Ucapan itu mengarah pada, apa pun keputusan Vier, baik lelaki itu akan lebih memilih ibunya, Violet tetap akan menjadi istri Vier. Tangkapan arti dari kalimat Violet membuat ibu Vier bergetar karena amarah. Bagaimana mungkin ada seorang perempuan yang meletakkan rasa malunya dan menendangnya dari hati nurani. “Saya tidak menerima kamu sebagai menantuku kecuali dia menikah dengan Hara.” Deklarasi itu sangat jelas bahkan tidak perlu penerjemah untuk mengerti maksudnya. “Ibu, kita akan menyelesaikan ini ….”“Putuskan sekarang!” Vier bahkan belum selesai berbicara tapi sudah terputus karena ucapan ibunya. “Kalau kamu memilih dia, maka jangan lagi kamu memanggilku Ibu.”Violet melihat Vier penuh dengan tekanan. Bagaimanapun, lelaki itu tak bisa menyalahi aturan yang sudah dibuat sebelum pernikahan itu terjadi. Tapi, dia tidak bisa membiarkan Hara bersorak kegirangan karena kemenangannya. “Abang tidak perlu memilih karena ini bukan sesuatu yang bisa dipilih.” Violet menyambar dengan suar
Vier tidak pernah berpikir ibunya akan sampai pada pemikiran jika putranya hanya perlu pergi dari perusahaan kemudian semua sudah selesai. Perjanjian di atas kertas dengan materai adalah bukti nyata jika dirinya akan mendapatkan hukuman yang setimpal jika melanggarnya. Dan itu bukan hanya akan membuat dirinya dipersulit dalam hal apa pun oleh Rizal, tapi juga mungkin hukum lainnya akan diturunkan. “Bu, Vier tahu sekarang Ibu sedang marah. Tapi kita tidak bisa mengambil keputusan dalam keadaan seperti ini. Sekarang, Ibu tenangkan dulu hati Ibu. Setelah itu kita akan kembali berbicara.” Vier menggenggam tangan ibunya dan memberikan tatapan memohon. Hal itu sedikit membuat ibu Vier diam. Vier baru saja pulang dari kerja. Segera setelah itu mendapatkan sesuatu yang tidak menyenangkan saat tiba di rumah.Lelah. Itulah yang dirasakan oleh Vier saat ini. Dia pasti juga berpikir ini adalah ulah Hara. Perempuan itu tidak akan mungkin diam saja saat harga dirinya terasa tumbang karena Violet.
Hara sedikit terkejut ketika suara ibu Vier dingin terdengar di telinganya. Dia segera menunduk dan menekan perasaan kesalnya dengan suara lembut. “Bukan tidak percaya, Bu. Violet adalah perempuan yang kejam. Dia bisa melakukan apa pun untuk mendapatkan segala yang diinginkan. “Kamu tidak perlu khawatir. Vier pasti akan terhindar dari hal-hal semacam itu.” Kalaupun dia akan memiliki anak dengan Violet, memangnya kenapa? Mereka menikah secara sah agama dan hukum. Tapi tentu saja Hara tidak akan pernah membiarkan itu terjadi. Hara akan murka jika bayangannya menjadi kenyataan. Entah dengan cara apa lagi dia akan membuat hubungan Vier dan Violet berakhir.Dia tentu masih memikirkan itu. Mengandalkan ibu Vier sudah tidak benar-benar bisa dilakukan setelah percakapan di antara keduanya. Kemunculan Violet dalam hidupnya membuat Hara harus bekerja ekstra untuk menyingkirkannya. Hara meninggalkan ibu Vier kemudian pulang ke rumah. Dia bahkan tidak pergi ke kantor karena moodnya benar-benar
