Maharani meminta ijin untuk sedikit menjauh dari Ratna dan Susan, karena ingin menelepon orang tuanya. Dari teras dia menuju ke halaman rumah, dekat tembok pagar pembatas Maharani berdiri di situ. Maharani kemudian mencoba menghubungi sang mami lewat aplikasi hijau. Dia merasa tidak enak hati telah menonaktifkan ponsel selama berhari-hari. Maharani baru ingat, jika kemarin adalah waktunya papih dan mamihnya pulang dari setelah selama ini bertugas di kantor kedutaan besar Indonesia di Swedia. Setelah hampir tiga tahun bertugas di sana. Semakin besar rasa bersalahnya kepada sang mamih. Maharani, yang biasanya selalu ikut kemanapun sang papih ditugaskan, kali ini menolak untuk ikut serta. Dia memilih untuk tetap tinggal di Jakarta. Selain karena ingin mandiri, dia pun sudah punya usaha di kota itu. Dan satu hal yang paling penting baginya, yaitu mencari keberadaan Riswan yang saat itu menghilang bagai ditelan bumi. Dan setelah bertemu, ternyata Riswan sudah punya kehidupannya sendiri,
217Terdengar suara kunci diputar dari dalam, tidak lama pintu kamar terbuka. "Masuk, Kak?"Susan tidak menjawab hanya mengangguk, melangkah masuk mengikuti adik bungsunya satu ibu tersebut dan duduk berdampingan di sisi tempat tidur Andien. Tidak langsung berbicara, Susan mengamati seisi kamar adiknya tersebut. Ada rasa haru menyeruak, setelah 15 tahun, akhirnya dia bisa kembali merasakan rasanya menjadi seorang kakak, dengan adik yang sudah menginjak usia remaja. Bahkan tinggi mereka pun sudah hampir sama. "Kamu rajin sayang, kamarmu terlihat rapih dan bersih," puji Susan memulai pembicaraan."Iya dong, Ka. Kan buat ditempatin sendiri.""Pinter, memang harus gitu sayang. Jika nyaman kan jadi bikin betah di kamar. Daripada pergi keluyuran nggak jelas," ujar Susan, mencoba menasehati. Terucap begitu saja dari mulutnya. "Kakak tinggal di Jakarta 'kan?""Iya.""Masa sih kakak belum pernah keluyuran selama di sana. Di Kota besar kan segala ada, Ka?"Susan langsung terdiam. Apa yang d
218Andien mengusap air matanya. Sejujurnya dia merasakan kebahagiaan dan ketenangan dalam pelukan Susan. Saudara sedarah yang terpisah lama, tetapi ikatan bathin tak akan bisa hilang karena berasal dari rahim yang sama. "Kakak jangan pergi lagi ya? Kita sama-sama tinggal di sini?" ucap Andien dekat telinga Susan. "Iya, adik sayang. Selepas urusan kakak di Jakarta selesai, kakak akan balik lagi ke sini. Semoga rencana kakak untuk menjual apartemen di sana cepat ketemu pembelinya. Jadi bisa buat beli tempat tinggal di sini?"Andien menarik wajahnya dari pelukan Susan. Berucap seperti ingin meyakinkan. "Masya Allah, berarti kakak kaya, ya, sampai punya apartemen segala. Kerjaan Kakak enak berarti di Jakarta. Memangnya kakak kerja apa di sana? Pasti gajinya besar?"Susan terdiam, menyesal dia sudah kelepasan bicara. Dan sekarang dia bingung harus menjawab apa. Apakah dia mesti berbohong?Di saat Susan sedang gamang, terdengar pintu kamar diketuk dari luar. "San, ini aku Rani."Susan
219Dody mendekati mereka berdua. Susan mulai terlihat panik, tidak menyangka bisa bertemu di tempat ini, walaupun memang tahu jika ayah akan datang. Namun pertemuan yang tidak disangka seperti ini tetap mengejutkannya, Dan sudah tidak mungkin lagi untuk menghindari. "Itu siapa, Ka? Kakak kenal?" tanya Andien sambil memperhatikan Dody yang sudah dekat. Susan bingung untuk menjawab, dia masih belum siap untuk memberitahu di tempat umum seperti ini. "Kamu sengaja ingin bertemu, San? Kok kemarin nggak bilang, untung bisa ketemu di sini."Dody langsung saja bicara, masih belum menyadari keberadaan Andien yang juga putrinya, karena memang dia tidak mengenalinya. Susan pun tidak menjawab pertanyaan sang ayah, dia benar-benar dalam keadaan dilema. "Kak, ditanya itu?" bisik Andien, sembari mencolek pinggang Susan."Eh, iya." Susan masih tetap rikuh, merasa serba salah. Dia takut akan terjadi di tempat-tempat seramai ini. jika di rumah nanti, hanya berbeda keluarganya yang tahu. kebencian
