Fatih POV
Bukti yang terdengar nyata terlantun begitu saja dari bibirnya. "Terimakasih Pak Bu. Saya izin undur diri,"ucapku menutup pintu ruangan ku sembari mengusap wajahku kasar. Rasanya lega membuat Rafsya benar-benar membenci ku. Hanya saja semua fakta itu hanya semakin membuatku tidak tau apa gunanya diriku sebagai suami. Bahkan melindungi seorang gadis saja tidak mampu ku lakukan.
Catatan sebanyak itu di usia nya yang masih belia tidak bisa ku bayangkan betapa jatuhnya mentalnya dan bodohnya aku malah menambah bukan mengurangi. "Pak,"ucap Lewis mengetuk pintu pelan membuatku mendongak. Tepukan di pundak cukup sebagai apa yang ingin dirinya katakan. "Bagaimana rasanya Pak? Mungkin berat sekali.
Tapi apa bapak memang sebelumnya nggak pernah bertanya masa lalu Rafsya?,"tanya Lewis ku gelengkan pelan. "Saya memang terlalu lalai Pak,"ucapku tersenyum lega sekaligus berat. Akhirnya gadis itu akan
“Kak ngapain lagi ke bandara,”tanyaku. Pasalnya dengan badan habis dari lab bau khas bahan kimia malah di ajak ke bandara. Tempat orang biasa ditemukan kinclong dari ujung kaki sampai ujung rambut.“Wah wah. Jadi sekarang sudah pintar pacaran,”ucap suara bariton membuatku bergidik ngeri. “Nah itu dia. Rama,”ucap Arian menarikku mendekati sumber suara. “Sudah pintar gandeng cewek ya sekarang,”ucap Adimas berkacak pinggang.“Bukan gitu Rama,”ucap Arian. “Katanya ngga mau sama anaknya Bos KPC. Tapi tetep juga di gandeng,”ucap Adimas. “Beda konsep Rama,”ucap Arian. “Sudah-sudah. Rama ngga percaya Le. Nduk putrinya Mahardika,”ucap Adimas ku salami.“Iya Pak,”ucapku tersenyum lembut. “Dasar sok muda cari ya
FATIH POVTau rasanya penyesalan. Aku sudah siap di maki kapan pun semua orang mau. Dan bodoh sekali rasanya jika aku mengatakan menyesal atas pilihan ku. Obsesi buruk Syarifah terhadap ku terpampang nyata di pengadilan hanya membuatku mati rasa. Ralat aku sebenarnya sudah sadar semenjak di auditorium. Hanya semua terlalu gamblang jika langsung ku ucapkan. Apalagi bait nya yang mengatakan penyesalan di akhir menutup paripurna kisah ku.Bodoh sekali rasanya hingga saat ini aku masih belum bisa memaafkan diri ku. Gadis yang biasanya melompat kesana kemari hanya bisa ku lihat dari jauh saja. Rafsya Anitya, begitu mempesona dan sayangnya karena kebodohan ku juga yang membuat kehilangan dirinya. Semenjak kejadian di kampus, aku hanya bisa melihatnya dan mengikuti dari belakang saat dirinya tengah sendiri. Aku memang laki-laki ngga berguna, ku akui itu bahkan sekalipun semua orang memaki ku habis-habisan memang salahku.