Vier bahkan sedikit terkejut dengan ucapan Violet. Bagaimana bisa Violet mengatakan akan mengantarkan ibunya sedangkan ibunya sangat tidak menyukai perempuan itu? Tentu saja ibu Vier akan menolak. “Tidak perlu. Vier yang akan mengantarkan saya.” Benar, kan, apa yang dipikirkan oleh Vier. Mungkin ada pikiran lain yang ada dalam kepala ibu Vier. Setelah mereka pulang bersama, ibu Vier akan meminta putranya itu tetap tinggal dan tidak kembali ke perusahaan Violet.Hal itu terbaca begitu cepat oleh Violet. Maka dia segera mendeklarasikannya di depan mertuanya untuk mengantarkannya. Dan menimbulkan terkejut bagi perempuan paruh baya tersebut. “Saya tahu apa yang sedang dipikirkan oleh kalian. Tapi, Bu, Vier adalah suami saya. Meskipun dia harus patuh dengan Ibu, dia juga tidak boleh membuat saya sakit hati karena Ibu.” Violet mendekati Vier dan memeluk lengan lelaki itu. “Saya akan tetap ikut mengantarkan Ibu meskipun Ibu menolak. Saya tidak bisa menjamin Vier akan kembali kepada saya k
“Lantas kamu berpikir kamu berani seperti itu kepada saya lalu saya akan dengan bangga membiarkan itu terjadi? Kamu adalah mimpi buruk.” Baru saja mereka tidak bertengkar, tapi kini justru atmosfer yang melingkupi mereka tidak pernah padam. “Saya tidak akan mengawali pertengkaran kalau tidak ada yang memulai.” Mereka bahkan belum sempat duduk saat pertengkaran itu terjadi. “Ini bukan tentang menang atau kalah, Bu. Tapi ini karena harga diri.”“Benar, tentu saja ini karena harga diri lantas kamu menyeret putra saya masuk ke dalam masalahmu. Kamu menyelamatkan harga dirimu dan keluargamu, tapi dengan cara menggadaikan harga diri itu sendiri. Kamu menarik kekasih orang lain kemudian menjadikan dia milikmu tak peduli apa. Aku bersyukur karena aku tidak memiliki anak seperti dirimu.” Ada dari ucapan itu yang menampar wajah Violet dengan keras. Apa yang dikatakan oleh ibu Vier memang benar. Demi harga dirinya dan keluarganya dia mampu melakukan sampai sejauh ini. Dia dengan keras menarik
Violet memacu kendaraannya dengan kecepatan sedang sebelum sampai di sebuah restoran mewah yang sering didatangi. Masuk ke dalam kemudian mencari keberadaan seseorang yang tadi melakukan panggilan dengannya. Saat matanya menangkap sosok itu, sebuah senyum kecil terdorong keluar dari bibirnya. Langkah kakinya santai tapi pasti. Orang yang ada sedang menunggunya itu juga memberikan senyum. “Long time no see.” Mereka berpelukan dengan lembut kemudian melepaskannya setelah itu. “Bahkan saking sibuknya, tidak ada datang ke pernikahanku.” Sosok Violet yang dingin terlihat mencair dengan keberadaan orang itu. Tidak ada kata-kata sinis yang keluar dari bibirnya. Tatapannya juga sangat bersahabat. Tentu saja akan seperti itu karena dia adalah salah satu sahabat perempuan yang dimiliki oleh Violet. Mereka sudah bersama dalam waktu yang cukup lama. “Dan aku akan membahas itu sekarang tanpa sisa.”Namanya Candy. Dia adalah model terkenal yang sudah berhasil menembus kancah luar negeri. Dia j
Kening Violet mengernyit tajam ketika mendengar suara Vier yang penuh dengan percaya diri. Apa yang sebenarnya dipikirkan oleh lelaki itu? Dia sudah mengatakan semuanya tujuan itu tanpa tersisa, tapi Vier justru masuk dengan keras kepala yang dimiliki. Violet berbalik untuk menatap Vier tanpa terganggu. “Abang tahu kalau aku adalah manusia yang tidak memiliki belas kasihan bukan?” tanyanya, “itu artinya, aku akan dengan senang hati membiarkan Abang tetap di berdiri di sini sampai pagi karena aku tidak akan membiarkan Abang masuk dan tidur di dalam.” Violet berbicara dengan kebenaran yang tercetak di dalam matanya. Keputusan tidak tergoyahkan itu adalah sebuah keputusan bulat. Dengan segera, Violet menutup pintunya di depan Vier tanpa lagi menunggu apa pun. Hatinya menolak sebenarnya, tapi dia tak bisa memberi kesempatan untuk Vier. Violet segera masuk ke dalam kamarnya, meletakkan koper yang dibawanya, lalu dia segera mandi. Hal yang ingin dia lakukan adalah tidur dan beristirahat.
