Emak, pelan."Samsiah memang kapan menikahnya?""Samsiah hamil di luar nikah, Man.""Astaghfirullah.""Dia di usir dari desa, karena kedapatan berhubungan intim di luar nikah sebanyak dua kali," lirih suara Emak, hampir tidak terdengar."Samsiah kenapa jadi seperti itu," keluh Darman"Tetapi Samsiah juga yang berhasil membebaskan Yuli, anaknya Risma dari penculikan," ucap Emak lagi. Darman kembali terlihat terkejut, bertanya cepat ke Risma, yang terlihat sudah jauh lebih tenang."Yuli benar diculik, Risma?""Iya Kang, baru kemarin. Samsiah keguguran karena berusaha ingin menyelamatkan Yuli, tetapi malah Samsiah yang didorong keras, hingga akhirnya terjadi keguguran tersebut." Risma menelpon Bude Ajeng, meminta agar diantarkan minuman untuk mere
Risma, sedikit agak berlari bergerak cepat ke kamar di mana Samsiah berada. Khawatir terjadi sesuatu yang buruk terhadap adik bungsunya tersebut. Risma langsung membuka dan mendorong pintunya cepat. Bersama Darman segera menyerobot masuk ke dalam kamar.Samsiah terlihat terduduk di sudut tempat tidur, dengan kedua lutut tertekuk, dan kedua tangan menutupi kakinya. Wajahnya terlihat seperti orang yang ketakutan.Darman yang baru melihat kondisi Samsiah, benar-benar merasa miris. Walaupun sudah dalam keadaan berbeda dibandingkan kemarin, dan juga sudah menggunakan pakaian bersih. Tetapi rambut Samsiah yang terpotong tidak beraturan, wajahnya yang pucat, juga sedikit lebam, dan masih terlihat ada luka bekas cakaran saat peristiwa penggerebekan kemarin, benar-benar membuat kakak tertuanya itu sedih dan terenyuh, atas nasib yang menimpa adik bungsunya itu.Sebenarnya, Risma hari ini baru akan berencana membawa Samsiah ke salon, sekaligus ke klinik dokter pribadinya d
Saat terjadi peristiwa pengusiran terhadap Samsiah, Ela malu untuk keluar rumah. Dia dan putrinya Naya, sengaja mengunci diri di dalam rumah, hingga pagi bertemu pagi.Ela pun tidak tahu, tentang kejadian yang menimpa Amran, dan memang dalam beberapa hari ini, Ela tidak pernah bertemu dengan Kakang-nya tersebut.Pagi hari, selepas memandikan putrinya Naya, Ela segera menuju ke rumah Amran. Putrinya, yang berusia empat tahun, seumuran dengan Neti, anak kedua Risma, dia tinggalkan sendirian di rumah.Terkejut Risma, saat menyaksikan kondisi halaman rumah Amran yang berantakan, dan menimbulkan bau yang menyengat. Rumah Amran dalam keadaan terkunci dari luar.Ela segera menghampiri tetangga rumah Amran, yang dia juga kenal penghuninya. Warga asli desa ini juga, sama seperti Ela."Assalamualaikum ... Ti! Yati! Assalamualaikum!" Jawaban salam terdengar dari dalam rumah yang Ela ketuk-ketuk rumahnya. Tidak beberapa lama, pintu pun terbuka dari dalam.
"Saya sudah bersikap sopan, Pak, tetapi tidak dihiraukan," kelit Ela, menjawab pertanyaan bapak mertuanya."Yah seharusnya kamu tuh sadar diri! Jika diacuhkan seharusnya langsung pergi! Jangan malah membuat keributan!" bentak orang tua itu lagi."Mana bisa saya pergi, jika Naya ada di rumah ini." Ela tetap ngotot ingin kembali membawa putrinya."Hei! Ela! Kami juga punya hak terhadap Naya, kami ini keluarganya juga!" Ibu mertuanya ikut menyelam pembicaraan, muncul tiba-tiba di belakang suaminya."Naya! Pulang sama ibu, Nak!" Ela menghiraukan ucapan ibu mertuanya, dia mencoba menerobos ke dalam rumah, dan si bapak menghalanginya, bahkan mendorongnya keras hingga terjatuh ke lantai. Sementara itu kerumunan warga yang menyaksikan semakin banyak."Auuwwhh!" Ela berteriak kencang, saat tubuhnya menghantam lantai, karena kerasnya dorongan dari sang bapak mertua."Ibu!" Naya berteriak kencang, dibelakang kedua kakek dan neneknya, dan hendak mengham
