"Fahmi, nanti kau Carikan rumah tipe sembilan puluh dan juga mobil untuk Assifa!" perintah Zaki."Untuk Assyifa?""Iya, besok aku akan ke Bandung menyelesaikan urusan di sana.""Ini maksudnya apa? Kenapa kau membelikan rumah sama mobil untuk Assyifa? Aku gak ngerti ini, ada apa, Zak?" Fahmi menatap Zaki dengan pandangan menuntut penjelasan, namun Zaki masih bergeming."Gak mungkin gak ada sebabnya tiba-tiba kau mau membelikan mobil dan rumah untuk sekretarismu. Apa kau punya affair dengannya?""Aish, bukan seperti itu," ujar Zaki dengan malas."Makanya jelaskan! Nggak ada angin nggak ada hujan, tiba-tiba saja ada petir, ini aneh, kan?" Fahmi kembali menggerutu.Huuffh ... Zaki menghela napas dengan berat, tubuhnya bahkan melunglai, dengan malas dia habiskan susu coklat di gelasnya dengan tandas. Fahmi masih saja setia menanti penjelasannya dengan tatapan yang tajam dan menuntut."Aish! Baiklah!" ujar Zaki dengan sebal.Sebenarnya dia tidak ingin mengingat peristiwa yang menyebalkan da
Pagi itu, hari Minggu, sudah tentu semua kantor akan libur, Fahmi datang dengan mengendarai mobil Yaris warna putih keluaran terbaru, mobil yang sangat elegan dan terlihat mewah di kelasnya. Fahmi mengehentikan mobil di sebuah kost-kostan elit di mana Assyifa tinggal. Hari itu menyambut kedatangan Fahmi dengan ras tidak suka, dia pikir yang datang Zaki, ternyata hanya Fahmi, seorang pegawai yang kedudukannya tak jauh beda dengannya. Namun ketika Fahmi memberi kunci mobil, Assyifa berteriak histeris saking senangnya. Gadis itu langsung berlari kehalalan kost, diikuti oleh beberapa penghuni kost yang merasa penasaran. "Ouh, ini keren banget! Wuach!" pekik Assyifa sambil mencium bodi mobil tersebut. "Mobil baru, Mbak Syifa?" tanya penghuni kost di sebelah kamarnya. "Iya, Mbak Windi. Ini hadiah dari bosku," uajra Assyifa dengan wajah secerah mentari pagi. "Oh, itu bosnya, ya? Cakep juga! Dalam rangka apa dapat mobil baru?" Windi terus bertanya. "Oh, dia ini hanya orang suruhan. Bosku
Di pagi Minggu yang sama, Nadin merasa tubuhnya sudah baikan, pagi hari ini dia tidak mengalami morning sick, padahal biasanya dia kan muntah-muntah setiap pagi. Nadin sudah menghitung hari sejak dia melakukan HB dengan mantan suaminya, kejadiannya sudah tiga bulan yang lalu, apakah menginjak trimester pertama akhir, keadaan kandungannya semakin membaik?Nuraini cukup senang melihat kehamilan Nadin yang cukup kuat, dia bercerita ketika dia hamil dulu, dia bahkan tiga kali masuk rumah sakit karena tidak bisa masuk makanan. "Pagi ini biar aku yang bikin sarapan, Ma," ujar Nadin bersemangat."Apa tidak apa-apa? Mama bisa membuatkannya, kamu kalau masih mual bau masakan, jangan dekat-dekat dapur dulu.""Sudah nggak lagi sepertinya, Ma. Aku bukan cuma sensitif dengan bau masakan saja, tapi bau parfum, sabun mandi dan bedak juga mual. Tetapi beberapa hari ini tidak begitu terasa baunya, semoga trimester pertamaku ini akan segera berakhir, aku sudah kangen ingin memasak, Ma," ujar Nadin."Y
