Puluhan tahun yang lalu, saat Rohani masih berusia 13 tahun. Rohani mendapati kedua orangtuanya, Sodikin dan Jaronah seperti habis menangis di rumahnya yang terbuat dari bilik bambu selepas pulang sekolah.
Sang Bapak tertunduk layu di kursi kayu buatan tangan sendiri tanpa warna, sedangkan ibunya terduduk di lantai rumah mereka yang masih berupa tanah liat. Keduanya cepat-cepat menyeka air matanya saat mengetahui kehadiran putrinya yang baru pulang sekolah menengah pertama. Tetapi, dari sembab yang terlihat jelas di mata sang ibu, gadis kecil Rohani bisa mengetahuinya. Jaronah cepat-cepat berdiri, lalu berjalan ke arah dapur rumah tanpa banyak bicara.
Rohani duduk di bangku samping sang Ayah, yang hanya dibatasi oleh sebuah meja kayu berwarna kusam, bertanya pelan kepada ayahnya.
"Abah, kenapa Ambu menangis. Memangnya ada apa, Bah?" Sodikin masih terdiam, tidak langsung menjawab pertanyaan putri mereka satu-satunya. Sodikin dan rohani sudah berusia lanjut.
Empat orang warga, dua pria dan dua wanita yang langsung menerobos masuk seperti terkesima. Tiada menyangka dengan apa yang mereka lihat, sementara Rohani masih memeluk tubuh sang ayah yang masih tergeletak di lantai tanah. Menangis kencang, sembari mengguncang-guncangkan tubuh Sodikin, tetapi pria tua itu terkulai lemas.Tubuh Jaronah menggelantung di atas balok rumah gubuk mereka, dengan menggunakan kain panjang miliknya, Rodiah menggantung tubuhnya sendiri. Memilih jalan yang dibenci Allah karena rasa putus asa. Setan telah berhasil menghasut dirinya. Dibuatlah seolah-olah tidak ada jalan keluar dari masalahnya. Otak dan hatinya dibuat putus asa.Tubuhnya mengejang kaku, dengan mata terbuka lebar dan lidah menjulur keluar. Terlihat bangku kayu tergeletak di tanah. Bangku yang dia pakai sebagai pijakan untuk mengakhiri hidupnya.Jeritan dan tangisan Rohani yang kembali kencang menyadarkan mereka. Tetapi tidak ada yang berani menurunkan Juleha. Dua orang pria m
Sebenarnya, Ustaz Amirudin meminta Rohani untuk tinggal bersama mereka. Menemani putra mereka Arief, tetapi Rohani tidak menjawab. Seharian ini mulutnya tetap bungkam, tidak mau berucap sepatah katapun.Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, terlihat Rohani kecil sudah siap berkemas-kemas. Semua pakaian miliknya yang tidak seberapa dia masukkan ke dalam tas sekolah miliknya. Uang kerohiman yang dia dapat, akan dia gunakan untuk pegangannya dalam mencari pekerjaan. Yah, niat Rohani sekarang adalah untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Dia tidak ingin hidup susah seperti kedua orangtuanya. Melanjutkan sekolah, sudah dia kuburkan dalam-dalam.Langit masih terlihat gelap saat Rohani dengan langkah gontai keluar dari rumah. Ditutup pintu rumah dengan suara berderit cukup kencang. Berjalan lima langkah, lalu kembali berbalik badan menghadap ke arah rumah gubuknya tersebut.Rumah bambu yang hampir rubuh, dengan gedek yang sudah terlihat kusam. Dibeberapa tempa
Rohani, yang tadinya terus tertunduk sembari memijat-mijat kakinya langsung mendongah. Dia tau kota itu dari yang dia baca di buku. Kota paling besar di antara kota-kota yang sudah disebutkan tadi. Nama ibukota negara, dan Rohani meyakini akan banyak ditemukan pekerjaan di sana. Perlahan Rohani berdiri, mengambil tas berisi pakaian miliknya, dan mulai menyebrang jalan menuju bus tersebut. Hatinya sudah yakin, jika dia akan pergi ke Jakarta untuk mengadu nasib."Maaf, Kang, ini bus yang mau ke Jakarta?" tanya Rohani dengan lugunya, padahal kernet bus tersebut masih meneriakkan nama kota tersebut. Kernet bus itu menoleh ke arah Rohani, gadis kecil yang berpakaian lusuh, dengan wajah berkeringat."Iya, ini bus tujuan Jakarta," jawab kernet bus itu singkat saja, dan tanpa menunggu lama Rohani langsung menaiki bus tersebut. Berjalan menyusuri lorong dalam bus, dengan penumpang yang tidak terlalu banyak, Rohani memilih tempat duduk di tengah-tengah yang terdiri dari dua bang