Briana pasti tahu hari ini akan datang. Melukai Violet artinya akan membuat orang-orang di belakang perempuan itu muncul untuk membalasnya. Tapi mereka tidak berhak untuk menyakitinya meskipun dia tahu dia salah. Itu adalah pikiran Briana yang tertanam di dalam kepalanya. Dia lupa dia sedang berhadapan dengan Candy. Candy tak berbeda jauh dengan Violet. Hanya saja, entah kenapa, setelah kejadian di hotel saat itu Violet tidak datang untuk mengejarnya bahkan seolah tidak peduli dengan yang dilakukan. Bukankah kenyataannya Briana melakukan sesuatu yang tidak bermoral di depanViolet? “Aku menjadi ingin segera bertemu seorang lelaki brengsek bernama Evan. Aku berharap dia tak berlari ketika bertemu denganku nanti.” Suara Candy mengaung kembali menyadarkan Briana yang baru saja mengangkat pikirannya pada sebuah lamunan. Candy membiarkan Briana setelah itu karena dia harus naik ke atas panggung dan memberikan sedikit pengaruhnya untuk sedikit pidato. Perempuan itu tampak biasa saja saat
“Eve … Everest, lihat Bunda, Nak. Ya betul.” Melody terkadang bertepuk tangan untuk menarik perhatian Eve, bocah itu tertawa, lalu seorang fotografer melakukan tugasnya. Mengambil gambar dengan berkali-kali jepretan dan sesekali berpindah tempat untuk mengambil angle yang pas. Ini bukan pertama kalinya Eve melakukan pemotretan. Saat dia masih berusia satu bulan, Sagara sendiri yang menjadi fotografernya. Karena hari ini Sagara sibuk, jadi dia tak bisa lagi menjadi fotografer dadakan untuk si kecil Eve. Samudra yang melihat gambar dari laptop yang sudah terhubung dengan kamera, tersenyum gemas. “Assalamu alaikum.” Semesta masuk dengan membawa banyak makanan. “Ih, lucunya,” ucapnya saat menatap bocah kecil yang berada di atas sofa dengan gaun princess. Di kepalanya dipakaikan mahkota yang terbuat dari ranting pohon beserta bunga dan daunnya. “Udah dapat berapa gaun, Kak?” tanyanya pada Melody. “Ini yang terakhir. Setelah kami bertiga berfoto, lalu kita sekeluarga. Sagara ke man
Melody keluar dari mobil dengan pelan kemudian berjalan dengan pelan menuju rumah barunya. Dia tentu sudah tahu rumah besar itu saat masih ada beberapa tempat yang perlu diperbaiki. Saat masuk ke dalam lewat pintu samping, dia segera disuguhkan ruang keluarga yang luas dengan sofa besar hijau matcha berada di tengah ruangan. Samudra tak main-main saat membeli rumah untuk istri dan anaknya. Kedua saudara Samudra bahkan tidak ada yang bekerja karena Eve hari ini pulang ke rumah. Bayi yang ditunggu-tunggu kedatangannya. “Abang tahu nggak kalau kami semua akan menginap di sini malam ini?” Semesta bertanya kepada Samudra saat semua orang sudah duduk di sofa ruang keluarga. “Tahu. Bunda sudah bilang.” Ini adalah bentuk support system yang diberikan oleh keluarga Samudra kepada Melody. Bagaimanapun, Melody adalah ibu baru dan dia membutuhkan banyak dukungan dari keluarga serta sang suami. Violet sudah memberikan banyak wejangan kepada putranya itu agar menjadi lelaki yang bertanggung jaw