Sesudah sarapan, Riswan segera keluar menuju mobilnya dan mengambil koper dari bagasi, lelaki itu menyeret koper ukuran sedang itu ke dalam rumah. "Saya mau istirahat sebentar, ya? Saya dari luar kota, rasanya capek sekali." Lelaki itu langsung masuk ke kamar depan sebelum Nadin dan Nuraini yang tengah memperhatikan lelaki itu menyahut. "Apa dia akan menginap di sini?" desis Nuraini. "Mungkin istirahat siang saja, Ma ...," timpal Nadin. Riswan masuk ke kamar yang dulu memang kamarnya, kamar depan ini memang kamar utama, makanya lebih luas ukurannya dari kamar yang lain. Lelaki itu membuka lemari pakaian yang terbuat dari kayu jati, isinya kosong. Dia membuka koper dan menggantung semua baju kemeja dan jas di gantungan, sementara celana dan kaos dilipat dan diletakkan di ruangan lain lemari itu. Ternyata cukup banyak baju yang kini memenuhi lemari tersebut, sehingga nanti kalau ke sini lagi, Riswan tidak perlu menenteng-nenteng koper. Diambilnya handuk bersih dan tempat sabun ya
Nabila sebenarnya sangat takut jika om riswan-nya marah, dia tahu jika Riswan itu orangnya tak terduga, entah kenapa Nabila begitu takut dan segan pada omnya yang satu itu, apa mungkin karena pembawaannya yang berwibawa itu atau memang senyuman Riswan itu yang menurut Nabila penuh misteri. Tetapi Shintia yang anaknya asal saja tidak peduli akan hal itu, dia hanya memikirkan azas manfaat, tanpa dia pikirkan resiko kedepannya. "Tenang aja, gue yang tanggung jawab, kalau dia marah, suruh aja marah ke gue." "Lah, elu enak aja bilang gitu, elu kan gak tinggal di sini, sementara gue ama Nadin pasti yang bakal kena imbasnya," sungut Nabila. "Ya, udah deh. Nikmati aja perjalanan kita pakai mobil bagus ini, Om elu klimis juga ya orangnya, mobilnya bersih dan wangi, eh ini lagu nya juga kekinian banget. Gue stel yang ini, lagu dari Admesh." Shintia sibuk melihat-lihat daftar lagu di dashboard mobil, sementara tangannya juga sibuk menyetir oakaibsatu tangan. "Secara kan, Om gue itu duda ker
"Sebaiknya kau beli baju yang mahalan dikit, Nadin. Ini, baju gamis ini harganya tujuh ratus ribu, bahannya sutra asli ini, bagus banget, kan? Cocok buat kau kerja, aman juga untuk kehamilan kamu," ujar Shintia. "Hei, Shin. Sudah gak usah pakai emosi mau beli baju semahal ini, aku gak punya duit." "Gak punya duit biar aku yang bayarin, gajiku banyak kok lima juta, bisalah cuma beli baju sepotong gini mah," jawab Shintia sambil mengambil baju itu dan menyuruh Nadin fitting di kamar ganti. "Yakin, kau ada uang, Shin?" tanya Nabila merasa ragu. "Ada, tenang aja. Lagian aku juga masih dapat jatah kiriman dari Bokap." "Widih, enak bener hidup lu?" "Ya, gitu deh ...." "Gimana, gaes ... Bagus gak?" tanya Nadin dengan baju yang sudah dipakainya. "Wah ... Cantik banget, tinggal cari jilbab yang cocok. Baiknya jilbab polos. Ayo, Bil kita cariin jilbabnya," ujar Shintia. Nadin hanya pasrah, kedua temannya itu ya ... Nadin yang akan membeli baju mereka yang sibuk memilihkan, mana pilihan
"Di bawa, kenapa? Oh iya ... Iya ...." Nadin buru-buru membuka tasnya dan mengambil dompet, kartu berwarna gold yang selama ini hanya dijadikan pajangan didomoetnya kini dikeluarkan, tak nomor PIN dari Fahmi yang masih ditulis di secarik kertas, Nadin mana hapal nomor PIN-nya "Ini, coba pakai kartu ini, Mbak," ujar Nadin. "Baik, Mbak. Saya coba." Kasir segera memasukkan kartu ke mesin gesek. "Silahkan masukkan PIN-nya, Mbak!" ujar kasir wanita itu kembali bernada sopan. Nadin langsung mengetik PIN kartu tersebut di mesin gesek dengan hati-hati, dia mengamati tulisan di tangannya. "Sudah ini, kau hapalkan nomor PIN-nya, segera kau musnahkan kertas ditanganmu itu, bisa bahaya!" bisik Shintia, bagaimanapun dia seorang yang bekerja di bank, hal-hal tersebut adalah keamanan dasar bagi nasabah. "Iya," jawab Nadin sambil mengangguk. "Haddeuh, cepet, dong! Kalau kartu gak ada isinya itu jangan dipaksa, nanti mesin geseknya rusak pula!" kembali terdengar nada provokasi dari belakang. S