Rohani benar-benar tidak menyangka, jika perempuan dewasa yang dia pikir sangat baik terhadapnya ternyata adalah orang jahat. Memanfaatkan kepolosannya, lalu memperdayainya, dan mengambil semua uang miliknya, bahkan semua pakaiannya. Yang tersisa hanya pakaian yang melekat di badan.Hari sudah mau menjelang Maghrib saat Rohani turun di terminal Grogol. Sang sopir bus yang ditumpanginya memberikan sepelastik gorengan dan uang seribu rupiah untuk pegangan Rohani. Mereka tidak bisa membantu Rohani dikarenakan bus mereka harus kembali ke pool, tempat perusahaan bus mereka menyimpan kendaraan.Sopir dan kernet itu hanya menasehati agar Rohani lebih berhati-hati hidup di kota besar, yang keras dan penuh persaingan. Dengan susah payah Rohani berdiri dari tempat duduknya. Tubuhnya benar-benar masih terasa lemas. Dosis obat bius yang diberikan sebenarnya untuk manusia dewasa, makanya sangat berpengaruh sekali terhadap tubuh kecil Rohani.Rohani melangkah dengan sedikit g
"Bubar nggak lo semua!" bentak Martin lagi keras, dan satu orang kawannya lagi yang bernama Frans, tangan kanan Martin hanya diam sembari mensidakepkan kedua tangannya. Tetapi tatapannya terlihat waspada."Ka-kami, kan tidak menganggu Abang, jadi Abang gak usah juga ganggu kami," bantah Ucok, mulai berdiri sembari berusaha memakai celananya kembali, yang melorot di pangkal kaki."Jika gue bilang lo ganggu, mau lu apa!" ucap Martin, sembari tangannya ingin mencekik leher Ucok, yang tanpa disangka Martin, langsung memberikan perlawanan dengan mencoba memukul kepala preman yang mengaku penguasa kawasan jembatan tersebut. Pukulannya tepat mendarat di wajah Martin yang memang memiliki tinggi badan yang sama, hanya berbeda usia saja.Pukulan yang dianggap Ucok sangat keras seperti tidak berasa apapun di wajah Martin, justru malah semakin membuat Martin menjadi murka. Dia berteriak dan menyerang dengan sangat beringas.Kedua anak ABG temannya Ucok yang sedari aw
"Aku Mariam, nama kamu siapa?" Gadis kecil yang kucel tersebut, dengan pakaiannya yang terlihat kotor menggulurkan tangannya. "Aku Rohani," balas Rohani, menyambut uluran tangan Maria."Kamu kapan datang? Saat mau tidur, kamu belum kelihatan?" tanya Maria, duduk bersanding dengan Rohani."Aku tengah malam baru datang."Mendadak suara keriuhan terhenti. Baik anak-anak wanita maupun laki-laki. Ternyata, kedatangan Martin dan Frans yang membuat suasana yang tadinya ramai mendadak senyap."Kamu hati-hati, jangan sampai membuat Om Martin marah," bisik Maria pelan, seolah jangan sampai terdengar orang lain."Kenapa?" tanya Rohani, belum paham maksud Maria."Pokoknya jangan sampai si Om marah, karena kurang setoran.""Setoran? Setoran apa?""Sudah, nanti juga kamu tau.""Hei! Kamu kemari!" Suara Martin yang berat menggagetkan Rohani."Sudah cepat sana samperin, sebelum si Om ngamuk," ucap Maria pelan, dan Rohani pu
