Seminggu berlalu perlahan kami mulai menghapus duka di dalam hati begitu pun dengan ku. Aku termotivasi dengan kisah hidup Rukmini Chamim yang juga pernah merasakan duka pedih tak terduga namun tak sekalipun menyakiti perasaan suaminya.
Ku hapus air mata yang menitik tak sengaja dan berlalu ke dapur untuk menghilangkan haus ku. Bukannya reda aku malah ingin terjungkang menahan tawa melihat aksi Fatih memasak di dapur lengkap dengan helm seperti mau berkendara.
“Bapak masak apa,”tanyaku. “Oh Cuma masak biasa aja,”ucap Fatih. “Bohong. Sejak kapan masak pakai helm pak,”tanyaku menahan tawa. “Lepaskan saja tawa mu Sya,”ucap Fatih membuatku menarik balik bibir yang sempat terukir senyum.
Aku takut bahagia ku di ambil hanya dengan tersenyum. “Maaf saya hanya bercanda,”ucap Fatih ku gelengkan. “Saya hanya ngga mau ketika saya bahagia dan semua iu direnggut lagi,&
Fatih POV"Kemana lagi pergi nya,"ucapku kesana kemari mencari Kemana pergi nya Rafsya. "Pak Rafsya nya sakit ya,"tanya Kieran. "Ngga kok tadi Rafsya datang sama saya,"ucapku yakin."Kemana lagi Rafsya,"ucap rekan yang lain makin membuatku khawatir. Telfon nya ngga aktif mana ngga ada yang liat Kemana lagi. "Pak Rafsya ada kegiatan sama mahasiswa jurusan sebelah,"tanya Aldo mendatangi ku. "Rafsya ngga pernah ikut kegiatan setau saya. Kamu ada lihat,"tanyaku."Ke rumahnya Andrew Pak,"ucap Andra membuat ku makin merasa sesuatu yang salah terjadi. "Andrew? Andrew kayak nda asing. Hah iya Do ingat ndak kemarin kita sempet dapat Renita ngomongin Rafsya,"ucap Andra membuat ku bingung."Ngomongin? Maksudnya,"tanyaku bingung. "Iya Pak. Renita pacarnya Andrew. Dia kemarin sempet bilangin Rafsya hmm maaf 'ayam kampus',"ucap Aldo membuatku mengingat dulu Rafsya pernah bilang ada kakak tingkat yang mencibi
"Saya rasa dengan mempublikasikan akan mempermudah polisi menyelesaikan kasus Pak. Dan pelecehan yang dilakukan pada saudari Rafsya tidak bisa dianggap remeh,"ucap Nadia pada rapat umum rektorat dengan jurusan ku.Aku hanya bisa menyaksikan lewat zoom meeting karena dengan kondisi ku apalagi mental yang masih agak takut bertemu dengan banyak orang. Apalagi lawan jenis masih membuatku trauma hebat. Aku pernah mengalami banyak jenis tindak kriminal tapi tidak pernah sampai pelecehan seksual dan sejenisnya. Maha suci Allah menjaga ku dalam semua kondisi."Tapi Bu Nadia nanti akan banyak pernikahan di instansi yang mengganggu. Yang ada malah semua mahasiswa memilih menikah bukan kuliah,"ucap Darius. "Tapi Pak saya yakin di luar sana juga tidak ingin mengalami musibah yang sama dengan ananda Rafsya. Apa ada yang kulitnya dipenuhi bekas larutan asam? Apakah ada yang ingin menikah di usia muda dengan orang yang seperti ayahnya sendiri?,"ucap
Gerimis sepertinya enggan berhenti sejak pagi membuatku hanya diam menatap luar. "Bosan ya,"ucap Fatih menemani ku menatap jendela. "Dari tadi hujan terus Mas,"ucapku membuatnya tersenyum mengusap pipiku lembut. "Hujan itu berkah tau Dek. Sebentar saya mau ke dapur. Ngga boleh ikut,"ucap Fatih segera berlari mengunci pintu dari luar membuatku terkunci di kamar.Sejenak tawa ku lepas namun saat melihat sebuah kertas jatuh dari atas mejanya membuatku menaikkan sebelah alisku heran. Segera ku ambil kertas itu mungkin saja surat penting.Mr. Fatih Abqary HaflaUniversity of LondonPostgraduated ScholarshipChemical EngineeringBersamaan dengan itu sebuah kertas yang telah di print makin membuatku tercengang."I refused the offer, because I have a wife who is fully responsible. my wife has become another part that I need to take care of and love all the time wi