Bus berlogo maskapai penerbangan itu sampai terdengar berdecit karena melakukan pengereman mendadak, tetapi kecepatan laju kendaraan sulit untuk dihentikan secara cepat, kemunculan Andien yang tiba-tiba menyulitkan sang sopir untuk mengantisipasi.Semua orang yang ikut melihat dan menyaksikan berteriak panik dan ketakutan. Suara jerit terutama wanita terdengar membahana, tidak terkecuali juga Susan dan Andien. Entah dorongan dari mana, atau mungkin naluri seorang ayah, naluri untuk melindungi sudah muncul di dalam diri Dody, dia langsung berlari cepat ke arah Andien. Susan hanya berteriak tanpa mampu bergerak, saat bus maskapai itu akhirnya menabrak dengan menimbulkan suara yang sangat keras. Brraaakkk! "Andiennn!"Setelah jarak beberapa meter bus itu akhirnya berhenti, tetapi semua yang menyaksikan melihat, sesosok tubuh terpental jauh karena saking kerasnya benturan yang terjadi. Sesosok tubuh itu terlempar hingga menghantam aspal dan jatuh berguling-guling, dan langsung tak ber
Maharani masih di ruang tunggu pesawat, saat terjadinya kecelakaan yang terjadi pada Dody karena ingin menyelamatkan putrinya Andien. Ruangannya yang berada di dalam gedung bandara membuatnya tidak mengetahui peristiwa tersebut. Dia melihat jam tangannya, masih puluhan menit lagi pesawat yang akan membawanya kembali baru mulai take off. Maharani mencoba untuk beristirahat, menyandarkan diri pada soffa saat terdengar bunyi handphonenya. Sang Mamah ternyata yang menghubungi lewat Video call. Dia menerima, dan langsung terlihat wajah sang mamah, Tante Else. "Kamu di mana, Ran, sudah di bandara kan?"Langsung saja bicara inti tanpa basa-basi. "Iya, Mah, ini sedang di ruang tunggu. Beberapa menit lagi berangkat kok.""Coba Mamah lihat?""Lihat apa, Mah?""Iya lihat, mamah kepengen tau kamu benar tidak sedang di ruang tunggu?""Masya Allah, masa sih Rani bohong, Mah?""Mamah mau lihat pokoknya?""Iya, Mah, iya."Maharani segera mengedarkan layar handphone-nya ke sekeliling ruang tunggu
Maharani tiba di kamarnya. Dia tidak langsung mengikuti keinginan sang mamah untuk berganti baju. Maharani malah kembali merebahkan tubuhnya di ranjang tempat tidurnya dengan kedua kaki berjuntai ke bawah. Kelamaan tidur siang malah membuat tubuhnya terasa lemas, hal yang bukan menjadi kebiasaannya. Maharani kembali memejamkan matanya, seperti sedang menikmati relaksasi, mendadak teringat Susan dan dia langsung duduk kemudian bangun dari tempat tidurnya, menuju meja rias untuk mengambil handphone-nya.Dia melihat chat-nya siang tadi masih belum dibaca oleh Susan. Jujur saja, berita meninggalnya Dody di depan bandara karena kecelakaan membuatnya penasaran. Karena Susan hanya memberitahunya seperti itu, tidak menjelaskan secara terperinci. Maharani mulai mencoba menghubungi Susan via telpon, masih belum terhubung hingga panggilan berhenti. Lalu dia mencoba lagi, tidak tenang dirinya jika belum berbicara langsung dengan sahabatnya itu. Dan akhirnya Susan menerima panggilan itu. "Assal
