"Ayah benaran akan mengganti ibu dengan Tante Melda?" tanya Yura. Terlihat jelas rasa tidak suka di wajahnya."Tidak!!!" jawabku singkat dan tegas.Ada-ada saja kelakuan Melda, mengapa ia harus bicara yang tidak benar pada anak-anak. Aku nggak pernah bilang begitu padanya, lagian aku mengajaknya ikut makan pun hanya sebagai ucapan terima kasih dan rasa syukurku. Gara-gara ucapan Melda, sekarang Mixi dan Yura meragukan kesetiaan ku pada ibu mereka atau malah akan membenci ku. Rasanya hanya Kinanti yang dapat mengerti perasaan ini, kesetiaan ini, cinta ini yang hanya utuh untuknya seorang.Aku berjalan mendahului mereka dan mereka mengikuti ku di belakang, tidak ada lagi obrolan di antara kami.Keesokan harinya, aku terkejut. Sama hal seperti kemaren, bengkelku kembali ramai. Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa mendadak jadi ramai begini. "Ya Allah, Alhamdulillah."Aku berhenti dari mulung. Sekarang aku kembali fokus memperbaiki motor. Sedangkan Uwais, ia masih sering di asuh Melda.Pe
Semenjak hari itu, Erhan tidak pernah datang lagi. Entahlah apa maksudnya, entah ia sengaja menemuiku atau ia kebetulan lewat saja di bengkelku. Tentang perkataannya terakhir aku tidak menganggapnya serius. Biarkan Mixi menemukan jodohnya sendiri.Dari pada mikirin Erhan, lebih baik aku menemui istriku. Di akhir pekan aku selalu mengajak Uwais menemui Kinanti.Aku hanya akan pergi sebentar ke rumah sakit, setelahnya baru aku akan bekerja di bengkel. Aku sedang memakaikan baju untuk Uwais, suara anakku yang lain terdengar di dapur."Mixi, Yura, kalian ikut nggak?" Aku bertanya pada kedua anakku dengan sedikit berteriak."Kami nanti siang, Yah!" jawab Mixi.Ini hari libur, jadi mereka masak sarapan agak siang. Khan bisa santai dulu katanya.Mereka sangat kompak, selalu melakukan apa pun berdua. Aku memilih pergi ke rumah sakit terlebih dahulu sebelum sarapan. Anak kelas lima SD dan kelas tiga SD sudah pandai memasak? Apa yang mereka masak? Biasanya hanya telur ceplok dan tempe goreng den
Dua tahun berlalu, belum ada perubahan apa-apa pada Kinanti, ia masih betah dalam tidur panjangnya. Aku masih selalu menyempatkan waktu untuk mengunjunginya.Usia Uwais sudah tiga tahun, Melda masih sering mengajaknya bermain bahkan Uwais memanggilnya dengan sebutan ibu. Lewat Melda, Uwais merasakan kasih sayang seorang ibu, walau pun bukan ibunya. Aku sangat berterima kasih padanya.Sedari Uwais bayi Melda sudah mengurus ASI untuk Uwais. Saat keadaan tersulit ku, Melda juga membantu menjaganya. Wanita itu benar-benar berjasa. Lalu sekarang saat keadaanku baik, aku tidak mungkin melarang Melda bermain dengan Uwais 'kan?"Yah, Was au te mpat bu. Depon, Yah!" rengek Uwais di pagi itu. Ia mengucapkan dengan kata-kata yang masih kurang jelas tapi sudah dapat aku mengerti."Ibu masih kerja mungkin, nanti kalau sudah pulang ibu pasti jemput Uwais ya!" Aku menenangkan bocah itu agar tidak lagi merengek minta ke tempat Melda.Selama ini aku tidak pernah menghubungi Melda kalau bukan karena ha
