"Gak lihat bagaimana ekspresi teman Nadin ketika melihatmu, Bos?" tanya Fahmi ketika mereka sudah masuk ke ruangan Zaki. "Nggak lihat, tu? Memang kenapa?" "Emang gak ada pedulinya kamu tuh." "Emang kenapa, sih? Ngomong itu yang jelas." Fahmi hanya menghela napas kesal, begini nih, bosnya ini selalu tidak peduli dengan sekitarnya, padahal dia kan sedang memerankan sosok yang berbeda dengan kesehariannya, harusnya lelaki ini peka sedikit dengan situasi tersebut. "Aku rasa temannya Nadin sudah tahu siapa kamu, Bos. Terus bagaimana selanjutnya?" "Alah, gampang itu, kau panggil saja temannya Nadin ke sini, ancaman dia jangan ngasih tahu Nadin, kalau sampai dia yang membocorkan pecat saja." "Kalau dia tidak takut dipecat gimana?" "Manalah seperti itu, kebanyakan orang pasti takut dipecat. Percayalah, dia pasti milih pekerjaannya daripada sahabatnya itu." Dengan percaya diri Zaki mengatakan semua itu, membuat Fahmi tidak bisa berkata-kata lagi. Memang orang satu ini cenderung memilik
Sementara Nadin sudah mulai bekerja menjadi koki di cafe milik Firman. Bekerja dengan bos yang memiliki ambisi besar sungguh membuat adrenalinnya terpacu dengan cepat. Setiap hari Nadin tak kenal lelah menyiapkan hidangan lokal sesuai kemampuannya, sementara Firman menyiapkan hidangan western. Kesibukan di dapur dengan nuansa khasnya menjadi irama kehidupan sendiri, suara spatula yang bergesekan dengan wajan, suara semburan api dari kompor, suara gemericik minyak dan aroma bumbu yang menguar, suara Rani yang cempreng yang selalu meneriakan menu pesanan pelanggan. Suasana dapur yang serius, tidak ada pembicaraan selain menu masakan mereka, atau kata motivasi agar pesanan segera dibuat. "Nasi ayam panggang dua pakai sambal terasi dan cah kangkung," teriak Rani. "Ayamnya sudah habis, tinggal nila bakar," jawab Nadin. "Duh, baru jam segini kok sudah habis! Ini ada lagi, dinding belut tiga porsi, ditambah gulai nangka muda," Rani kembali bersuara. "Sudah kubilang, menu yang ada tinggal
Nadin tidak menunggu lama langsung pulang, benar sesuai dugaannya, sebuah motor milik suaminya sudah terparkir di teras rumah, dengan mengucapkan salam, gadis itu masuk sendiri karena rumah tidak terkunci."Mas, sudah pulang?" sapa gadis itu ketika melihat Zaki sedang bermalas-malasan duduk di sofa."Iya," jawab lelaki itu singkat, masih asyik dengan gawainya. "Sudah lama pulangnya, Mas?""Tadi jam lima."Tanpa menunggu lagi, Nadin langsung menyeduh kopi dan menghidangkan ke hadapan lelaki itu."Mas, sudah makan belum?""Belum," jawab lelaki itu singkat, dia masih terus sibuk membalas email di gawainya.Sekilas Zaki melirik kopi yang masih mengeluarkan asap dengan aroma yang begitu menggoda di hadapannya."Ya, sudah. Aku masak dulu ya, tunggu sebentar."Tidak berapa lama Nadin sudah selesai memasak, nasi sudah dia masak di magicom, dia hanya tinggal menggoreng ayam bumbu yang sudah diungkep dan dimasukkan kulkas, sambal bawang spesial yang dibuat di cafe itu dia coba di rumah dan mas