Waktu terus berjalan, dari hari ke hari, dan Rohani masih hidup di jalanan. Mengais rejeki di sana, untuk memperkaya Martin. Laki-laki bringas yang badannya penuh dengan tatto.Martin sendiri tidak tinggal di barak-barak petak tersebut. Dia memiliki rumah sendiri yang besar dan mewah. Sebagian anak-anak yang tahu keberadaan rumah Martin yang menceritakan kepada Rohani.Hidup senasib sepenanggungan yang membuat anak-anak itu menjadi kompak. Terutama anak-anak wanita. Jika ada salah seorang anak yang kurang uangnya untuk membayar setoran terhadap Martin, maka mereka saling gotong royong membantu. Memberikan sedikit kelebihan uang mereka.Rohani sendiri pernah menyaksikan secara langsung, saat ada salah seorang anak yang tidak mampu membayar uang keamanan secara penuh, beberapa kali pukulan serta tamparan mendarat di tubuh anak malang tersebut. Anak lelaki itu hanya bisa menjerit kesakitan dan memohon ampunan.Martin sengaja menjatuhkan mental anak-anak asuh
Martin dan Frans macam orang pesakitan. Tidak memakai baju dan hanya bercelana kolor. Mereka sudah mendengar dan mengetahui tentang PETRUS, karena banyak dari kawan-kawan mereka yang di daerah kekuasaan lain sudah menjadi korban dari para penculik dan pembunuh para preman tersebut, dan tidak ada yang bisa lolos dari kejaran mereka.Kedua preman penguasa jalanan tersebut pun sebenarnya ingin menghindari dan pergi ke daerah-daerah seperti yang lainnya, tetapi ada rasa sayang pada diri mereka jika harus meninggalkan bisnis yang sangat menguntungkan ini.Wajah ketakutan akan datangnya kematian pun terlihat pada paras muka mereka berdua. Walaupun hidup dalam kekerasan jalanan, tetap saja kematian merupakan momok yang paling menakutkan. Keringat membasahi wajah mereka.Sekelompok orang yang berjumlah sekitar enam orang tersebut, yang sepertinya orang-orang terlatih, kaget melihat keberadaan Rohani di ruangan pengap tersebut. Salah seorang dari mereka yang sepertinya p
Dli, Aku mau ijin ke kamar kecil sebentar?" ucap Irma langsung berdiri dari tempat duduknya. "Lurus saja, Ma. Pintu kedua di sebelah kanan, kamar mandi buat tamu," jawab Fadli, wajahnya mengarah ke lorong dalam rumah. "Saya permisi sebentar, Tante." Si nyonya besar hanya mengangguk saja, dan Irma pun langsung berjalan ke arah yang ditunjukkan oleh Fadli.Sebenarnya, Irma tidak ingin buang air kecil ataupun besar. Dia hanya ingin menghindar sebentar. Ucapan dan pertanyaan dari ibunya Fadli dan Fadlan sungguh membuatnya sangat tidak nyaman. Dirinya merasa direndahkan dan tidak dihargai hanya karena seragam dan pekerjaannya yang sekarang. Irma sangat mencintai pekerjaannya, karena dari hasil kerjanya dia bisa membantu perekonomian keluarganya. Biaya sekolah ketiga adiknya, juga untuk merenovasi rumah. Walaupun tidak sekaya jika dibandingkan dengan Fadli, tetapi Irma adalah wanita yang mandiri. Kekayaan atau harta yang dimiliki pria bukanlah prioritasnya sekarang ini dalam mencari pas
Irma bisa melihat, jika tatapan Fadli yang berdiri di sampingnya banyak menyimpan kemarahan terhadap saudara kembarnya, Fadlan. Kegeraman terlihat jelas pada wajahnya. Irma sungguh tidak ingin terjadi sesuatu hal yang tidak dia inginkan, ditambah lagi ada ibu dari mereka berdua.Irma berucap pelan kepada Fadli, dan tidak ingin Fadlan ikut mendengarkan."Jika kamu sampai berkelahi dengan Fadlan, jangan harap aku akan sudi bertemu denganmu lagi, Dli? ucapnya tegas, lalu tersenyum manis kepada Fadli. Sesaat Fadli diam tertegun, lalu dia mengangguk."Yuk, masuk, Ma," ajaknya lagi kepada Irma, sambil tangan kanannya menuntun Niken sang keponakan. Fadli langsung masuk ke dalam rumah tanpa menegur Fadlan, berpura-pura sibuk berbicara dengan Niken sambil berjalan. Sementara Irma berhenti tepat di depan Fadlan, menegur terlebih dahulu."Bagaimana kabarmu, Fad?" tegur Irma, dan entah kenapa, hatinya mulai merasakan tidak nyaman dengan Fadlan. Mungkin penyebab utamanya karena fitnah yang dia lak