Pukul sepuluh malam, aku hendak istirahat ditemani bocah ganteng ku yang setiap hari makin pintar makin ganteng. Rasanya sungguh Begitu cepat waktu berlalu. Aku terus menepuk pelan bokongnya, matanya mulai terpejam perlahan. "Selamat tidur anak ganteng Ayah!"Aku mencium pipinya terlebih dahulu. Tak lama ia benar-benar telah tertidur, aku pun hendak memejamkan mata menyusul Uwais ke alam mimpi. Aku dikejutkan dengan getar ponsel yang terdengar di lantai. "Siapasih? Ya ampun nggak tau apa sudah malam!" gerutuku.Aku begitu enggan membuka mata karena sudah sangat mengantuk. Aku mengulurkan tangan mengambil ponsel, memicingkan mata sejenak untuk memilih tombol hijau tanpa melihat nomor si pemanggil, setelahnya aku pejamkan lagi mataku."Halo, Assalamualaikum!" ucapku dengan suara pelan. Aku takut menganggu tidur anak gantengku."Waalaikumussalam, benar ini dengan Pak Alfa?" tanya seorang perempuan di seberang sana."Iya, saya sendiri.""Begini, Pak! Kami dari rumah sakit Permata, ingin me
Pasca sadar Isteriku harus menjalani terapi, sekarang ia telah dapat bicara walau masih sangat lambat, duduk masih dibantu, tapi perkembangannya cukup bagus. Ia sudah tidak di ICU lagi, sudah pindah ke ruang rawat.Setiap malam aku menemaninya di rumah sakit, pukul sepuluh malam aku pamit pada anak-anak, "Ayah ke rumah sakit dulu! Kalian jaga Uwais ya! Jangan lupa kunci pintu!"Seperti malam-malam sebelumnya aku titipkan Uwais pada Mixi dan Yura. Kalau ada apa-apa mereka bisa langsung menghubungiku. Uwais tidak tahu kalau aku tinggalkan kerena sebelum ia bangun aku sudah kembali.Siang hari aku harus bekerja, namun tetap aku sempatkan mengajak Uwais melihat Kinanti walau hanya sebentar, aku selalu memberi semangat juga pengertian. Isteriku mengerti kalau aku harus bekerja, walaupun kadang ia terlihat ragu. Beruntung ada Mixi dan Yura yang pulang sekolah langsung datang ke rumah sakit menemani ibu mereka.Beberapa waktu berlalu, hari ini Kinanti pulang. Aku telah selesai mengurus semuan
"Bertemu abak???" Aku refleks bertanya setelah mendengar penuturannya. Aku bergeser agar kami lebih dekat, aku ingin mendengarnya dengan jelas, barang kali itu adalah perjalanannya selama masih koma.Kinanti mengangguk pasti dan mulai bercerita, "Aku datang ke rumah lama kami. Aku mengetuk pintu, tak lama abak membukakannya. Rumah terlihat sepi di sana hanya ada abak sendiri, beliau sudah terlihat sehat. Ia berdiri dengan begitu tegap, tidak seperti saat terakhir aku mengingatnya. Tapi Abang tau?""Tau apa?" tanyaku spontan, mana Aku tahu kelanjutannya. Aku tidak berada dalam mimpi itu sayangku. Ada-ada saja pertanyaannya."Abak mengusirku dari rumah. Dia bilang 'kau pulanglah, tempat kau bukan di sini'." Baru beberapa kalimat cerita itu dimulai tapi sudah sedih saja. Aku rasa sebaiknya jangan diceritakan dulu, bukankah kami baru saja bersama kembali, aku tak ingin ada air mata kesedihan.Aku menariknya ke pelukan sebelum ia menangis, aku yakin ia akan menangis sebentar lagi karena men
Sudah sebulan Kinanti berkumpul bersama kami. Kakinya sudah kuat seperti sedia kala, kursi roda yang aku pinjam kemaren telah aku kembalikan pada perawat itu pertanda isteriku tidak lagi membutuhkannya.Malam telah tiba, aku masuk ke dalam kamar setelah memastikan Uwais tertidur. Malam ini anakku lumayan rewel, biasanya nggak pernah seperti ini. Tadinya kami berdua yang menenangkan bocah itu, tapi karena kulihat istriku sudah sangat mengantuk, ku suruh dia tidur duluan, lagian Uwais juga sudah hampir tertidur.Dari depan pintu aku melihat Kinanti telah tertidur dengan berselimut sampai ke leher. "Tumben! Apa dia sakit?" batinku.Aku merasa khawatir karena tidak biasanya Kinanti tidur berselimut seperti itu, apalagi cuaca terasa lumayan panas begini. Aku bergegas mendekat lalu meraba dahinya."Nggak demam," monologku sambil berpikir. "Apa dia nggak gerah, ya?"Ingin sekali aku membangunkan istriku tapi takut mengganggu mimpi indahnya, walau pun aku tahu pasti ia tidak akan marah. Ya sud