Maharani seperti terkesima, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Benar-benar terlihat mirip sekali. Dia seperti melihat Riswan sedang berada di rumahnya. Sang Mamah sudah bisa menduga jika putrinya tersebut pasti akan terkejut, tetapi dia tidak menyangka jika sampai membuat Maharani diam terpaku. Begitupun dengan sang papah, walaupun dahulu belum pernah melihat Riswan secara langsung karena sedang berdinas di luar, tetapi dari cerita sang istri dia pun jadi mengetahui jika pemuda bernama Bayu ini mirip dengan pemuda yang dicintai putrinya di masa lalu. "Ran, Rani?" Tante Else memanggil sembari menyentuh lengan putrinya tersebut, karena masih terpana menatap ke wajah Bayu, yang terlihat bingung, mengapa putri dari kedua orang yang dikenalnya saat sedang bekerja di Swedia itu menatapnya seperti itu. Bayu jadi merasa apakah ada yang aneh di dirinya."Eh, iya, Mah." Maharani tergagap menjawabnya. Kehadiran pria bernama Bayu di rumahnya benar-benar membuatnya terkejut. "Itu, Nak B
Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas
Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak
Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi
Fadli malah terlihat seperti orang bingung, macam tidak paham apa yang sudah diucapkan oleh Irma. "Kamu sebenarnya bicara apa sih, Ma? Beneran, aku nggak paham," jawab Fadli, menatap wajah Irma dalam. Kembali dia lanjut bicara. "Benci? Musuhan? Sama siapa? Aku musuhan dan benci sama Fadlan gitu maksudnya, kamu?" tanyanya ke Irma. "Maaf, jika aku salah dan dianggap kegeeran, tapi menurut Fadlan seperti itu."Fadli menatap Irma dalam, bukan maksudnya untuk tidak mengakui, tapi itu peristiwa sudah beberapa tahun yang lalu, yang bahkan usia mereka waktu itu masih berumur belasan. "Dulu saat kita masih satu sekolah, iya, Korma. Aku memang sempat marah dengan Fadlan, karena aku yang dekat denganmu dari kelas satu, Tiba-tiba saat kelas tiga, dia main serobot aja." Fadli tertawa, ingatannya seperti sedang kembali ke masa lalu. Kembali dia bicara. "Saat dulu itu memang bukan salah kamu, bukan juga salah Fadlan. Aku saja yang dulu tidak punya keberanian untuk bicara langsung terhadapmu. "
Pria yang ingin bertemu dengannya jelas memang Fadli. Karena, memang hanya Fadli yang dulu memanggilnya dengan sebutan korma. Entah kenapa, badan Irma langsung terasa gemetar."Irma, kenapa bengong saja di dekat pintu, Masuk? itu temui Pak Fadli," teguran dari Pak Benny menyadarkan Irma dari terkesima. Kehadiran saudara kembar dari Fadlan ini jelas di luar perkiraannya. Dari mana Fadli bisa tahu jika Irma bekerja di pabrik ini? Terus, darimana Fadli bisa kenal pemilik perusahaan ini. Sampai-sampai Pak Benny pun sangat respect terhadapnya. "Ba-baik, Pak?" jawab Irma atas teguran atasannya itu, namun sebelum mendekati Fadli, justru Fadli yang langsung berbicara dengan Pak Benny. "Pak Benny, saya ijin mau ajak teman SMA saya ini, Irma, untuk makan siang.""Boleh, Pak, silakan," jawab kepala pabrik itu cepat, langsung memperbolehkan. Perlakuan Pak Benny terhadap Fadli cukup membuat Irma heran, betapa sangat hormatnya atasannya itu kepada Fadli. "Irma, kamu diajak makan siang sama Pak