Zaki sudah siap ke kantor ketika dia melihat semua hidangan sarapan favoritnya sudah tersedia di atas meja, kopi dan nasi goreng. Sebenarnya pemuda itu mulai betah di rumah ini karena selalu perutnya selalu dimanjakan makanan yang lezat, dia bahkan sudah melupakan bagaimana panas dan sempitnya rumah ini yang selalu membuatnya tidak nyaman. Biasanya setiap pagi gadis itu menampakkan dirinya, tetapi kenapa dia tidak melihat siapapun di sana, tidak mungkin kan Nadin sudah pergi ke kampus? Apalagi pergi bekerja, karena gadis itu akan bekerja mulai siang sampai malam hari karena cafenya buka di sore hari. Tok tok tok"Nadin, Nadin!"Zaki mengetuk pintu Nadin kuatir jika gadis itu sakit atau mengalami sesuatu."Iya, Mas? Sarapan sudah kusiapkan di atas meja," ujar gadis itu dari kamarnya."Kamu kenapa di kamar terus? Keluar lah!""Sebentar, Mas. Aku tidak bisa keluar kamar sekarang, Mas sarapan saja dulu!" teriak Nadin dari dalam kamar.Zaki berusaha membuka handle pintu, tapi ternyata pi
Zaki memasuki ruangan kantornya dengan perasaan gundah, kenapa sejak dia menikah dengan Nadin, dia selalu saja dalam dilema, hati dan pikirannya selalu tidak sejalan, seolah-olah hati dan pikirannya sengaja berperang sehingga dia tidak pernah merasa damai. Lelaki itu berusaha mengalihkan pekerjaannya pada tugas yang sudah menumpuk, sebentar lagi ada lelang tender dari bank terbesar pemerintah yang akan meluncurkan produk mobile banking, tentu kesempatan ini tidak boleh disia-siakan, produk unggulan Z-Teknologi yang mengedepankan keamanan tingkat tinggi selama ini sudah terbukti dipercaya oleh klien-klien besar, tentu tidak sulit untuk memenangkan tender kali ini. Terlalu fokus mempelajari proges perkembangan aplikasi yang tengah digarap tim pengembang, tanpa dia sadari jam sudah memasuki jam makan siang, pintu kantornya sudah dibuka oleh Fahmi "Bos, untuk makan siang makan ini saja, sayang kalau makanan ini tidak dimakan, mubazir." Zaki beralih tatapannya ke kantong plastik yang di
Akhirnya Assyifa menemui Pak Hariadi sebagai ketua pengembang untuk mengurus semua konsumsi untuk tim-nya, dia tidak mau berurusan dengan cafe Nadin, sebenarnya Syifa tidak ingin bertemu dengan Nadin. Dia cukup memberi uang yang dibutuhkan untuk tim pengembang, sebenarnya hal itu cukup merepotkan bagi Pak Hariadi, namun zaman kemudahan seperti ini dia tinggal telpon jika akan memesannya. Hari ini semua karyawan dipulangkan cepat oleh Firman karena besok adalah hari raya idul adha. Nadin yang sudah sampai rumah duluan bergegas menyiapkan hidangan untuk menyambut hari raya kurban tersebut, dia hanya memasak masakan sederhana khas lebaran yaitu ketupat sayur nangka, karena belum gajian dia tidak mampu membeli daging. Jam sembilan malam Zaki pulang dengan wajah yang cukup letih, hari ini dia sibuk meeting online dengan perusahaan cabang di seluruh indonesia, biarpun hanya di depan komputer, tetapi kalau itu berjam-jam tentu saja sangat capek. "Baru pulang, Mas? Mau kumasakin air untuk m
Setelah makan malam, perasaan Zaki belum juga membaik, padahal Fahmi juga sudah pulang. Lelaki itu bangun dengan malas-malasan walaupun di masjid azdan subuh sudah selesai berkumandang. Entah kenapa mood-nya benar-benar memburuk pagi ini. "Mas, bangun salat subuh!" panggil Nadin sambil mengetuk pintu. Zaki segera beranjak dari tempat tidur dan membuka pintu, tetapi suara iqomah di masjid sudah berkumandang padahal dia belum ke kamar mandi. Dengan terpaksa dia salat subuh di rumah. "Mas tidak sempat ke masjid, kita jamaah salat di rumah, ya?" Nadin sudah menggelar dua sajadah di ruang tamu, meja yang ada di sana sudah dia singkirkan. Zaki berjalan gontai sambil meraih sarungnya di atas tempat tidur. Mereka salat berjamaah untuk pertama kalinya, suasananya dirasakan Nadin sangat syahdu. Bacaan ayat pendek yang dibaca Zaki walaupun kurang bagus tetapi cukup membuat Nadin terkesan. Selama hidup bersama lelaki ini bukannya Nadin tidak pernah memperhatikannya, gadis itu bahkan memperha