Suara mobil yang tiba membuatku yakin pasti Aini bersama Himawan tengah datang berkunjung. "Rafsya sayang,"panggil Aini membuatku bergegas menemuinya. "Loh Bunda sendiri aja?,"tanyaku tak melihat sosok Himawan. "Ayah tadi ada urusan katanya. Gimana lukanya sayang? Masih sakit,"tanya Aini ku gelengkan pelan."Alhamdulillah sini Nak, Bunda bawa salad buah banyak nih,"ucap Aini mengajakku duduk di ruang tengah. "Bun aku boleh minta pendapat Bunda?,"tanyaku. "Boleh dong sayang,"ucap Aini mengusap wajahku lembut. "Bun kalau Rafsya minta Mas Fatih berangkat ke London boleh?,"tanyaku membuat Aini terdiam menatapku beberapa saat."Fatih mau lanjutkan Postgraduated nya? Dia yang minta?,"tanya Aini ku gelengkan. "Bukan Bun. Kemarin siang ngga sengaja dapat surat undangan beasiswa sama berkas-berkasnya jatuh. Bun Mas Fatih sudah nunggu itu dari lama dan di batalkan karena ku. Bun rasanya ngga adil. Mas Fatih bolehkan Rafsya mengejar cita-cita sementara
Fatih POV"Pak Fatih katanya mau lanjut S3 di London ya,"Kalimat itu terus saja terngiang di otakku. Aku yakin sudah menolak suratnya dan siapa lagi yang akan mengirim ulang. Sangat tidak mungkin Rafsya. Tapi melihat mimik Rafsya beberapa hari ini tampak jelas ada yang tengah mengganggunya. Bahkan saat tidur pun dirinya tak henti menendang ku hingga jatuh.Sepertinya ada yang tengah kacau dalam benaknya termasuk mungkin ada alasan di balik diamnya. Rafsya bukan tipikal orang yang akan bercerita ketika ditanya. Bahkan setiap habis kerja mendengarkan semua cerita aktivitas yang dilalui sudah menjadi hobi. Apapun yang dia lakukan tak pernah luput diceritakan. Namun entah mengapa tidak lagi ku dengar sekitar hampir seminggu ini.Jangankan hal yang besar, perkara salah taruh baju saja diceritakan. Membuatku seolah berarti dan membuatnya leluasa. Bahkan pada kedua orangtua ku saja dirinya tidak begitu terbuka. Enggan pulang setelah Maghrib, ku coba menga
Tangan kecil yang menepuk wajahku dengan suara lembut membuat kedua mataku terbuka perlahan. "Eh Mia sudah bangun aja,"ucapku menyapa gadis kecil yang sudah harum di depan ku. "Mia saja sudah mandi kan. Ayo Tak Aca masa belum mandi,"ucap Fatih memberi Mia minyak rambut membuatku terkekeh pelan.Rupanya gadis kecil ini sudah terbiasa bangun seperti Fatih tepat sepertiga malam. Fatih juga sepertinya baru saja mandi karena hidungku bisa mencium aroma maskulin dari sabunnya. "Tak Atih mandi kan Tak Aca uga,"ucap Mia membuatku segera bangkit. "Oh tidak perlu Mia. Tak Aca bisa mandi sendiri,"ucapku berlalu ke kamar mandi.Yang benar saja dimandikan Fatih. Membayangkan saja nggak pernah apalagi mau secara langsung. Guyuran sedingin es yang paling ku hindari akhirnya ku terobos juga. Demi Mia saja seorang Rafsya akan bangun dini hari dan mandi tanpa air hangat. Dengan tetes air yang masih menetes, perlahan ku buka pintu melihat Fatih tengah menema
