Hilda menghampirinya dengan wajah ceria seraya lengan kecilnya merangkul bahu besar itu, namun dengan secepat kilat pemuda itu menurunkannya dan meluruskan penglihatannya kejalanan. “Kamu kenapa badmood gitu? Marah?” Tanya Hilda yang merasa diacuhkan oleh sang kekasih. Bukan menjawab pria itu malah bertanya balik pada
Jaeran berpamitan pada semua keluarga setelah beberapa hari menginap tentu saja dengan keadaan Rosa yang berada dipunggungnya membuat sang ibu mertua khawatir akan kondisi putri keduanya, namun lelaki itu sangat menyakinkan bahwa semua baik-baik saja. Dengan senyumnya yang membuat orang lain lebih tenang, saat ada di dalam mobil lelaki itu mengusap pelan garis wajah isterinya, rasanya baru kemarin ia mengunjungi rumah sakit dan mendapat kabar bahwa isterinya mulai sehat namun seakan tak percaya dengan fakta bahwa Rosa menyembunyikan hal lain darinya. Helaan panjang terdengar, pria itu mengusak surainya kasar kemudian melajukan mobilnya cepat.Maria bersiap akan menemui pujaan hatinya, siapa yang tau kalau tambatan hatinya memiliki seorang isteri, ... ketika ponselnya berdering perempuan itu mendengus kesal karena Hilda tiba-tiba saja menghubunginya dengan nada yang agak terisak kecil. Maria segera meluncur ke tempat teman baiknya tersebut, perempuan itu bernia
Bukan tanpa alasan Rosa cemburu pada perempuan yang lagi bergelayut manja dilengan suaminya itu, walaupun Jaeran tak menanggapi hal itu. Namun itu cukup mengganggu isi kepala perempuan yang sudah menikahi lelaki itu selama ini, hey! Bukan sekali saja ada yang mencoba merusak hubungan mereka. Bahkan suaminya bertahan pada sikap posesifnya itu dan merenggut kesal pada adiknya sendiri, bukankah itu sangat kekanakkan sekali. Jerome menepuk pundak perempuan yang lagi memandang ke arah depan dengan geramnya itu, ... lelaki itu menuntut Rosa agar beristirahat dikamar saja, “aku gak apa, kalo aku kalah sama trauma sialan itu, ... aku bakal kehilangan suami sendiri.” Paksa Rosa dengan senyum yang terpatri, namun sang adik ipar tak mau terjadi sesuatu yang tak diinginkan.“Kakak juga harus mikirin bayi kakak,” pelan pria tersebut, akan tetapi Rosa tak menghiraukan hal itu dan tetap pada pendiriannya.“Kamu dengar aku kan?!” Jerome
Sudah setengah jam mereka tak menegur satu sama lain, Rosa sibuk dengan aktivitasnya dan sedangkan sang suami hanya memerhatikan perempuan itu yang terus saja mengerjakan naskahnya tanpa berniat untuk mengambil makan. Jaeran berdiri lalu melangkah ke dapur, ... membuka kulkas dan melihat ke dalamnya, lidahnya sangat kelu saat hendak bertanya mengenai persediaan bahan pangan. Cengkeram tangannya menguat pada bagian sisi pintu lemari beku itu, lelaki tersebut menghela panjang dan berjalan ke depan sang isteri seraya memeluknya erat. Rosa tak bergeming dan masih berdiam diri seakan hantaman keras menimpanya, ucapan Maria terus berputar di dalam otaknya, rasa ragu itu kian menguat saat sang suami mendadak membela perempuan yang baru mereka temui itu. “Kamu sebenarnya, ...” lelaki itu melonggarkan rengkuhannya dan menatap manik sang isteri, “kasiankan sama aku?” Cicit perempuan itu yang menundukkan kepalanya ke bawah.Disaat serius seperti in