Ketika Zaki sudah melangkah ke lobi kantor, Fahmi datang terburu-buru dengan buket bunga di tangannya."Kok lama banget, sih? Memangnya kau cari buket bunga di mana?" ujar Zaki dengan nada kesal."Maaf, Bos. Tadi ban mobil sempat pecah karena masuk lubang, jadi aku mengganti ban mobil dulu dengan ban serep.""Ya, sudah. Sini buket binganya, ini bunga palsu kan?""Sesuai pesanan, Bos.""Kalau bunga asli pasti mahal, mana mampu suami miskin sepertiku membelinya."Zaki melangkah menuju ke parkiran motor sambil membawa sebuket bunga tanpa menghiraukan Fahmi lagi "Bos, mau diantar nggak? Bawa buket seperti itu kalau naik motor buketnya bisa rusak," seru Fahmi.Zaki mengehentikan langkahnya, benar juga, lagian dia punya beberapa mobil kenapa malah hidupnya jadi susah begini?"Ya, ayo. Cepetan, sudah jam berapa ini?""Oke, mari, Bos." Fahmi berjalan duluan sambil membukakan pintu depan mobil untuk bosnya."Kau sudah reservasi untuk makan siang kan?""Sudah, Bos. Untuk kalian berdua saja, ka
Extra part 2Pagi yang sama, kenapa kebahagiaan rasanya menguap dalam kehidupannya. Paska cerai dengan Chika, dalam waktu dua bulan Adam langsung dijodohkan oleh ibunya dengan wanita dari kampungnya, dulu perempuan itu adalah murid ibunya yang sangat pintar dan cantik. Tetapi pernikahan itu bagai kutukan bagi Adam, dia sama sekali tidak merasa bahagia. Ayuni, istrinya memang sangat cantik, dia juga berprofesi seorang bidan, sudah pegawai negeri pula. Bertugas di rumah sakit di kota yang sama dengan Adam sekarang, hanya saja kehidupan Adam terasa begitu hambar. Ayuni tidak bisa masak seenak masakan Nadin, wanita itu juga perhitungan dengan uangnya, setiap gaji Adam diperhitungkan dengan seksama tanpa mau uangnya dipakai untuk kebutuhan rumah tangga. Ayuni beranggapan, uang istri hanya untuk untuk istri, sedangkan yang suami sepenuhnya uang istri. Ayuni beralasan jika penghasilannya habis dipakai untuk kebutuhan ibu dan adik-adiknya di kampung, hal itu sebenarnya tidak dimasalahkan ole
Extra partKeesokan harinya Nuraini, Andini, Arif beserta Bik Sumi dan Mang Karta mengantar Fahmi belanja untuk hantaran dan seserahan untuk melamar Nabila.Sedang Nadin dan Zaki dilarang ikut, mereka menghabiskan waktu dengan putri kecil mereka, tak menyia-nyiakan waktu yang telah hilang selama ini.Para orang tua itu begitu semangat mengantar Fahmi belanja, pasalnya bagi mereka berlima, momen menyiapkan pernikahan putra mereka tidak akan terjadi lagi. Zaki dan Nadin sudah menikah tanpa sepengetahuan mereka, jadi mereka tidak bisa menyalurkan hasrat mengental putra dan putri mereka ke pelaminan.Nuraini pernah mengusulkan agar Zaki dan Nadin mengadakan resepsi, tetapi tetap ditolak oleh keduanya, pasalnya pernikahan mereka sudah setahun lebih, mereka mengatakan bahwa resepsi itu sudah terasa basi.Sepulang mereka masih tetap heboh, berbagai barang mereka kemas sendiri, terutama bik Sumi yang memang punya keahlian mengemas hantaran, dia juga punya usaha catering serta tenda dan dekora