"Ayo,"ucapku di ruang keluarga memasang wajah malu-malu yang menjijikkan. Aku saja geli dengan diriku sendiri. Baju yang ku pakai sangat tidak cocok jika harus berpadu dengan tingkah pecicilan seperti biasa. Rok plisket hitam dengan kemeja soft pink kotak-kotak lengkap dengan jilbab segitiga bewarna coklat sukses menjadikan ku tampak semakin muda apalagi hanya memakai lip tint dan bedak tabur tipis."Wah cantiknya mantunya Bunda. Mau kemana ini?,"tanya Aini membuatku tersipu. "Ya iyalah mantu kita ngga ada lawan cantiknya,"ucap Himawan. "Sudah siap?,"tanya Fatih ku angguki pelan. "Bun kemarin kan aku weh mau pergi pacaran kah kalian? Hum cantiknya Kak Rafsya bikin Kak Fatih tersipu-sipu.Tapi kak kenapa pilih baju yang membuat Kak Rafsya jadi keliatan makin muda. Sudah baby face tambah lagi bajunya cumil,"ucap Amayra. "Kan dia memang lebih muda dari ku Ay. Jauh lebih cantik menurut saya,"ucap Fatih menyalami Himawan dan Aini membuatku ingin fly over."Ehh kakak
Bunyi gemericik air membuatku beringsut bangun dengan rambut sepertinya baru saja dirapikan dengan gaya yang sama sebelum tidur. Aku duduk di atas kasur sembari mengumpulkan nyawa dengan kemeja kebesaran Fatih. Ingin rasanya tertidur lagi, tapi kan sudah niat mau berubah jadi lebih baik.“Aweh airnya tuh loh,”ucapku menghapus bekas cipratan air yang mengenai wajahku. “Bangun Dek. Makan dulu baru mandi, sholat jama'ah trus checkout ke kampus,”ucap Fatih membuatku berjalan malas ke meja makan. "Jama'ah ke masjid? Jauhnya lagi cari masjid,"ucapku menguap. "Kalau nguap ditutup tuh loh Dek. Sama saya,"ucap Fatih membuat kedua mataku terbuka."Sholat jama'ah sama Mas?,"tanyaku mengingat ingat. Sepertinya aku tak pernah Sholat berjama'ah dengannya ya. “Nah baju saya lagi kamu pakai,”ucap Fatih membuatku tersenyum dengan mata masih begitu sipit. “Sini saya suapi,”ucap Fatih menyendokkan bubur hangat ke
Rafsya POV Nafasku masih naik turun setelah beberapa menit lalu bertaruh nyawa. Lihatlah lelaki di sampingku tak hentinya mencium kening ku penuh sayang. 2 jam sebelumnya dia tak henti memberi semangat dan terus setia menggenggam erat tangan ku. Lantunan rasa syukur dua buah hati terlahir normal ke dunia. Nyaris seperti operasi tumor otak beberapa bukan yang lalu. Diriku nyaris melahirkan seorang diri karena perutku tiba-tiba mulas sementara Fatih tengah pergi karena sebuah kegiatan. Bukan Fatih yang salah, memang seharusnya lahirnya itu 10 hari lagi. Tapi beginilah warna warni takdir. "Mas kamu bahagia?,"tanyaku di angguki nya membuat setetes air mata jatuh di ujung mata. "Dek pasti sakit sekali kan?,"tanya Fatih ku gelengkan. "Saya dari semalam mikir. Usia kita beda jauh otomatis kamu akan lebih dulu merasakan tua. Membayangkan melewati masa tua sendiri. Hanya ditemani dengan anak-anak. Rasa sakitnya itu terbayar sud
Fatih POV Mataku memandang manis gadis yang bersandar tenang. Kalau saja Asmita tidak memintanya diam mungkin sekarang entah kemana dia akan beranjak. Hijab pasmina yang melingkari kepalanya tidak lagi meluncur seperti saat memakai jilbab segitiga. Namun tetap saja, seharian duduk manis di kediaman Mahardika yang memang tengah ada acara kumpul keluarga.Seharian ini jiwa indie nya kadang membuat ku terhanyut. Entah berapa lagu yang terlantun sementara melihat semua orang berlalu lalang kesana kemari. H2SO4 dan kenangan itu bagaimana bisa lupa. Awal jumpa dengan gadis ini. Karena selama ini aku hanya tau dari dosen lain tentang nya. Entah bagaimana bisa diriku yang masuk mimpi gadis belia itu.Hingga membuat dirinya jatuh hati lebih dulu padaku. Padahal dia saja tidak tau wajahku yang mana. Menurutku mimpi itu datang dari Allah sebagai jawaban. Karena saat ini memang diriku yang berdiri di sebelah