"Heum, masakanmu enak sekali, Nura. Kalian ibu dan anak benar-benar pintar memasak. Sudah lama aku tidak makan masakan rumah seperti ini, sejak istriku tiada," ujar Riswan dengan binar di kedua netranya. Nuraini hanya terpaku, apakah dia harus mengakui masakan Nadin sebagai masakannya? Namun mulut lelaki itu benar-benar manis, dia tidak pernah mendengar kata pujian seperti ini sejak suaminya tiada. Dulu walaupun dia hanya pintar membuat kue brownies coklat, tetapi Rafiq selalu memujinya dan selalu memintanya terus agar dibuatkan kue itu. Sebaiknya dia mulai sekarang harus meminta Nadin untuk mengajari cara membuat semua masakan ini. "Heum, memangnya sudah berapa lama istrimu meninggal?" tanya Nuraini mengalihkan pemikirannya. "Sudah sepuluh tahun, saat itu usianya baru menginjak empat puluh tahun, aku dan dia lebih tua dia tiga tahun," ujar Riswan. "Oh, kalau suamiku sudah pergi selama enam belas tahun." Eh, kenapa Nuraini jadi curhat begitu? "Aku tahu, pasti berat ditinggal pasa
Extra part 2Pagi yang sama, kenapa kebahagiaan rasanya menguap dalam kehidupannya. Paska cerai dengan Chika, dalam waktu dua bulan Adam langsung dijodohkan oleh ibunya dengan wanita dari kampungnya, dulu perempuan itu adalah murid ibunya yang sangat pintar dan cantik. Tetapi pernikahan itu bagai kutukan bagi Adam, dia sama sekali tidak merasa bahagia. Ayuni, istrinya memang sangat cantik, dia juga berprofesi seorang bidan, sudah pegawai negeri pula. Bertugas di rumah sakit di kota yang sama dengan Adam sekarang, hanya saja kehidupan Adam terasa begitu hambar. Ayuni tidak bisa masak seenak masakan Nadin, wanita itu juga perhitungan dengan uangnya, setiap gaji Adam diperhitungkan dengan seksama tanpa mau uangnya dipakai untuk kebutuhan rumah tangga. Ayuni beranggapan, uang istri hanya untuk untuk istri, sedangkan yang suami sepenuhnya uang istri. Ayuni beralasan jika penghasilannya habis dipakai untuk kebutuhan ibu dan adik-adiknya di kampung, hal itu sebenarnya tidak dimasalahkan ole
Extra partKeesokan harinya Nuraini, Andini, Arif beserta Bik Sumi dan Mang Karta mengantar Fahmi belanja untuk hantaran dan seserahan untuk melamar Nabila.Sedang Nadin dan Zaki dilarang ikut, mereka menghabiskan waktu dengan putri kecil mereka, tak menyia-nyiakan waktu yang telah hilang selama ini.Para orang tua itu begitu semangat mengantar Fahmi belanja, pasalnya bagi mereka berlima, momen menyiapkan pernikahan putra mereka tidak akan terjadi lagi. Zaki dan Nadin sudah menikah tanpa sepengetahuan mereka, jadi mereka tidak bisa menyalurkan hasrat mengental putra dan putri mereka ke pelaminan.Nuraini pernah mengusulkan agar Zaki dan Nadin mengadakan resepsi, tetapi tetap ditolak oleh keduanya, pasalnya pernikahan mereka sudah setahun lebih, mereka mengatakan bahwa resepsi itu sudah terasa basi.Sepulang mereka masih tetap heboh, berbagai barang mereka kemas sendiri, terutama bik Sumi yang memang punya keahlian mengemas hantaran, dia juga punya usaha catering serta tenda dan dekora