Siapa yang sudah berbohong terhadap dirinya, Fadli ataukah Fadlan? Siapa pula yang harus dia percaya di antara keduanya? Jika memang Fadlan yang sudah berbohong, apa maksud dan tujuannya? Irma benar-benar dibuat bingung setelah mendengarkan penjelasan versi Fadli. Namun, jika ternyata Fadlan yang sudah berbohong dan sengaja untuk menjelekkan juga memfitnah saudara kembarnya tersebut, betapa Irma akan sangat kecewa terhadapnya. Fadlan bilang jika Fadli sudah berkeluarga dan juga memiliki satu anak perempuan yang seumuran dengan putrinya, namun Fadli bilang jika istri sudah meninggal dunia, bahkan menjelaskannya dengan mata yang berkaca-kaca. "Istrimu sudah meninggal, Dli?" tanya Irma, dia memutuskan untuk tidak lagi membahas tentang perbedaan keterangan antara Fadli dan Fadlan. Siapa yang sudah berbohong dan siapa yang sudah berbicara jujur di antara mereka. Fadli mengangguk, membenarkan pertanyaan Irma. "Meninggal bersama dengan anakku di dalam kandungan," jelas Fadli, raut kesedi
Fadli malah terlihat seperti orang bingung, macam tidak paham apa yang sudah diucapkan oleh Irma. "Kamu sebenarnya bicara apa sih, Ma? Beneran, aku nggak paham," jawab Fadli, menatap wajah Irma dalam. Kembali dia lanjut bicara. "Benci? Musuhan? Sama siapa? Aku musuhan dan benci sama Fadlan gitu maksudnya, kamu?" tanyanya ke Irma. "Maaf, jika aku salah dan dianggap kegeeran, tapi menurut Fadlan seperti itu."Fadli menatap Irma dalam, bukan maksudnya untuk tidak mengakui, tapi itu peristiwa sudah beberapa tahun yang lalu, yang bahkan usia mereka waktu itu masih berumur belasan. "Dulu saat kita masih satu sekolah, iya, Korma. Aku memang sempat marah dengan Fadlan, karena aku yang dekat denganmu dari kelas satu, Tiba-tiba saat kelas tiga, dia main serobot aja." Fadli tertawa, ingatannya seperti sedang kembali ke masa lalu. Kembali dia bicara. "Saat dulu itu memang bukan salah kamu, bukan juga salah Fadlan. Aku saja yang dulu tidak punya keberanian untuk bicara langsung terhadapmu. "
Pria yang ingin bertemu dengannya jelas memang Fadli. Karena, memang hanya Fadli yang dulu memanggilnya dengan sebutan korma. Entah kenapa, badan Irma langsung terasa gemetar."Irma, kenapa bengong saja di dekat pintu, Masuk? itu temui Pak Fadli," teguran dari Pak Benny menyadarkan Irma dari terkesima. Kehadiran saudara kembar dari Fadlan ini jelas di luar perkiraannya. Dari mana Fadli bisa tahu jika Irma bekerja di pabrik ini? Terus, darimana Fadli bisa kenal pemilik perusahaan ini. Sampai-sampai Pak Benny pun sangat respect terhadapnya. "Ba-baik, Pak?" jawab Irma atas teguran atasannya itu, namun sebelum mendekati Fadli, justru Fadli yang langsung berbicara dengan Pak Benny. "Pak Benny, saya ijin mau ajak teman SMA saya ini, Irma, untuk makan siang.""Boleh, Pak, silakan," jawab kepala pabrik itu cepat, langsung memperbolehkan. Perlakuan Pak Benny terhadap Fadli cukup membuat Irma heran, betapa sangat hormatnya atasannya itu kepada Fadli. "Irma, kamu diajak makan siang sama Pak