"Gue kira lo bakal nikah sama si dokter itu!" Suara Miko begitu keras, aku takut Kinanti mendengar dari dalam dan ia akan salah paham jika hanya mendengar sepenggal saja.Mataku langsung beralih melihat ke dalam ruko, benar saja aku melihat siluet istriku baru masuk ke dalam kamar. Aku yakin Kinanti dapat mendengar percakapan kami, apa lagi suara Miko yang sangat keras ditambah ruko ini yang hanya seluas telapak tangan. Setelah ini Kinanti akan menuntut membahas Melda padaku."Ya, nggaklah! Gue setia ama bini gue, Ko! Lo 'kan tau gue setiap hari sibuk bengkel sama ngurus anak bayi, mana pernah terniat nikah lagi." Sengaja aku menjawab dengan suara yang juga cukup keras. Aku harap jawabanku barusan bisa membuat istriku tidak marah nantinya. Aku harus bersiap menceritakan tentang Melda setelah ini. Aduh Miko cari masalah buatku aja, hanya berharap Kinanti tidak salah paham.Selama ini bukan aku bermaksud menyembunyikan tentang Melda dari Kinanti, hanya saja aku menunggu waktu yang tepa
Aku telah sampai di rumah, sama seperti tadi, Mixi masih tertinggal di belakang. Aku segera memarkirkan motor dan masuk ke dalam rumah. Aku tidak sabar ingin menyampaikan berita ini pada Kinanti."Assalamualaikum, Sayang!" Aku mengucap salam dan langsung mencari keberadaan istriku.Beberapa saat ia belum juga muncul, aku bergegas mencarinya ke dapur, eh malah tidak ada!"Sayang!" panggilku lagi.Tak lama suaranya muncul dari dalam kamar. "Iya, Bang!"Aku langsung menyusulnya, kami hampir bertabrakan di sekat pembatas ruang tengah dan dapur. "Astaghfirullah!" Aku terlonjak kaget."Hei, Abang ada berita bagus buat kamu!" Aku melangkah semakin mendekatinya dan menarik tangan istriku untuk duduk di sofa ruang tamu.Begitu panjang cerita yang akan aku sampaikan hingga kami harus duduk. Aku begitu bahagia mengetahui kalau benda itu bukanlah milik Mixi.Kami baru saja mendaratkan bokong di sofa, terdengar salam Mixi dari pintu, "Assalamualaikum!"Kami menoleh bersamaan dan menjawab salam jug
Pagi ini aku ingin pergi ke sekolah Mixi, apa yang dilakukan anak itu harus aku selesaikan. Dia harus tetap bersekolah hingga ujian akhir walaupun semalam telah resmi menikah.Setelah sarapan aku sudah siap untuk pergi, tapi anak itu sama sekali belum bersiap. Aku lupa memberitahu Mixi kalau aku akan ke sekolahnya hari ini. Al hasil aku harus menunggunya bersiap dan kami berangkat agak siang dengan motor masing-masing.Aku telah sampai dan melihat jam di pergelangan tanganku. "Sudah pukul 09.00," gumamku.Aku memarkirkan motor lalu memandang ke belakang mencari keberadaan Mixi. Beberapa menit aku menunggu, akhirnya anak itu sampai juga."Cepatlah!" desisku.Aku berjalan terlebih dahulu, gadis itu berjalan pelan di belakangku terdengar kakinya seperti diseret. Aku memutar badan dan bicara padanya."Kau, cepatlah sedikit, dasar anak bandel!" Aku masih terus menghardiknya karena aku tak habis pikir dengan kelakuan anakku itu.Mixi tak berani menatapku, ia terus menunduk sepanjang jalan. A