Bab 181"Apa? Maksud Papa Arif apa? Apa maksudnya ini?!!" Nadin sedikit berteriak mengatakan semua ini."Nadin, Sayang ... Slowly! Tenang, Sayang ... Tenang, nanti Mas ceritakan sama kamu, Sayang. Tetapi syaratnya kamu harus tenang jangan emosi?" ujar Zaki menenangkan."Jangan nanti! Aku minta sekarang juga kamu ceritakan, Mas."Semua orang terdiam, Zaki juga tidak bisa mengatakan apapun, tiba-tiba tenggorokan nya tercekat, seolah-olah ada yang menyumbatnya."Sebaiknya kita masuk ke rumah dulu. Ayo, Sayang ... Kamu pasti lelah. Kita masuk rumah dulu, ya?" ujar Andini dengan lemah lembut sambil mengusap punggung putrinya."Bik Sumi, tolong buatin mereka minuman segar, ya? Mereka pasti lelah diperjalanan.""Baik, Mbak Andin.""Mbak Nura, mari masuk dulu, Mbak ... Fahmi, ayo ... Ayo, Zak, ajak ibu dan istrimu masuk ke rumah dulu," ujar Andini dengan perkataan yang lembut.Nadin hanya bisa mengikuti ibunya yang sudah mengajak masuk ke rumah. Dengan perlahan dia duduk di sofa ruang keluarga
Bab 180"Wow, apakah Bisa Sumi punya bayi? Ya Allah, Alhamdulillah kalau Bi Sumi akhirnya punya anak setelah dua puluh tahun lebih menikah belum diberi buah hati, aku sangat senang!" ujar Nadin dengan wajah sumringah."Nadin!" Biar Sumi langsung memeluk Nadin setelah berlari menyongsongnya. "Bibi! Apa kabar, Bi?" Seru Nadin dengan suasana mengharukan."Baik, Sayang. Bagaimana keadaanmu? Bibi sangat kuatir mendengar kamu ditembak, Nadin. Bibi ingin menjengukmu ke kota provinsi, tetapi Mamang kamu itu, malah darah tingginya kambuh, dia juga terpaksa dirawat, sampai sekarang masih minum obat dari dokter." "Oh ya? Kasihan Mang Karta! Tapi kelihatannya sudah sehat ya, Bi?" Nadin memperhatikan lelaki paruh baya yang tengah menimang-nimang bayi kecil di kedua tangannya."Bibi ... Itu bay____""NADIN! NADIN! NADIIIN!!" Belum juga Nadin menyelesaikan kalimatnya, dari arah pintu namanya dipanggil dengan suara keras menggelar. Seorang wanita berjilbab maroon senada dengan gamisnya berlari ke
Bab 179Jam empat sore mereka baru sampai di gerbang kabupaten, suasana pegunungan yang sejuk dan dingin sudah terasa menusuk kulit, Nadin langsung mengenakan switer-nya agar tidak kedinginan, Nuraini bahkan memakai jaket berbulu agar lebih hangat, sedangkan Zaki yang memang memakai kaos panjang masih bisa menahan hawa dingin, Fahmi mengecilkan AC mobil agar hawa dingin di dalam mobil berkurang, lelaki ini sudah mengenakan jaket Levis dari rumah, jadi tidak begitu merasakan udara sore yang menggigit. "Ini masih lama?" tanya Nuraini dengan nada penasaran. "Masih satu jam lagi sampai ke kampung Nadin," jawab Zaki. "Alamnya sangat indah, sebaiknya kamu pikirin untuk membuat resort di sini, potensinya sangat bagus, Zak," ujar Nuraini lagi. "Kalau itu nanti bicarakan dengan om Arif, aku mau fokus mengembangkan Z-Teknologi saja," jawab Zaki dengan malas-malasan. "Itu tenang saja, Bu. Nanti pembangunan resort-nya memakai jasa Adiguna konstruksi saja, langsung saya ACC nanti," jawab Fahm
Bab 178Berita penangkapan dan penggrebekan tempat judi ilegal dan aplikasi judi online diberitakan secara nasional. Pemiliknya ternyata orang yang sama, Mustofa Kemal. Seorang pria tua berusia enam puluh tujuh tahun. Polisi bergerak cepat setelah Riswan membuat laporan. Bukan main-main, koneksi Riswan ternyata seorang jenderal kepolisian bintang tiga di Humas mabes polri. Jenderal tersebut memiliki hutang Budi yang cukup besar pada Riswan, baru kali ini Riswan meminta tolong padanya, jadi bagaimana mungkin dia tidak melakukannya dengan tuntas. Bahkan antek-antek Mustofa juga ikut ditangkap,. Salah satunya orang kepolisian juga yang menjadi pelindungnya selama ini. Tak lupa juga Respatih dan Farhan ikut juga ditahan. Tidak main-main ancaman hukuman berlapis akan dikenakan, karena mereka juga terlibat human trafficking dan prostitusi.Zaki yang mendengar berita itu dari siaran langsung di layar televisi di kantornya tersenyum lega. Biarlah dia tidak bisa memenjarakan mereka atas kas