"Rafsya sudah sembuh yee,"ucapku bersorak bangga sembari berlalu mendekati jendela karena keringat mulai mengucur deras. Aku akan mengejutkan Fatih saat dia pulang dari menemani Amayra nanti. Menunggu dirinya tiba, kembali berpaku di depan meja rias sembari melepas penutup kepala. Bekas operasi yang tercetak jelas membuatku terlihat mirip Voldemort.Sisir yang biasanya ku gunakan untuk membuat berbagai jenis bentuk rambutku kini tidak lagi berguna. Tidak lagi merasa sedih, ku sampingkan rasa pilu yang menggerogoti benak sembari mengusapkan potongan lidah buaya ke seluruh bagian kepala ku. "Rafsya Dek saya pulang,"ucap Fatih terdengar memasuki rumah membuatku segera menutup kembali kepala.Dengan langkah pasti, bisa ku lihat wajah Fatih menarik senyum lebar tak ingin mendekat lebih jauh. Sengaja ingin melihat ku berjalan dengan lancar ke arahnya. "Kak ngap ya ya kembali ngontrak di bumi,"ucap Amayra menepi membiarkan ku melangkah lebih cepat hingga terhent
Rafsya POVSuasana saat pemeriksaan pagi hari yang biasanya diisi dengan ketenangan menjadi penuh tawa. "Wah lagi pemeriksaan ya. Mbak Aini, ini kah orangnya?,"tanya Asmita membuatku ingin tenggelam ke Palung Mariana saja. Sementara sosok yang dimaksud hanya tersenyum lebar. "Dokter dulu temannya Amayra?,"tanya Aini memulai interogasi."Saya dulu hanya kenal Amayra adek tingkat saya,"ucap Kenan. "Adek tingkat atau apa tuh? Masa kakak tingkat sama adek tingkat bahas organisasi atau kuliah di bioskop,"ucap Fatih kian membuat wajah Kenan memerah. "Hanya teman saja Pak,"ucap Kenan mengganti status membuatku terkekeh pelan."Teman tapi mesra kah Dok?,"tanya Asmita sungguh membuat pria di depan ku kehabisan kata-kata. "Saya dulu rekannya Amayra saja Pak Bu. Tapi setelah itu kami lost contact karena saya harus menyelesaikan studi di luar negeri dan baru bertemu lagi karena tidak sengaja menangani kakak iparnya,"ucap Kenan akhirnya mengaku.
"Rafsya saya pulang,"Kalimat itu sontak membuatku menarik senyum lebar. Bagaimana pergi ke rumah sakit disebut pulang? Sepertinya dia terlalu banyak tertular diriku. "Baru dari kampus Mas?,"tanya Arkan yang sedari tadi menemani ku bersama Amayra. "Nggak juga. Pulang mandi dulu Kan. Masa mau ketemu sama cewek cantik bau asem,"ucap Fatih membuatku terkekeh pelan."Cewek cantik yang mana Le?,"tanya Mahardika membuat Fatih menoleh melihat Mahardika sudah berdiri dengan penuh pertanyaan. "Yang itu Pak. Saya hanya punya cewek cantik. Eh empat Pak. Ibu, Bunda, Amayra dan yang paling cantik Rafsya,"ucap Fatih. "Ehm manisnya kelewatan gombalnya Mas,"ucap Arkan membuatku terkekeh pelan."Kamu sudah makan belum Le?,"tanya Mahardika. "Saya makan bareng sama Dek Rafsya aja,"ucap Fatih membuatku menggeleng heran. "Kan, Nduk Ay ayo pindah kamar. Orang kasmaran susah kalau dipisahkan,"ucap Mahardika berlalu pergi menyisakan ku dengan Fatih. "Sudah check up belum sama dok