"Kenapa?" sentak Erhan."Karena kau non muslim!" tunjukku.Seketika aku merasa menemukan jalan buntu. Aku tidak mau Mixi menikah dengan seseorang yang beda keyakinan. Di satu sisi aku tidak mungkin diam saja saat mereka sudah melakukan hal di luar batas.Erhan berdehem, "Hmm, kalau itu Abang tidak perlu khawatir, aku sudah mualaf kok!" ungkapnya sambil cengengesan.Pemuda ini benar-benar ajaib, sama sekali tidak ada risau di wajahnya, walaupun babak belur ia tetap terlihat happy. Hal itu berbanding terbalik dengan gadis yang duduk di sampingnya, Mixi hanya menunduk, sama sekali tidak happy."Kapan?" tanyaku singkat."Dua bulan yang lalu! Kalau Abang tidak percaya silahkan telpon Ustad Habibi, beliau yang sampai saat ini masih membimbing saya," tutur Erhan.Pemuda itu mengeluarkan ponsel dari saku celana. Ia mengulurkan padaku memintaku menelepon ustad yang ia maksud.Aku sungguh tidak kenal dengan ustad Habibi itu, dari pada aku menghubungi orang yang tidak aku kenal, lebih baik aku te
Pikiranku mendadak kacau, aku ingin segera berbicara dengan Mixi. Aku langsung mengendarai motor dengan kecepatan maksimal. Aku tidak jadi menjemput Kinanti, acara jalan-jalan berdua terpaksa batal, lain kali saja!Sampai di rumah aku melihat motor yang tidak aku kenali terparkir di depan teras. Namun, suasana rumah terlihat sangat sepi dan pintu rumah juga masih ditutup."Motor siapa, ya?" tanyaku dalam hati. Siapa yang sudah pulang? Apa salah satu dari anak-anak?Mendadak perasaanku menjadi tidak enak. Aku langsung teringat dengan cerita Bu Er tentang pemuda ganteng yang diajak Mixi ke sekolah, mungkinkah itu—. Berarti Mixi di dalam dengan pemuda itu? Berdua saja? Aku harus selidiki, aku tidak ingin diperbodoh.Aku langsung membuka pintu perlahan agar mereka tidak mengetahui aku pulang. Rencana menyergap mereka diam-diam sudah tersusun di otakku. Begitu pintu terbuka aku terbelalak terkejut dengan apa yang aku lihat."Astaghfirullah, ternyata ini kelakuan kalian?" teriakku yang lang
Hari sudah pukul empat sore. Tinggal satu motor saja yang belum dibenarkan, biarlah menjadi tugas Parto buat nambah gaji karyawanku itu. Eh iya, Parto bukan hanya karyawanku, ia juga adalah suami Tiani.Aku memilih pulang ke rumah."To, Abang pulang dulu, ya! Yang ini masih amankan?" pamitku sambil menunjuk motor yang masih belum dibenarkan."Aman, Bang! Sebentar saja siap tu!" balasnya.Sampai di rumah ternyata sangat sepi tidak ada siapa-siapa, aku lupa kalau sedari pagi isteriku di tempat tetangga yang sedang hajatan. Sedangkan Mixi, Yura dan Uwais belum pulang, pasti mereka masih belum selesai les. Aku duduk di depan teras tanpa membuka pintu, malas masuk rumah kalau tidak ada siapa pun begini.Aku teringat sudah lama tidak jalan-jalan berdua dengan isteriku. Akhirnya aku mengirim pesan singkat untuk menjemputnya, "Yang, sudah selesai? Abang jemput sekarang?"Beberapa saat menunggu, tidak ada balasan dari Kinanti. Mungkin ia sedang sibuk dan tidak menyadari aku mengirim pesan. "Ya
Aku mengambil sertifikat itu lalu bicara pada Miko, "Sudah terbayar 'kan nazar lo?"Miko mengangguk, ia terlihat tersenyum puas setelah berhasil membuatku menerima sertifikat pemberiannya.Miko bahkan memeluk ku. "Lo emang teman gue dunia akhirat, Al! Lo nggak hanya menyelamatkan harta gue di dunia tapi juga di akhir kelak. Makasih ya, Bro!!!"Ia lalu menepuk-nepuk pelan punggungku. Ya, ya, biarkan saja begini untuk beberapa menit ke depan. Begitu bahagianya Miko telah berhasil membayar nazarnya. Aku menikmati momen ini, aku juga bahagia melihat temanku bahagia.Setelahnya aku mengambil tangan Miko dan meletakkan kembali sertifikat itu. "Sekarang gue mau nitip sertifikat ini lagi sama lo!""Eh, apaan? Nggak bisa gitu, Al!" protesnya. Miko tidak mau memegang surat berharga itu hingga jatuh ke lantai begitu saja.Turun sudah harga diri sertifikat sebagai barang berharga karena ulah kami yang saling menolak keberadaannya. Padahal ia begitu sangat berharga, disaat yang lain rela membunuh s