Hari-hari itu akhirnya berlalu. Tidak doyan makan, mengidam, bahkan morning sickness yang tadinya tidak ada jadi ada, semua telah usai. Rasa kekhawatiran yang dirasakan oleh Samudra atas kehamilan istrinya benar-benar telah berakhir. Saat itu, dia bahkan meminta tolong agar mertuanya datang untuk menemani Melody. Barangkali ibunya ada di sana membuat Melody bersedia untuk makan makanan yang dimasakkan oleh sang bunda. Sayangnya, aksi malas makannya itu tidak berubah dan bertahan sampai tiga bulan. Kini seorang bayi perempuan mungil telah lahir di dunia dengan berat 2,4kg. Masih sangat merah dan tampak lemah. Untuk sekarang, percampuran wajah kedua orang tuanya sangat kental di wajah bayi itu. Kata orang tua dulu, wajah seseorang itu akan berubah sebanyak tujuh kali sejak dia lahir sampai dewasa, dan Samudra tidak sabar untuk melihatnya. “Selamat datang ke dunia yang keras ini, Eve.” Semesta yang tadi sedang meeting bersama stafnya itu mempercepat meeting-nya setelah Samudra mengirim
Samudra mengangkat Melody ke dalam kamar setelah perempuan itu sudah tidur dengan lelap. Mengelus perut sang istri dengan lembut sebelum dia menyusul tidur di samping perempuan itu. Terkadang di dalam keheningan seperti ini, Samudra bertanya-tanya. Bagaimana kalau dia dan Melody tidak terjebak pada masalah yang mengharuskannya menikahi asisten pribadinya itu? Apakah mereka juga akan bersatu seperti ini, atau bahkan sebaliknya. Tapi jika dipikirkan lagi, memang inilah takdir yang memang harus dia jalani. Begitulah cara takdir mempersatukan mereka. “Mas, kita udah ada di kasur ya?” gumaman itu menyadarkan Samudra dari lamunannya. Menepuk punggung Melody dengan lembut. “Iya, kita udah di kamar. Kamu butuh sesuatu?” “Nggak ada, tapi kenapa dingin sekali?” Samudra melihat pendingin ruangan dan memastikan suhunya tidak terlalu rendah. Tapi memang masih wajar. “Mau aku matiin saja?” tanya Samudra. Dan Melody menganggukkan kepalanya setuju. Samudra melakukan yang diinginkan oleh M
Kalau Melody bukan istrinya, Samudra pasti sudah membentaknya. Sayangnya dia tak bisa melakukannya. Bagaimana mungkin dia menyakiti perempuan yang sudah dijaga seperti anaknya sendiri. Astaga, mulai lagi kan melanturnya si calon bapak muda ini. Ya lagi pula, istrinya bikin darah tinggi. Minta berhentikan mobil sudah seperti jalanan ini punya nenek moyangnya. “Nanti lagi, kalau kamu mau apa-apa, bilang dulu ya, Sayang. Seenggaknya jangan tiba-tiba begini. Bahaya.” Samudra sebisa mungkin menekan perasaan kesalnya supaya tidak keluar. “Iya, maaf,” katanya. “Di sana itu ada jajanan, aku pengen beli.” Tatapannya penuh harap dan itu membuat Samudra lemah. Mereka keluar dari mobil dan segera mendekati jajanan di pinggir jalan tersebut. Melody tampak antusias. Makanan itu benar-benar sangat menggoda dirinya. Samudra yang berada di belakang istrinya itu hanya mengikuti saja tanpa berkomentar. “Mas mau yang mana?” tanya Melody. Jajanan itu seperti jajanan Ramadhan. “Aku ingat pas puasa ka
Kabar yang dibawa oleh Samudra dan Melody adalah kabar yang membahagiakan. Semua keluarga Samudra bahagia luar biasa. Violet dan Vier yang sebentar lagi menjadi nenek kakek tampak terharu. Kehidupan baik selalu menyertai mereka. Kebetulan Sagara dan Semesta pulang berbarengan. Dan mereka juga sangat bahagia. Akhirnya, mereka akan memiliki keponakan. “Apa kira-kira mereka juga kembar?” tanya Sagara tampak antusias. “Kalau iya, gen bapaknya benar-benar kuat.” “Belum bisa dilihat dong. Kalaupun iya, itu bagus. Apalagi kalau langsung cewek cowok seperti kita, itu dinamakan apa, Bang?” Semesta menunjuk Sagara. “Sekali jadi.” Sagara dan Semesta bersuara berbarengan. “Wah, kalau kita bertiga punya anak kembar, bukannya Bunda dan Ayah akan punya banyak cucu?” “Bunda nggak punya saudara. Ayah punya saudara cuma satu. Jadi kalau banyak cucu, itu akan lebih baik. Kalian kalau tua juga nggak kesepian kalau punya anak banyak.” Samudra hanya mendengarkan saja dua saudaranya berbicara tanpa