Jena menatap putra sulungnya dengan senyum yang sulit diartikan, ... perempuan paruh baya itu melangkah ke arah sang anak dan duduk disampingnya. Wanita beranak dua itu memandang wajah muram anak lelaki kesayangannya itu, ah, bukan anak lelaki yang mengecewakannya. Jena mengusap surai putranya pelan lalu menghela panjang, perempuan tua itu memandang ke arah lain dari sisi putra pertamanya, ... ada Jerome yang tengah terburu-buru menemui isteri kakaknya. Perempuan empat puluh delapan tahun tersebut hanya bisa menatap kedua anaknya kasian, ya, setidaknya mereka tak perang saudar. “Kamu masih ingat rumah ini rupanya,” sindir sang mama yang tak ditanggapin oleh putra pertamanya itu.“Mama apaan si,” luruhnya yang beranjak setelah beberapa menit. “Jerome, ... mana dia?” Tanya Jaeran pada sang mama namun perempuan tua hanya tersenyum penuh makna.“Kenapa kamu Na, ... ada masalah sama isteri kamu? Harusnya kamu dulu ikhlasin ajh dia buat adikmu,” Jae
Jaeran memainkan ponselnya dan jangan lupa posisi mereka yang seperti orang pacaran, Maria menidurkan kepalanya di atas lengan pemuda itu seraya memerhatikan wajah tampan itu dengan asiknya. Maria memandang lekat rupa lelaki itu tangannya yang lembut mulai membayangi sudut bibir pria tersebut, ... Jaeran meliriknya sekilas ditampiknya tangan itu kemudian pemuda itu beranjak dari duduknya dan langsung melengang ke dalam kamar mandi. Maria menghela pelan saat mendapat penolakan lagi, lelaki yang mengambil air itu agak terkejut saat sebuah tangan melingkar dipinggangnya. Jelas saja itu ia lepas secara spontan karena tak ingin menimbulkan masalah yang lebih rumit, perempuan itu tak ada habisnya menggoda Jaeran yang terlihat lelah akan banyak hal.Pemuda itu mendengkus kasar lalu meraih ponsel serta jam tangannya, "mau ke mana?" Tanya Maria yang berada jauh dibelakangnya. Jaeran memakai jam arlojinya lalu melirik wanita itu tak minat, lelaki tersebut berjalan begitu saja
Tidak bisakah sehari saja perempuan itu tak menghubungi nomornya, Jaeran sungguh lelah menghadapi situasi yang tidak pernah bisa ia tebak seperti kala itu. Maria selalu mengganggunya dengan baragam alasan yang tentunya tak masuk akal, bagaimana caranya pria itu meninggalkan perempuan yang kini sedang tertidur pulas di lengannya. Pemuda itu mendengus dingin lalu menggerakkan tangannya seraya berjalan begitu cepat, ... Namun lagi dan lagi Maria terus saja menahan lengannya. Jaeran sangat tidak nyaman terlebih posisinya yang strategis untuk dijadikan bahan ghibah orang lain, Maria membuka kelopak matanya kemudian menatap wajah sang prianya itu. “Bagaimana cara aku bisa mendapatkan kamu?” Celetukan itu tak membuat pemuda yang ada dihadapannya bergeming sedikitpun.“Gak perlu melakukan apapun, ... Gue bukan jodoh loe,” jelas namun menyakitkan itu faktanya, Maria tersenyum geli dengan kata-kata itu. Hey! Dia rela, sungguh! Jika diperlukan untuk merebut hak perempuan
Karena ada sesuatu yang harus dibeli jadilah Rosa dan Lami pergi lagi meninggalkan rumah dan hanya ke minimarket terdekat saja, ... saat Rosa pergi dan Jaeran belum sampai, Maria yang tau lelaki itu pergi meninggalkannya sendirian ketika berada di dalam supermarket pusat, berinisiatif menyusul. Perempuan itu merasa beruntung karena saat ia datang rumah prianya itu tak ada orang dan sangat sunyi, ... Maria berjalan ke arah dapur untuk membuatkan sesuatu agar Jaeran datang nanti langsung ia sambut hangat, terdengar suara pintu terbuka. Maria merapikan tatanan surainya dan merapikan riasan wajahnya, pemuda itu tampak berlari dan memeluknya dari belakang. Sontak saja itu membuat Maria terkejut saat Jaeran memeluknya dengan eratnya, ... senyum yang ada disudut bibirnya tak bisa ia tutupi, senyuman samar itu membuat degub jantungnya berdebar. Ditambah lagi kata-kata yang keluar dari bibir pemuda itu tanpa mengetahui siapa perempuan yang tengah ia peluk sebenarnya.