"Nggak apa-apa, biarkan dia makan telur," selaku. "Kebetulan Kinanti tadi goreng telur juga untuk Uwais."Aku heran dengan sikap Tiani, padahal nggak apa-apa Cia makan di rumah kami. Apa dia masih menganggap kami orang asing?"Sebentar ya, Cia!" Kinanti melanjutkan langkahnya ke dapur.Tak lama ia kembali membawa sebakul nasi, sepiring sambal dan sebuah telur dadar. "Kita makan bersama, ya!""Kakak ambil piring dan minum dulu!" Ia izin kembali lagi ke dapur, lalu balik dengan piring dan juga air minum di tangannya.Kinanti telah duduk kembali, ia mengulurkan piring sebagai alas nasi bungkus yang sedang dimakan Cia. Ia juga meletakkan telur dadar di atas nasi itu. "Makan yang banyak, Sayang!"Bocah itu tersenyum cerah. "Makacih, Ante! Cia cuka."Sekarang nasi itu sudah memiliki lauk, tidak hanya nasi putih saja seperti tadi. Aku masih terus memperhatikan bocah itu, senyum dan tingkahnya lebih mirip Yura.Cia memandang ibunya, tangan mungil itu mencoba menggeser piring lebih dekat denga
Keesokan paginya, aku dan Miko langsung menuju bank tempat aku menitipkan surat berharganya. Tak lupa aku membawa kunci SDB. Kami berangkat berboncengan dengan si Jack Blue.Sampai di bank tidak perlu proses yang lama, petugas bank langsung mengembalikan surat-surat itu padaku. Aku menyerahkannya pada Miko."Al, makasih ya sudah menjaganya. Kalau nggak ada lo, mungkin setelah bebas dari penjara gue akan menjadi gembel," tutur Miko saat surat-surat berharga sudah di tangannya.Aku mengangguk dan tersenyum, rasanya lega sekali melihat surat itu telah berhasil aku kembalikan pada pemiliknya. Beban amanah dari Miko di pundakku hilang seketika.Kami melanjutkan langkah ke luar dari bank setelah berterima kasih dan pamit pada petugas bank. Kami berjalan beriringan, aku sangat bersyukur sahabatku ini akhirnya berada di sisiku lagi artinya ia telah melewati masa-masa sulit."Kita cari makan dulu, Al! Lapar gue."Mendadak langkahku berhenti mendengar ajakan Miko. "Gue masih kenyang Kokot. Apa
"Gue kira lo bakal nikah sama si dokter itu!" Suara Miko begitu keras, aku takut Kinanti mendengar dari dalam dan ia akan salah paham jika hanya mendengar sepenggal saja.Mataku langsung beralih melihat ke dalam ruko, benar saja aku melihat siluet istriku baru masuk ke dalam kamar. Aku yakin Kinanti dapat mendengar percakapan kami, apa lagi suara Miko yang sangat keras ditambah ruko ini yang hanya seluas telapak tangan. Setelah ini Kinanti akan menuntut membahas Melda padaku."Ya, nggaklah! Gue setia ama bini gue, Ko! Lo 'kan tau gue setiap hari sibuk bengkel sama ngurus anak bayi, mana pernah terniat nikah lagi." Sengaja aku menjawab dengan suara yang juga cukup keras. Aku harap jawabanku barusan bisa membuat istriku tidak marah nantinya. Aku harus bersiap menceritakan tentang Melda setelah ini. Aduh Miko cari masalah buatku aja, hanya berharap Kinanti tidak salah paham.Selama ini bukan aku bermaksud menyembunyikan tentang Melda dari Kinanti, hanya saja aku menunggu waktu yang tepa