[ Assalamu'alaikum, Fad. Aku sudah memutuskan, sebelum urusan dengan istrimu selesai, aku minta, jangan temui aku dulu. Aku harap, kamu bisa memahami dan mengerti dengan keputusan yang sudah kuambil ini.]Selesai mengirimkan pesan, Irma lantas memblokir nomor Fadlan di aplikasi WA miliknya, bahkan memblokirnya juga di kontak teleponnya. Padahal, baru hari ini Irma memiliki nomor handphone mantan cinta pertamanya itu. Meletakkan hapenya di atas meja rias samping tempat tidurnya, lalu membaringkan tubuhnya di dipan tidur miliknya. Kembali teringat peristiwa saat di ropang tadi, betapa hatinya sangat sakit dianggap sebagai penyebab rusaknya rumah tangga seseorang. Pelakor, demi Tuhan Irma bukan seperti itu, dia lebih baik tetap menyendiri seperti ini daripada jadi perusak rumah tangga orang. Dalam perasaan yang resah, rasa kantuk mulai datang menyergap, karena Irma memang tidak terbiasa tidur terlalu telat. ÷÷÷Tiga hari setelah peristiwa penyiraman kopi oleh Agnes, dan akhirnya beru
"Mengapa sampai saat ini kamu belum juga menikah, Ir. Apakah itu semua karena aku?"Udara malam di pantai ini semakin dingin, ditambah lagi dengan anginnya yang kencang. Irma sampai mensidakepkan kedua tangannya karena hawa dingin tersebut, ditambah terkena basahan cokelat tadi, walaupun dia sudah berganti pakaian. Setelah cukup lama terdiam, Irma mulai menjawab pertanyaan Fadlan. "Aku harus menjawab apa, Fad? Jika aku bilang mungkin memang sudah garis hidupku dari Allah seperti ini, salah tidak?"Sesaat Fadlan terdiam, karena memang apa yang Irma katakan itu benar adanya. "Tidak, Ir, kamu tidak salah. Hidup, mati, dan jodoh memang urusan Allah 'kan?" "Hmm ... hanya satu hal yang bisa aku jawab dengan jujur dan sebenarnya. Dan itu sudah kujawab saat di rumah tadi. Apa aku harus mengulanginya lagi?" tanya Irma lagi. "Jika kamu tidak keberatan?""Kamu adalah kekasih yang pertama, Fad, dan sampai saat ini aku belum pernah berteman dekat lagi dengan pria lain," jawab Irma, ada nada get
Part 12Fadlan terdiam, mendengar pertanyaan Irma, tatapannya masih menghadap ke tengah lautan yang terlihat temaram, terkena pantulan cahaya rembulan. Angin laut masih berembus kencang. Terlihat Fadlan menarik nafasnya sejenak, sembari matanya terpejam, lalu dilepaskan perlahan."Agnes sudah berselingkuh," jawabnya singkat.Lalu mengambil kopinya, dan menghirupnya perlahan."Kamu menyaksikan sendiri?" tanya Irma."Maksudnya?" jawab Fadlan"Maksudku, kamu menyaksikan sendiri perselingkuhan tersebut?" tanya Irma lagi."Tidak," jawab Fadlan, masih singkat. Tatapannya lalu beralih ke arah Irma."Aku menemukan chat-chat pribadinya dengan pria lain," jelas Fadlan."Maksud chat pribadi, seperti apa?""Chat-chat mesranya dengan pria lain." Jemarinya mengusap pelan wajahnya."Kamu kenal, siapa pria yang kamu maksud?" Irma masih terus mengejar. Bukannya Irma ingin kepo dengan masalah orang lain, tetapi ... Fadlan sendiri yang sudah berjanji, ingin menceritakan tentang masalah keluarganya."Ya,
Terlihat dari raut wajah dan tatapan matanya, jika wanita yang menganggap Irma sebagai perempuan gatel itu sedang menyimpan amarah, ada dua wanita lagi di belakangnya, sepertinya kawan dari calon mantan istrinya Fadlan.Irma hanya diam termangu, saat perempuan itu melabraknya. Fadlan langsung berdiri."Udah, Nes. Perempuan perusak mah, jambak aja rambutnya," ucap salah satu kawannya."Iya, ga usah takut, apa perlu gue bantuin hajar nih pelakor," tuduh kawannya yang satu lagi kepada Irma. Dua orang kawan-kawannya, malah memanas-manasi calon mantan Fadlan tersebut."Hai ... hai, kerjaan kalian jangan bisanya manas-manasin ya. Hai ... Agnes! Irma tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi kita, aku bertemu Irma, baru seminggu ini. Sedangkan masalah di antara kita berdua, sudah berjalan berbulan-bulan. Jadi jika kamu menuduh Irma sebagai orang ke tiga di antara hubungan kita, kamu salah alamat," ucap Fadlan tegas. Irma tetap terdiam, dia bingung, harus bersikap seperti apa."Gue seperti