Sungguh apa aku terlalu terbiasa di kampus ada Fatih. Bahkan saat memasuki jurusan terngiang pria itu berjalan ke sana kemari. Akh Rafsya sudahlah. Dia mantan suami mu sekarang. "Kangen Pak Fatih ya,"ucap Michael membersamai ku. "Sok tau nya,"ucapku. "Jujur aja Sya. Kayak sama siapa aja. Mungkin semua orang menyalahkan Pak Fatih.Hanya saja melihat kamu juga sudah melepas Pak Fatih dengan ikhlas maka ku harap itu ngga menggeser apapun dari perasaan mu ke Kapten Arian,"ucap Michael mengajakku duduk di teras jurusan. "Apalagi?,"tanyaku. "Janji dulu,"ucap Michael. "Iya deh janji,"ucapku."Kamu mungkin berpikir Pak Fatih begini begitu. Jujur aku merasa miris dengan Pak Fatih. Mungkin dia memukulmu tanpa sengaja. Tapi kamu nggak tau karena itu dia harus membayar harga mahal dengan melepaskan mu. Kamu mungkin selama ini selalu berpikir Pak Fatih ngga peduli. Padahal tanpa kamu tau itu semua hanya kedok.Apalagi kalau kamu tau ya
Hujan rintik-rintik membuatku kian meringkuk di bawah selimut. Apalagi hari ini hari minggu. No laporan, no konsul, no kuliah, no praktikum, no tugas. Nikmat Tuhan mu yang manalagi yang kamu dustakan?“KAKAK BANGUN!!!????,”ucap Amayra dengan suara cemprengnya membuatku langsung bangkit. “Allahuakbar. Kenapa Ay? Ini hari minggu Ay. Hari seorang Rafsya Anitya tidur nyenyak,”ucapku menatapnya heran.Mau kemana dia dengan pakaian serapi itu. “Kak temani ke mall ya,”ucap Amayra sontak membuatku kembali berguling di atas kasur. “Aku malas naik motor Ay,”ucapku. “Ngga naik motor ih. Hari ini kita naik mobil aja,”ucap Amayra membuat ku segera bangkit.“Bentar,”ucapku gesit berganti pakaian. “Kakak dulu waktu berhijab memang di suruh,”tanya Amayra melihatku memakai pasmina. “Ngga. Aku dulu gara-gara sekolah dan baru bener-bener ya sewajarnya
Makan malam kali ini terasa berbeda. Besok saatnya diri ku dibawa pulang orang tua ku. Meja makan pun sudah terisi dengan Fatih yang tengah fokus dengan makanannya. "Fat kamu jadi ngga bisa datang untuk acaranya Rafsya,"tanya Himawan memecahkan keheningan. "Sepertinya gitu Yah. Universitas memulai pembelajaran di dua hari setelahnya. Mungkin bisa ikut di malam harinya sebelum akad,"ucap Fatih.Sungguh sangat disayangkan Fatih tidak bisa hadir, tapi jika kehadiran nya hanya membuat luka untuknya akan lebih baik tidak usah. Beberapa dari kalian mungkin bertanya mengapa masa iddah ku jauh lebih cepat. Justru aku tidak memiliki masa iddah karena Fatih sama sekali tidak pernah menyentuh ku. "Habis ini rumah jadi sepi Bun,"ucap Amayra malah menitikkan air mata."Loh Ay?,"ucapku melihatnya berlalu meninggalkan meja makan. "Sudah ngga papa. Amayra mungkin lagi lelah aja,"ucap Aini menyentuh tangan ku meyakinkan. Sembari melanjutkan makan, piki
Rafsya POV"Dosen pengganti hari ini Pak Fatih Abqary Hafla ya dek,"ucap analis di depan pintu membuat rahang ku ingin jatuh saja rasanya. Its okey harus dewasa dong. Dia kan kakak sekarang seperti Rafsya its okey.Sembari menunggu Pak Fatih datang, aku kembali melanjutkan review beberapa materi di modul terkait praktikum hari ini. "Selamat pagi. Info dari analis Bu Liona ngga bisa hadir makanya saya yang menggantikan. Saya tidak akan mengadakan pretest karena itu sudah tanggung jawab Bu Liona jadi kalian bisa memulai praktikum,"ucap Fatih membuat ku ingin jungkir balik."Untuk apa kamu belajar Sya sekeras itu Rafsya Anitya,"ucapku bermonolog sembari menyiapkan meja. "Ahaha dibilang hari ini ngga pretest ngga percaya sih,"ucap Nata. "Ngga gitu kocak. Tau lah aku takut ngga bisa jawab Bu Liona makanya aku ya gini,"ucapku kesal sendiri sembari berjalan mengambil asam sulfat."Biar s