Terjawab sudah semua alasan hal yang mengganjal dalam benakku selama ini. Alasan dirinya mengambil uang dengan nominal sebesar itu, rambutnya rontok, juga bercak darah yang ku temukan di bekas tisu di meja rias juga pasti miliknya. Ditemani dengan Kiran, Lewis, dan Liona diriku duduk terdiam sembari mendonorkan darah."Pak Fatih sebelumnya ngga tau Rafsya punya penyakit ini?,"tanya Lewis ku gelengkan pelan sembari tersenyum. "Saya memang tau Rafsya belakangan ini agak pucat, rambutnya rontok, belum lagi mertua saya bilang dia ada transaksi dengan nominal besar. Hanya saja saya ngga tau dia sengaja menyembunyikan penyakitnya dari saya,"ucapku gamang."Mungkin Rafsya punya alasan Pak. Lagipun ngga mungkin Rafsya akan bertindak sendiri kalau memang alasannya ngga kuat,"ucap Liona menenangkan. "Kakak,"ucap Amayra memelukku erat membuatku terbangun dari diam ku. "Maaf Kak,"ucap Amayra tersedu dalam tangis. "Kenapa kamu juga ikut ngga mau kasih
Air mata ku hanya bisa terus luruh saat mendengar Fatih merapalkan doa meminta pada Allah untuk setiap detail kebahagiaan ku. Sementara diriku hanya duduk di atas ranjang menahan pedih karena tak bisa menunaikan sholat dan saling mendoakan di atas sajadah yang sama. Apalagi setelah itu dilanjutkan dengan merdunya ketika melantunkan ayat suci Al Quran.Aku tidak bisa membayangkan jika hari ini aku akan telat pulang karena masih dalam proses penyembuhan. Sudah 2 jam diri ku hanya dalam posisi yang sama melihat sosok pria yang selalu berharap semua yang terbaik untukku. Membayangkan wajahnya pucat pasi ketika tau aku akan memasuki ruang operasi pasti hanya membuatku makin hancur."Dek saya pergi ke masjid dulu ya,"ucap Fatih membuatku mengangguk paham sembari mengambil beberapa perlengkapan lain menyelipkan ke kamar Amayra. "Ay sudah bangun kah?,"tanyaku mengetik pintu sembari membawa tas berisi seluruh keperluan ku. "Sudah Kak. Sini biar ngga
"Rafsya kamu masih di dalam,"Panggilan berulang itu membuatku terbangun dengan bekas mimisan mengalir melintasi wajahku. "Iya Mas sebentar lagi beneran keluar ini,"ucapku segera mencuci wajah. Bisa-bisanya malah tertidur di kamar mandi. Yang ada malah semakin memperburuk keadaan saja Rafsya. Sembari melihat wajahku tampak baik-baik saja segera ku putar knop pintu melihatnya cemas."Kamu baik-baik saja Rafsya?,"tanya Fatih ku angguki. "Selalu baik saya Mas,"ucapku membuatnya menghela nafas lega. "Ayo tidur,"ucap Fatih menarik tanganku menuju ranjang. "Loh kok Mas sudah ganti baju,"tanyaku. "Barusan pulang Pak Adimas sama Bu Andin nya,"ucap Fatih membuatku melirik ke arah jam dinding. Pantas saja. Sudah jam setengah dua belas malam.Selama itu aku tertidur di dalam kamar mandi dan sekarang di tempat yang seharusnya malah sulit ku jumpai kata nyaman untuk tidur? Astaga kebodohan apa ini Rafsya. Sembari melirik Fatih tampak d
Sungguh menyebalkan.Hanya satu kalimat itu saja yang ingin ku ungkapkan saat membuka mata. "Masih marah,"ucap Fatih menyenggol lengan ku. "Entah. Katanya iya Rafsya sayang nanti dibangunin,"ucapku sebal. "Iya kan tapi saya bangunin,"ucap Fatih masih terus terkekeh mencebik. "Kenapa toh ini? Masih sebel Nak,"tanya Aini bergabung dengan kami di ruang tengah."Itu Bun. Coba kalau begini kayak berat sekali,"ucapku mengomentari make up di wajahku yang terpasang begitu saja. Ya Anda tidak salah. Memang setelah kami pulang, di rumah sudah menyiapkan dengan sebaik mungkin. Hanya saja Amayra sengaja tidak diberi tahu dulu. "Cantik kok. Bunda yang suruh Mas Fatih biarkan aja. Karena Bunda kayaknya capek sekali,"ucap Aini membuatku mengedipkan kedua mata tak percaya."Iya kan Fat. Cantik mantu Bunda,"ucap Aini. "Cantik sekali dong Bun. Apalagi kalau lagi ngambek,"ucap Fatih tak tahan menaikkan sudut bibirku membuatnya tergelak. "Bun Amayra kata