Bab 177Situasinya memang tidak terduga. Riswan rupanya gerak cepat untuk membuat pergerakan Mustofa terhenti. Menurut sumber informasi, Mustofa memiliki jaringan mafia yang cukup ganas, bisa membunuh tanpa tersentuh oleh hukum dan Riswan yakin, dalang pembunuhan Rafiq adalah kakak kandungnya sendiri yaitu Mustofa. Dengan persetujuan Nuraini, maka biro travel milik wanita itu juga segera diambil alih oleh Riswan. Semua pegawai bahkan di-rolling, sehingga menejemen berubah besar-besaran, Ahmad segera ditunjuk Riswan untuk menjadi direktur utama, sedangkan Willi di tempatkan di daerah Indonesia timur. Mustofa yang mengetahui hal tersebut sangat marah, dia tidak menyangka jika Nuraini menjual perusahaannya dan pindah ke provinsi selatan bersama putranya. "Bukankah usaha mereka itu berkembang pesat? Kenapa mereka jual," keluh Mustofa. "Menurut informasi yang saya dapatkan, usaha itu dulu sempat bangkrut, dan mereka mendapat suntikan dana yang tidak sedikit untuk bangkit lagi, mer
Bab 176Sudah dua Minggu Riswan dan Ahmad mencari bukti dan cara menjerat Mustofa, tetapi bukti dan saksi tidak bisa dihadirkan. Bahkan Faisal yang sudah dijebloskan ke dalam penjara saja hanya mengakui bahwa dia adalah dalang perampokan rumah Zaki, motifnya iri karena Zaki lebih sukses. Dia tidak satu katapun melibatkan ayahnya dan juga saudara-saudaranya. Zaki yang merasa lelah menghadapi semuanya, hanya menyerahkan semuanya pada pengacaranya dan tim investigasi dari kepolisian yang dipimpin oleh komandan Rusdi. Zaki hanya fokus menemani istrinya yang terguncang, semua diurus oleh Fahmi. Fahmi yang bekerja keras di sini, sementara perkerjaan kantor diurus oleh Riko. Zaki menyerahkan sepenuhnya pada Riko sebagai ketua tim pengembang yang baru, sementara Pak Hadi menempati jabatan general manajer, sedang pak Anwar masih di posisi manajer HRD.Pagi itu Riswan dan Ahmad berkunjung ke rumah Zaki, sudah dua Minggu Riswan tidak bertemu Nuraini, rasanya sangat rindu sekali. Wanita itu jug
Bab 175Hari ini Nadin kembali ke kediaman Zaki, sudah sebulan dia dirawat di rumah sakit dan sekarang sudah dinyatakan sembuh. Nuraini, Shintia dan Nabila ikut menjemputnya, tak lupa Fahmi dan Zaki juga ikut menjemput, sedang Riswan yang masih di luar kota hanya bisa menelponnya saja. "Jadi kapan lelaki itu mau menikahi Mama?" tanya Zaki dengan penasaran, pasalnya ibunya itu sudah bicara dengan begitu mesra di telpon, membuat anak lelakinya itu merasa jengah."Insyaallah nanti, kalau persoalan kita sudah selesai.""Kalau selesainya setahun lagi, dua tahun lagi, atau gak selesai-selesai gimana? Mama dan om Riswan gak bilah-bilah, gitu? Dosa, Ma. Terlalu lama menjalin hubungan gak jelas begitu." Zaki mencebikan bibirnya ke arah ibunya, harusnya sebagai orang tua mereka itu lebih tau mana itu dosa mana itu pahala. "Jadi Mama harus bagaimana?" tanya Nuraini dengan sangsi, dia sebenarnya masih belum yakin menikah dengan lelaki itu.Hingga suatu hari Riswan pernah menanyakan kenapa dia b