Rafsya POVAroma harum segar menyeruak memasuki indra penciuman ku. Bau wangi semerbak sepanjang seisi rumah ku di perumahan Antrasit mencurahkan cerita singkat tentang hari yang akan ku lalui. Dengan gaun broken white dan hijab sederhana, hari yang ku tunggu setelah penantian akan berlangsung.Apalagi setelah beberapa detik yang lalu bunyi iringan pengantin datang. rasa deg-degan di dalam hati ku kian mencuat. “Tes. Bismillahirahmanirahim,”ucap Mahardika membuat ku kian tak bisa mengendalikan rasa yang ingin segera keluar.“Ankahtuka wazawwajtuka makhtubataka binti Rafsya Anitya Sagara alal mahri _______,”“Loh kok bahasa Arab,”tanyaku bingung membuatku tak tahan untuk melihat keluar. "Behh Kak Arian pintar bahasa Arab juga ternyata,"ucap Diana ku abaikan.“Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhiitu bihi, wallahu waliyu taufiq
Hingga kepala Arian yang bersandar lebih berat terjatuh membuatku tersenyum lebar. Dokter yang bertugas segera mengurus jenazah Arian sedangkan aku masih terdiam di sudut kamar sembari melihat wajahnya perlahan ditutup kain putih.“Rafsya,”ucap Fatih merangkulku menyaksikan Arian yang sudah ditutup kain putih. “Bisakah saya menemukan sosok yang sama sepertinya? Apa semua yang ku cintai sepenuh hati hanya akan pergi saat aku meyakini nya?,”tanyaku dengan tatapan kosong menatap Arian yang terbujur kaku.“Maafkan saya. Saya seharusnya memenuhi perkataan yang telah saya buat dengan ngga hadir,”ucap Fatih merasa bersalah dengan keringat dingin mengucur di keningnya. “Bukan salah bapak. Saya yang harusnya bertanya. Apa bapak siap menemani hidup saya yang selalu saja ditinggalkan ini. Bapak sudah melihat sendiri kan.Saat saya yakin mencintai siapapun semuanya pergi termasuk bapak s
Rafsya POV Nafasku masih naik turun setelah beberapa menit lalu bertaruh nyawa. Lihatlah lelaki di sampingku tak hentinya mencium kening ku penuh sayang. 2 jam sebelumnya dia tak henti memberi semangat dan terus setia menggenggam erat tangan ku. Lantunan rasa syukur dua buah hati terlahir normal ke dunia. Nyaris seperti operasi tumor otak beberapa bukan yang lalu. Diriku nyaris melahirkan seorang diri karena perutku tiba-tiba mulas sementara Fatih tengah pergi karena sebuah kegiatan. Bukan Fatih yang salah, memang seharusnya lahirnya itu 10 hari lagi. Tapi beginilah warna warni takdir. "Mas kamu bahagia?,"tanyaku di angguki nya membuat setetes air mata jatuh di ujung mata. "Dek pasti sakit sekali kan?,"tanya Fatih ku gelengkan. "Saya dari semalam mikir. Usia kita beda jauh otomatis kamu akan lebih dulu merasakan tua. Membayangkan melewati masa tua sendiri. Hanya ditemani dengan anak-anak. Rasa sakitnya itu terbayar sud
Fatih POV Mataku memandang manis gadis yang bersandar tenang. Kalau saja Asmita tidak memintanya diam mungkin sekarang entah kemana dia akan beranjak. Hijab pasmina yang melingkari kepalanya tidak lagi meluncur seperti saat memakai jilbab segitiga. Namun tetap saja, seharian duduk manis di kediaman Mahardika yang memang tengah ada acara kumpul keluarga.Seharian ini jiwa indie nya kadang membuat ku terhanyut. Entah berapa lagu yang terlantun sementara melihat semua orang berlalu lalang kesana kemari. H2SO4 dan kenangan itu bagaimana bisa lupa. Awal jumpa dengan gadis ini. Karena selama ini aku hanya tau dari dosen lain tentang nya. Entah bagaimana bisa diriku yang masuk mimpi gadis belia itu.Hingga membuat dirinya jatuh hati lebih dulu padaku. Padahal dia saja tidak tau wajahku yang mana. Menurutku mimpi itu datang dari Allah sebagai jawaban. Karena saat ini memang diriku yang berdiri di sebelah