Ustaz Arief dan pak kades, terus berusaha mencari solusi dalam permasalahan antara Ela dan keluarga suaminya. Mereka masing-masing merasa berhak menurut versinya sendiri, tidak ada yang mau mengalah."Menurut sudut pandang hukum, anak di bawah lima tahun memang harus diasuh ibunya jika dalam rumah tangganya mengalami perceraian dengan sang suami," jelas Ustaz Arief, menjelaskan apa yang diketahuinya."Dengar tuh, Pak, Bu, hukum negara sudah menentukan jika saya yang berhak dalam mengasuh dan merawat Naya," sindir Ela, merasa di atas angin, setelah mendengar penjelasan Ustaz Arief, dan kedua orang tua Tohir dan adik lelakinya terdiam. Pak kades mengangguk-angguk, sepertinya dia pun tahu tentang aturan hukum tersebut. Tetapi kemudian, Ustaz Arief melanjutkan ucapannya."Ada tetapinya?" ucap sang ustaz, berhenti sejenak."Apa itu Ustaz?" tanya adik dari Tohir."Tetapi, jika si ibu dirasa tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sang anak, ataupun ada kend
"Boleh Ustaz, boleh," jawab si bapak. " Tetapi ya asal jangan setiap hari, nanti kapan si Ela mencari pekerjaan jika tiap hari kemari." Ustaz Arief menoleh ke arah Pak Kardi, seperti memberikan kode jika sudah menemukan solusinya, dan masalah dianggap selesai."Bagaimana Ela, kamu setuju tidak dengan jalan tengah yang diambil ini, karena ini semua untuk kebaikanmu dan putrimu?" tanya Pak kades."Sa-saya setuju, Pak." Ragu-ragu Ela menjawab, tetapi memang dia tidak punya pilihan lain, selain menyetujui hasil dari pertemuan ini."Jika begitu tidak ada masalah lagi yah, dan Ela bisa menemui Naya kapan saja, dan juga boleh membawa Naya kembali jika dianggap hidupnya cukup mampu untuk membiayai kehidupan mereka berdua," ucap Pak Kardi.Sesaat Ela terdiam, terpikirkan juga olehnya, dimana dia akan mendapatkan pekerjaan. Tidak mungkin jika di kampung ini, untuk bekerja di pabrik pun tidak akan semudah itu, apalagi usianya sudah tidak muda lagi, ditambah dia tida
Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas
Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak
Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi
Fadli malah terlihat seperti orang bingung, macam tidak paham apa yang sudah diucapkan oleh Irma. "Kamu sebenarnya bicara apa sih, Ma? Beneran, aku nggak paham," jawab Fadli, menatap wajah Irma dalam. Kembali dia lanjut bicara. "Benci? Musuhan? Sama siapa? Aku musuhan dan benci sama Fadlan gitu maksudnya, kamu?" tanyanya ke Irma. "Maaf, jika aku salah dan dianggap kegeeran, tapi menurut Fadlan seperti itu."Fadli menatap Irma dalam, bukan maksudnya untuk tidak mengakui, tapi itu peristiwa sudah beberapa tahun yang lalu, yang bahkan usia mereka waktu itu masih berumur belasan. "Dulu saat kita masih satu sekolah, iya, Korma. Aku memang sempat marah dengan Fadlan, karena aku yang dekat denganmu dari kelas satu, Tiba-tiba saat kelas tiga, dia main serobot aja." Fadli tertawa, ingatannya seperti sedang kembali ke masa lalu. Kembali dia bicara. "Saat dulu itu memang bukan salah kamu, bukan juga salah Fadlan. Aku saja yang dulu tidak punya keberanian untuk bicara langsung terhadapmu. "
Pria yang ingin bertemu dengannya jelas memang Fadli. Karena, memang hanya Fadli yang dulu memanggilnya dengan sebutan korma. Entah kenapa, badan Irma langsung terasa gemetar."Irma, kenapa bengong saja di dekat pintu, Masuk? itu temui Pak Fadli," teguran dari Pak Benny menyadarkan Irma dari terkesima. Kehadiran saudara kembar dari Fadlan ini jelas di luar perkiraannya. Dari mana Fadli bisa tahu jika Irma bekerja di pabrik ini? Terus, darimana Fadli bisa kenal pemilik perusahaan ini. Sampai-sampai Pak Benny pun sangat respect terhadapnya. "Ba-baik, Pak?" jawab Irma atas teguran atasannya itu, namun sebelum mendekati Fadli, justru Fadli yang langsung berbicara dengan Pak Benny. "Pak Benny, saya ijin mau ajak teman SMA saya ini, Irma, untuk makan siang.""Boleh, Pak, silakan," jawab kepala pabrik itu cepat, langsung memperbolehkan. Perlakuan Pak Benny terhadap Fadli cukup membuat Irma heran, betapa sangat hormatnya atasannya itu kepada Fadli. "Irma, kamu diajak makan siang sama Pak