[ Assalamu'alaikum, Fad. Aku sudah memutuskan, sebelum urusan dengan istrimu selesai, aku minta, jangan temui aku dulu. Aku harap, kamu bisa memahami dan mengerti dengan keputusan yang sudah kuambil ini.]Selesai mengirimkan pesan, Irma lantas memblokir nomor Fadlan di aplikasi WA miliknya, bahkan memblokirnya juga di kontak teleponnya. Padahal, baru hari ini Irma memiliki nomor handphone mantan cinta pertamanya itu. Meletakkan hapenya di atas meja rias samping tempat tidurnya, lalu membaringkan tubuhnya di dipan tidur miliknya. Kembali teringat peristiwa saat di ropang tadi, betapa hatinya sangat sakit dianggap sebagai penyebab rusaknya rumah tangga seseorang. Pelakor, demi Tuhan Irma bukan seperti itu, dia lebih baik tetap menyendiri seperti ini daripada jadi perusak rumah tangga orang. Dalam perasaan yang resah, rasa kantuk mulai datang menyergap, karena Irma memang tidak terbiasa tidur terlalu telat. ÷÷÷Tiga hari setelah peristiwa penyiraman kopi oleh Agnes, dan akhirnya beru
"Mengapa sampai saat ini kamu belum juga menikah, Ir. Apakah itu semua karena aku?"Udara malam di pantai ini semakin dingin, ditambah lagi dengan anginnya yang kencang. Irma sampai mensidakepkan kedua tangannya karena hawa dingin tersebut, ditambah terkena basahan cokelat tadi, walaupun dia sudah berganti pakaian. Setelah cukup lama terdiam, Irma mulai menjawab pertanyaan Fadlan. "Aku harus menjawab apa, Fad? Jika aku bilang mungkin memang sudah garis hidupku dari Allah seperti ini, salah tidak?"Sesaat Fadlan terdiam, karena memang apa yang Irma katakan itu benar adanya. "Tidak, Ir, kamu tidak salah. Hidup, mati, dan jodoh memang urusan Allah 'kan?" "Hmm ... hanya satu hal yang bisa aku jawab dengan jujur dan sebenarnya. Dan itu sudah kujawab saat di rumah tadi. Apa aku harus mengulanginya lagi?" tanya Irma lagi. "Jika kamu tidak keberatan?""Kamu adalah kekasih yang pertama, Fad, dan sampai saat ini aku belum pernah berteman dekat lagi dengan pria lain," jawab Irma, ada nada get
Part 12Fadlan terdiam, mendengar pertanyaan Irma, tatapannya masih menghadap ke tengah lautan yang terlihat temaram, terkena pantulan cahaya rembulan. Angin laut masih berembus kencang. Terlihat Fadlan menarik nafasnya sejenak, sembari matanya terpejam, lalu dilepaskan perlahan."Agnes sudah berselingkuh," jawabnya singkat.Lalu mengambil kopinya, dan menghirupnya perlahan."Kamu menyaksikan sendiri?" tanya Irma."Maksudnya?" jawab Fadlan"Maksudku, kamu menyaksikan sendiri perselingkuhan tersebut?" tanya Irma lagi."Tidak," jawab Fadlan, masih singkat. Tatapannya lalu beralih ke arah Irma."Aku menemukan chat-chat pribadinya dengan pria lain," jelas Fadlan."Maksud chat pribadi, seperti apa?""Chat-chat mesranya dengan pria lain." Jemarinya mengusap pelan wajahnya."Kamu kenal, siapa pria yang kamu maksud?" Irma masih terus mengejar. Bukannya Irma ingin kepo dengan masalah orang lain, tetapi ... Fadlan sendiri yang sudah berjanji, ingin menceritakan tentang masalah keluarganya."Ya,
Terlihat dari raut wajah dan tatapan matanya, jika wanita yang menganggap Irma sebagai perempuan gatel itu sedang menyimpan amarah, ada dua wanita lagi di belakangnya, sepertinya kawan dari calon mantan istrinya Fadlan.Irma hanya diam termangu, saat perempuan itu melabraknya. Fadlan langsung berdiri."Udah, Nes. Perempuan perusak mah, jambak aja rambutnya," ucap salah satu kawannya."Iya, ga usah takut, apa perlu gue bantuin hajar nih pelakor," tuduh kawannya yang satu lagi kepada Irma. Dua orang kawan-kawannya, malah memanas-manasi calon mantan Fadlan tersebut."Hai ... hai, kerjaan kalian jangan bisanya manas-manasin ya. Hai ... Agnes! Irma tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi kita, aku bertemu Irma, baru seminggu ini. Sedangkan masalah di antara kita berdua, sudah berjalan berbulan-bulan. Jadi jika kamu menuduh Irma sebagai orang ke tiga di antara hubungan kita, kamu salah alamat," ucap Fadlan tegas. Irma tetap terdiam, dia bingung, harus bersikap seperti apa."Gue seperti