"Rafsya sudah sembuh yee,"ucapku bersorak bangga sembari berlalu mendekati jendela karena keringat mulai mengucur deras. Aku akan mengejutkan Fatih saat dia pulang dari menemani Amayra nanti. Menunggu dirinya tiba, kembali berpaku di depan meja rias sembari melepas penutup kepala. Bekas operasi yang tercetak jelas membuatku terlihat mirip Voldemort.Sisir yang biasanya ku gunakan untuk membuat berbagai jenis bentuk rambutku kini tidak lagi berguna. Tidak lagi merasa sedih, ku sampingkan rasa pilu yang menggerogoti benak sembari mengusapkan potongan lidah buaya ke seluruh bagian kepala ku. "Rafsya Dek saya pulang,"ucap Fatih terdengar memasuki rumah membuatku segera menutup kembali kepala.Dengan langkah pasti, bisa ku lihat wajah Fatih menarik senyum lebar tak ingin mendekat lebih jauh. Sengaja ingin melihat ku berjalan dengan lancar ke arahnya. "Kak ngap ya ya kembali ngontrak di bumi,"ucap Amayra menepi membiarkan ku melangkah lebih cepat hingga terhent
Rafsya POVSuasana saat pemeriksaan pagi hari yang biasanya diisi dengan ketenangan menjadi penuh tawa. "Wah lagi pemeriksaan ya. Mbak Aini, ini kah orangnya?,"tanya Asmita membuatku ingin tenggelam ke Palung Mariana saja. Sementara sosok yang dimaksud hanya tersenyum lebar. "Dokter dulu temannya Amayra?,"tanya Aini memulai interogasi."Saya dulu hanya kenal Amayra adek tingkat saya,"ucap Kenan. "Adek tingkat atau apa tuh? Masa kakak tingkat sama adek tingkat bahas organisasi atau kuliah di bioskop,"ucap Fatih kian membuat wajah Kenan memerah. "Hanya teman saja Pak,"ucap Kenan mengganti status membuatku terkekeh pelan."Teman tapi mesra kah Dok?,"tanya Asmita sungguh membuat pria di depan ku kehabisan kata-kata. "Saya dulu rekannya Amayra saja Pak Bu. Tapi setelah itu kami lost contact karena saya harus menyelesaikan studi di luar negeri dan baru bertemu lagi karena tidak sengaja menangani kakak iparnya,"ucap Kenan akhirnya mengaku.
"Rafsya saya pulang,"Kalimat itu sontak membuatku menarik senyum lebar. Bagaimana pergi ke rumah sakit disebut pulang? Sepertinya dia terlalu banyak tertular diriku. "Baru dari kampus Mas?,"tanya Arkan yang sedari tadi menemani ku bersama Amayra. "Nggak juga. Pulang mandi dulu Kan. Masa mau ketemu sama cewek cantik bau asem,"ucap Fatih membuatku terkekeh pelan."Cewek cantik yang mana Le?,"tanya Mahardika membuat Fatih menoleh melihat Mahardika sudah berdiri dengan penuh pertanyaan. "Yang itu Pak. Saya hanya punya cewek cantik. Eh empat Pak. Ibu, Bunda, Amayra dan yang paling cantik Rafsya,"ucap Fatih. "Ehm manisnya kelewatan gombalnya Mas,"ucap Arkan membuatku terkekeh pelan."Kamu sudah makan belum Le?,"tanya Mahardika. "Saya makan bareng sama Dek Rafsya aja,"ucap Fatih membuatku menggeleng heran. "Kan, Nduk Ay ayo pindah kamar. Orang kasmaran susah kalau dipisahkan,"ucap Mahardika berlalu pergi menyisakan ku dengan Fatih. "Sudah check up belum sama dok