[ Assalamu'alaikum, Fad. Aku sudah memutuskan, sebelum urusan dengan istrimu selesai, aku minta, jangan temui aku dulu. Aku harap, kamu bisa memahami dan mengerti dengan keputusan yang sudah kuambil ini.]Selesai mengirimkan pesan, Irma lantas memblokir nomor Fadlan di aplikasi WA miliknya, bahkan memblokirnya juga di kontak teleponnya. Padahal, baru hari ini Irma memiliki nomor handphone mantan cinta pertamanya itu. Meletakkan hapenya di atas meja rias samping tempat tidurnya, lalu membaringkan tubuhnya di dipan tidur miliknya. Kembali teringat peristiwa saat di ropang tadi, betapa hatinya sangat sakit dianggap sebagai penyebab rusaknya rumah tangga seseorang. Pelakor, demi Tuhan Irma bukan seperti itu, dia lebih baik tetap menyendiri seperti ini daripada jadi perusak rumah tangga orang. Dalam perasaan yang resah, rasa kantuk mulai datang menyergap, karena Irma memang tidak terbiasa tidur terlalu telat. ÷÷÷Tiga hari setelah peristiwa penyiraman kopi oleh Agnes, dan akhirnya beru
"Mengapa sampai saat ini kamu belum juga menikah, Ir. Apakah itu semua karena aku?"Udara malam di pantai ini semakin dingin, ditambah lagi dengan anginnya yang kencang. Irma sampai mensidakepkan kedua tangannya karena hawa dingin tersebut, ditambah terkena basahan cokelat tadi, walaupun dia sudah berganti pakaian. Setelah cukup lama terdiam, Irma mulai menjawab pertanyaan Fadlan. "Aku harus menjawab apa, Fad? Jika aku bilang mungkin memang sudah garis hidupku dari Allah seperti ini, salah tidak?"Sesaat Fadlan terdiam, karena memang apa yang Irma katakan itu benar adanya. "Tidak, Ir, kamu tidak salah. Hidup, mati, dan jodoh memang urusan Allah 'kan?" "Hmm ... hanya satu hal yang bisa aku jawab dengan jujur dan sebenarnya. Dan itu sudah kujawab saat di rumah tadi. Apa aku harus mengulanginya lagi?" tanya Irma lagi. "Jika kamu tidak keberatan?""Kamu adalah kekasih yang pertama, Fad, dan sampai saat ini aku belum pernah berteman dekat lagi dengan pria lain," jawab Irma, ada nada get
Part 12Fadlan terdiam, mendengar pertanyaan Irma, tatapannya masih menghadap ke tengah lautan yang terlihat temaram, terkena pantulan cahaya rembulan. Angin laut masih berembus kencang. Terlihat Fadlan menarik nafasnya sejenak, sembari matanya terpejam, lalu dilepaskan perlahan."Agnes sudah berselingkuh," jawabnya singkat.Lalu mengambil kopinya, dan menghirupnya perlahan."Kamu menyaksikan sendiri?" tanya Irma."Maksudnya?" jawab Fadlan"Maksudku, kamu menyaksikan sendiri perselingkuhan tersebut?" tanya Irma lagi."Tidak," jawab Fadlan, masih singkat. Tatapannya lalu beralih ke arah Irma."Aku menemukan chat-chat pribadinya dengan pria lain," jelas Fadlan."Maksud chat pribadi, seperti apa?""Chat-chat mesranya dengan pria lain." Jemarinya mengusap pelan wajahnya."Kamu kenal, siapa pria yang kamu maksud?" Irma masih terus mengejar. Bukannya Irma ingin kepo dengan masalah orang lain, tetapi ... Fadlan sendiri yang sudah berjanji, ingin menceritakan tentang masalah keluarganya."Ya,
Terlihat dari raut wajah dan tatapan matanya, jika wanita yang menganggap Irma sebagai perempuan gatel itu sedang menyimpan amarah, ada dua wanita lagi di belakangnya, sepertinya kawan dari calon mantan istrinya Fadlan.Irma hanya diam termangu, saat perempuan itu melabraknya. Fadlan langsung berdiri."Udah, Nes. Perempuan perusak mah, jambak aja rambutnya," ucap salah satu kawannya."Iya, ga usah takut, apa perlu gue bantuin hajar nih pelakor," tuduh kawannya yang satu lagi kepada Irma. Dua orang kawan-kawannya, malah memanas-manasi calon mantan Fadlan tersebut."Hai ... hai, kerjaan kalian jangan bisanya manas-manasin ya. Hai ... Agnes! Irma tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi kita, aku bertemu Irma, baru seminggu ini. Sedangkan masalah di antara kita berdua, sudah berjalan berbulan-bulan. Jadi jika kamu menuduh Irma sebagai orang ke tiga di antara hubungan kita, kamu salah alamat," ucap Fadlan tegas. Irma tetap terdiam, dia bingung, harus bersikap seperti apa."Gue seperti