Mungkin agak sedikit cheesy jika orang lain yang melihat saat jam makan malam hampir tiba, perempuan itu meminta sang suami untuk bersiap dan menutup penglihatannya menggunakan kain putih yang sudah mereka siapkan buat acara malam ini. Lami berpikir kejutannya akan gagal dan sang kakak membatalkan kejutan itu ternyata diluar ekspetasinya si wanita tersebut, ... setelah bersiap Rosa melihat sang suami yang tengah duduk di sofa panjang seraya memainkan ponselnya. Perempuan terlihat sang cantik hingga pemuda itu tak mengedipkan maniknya sama sekali, mini dress dengan corak bunga aster itu benar-benar sangat pas untuknya. Ah, sudah pasti isterinya sangat pandai memilih pakaian.Jaeran tersenyum begitu juga Rosa lalu perempuan itu menghampirinya dan jangan lupa penutup matanya, “udah siap?” Tanya perempuan itu yang dibalas senyum tipis dan anggukan, Rosa mengikat kain itu pada mata suami. Karena Jaeran tinggi jadi perempuan agak jinjit
Sudah lima bulan berlalu namun Rosa belum ada perkembangan juga, entahlah rasanya Jaeran ingin mengubur semua harapannya, sebentar lagi persalinan sang istri dan ia masih belum menjenguknya hingga sejak terakhir kali bertemu. Wajah cantik Rosa selalu terbayang di dalam benak lelaki tak lama sang mama mengusapinya dengan lembut, sebenarnya ia merindukan sang istri; saat kabar sang istri akan dioperasi pemuda itu begitu terkejut dengan keputusan Dirga yang tak meminta persetujuannya. Ia juga masih ingat betul bagaimana sikap Dirga ketika dirumah sakit, tak jarang Lami mengabarinya. Aslinya Dirga gak sebegitu marah sama sang adik ipar, Cuma lelaki itu memang sangat jarang menegur orang dan rasa gak sukanya itu terhadap membuat sifat Dirga seperti orang yang tak memiliki rasa kemanusiaan. “Na! Makan!” Panggil mama yang lagi ada di dapurnya. Tam ada sahutan dari sang sulung membuat Jena menahan rasa gemasnya, anaknya itu jika sudah sedih suka sekali menguruskan badannya.
Jaeran sebenarnya kesal pasalnya daritadi ia bertanya namun tak ada yang menjawab hingga pemuda itu tertidur dibangku tunggu, itu sontak saja membuat Sarah merasa iba padanya. Sarah menepuk pundak lelaki itu agar beristirahat dirumah saja, namun Jaeran tak mau menuruti perkataan sang kakak iparnya tersebut. Namun Sarah tak memaksakan hal itu, perempuan itu hanya memandang lurus lorong rumah sakit, emosi Dirga sedang tidak stabil jika sang suami melihat adanya kehadiran Jaeran bisa kembali naik pitam lelaki tersebut. Jaeran menatap dengan memohon pada perempuan yang hampir melengang dari tempat itu, Sarah menghembuskan nafasnya pasrah lalu menjelas semua permasalah yang terjadi dan bagaimana Rosa bisa mengalami pendarahan. “Sebenarnya bukan pure kesalahan Jerome tetapi karena kamu benci sama adikmu, jadi kamu menyalahkannya. Andai saja kamu tidak bertemu dengan perempuan itu, ini semua tak akan terjadi.” Jaeran sebenarnya ingin menyalahkan Sarah yang menyudutkan orang lai