Bab 181"Apa? Maksud Papa Arif apa? Apa maksudnya ini?!!" Nadin sedikit berteriak mengatakan semua ini."Nadin, Sayang ... Slowly! Tenang, Sayang ... Tenang, nanti Mas ceritakan sama kamu, Sayang. Tetapi syaratnya kamu harus tenang jangan emosi?" ujar Zaki menenangkan."Jangan nanti! Aku minta sekarang juga kamu ceritakan, Mas."Semua orang terdiam, Zaki juga tidak bisa mengatakan apapun, tiba-tiba tenggorokan nya tercekat, seolah-olah ada yang menyumbatnya."Sebaiknya kita masuk ke rumah dulu. Ayo, Sayang ... Kamu pasti lelah. Kita masuk rumah dulu, ya?" ujar Andini dengan lemah lembut sambil mengusap punggung putrinya."Bik Sumi, tolong buatin mereka minuman segar, ya? Mereka pasti lelah diperjalanan.""Baik, Mbak Andin.""Mbak Nura, mari masuk dulu, Mbak ... Fahmi, ayo ... Ayo, Zak, ajak ibu dan istrimu masuk ke rumah dulu," ujar Andini dengan perkataan yang lembut.Nadin hanya bisa mengikuti ibunya yang sudah mengajak masuk ke rumah. Dengan perlahan dia duduk di sofa ruang keluarga
Bab 180"Wow, apakah Bisa Sumi punya bayi? Ya Allah, Alhamdulillah kalau Bi Sumi akhirnya punya anak setelah dua puluh tahun lebih menikah belum diberi buah hati, aku sangat senang!" ujar Nadin dengan wajah sumringah."Nadin!" Biar Sumi langsung memeluk Nadin setelah berlari menyongsongnya. "Bibi! Apa kabar, Bi?" Seru Nadin dengan suasana mengharukan."Baik, Sayang. Bagaimana keadaanmu? Bibi sangat kuatir mendengar kamu ditembak, Nadin. Bibi ingin menjengukmu ke kota provinsi, tetapi Mamang kamu itu, malah darah tingginya kambuh, dia juga terpaksa dirawat, sampai sekarang masih minum obat dari dokter." "Oh ya? Kasihan Mang Karta! Tapi kelihatannya sudah sehat ya, Bi?" Nadin memperhatikan lelaki paruh baya yang tengah menimang-nimang bayi kecil di kedua tangannya."Bibi ... Itu bay____""NADIN! NADIN! NADIIIN!!" Belum juga Nadin menyelesaikan kalimatnya, dari arah pintu namanya dipanggil dengan suara keras menggelar. Seorang wanita berjilbab maroon senada dengan gamisnya berlari ke
Bab 179Jam empat sore mereka baru sampai di gerbang kabupaten, suasana pegunungan yang sejuk dan dingin sudah terasa menusuk kulit, Nadin langsung mengenakan switer-nya agar tidak kedinginan, Nuraini bahkan memakai jaket berbulu agar lebih hangat, sedangkan Zaki yang memang memakai kaos panjang masih bisa menahan hawa dingin, Fahmi mengecilkan AC mobil agar hawa dingin di dalam mobil berkurang, lelaki ini sudah mengenakan jaket Levis dari rumah, jadi tidak begitu merasakan udara sore yang menggigit. "Ini masih lama?" tanya Nuraini dengan nada penasaran. "Masih satu jam lagi sampai ke kampung Nadin," jawab Zaki. "Alamnya sangat indah, sebaiknya kamu pikirin untuk membuat resort di sini, potensinya sangat bagus, Zak," ujar Nuraini lagi. "Kalau itu nanti bicarakan dengan om Arif, aku mau fokus mengembangkan Z-Teknologi saja," jawab Zaki dengan malas-malasan. "Itu tenang saja, Bu. Nanti pembangunan resort-nya memakai jasa Adiguna konstruksi saja, langsung saya ACC nanti," jawab Fahm
Bab 178Berita penangkapan dan penggrebekan tempat judi ilegal dan aplikasi judi online diberitakan secara nasional. Pemiliknya ternyata orang yang sama, Mustofa Kemal. Seorang pria tua berusia enam puluh tujuh tahun. Polisi bergerak cepat setelah Riswan membuat laporan. Bukan main-main, koneksi Riswan ternyata seorang jenderal kepolisian bintang tiga di Humas mabes polri. Jenderal tersebut memiliki hutang Budi yang cukup besar pada Riswan, baru kali ini Riswan meminta tolong padanya, jadi bagaimana mungkin dia tidak melakukannya dengan tuntas. Bahkan antek-antek Mustofa juga ikut ditangkap,. Salah satunya orang kepolisian juga yang menjadi pelindungnya selama ini. Tak lupa juga Respatih dan Farhan ikut juga ditahan. Tidak main-main ancaman hukuman berlapis akan dikenakan, karena mereka juga terlibat human trafficking dan prostitusi.Zaki yang mendengar berita itu dari siaran langsung di layar televisi di kantornya tersenyum lega. Biarlah dia tidak bisa memenjarakan mereka atas kas