Terjawab sudah semua alasan hal yang mengganjal dalam benakku selama ini. Alasan dirinya mengambil uang dengan nominal sebesar itu, rambutnya rontok, juga bercak darah yang ku temukan di bekas tisu di meja rias juga pasti miliknya. Ditemani dengan Kiran, Lewis, dan Liona diriku duduk terdiam sembari mendonorkan darah."Pak Fatih sebelumnya ngga tau Rafsya punya penyakit ini?,"tanya Lewis ku gelengkan pelan sembari tersenyum. "Saya memang tau Rafsya belakangan ini agak pucat, rambutnya rontok, belum lagi mertua saya bilang dia ada transaksi dengan nominal besar. Hanya saja saya ngga tau dia sengaja menyembunyikan penyakitnya dari saya,"ucapku gamang."Mungkin Rafsya punya alasan Pak. Lagipun ngga mungkin Rafsya akan bertindak sendiri kalau memang alasannya ngga kuat,"ucap Liona menenangkan. "Kakak,"ucap Amayra memelukku erat membuatku terbangun dari diam ku. "Maaf Kak,"ucap Amayra tersedu dalam tangis. "Kenapa kamu juga ikut ngga mau kasih
Air mata ku hanya bisa terus luruh saat mendengar Fatih merapalkan doa meminta pada Allah untuk setiap detail kebahagiaan ku. Sementara diriku hanya duduk di atas ranjang menahan pedih karena tak bisa menunaikan sholat dan saling mendoakan di atas sajadah yang sama. Apalagi setelah itu dilanjutkan dengan merdunya ketika melantunkan ayat suci Al Quran.Aku tidak bisa membayangkan jika hari ini aku akan telat pulang karena masih dalam proses penyembuhan. Sudah 2 jam diri ku hanya dalam posisi yang sama melihat sosok pria yang selalu berharap semua yang terbaik untukku. Membayangkan wajahnya pucat pasi ketika tau aku akan memasuki ruang operasi pasti hanya membuatku makin hancur."Dek saya pergi ke masjid dulu ya,"ucap Fatih membuatku mengangguk paham sembari mengambil beberapa perlengkapan lain menyelipkan ke kamar Amayra. "Ay sudah bangun kah?,"tanyaku mengetik pintu sembari membawa tas berisi seluruh keperluan ku. "Sudah Kak. Sini biar ngga
"Rafsya kamu masih di dalam,"Panggilan berulang itu membuatku terbangun dengan bekas mimisan mengalir melintasi wajahku. "Iya Mas sebentar lagi beneran keluar ini,"ucapku segera mencuci wajah. Bisa-bisanya malah tertidur di kamar mandi. Yang ada malah semakin memperburuk keadaan saja Rafsya. Sembari melihat wajahku tampak baik-baik saja segera ku putar knop pintu melihatnya cemas."Kamu baik-baik saja Rafsya?,"tanya Fatih ku angguki. "Selalu baik saya Mas,"ucapku membuatnya menghela nafas lega. "Ayo tidur,"ucap Fatih menarik tanganku menuju ranjang. "Loh kok Mas sudah ganti baju,"tanyaku. "Barusan pulang Pak Adimas sama Bu Andin nya,"ucap Fatih membuatku melirik ke arah jam dinding. Pantas saja. Sudah jam setengah dua belas malam.Selama itu aku tertidur di dalam kamar mandi dan sekarang di tempat yang seharusnya malah sulit ku jumpai kata nyaman untuk tidur? Astaga kebodohan apa ini Rafsya. Sembari melirik Fatih tampak d
Sungguh menyebalkan.Hanya satu kalimat itu saja yang ingin ku ungkapkan saat membuka mata. "Masih marah,"ucap Fatih menyenggol lengan ku. "Entah. Katanya iya Rafsya sayang nanti dibangunin,"ucapku sebal. "Iya kan tapi saya bangunin,"ucap Fatih masih terus terkekeh mencebik. "Kenapa toh ini? Masih sebel Nak,"tanya Aini bergabung dengan kami di ruang tengah."Itu Bun. Coba kalau begini kayak berat sekali,"ucapku mengomentari make up di wajahku yang terpasang begitu saja. Ya Anda tidak salah. Memang setelah kami pulang, di rumah sudah menyiapkan dengan sebaik mungkin. Hanya saja Amayra sengaja tidak diberi tahu dulu. "Cantik kok. Bunda yang suruh Mas Fatih biarkan aja. Karena Bunda kayaknya capek sekali,"ucap Aini membuatku mengedipkan kedua mata tak percaya."Iya kan Fat. Cantik mantu Bunda,"ucap Aini. "Cantik sekali dong Bun. Apalagi kalau lagi ngambek,"ucap Fatih tak tahan menaikkan sudut bibirku membuatnya tergelak. "Bun Amayra kata