Jena memerhatikan anaknya yang tengah mencuci piring tetapi setelah ditelaah lagi putra sulung terlihat agak lebih kurus itu membuatnya merasa sang menantu tak benar dalam mengurus sang anak, perempuan tua itu tersenyum lalu menepuk pundak putranya sendiri. Jena agak merasa keki ketika berdiri disamping putranya sendiri, pasalnya sudah berapa bulan Jaeran tak datang ke rumah hanya untuk melihatnya atau sekadar memberikan uang bulanan padanya. Jaeran melirik sekilas sang mama kemudian melengang dari dalam, pemuda itu jelas tau apa yang dibahas sang mama itu kenapa ia membawa sang mama ke arah dalam kamar tamu. Pemuda itu menghela pendek sebelum membuka obrolan di antara mereka berdua, pandangannya sinis lalu menajamkan kedua pendengarannya. “Mama kalo bicarakan hal yang gak penting mending mama pulang,” Jena terperanjat saat Jaeran mengusirnya dari sana.“Kamu ngusir mama?” Pemuda itu berdeham lalu melengos dari sana seraya merapikan style
Jerome menaruh rasa curiga dengan perempuan yang sedang duduk mengamatinya dari dekat sofa panjang, pemuda itu merasa aneh dengan ketidak hadiran sang pemilik acara dari awal hingga selesai, Lami pun ikut menyindir Maria yang mati-matian tak bisa menahan diri untuk tidak dekat-dekat dengan kakak iparnya itu. Lami menahan kesal agar tetap menjalankan acara dengan baik kala itu sampai selesainya acara tersebut perempuan yang memiliki hubungan darah dengan Rosa itu beranjak dari duduknya dan melangkahkan kakinya menuju kamar sang kakak. "Udah kali menelnya, masih aja menel. Gak ingat kemarin yang ngajak baikan siapa?!" Ketus perempuan itu yang langsung bergegas pergi meninggalkan halaman rumah."Sirik aja sih!" Seru Maria sinis."Ya gak sirik lah! Calon gue lebih kaya dari cowok yang ada disebelah loe!!" Balas Lami tak kalah nyinyir, sedangkan Jerome menghela panjang dan mengalihkan pandangannya pada pintu kamar sang kakak ipar. Lelaki itu mendadak cem
Rosa duduk menatap layar kaca televisi, perempuan itu baru saja mendapatkan kabar bahwa sang editor telah mengundurkan diri sebagai seorang editor karena masalah yang tak bisa dijelaskan. Jujur saja perempuan itu terkejut sudah berapa lama ia tak pernah berhubungan dengan editornya, selama Ayu lah yang sudah banyak membantunya dalam proses belajar kepenulisan. Perempuan itu tak bertanya siapa editor penanggungjawab selanjutnya pada pihak atasan, namun dari setiap group chat bisa dirinya tebak dengan mudah siapa selanjutnya. Jaeran mematikan televisi saat masuk ke dalam rumahnya itu, perempuan tersebut tak fokus pada apa yang telah dia lihat, pemuda itu tersenyum tipis kemudian merangkul pinggang sang istri. Digenggamannya sudah ada hasil pemeriksaan medis atas pengulangan tes ulang uji coba darah. "Maafin aku selama ini gak pernah percaya sama kamu," cicit lelaki tersebut memelan.Perempuan itu menoleh cepat lalu mendengus dingin saat mendengar suara sang suami,
Herina menyambut baik kedatangan Rosa dengan memeluk tubuh ramping itu erat, perempuan yang kini duduk di kursi terapi tersebut kembali menuangkan semua keluh kesahnya. Herina menghela panjang seraya mencatat apa saja yang perlu diperhatikan dalam konsultasi kali ini. Tak banyak yang dapat Herina bantu saat konsultasi berlangsung namun paling tidak Rosa bisa mengurangi pikirannya, dan mengurangi munculnya dosis tambahan dalam konsumsi obat-obatannya. Herina mengulas senyum tipis kemudian melangkah menuju meja kantor, lalu meraih ponselnya dan menekan nomor telepon sang teman dekat, Rosa masih memejamkan matanya menikmati angin yang berhembus pada rambut hitam panjang miliknya. "Kamu gak suka sama harumnya? Apa besok mau aku ganti aja?" Rosa menatap langit ruangan tersebut."Gak usahlah, terlalu berlebihan.""Kalo buat kamu nyaman, ya gak apa-apa. Lagipula aku juga perlu kok." Sudah tak ada sahutan lagi dari sang lawan bicara lalu Rosa menari