Menuruti keinginan sang istri, mereka akhirnya berada di sebuah kedai bakso kobar yang tak jauh dari hotel. Melody makan bakso berisi cabe itu dengan lahap membuat Samudra menatapnya melongo. Padahal tadi dia sudah memasukkan dua potong steak, lalu jus juga, tapi sekarang dia berlaku seperti tak pernah makan selama berhari-hari. “Kamu beneran lapar?” tanya Samudra. “Mas tahu nggak kalau steak itu tadi hanya nyempil aja. Nggak tahu kenapa perutku tiba-tiba menjadi seperti karet.” Melody menyeruput kuah bakso yang berwarna merah kehitaman itu karena campuran sambal dan kecap. Matanya tertutup kemudian terbuka kembali. Kata ‘ah’ keluar karena rasa pedas meluncur dari dalam mulutnya. Sungguh, itu benar-benar enak menurut Melody. Samudra hanya menggelengkan kepalanya saja melihat tingkah sang istri. Dia menyuapkan bakso ke dalam mulutnya kemudian mengunyah dengan santai sambil memperhatikan Melody yang keenakan karena bakso tersebut.“Memang udah berapa lama sih nggak makan bakso?” tany
“Kafe kecil nggak akan buat kamu kelelahan.” Lanjut Samudra setelah itu. Vier juga memiliki bisnis restoran yang masih diurus oleh Via. Jadi lebih baik berinovasi yang lain. Begitulah inti dari pembicaraan itu. Melody tampak berpikir dan masih membutuhkan waktu untuk memutuskan. “Kalau begitu, aku akan memikirkan lagi nanti.” “Bunda dulu setelah menikah juga nggak langsung libur kerja, kok. Tapi sedikit demi sedikit mengurangi pekerjaannya dan Ayah yang menggantikannya. Jadi kamu bisa mengambil waktu sebanyak yang kamu mau untuk mengambil keputusan.” Melody mengangguk setuju. Sebuah keputusan baik tidak dilakukan secara terburu-buru dan harus dengan pemikiran matang. Hari-hari berlalu dan pada akhirnya pesta itu tiba. Melody melihat dekorasinya benar-benar sangat mewah. Violet dan Semesta yang mengurusnya dengan menanyakan keinginannya. Dia memilih dekorasi berwarna hijau matcha seperti yang disukai selama ini. Sejak kecil selalu berkawan dengan daun-daun teh membuatnya menyukai
"Ini baju design terbaru dari butik ini, Bang. Jadi, aku merekomendasikan kepada Kakak Ipar.” Semesta yang menjawab karena dia tahu kalau Melody sudah dihinggapi rasa ketakutan yang luar biasa. Terlihat, perempuan itu menunduk tanpa berani menatap Samudra sedikitpun. Melody pasti sudah mengerti betapa tatapan lelaki itu akan setajam apa. Jadi, lebih baik dia menghindar. “Waw, Kakak Ipar.” Belum lagi Samudra menjawab ucapan kembarannya yang satu, muncul lagi kembarannya yang lain. Sagara bersiul menggoda dan tampak puas dengan penampilan si kakak ipar. “Itu gaun yang cantik. Bukan itu juga, yang pakai juga cantik banget. Aku sih, ya.” Samudra tak bisa menahan panas yang menjalar dari dalam hatinya. Lelaki itu menatap Sagara dengan tajam. “Jangan menatapnya!” Samudra meraup wajah Sagara dan segera menarik tangan kembarannya itu sampai Sagara berbalik. “Tutup mata kamu. Itu kakak iparmu,” imbuh Samudra memeringatkan.“Aku tahu kalau dia kakak iparku. Tapi aku kan cuma memujinya. Buka