Bab 177Situasinya memang tidak terduga. Riswan rupanya gerak cepat untuk membuat pergerakan Mustofa terhenti. Menurut sumber informasi, Mustofa memiliki jaringan mafia yang cukup ganas, bisa membunuh tanpa tersentuh oleh hukum dan Riswan yakin, dalang pembunuhan Rafiq adalah kakak kandungnya sendiri yaitu Mustofa. Dengan persetujuan Nuraini, maka biro travel milik wanita itu juga segera diambil alih oleh Riswan. Semua pegawai bahkan di-rolling, sehingga menejemen berubah besar-besaran, Ahmad segera ditunjuk Riswan untuk menjadi direktur utama, sedangkan Willi di tempatkan di daerah Indonesia timur. Mustofa yang mengetahui hal tersebut sangat marah, dia tidak menyangka jika Nuraini menjual perusahaannya dan pindah ke provinsi selatan bersama putranya. "Bukankah usaha mereka itu berkembang pesat? Kenapa mereka jual," keluh Mustofa. "Menurut informasi yang saya dapatkan, usaha itu dulu sempat bangkrut, dan mereka mendapat suntikan dana yang tidak sedikit untuk bangkit lagi, mer
Bab 176Sudah dua Minggu Riswan dan Ahmad mencari bukti dan cara menjerat Mustofa, tetapi bukti dan saksi tidak bisa dihadirkan. Bahkan Faisal yang sudah dijebloskan ke dalam penjara saja hanya mengakui bahwa dia adalah dalang perampokan rumah Zaki, motifnya iri karena Zaki lebih sukses. Dia tidak satu katapun melibatkan ayahnya dan juga saudara-saudaranya. Zaki yang merasa lelah menghadapi semuanya, hanya menyerahkan semuanya pada pengacaranya dan tim investigasi dari kepolisian yang dipimpin oleh komandan Rusdi. Zaki hanya fokus menemani istrinya yang terguncang, semua diurus oleh Fahmi. Fahmi yang bekerja keras di sini, sementara perkerjaan kantor diurus oleh Riko. Zaki menyerahkan sepenuhnya pada Riko sebagai ketua tim pengembang yang baru, sementara Pak Hadi menempati jabatan general manajer, sedang pak Anwar masih di posisi manajer HRD.Pagi itu Riswan dan Ahmad berkunjung ke rumah Zaki, sudah dua Minggu Riswan tidak bertemu Nuraini, rasanya sangat rindu sekali. Wanita itu jug
Bab 175Hari ini Nadin kembali ke kediaman Zaki, sudah sebulan dia dirawat di rumah sakit dan sekarang sudah dinyatakan sembuh. Nuraini, Shintia dan Nabila ikut menjemputnya, tak lupa Fahmi dan Zaki juga ikut menjemput, sedang Riswan yang masih di luar kota hanya bisa menelponnya saja. "Jadi kapan lelaki itu mau menikahi Mama?" tanya Zaki dengan penasaran, pasalnya ibunya itu sudah bicara dengan begitu mesra di telpon, membuat anak lelakinya itu merasa jengah."Insyaallah nanti, kalau persoalan kita sudah selesai.""Kalau selesainya setahun lagi, dua tahun lagi, atau gak selesai-selesai gimana? Mama dan om Riswan gak bilah-bilah, gitu? Dosa, Ma. Terlalu lama menjalin hubungan gak jelas begitu." Zaki mencebikan bibirnya ke arah ibunya, harusnya sebagai orang tua mereka itu lebih tau mana itu dosa mana itu pahala. "Jadi Mama harus bagaimana?" tanya Nuraini dengan sangsi, dia sebenarnya masih belum yakin menikah dengan lelaki itu.Hingga suatu hari Riswan pernah menanyakan kenapa dia b