Entah mengapa perasaannya jauh lebih rumit dari sebelumnya, perasaan yang Jerome sendiri tak mengerti itu sebuah cinta atau hanya rasa ingin melindungi saja, hancur rasanya liat kakak iparnya menangis ketika sang suami yang notabenenya adalah kakak laki-lakinya sendiri selalu membuat kesalahpahaman dalam berkomunikasi dengannya. Jerome tak bisa berkata dirinya rela melepas semua perasaannya demi sang kakak, pemuda tersebut tau bagaimana cara mencintai seperti yang dirinya inginkan. Walaupun harus mengorbankan perasaan yang lain, pemuda tersebut merasa tak masalah jika dirinya harus mengalah lagi, Hilda menatap binar lelaki tersebut lalu tersenyum manis sambil melambaikan tangannya pada Jerome yang tengah berdiri di depan rumahnya. Pemuda itu seketika merasa tidak tega dengan pilihannya, "ada apa?" Jerome menggeleng perlahan sembari memeluk tubuh kurus sang tunangan."Apa aku gak boleh merindukanmu?" Tenang pemuda yang sontak saja membuat sang perempuan berdebar-
Rosa menatap langit yang mengubah suasana menjadi lebih berwarna hitam pekat, perempuan itu masih tetap diam meski tanpa dirinya sadar air matanya kembali mengalir dari kedua pelupuk matanya, jengah dengan kehidupannya yang selalu membuat orang lain berada di posisi itu. Perempuan tersebut menggenggam erat plang besi yang ada di depan kamarnya, sesak hatinya semakin membuat sang suami tak mau memedulikan apa yang sudah ia perbuat. Jaerannya kini telah berbeda entahlah ada apa dengan hubungan cinta keduanya yang sampai saat ini tak kunjung mengalami peningkatan sepesat itu, Rosa merasa lebih tidak dihargai oleh sang pemuda; sang pemuda lebih sering mengundang perempuan lain tanpa persetujuannya. Itu membuat sang adik kesal, "kenapa diam aja sih!! Si gundik di undang mulu!!?" Lami tak langsung menatap wajah sang kakak, kini ia tau mengapa sang kakak perempuannya itu mengundangnya datang. "Kakak seharusnya usir gundik itu! Ini kan rumah kakak! Kenapa semua laki sama aja!! Kesal banget
Rumah terlihat berantakan karena tidak ada yang memerhatikan, Rosa menatap sendu wajah suaminya yang tampak acuh terhadap perempuan tersebut, Rosa merasa sesak ketika sang suami tak memedulikannya kala itu. Perempuan itu masih diam meski tau kondisinya tengah mengandung anak pertama, itu tak memberikan kesan yang baik untuk perasaannya; perempuan yang saat melengangkan kakinya masuk ke dalam dapur itu meraih benda tumpul yang sering ia gunakan untuk memasak. Rosa mengeratkan genggaman tangannya pada benda tersebut tak lama ponselnya bergetar hebat, perempuan itu masih tetap memandang wajah sang suami yang tak mau menoleh ke arahnya. Sakit sebenarnya bagi Jaeran melakukan hal ini akan tetapi terlalu banyak yang pemuda tersebut pikirkan ketika mengambil keputusan tersebut, "kamu ngapain?" Rosa tersenyum senang ketika mendengar suara berat Jaeran. Namun senyumnya sirnah ketika tau siapa yang ia ajak bicara."Kayanya aku udah gak ada artinya lagi dimata kamu'.