"Apa kamu bilang, Ren?" Kedua bola mata Bulan melebar sempurna mendengar ungkapan ketidakpercayaan Mas Reno. Air matanya satu persatu kembali meluncur di pipi mulusnya. Bibirnya bergetar, sepertinya ia tersinggung dengan ucapan Mas Reno."Kamu enggak percaya anak ini anakmu?" tanyanya lagi sambil menatap tak percaya pada Mas Reno."Ya." Mas Reno berkata mantap. Bulan menggelengkan kepala. "Gimana bisa kamu ngomong gitu, Ren?" Mata dengan bulu lentik itu masih menatap wajah Mas Reno yang mengeras. "Aku siap buktiin kalau kamu memang ayah dari bayi ini."Mas Reno hanya tersenyum sinis kemudian kembali menatap tajam mata Bulan. "Kenapa kamu menjebakku?" Pertanyaan yang sama kembali Mas Reno lontarkan pada Bulan. Seolah ia tak peduli dengan ajakan Bulan membuktikan siapa ayah dari bayi di perutnya tersebut."Jebak gimana, sih, Ren? Bukannya kita emang masih saling cinta? Apa kamu lupa? Gimana panasnya percintaan kita? Kenapa sekarang kamu ngomong begitu?"Mendengar itu dadaku benar-ben
"Apa ... orang yang melapor untuk ... menggerebek kontrakan barunya juga ... orang ... suruhan Ibu?" tanyaku hati-hati.Wanita berumur itu mengernyit. Menatapku penuh tanya. "Menggerebek?" ulangnya."Ya." Aku mengangguk sembari menunggu jawabannya.Wanita itu menggeleng. "Enggak, aku enggak tahu soal itu. Sejak dia pergi, aku sudah enggak ngejar dia lagi."Lalu siapa orang yang meminta warga menggerebek kontrakan Bulan?"Selama dia tidak mengusikku, aku enggak akan mengusiknya," lanjut Bu Herawati."Lalu pengacara yang menemuinya di rumah sakit, apa Ibu tahu?" Kali ini Mas Reno yang bertanya."Ya. Orangku," jawabnya tegas. "Aku buat perjanjian hitam di atas putih, supaya jalang itu enggak berani mendekati suamiku lagi."Aku manggut-manggut mendengarnya. Pengalaman memang membuat orang semakin pintar. Bu Herawati ini tentu tak jauh beda dengan Mami. Keduanya menjadi pendamping seorang lelaki sukses, sudah barang tentu banyak wanita murahan yang berusaha menggoda suaminua. Bedanya Papi
Tak kusangka, Pak RW langsung luruh ke lantai. Lelaki itu bersimpuh di lutut Mas Reno."Mas Reno, maafkan Bapak! Maafkan Bapak!" ucapnya."Loh, Pak? Bapak kenapa? Ayo, berdiri, Pak!" Mas Reno berusaha menarik Pak RW untuk berdiri. Tetapi lelaki tengah baya itu tetap berlutut pada Mas Reno."Ampuni Bapak, Mas! Tolong ampuni Bapak!" pintanya."Iya, Pak. Iya. Tapi Bapak kenapa?" tanya Mas Reno masih sambil menarik Pak RW untuk berdiri.Bukannya menjawab, lelaki itu malah tergugu di lutut Mas Reno. Melihat itu, aku dan Mas Reno saling berpandangan.Beberapa saat setelah membiarkan Pak RW meluapkan kesedihannya, aku dan Mas Reno berusaha mengangkat tubuh tambunnya. Mendudukkan lelaki yang masih tampak bersedih itu ke kursi di antara kami."Bapak kenapa?" tanyanya setelah Pak RW sedikit tenang."Bapak malu," ucapnya. "Bapak udah ngelakuin kesalahan besar sama kamu, Mas.""Maksud Bapak?" tanya Mas Reno."Bapak dibayar buat hasut warga agar mereka percaya Nak Reno sama Mbak Bulan sudah melaku
"Mas, yakin bukan Mami yang jadi dalang semua ini?" tanyaku masih saja galau."Mas yakin bukan, Sayang. Kenapa kamu ragu sama kasih sayang Mami?" sahut Mas Reno sambil sekilas menoleh kepadaku. Kemudian kembali fokus pada jalanan."Mami ingin kamu segera punya anak, mungkin?" tebakku."Ya, udah. Ayo, kita bikin dulu! Hehehehe.""Ish. Bercanda aja!""Serius, Sayang! Ayo, mau cek in dimana?" Lelaki yang sedang duduk di belakang kemudi itu tersenyum lebar ke arahku."Ish!" sungutku.Sebelah tangan Mas Reno meraih jemariku. Meremasnya dengan lembut, kemudian menatapku sambil tersenyum manis."Sayang, menikah itu bukan melulu soal punya anak. Banyak, kan, pasangan yang hidup bahagia tanpa keturunan? Anak itu hak prerogatif Tuhan. Kita cuma bisa usaha. Selama ini kita selalu usaha, kan?""Mungkin aku enggak akan segalau ini kalau kamu enggak pakai hamilin Bulan segala," ungkapku.Mas Reno menatapku, kemudian fokus pada kedua sepion, lalu mobil ditepikannya. Diraihnya kedua jemariku setelah
Makan malam kali ini terasa kaku. Apalagi saat aku melirik Mas Reno. Suamiku itu bahkan belum menyuap satu sendok makanan pun ke mulut. Matanya sejak tadi mengawasi Mas Randi dan Viola. Sedang kedua tangannya menggenggam erat garpu dan pisaunya.Sepasang manusia yang sedang Mas Reno tatap, sepertinya tak menyadari. Mereka dengan santainya menikmati makan malamnya. Atau mungkin mereka berusaha tidak peduli atau ingin menutupi? Entahlah.Mami menatap Mas Reno, wanita itu sepertinya menyadari kalau anaknya tidak sedang baik-baik saja. Tak ingin suasana makan malam ini jadi tak enak, aku menyentuh jemari Mas Reno. Seketika Mas Reno menatapku."Makan!" ucapku tanpa suara.Mas Reno menurut. Kulihat lelaki itu susah payah menelan makanannya. Dadaku sesak melihatnya.Sabar, Mas! Kamu harus kuat! Meskipun memang sangat berat. Saudara yang selama ini kami sayang, tanpa pernah sedikit pun terlintas pikiran buruk, ternyata di belakang menusuk.Tuhan, apa sebenarnya motif Mas Randi? Apa yang buat
Aku menahan lengan Mas Reno saat ia hendak menghampiri Bulan dengan emosi yang menyala-nyala. Aku tak mau nama Mas Reno semakin hancur di depan keluarga besarnya. Kalau sampai bersikap kasar pada Bulan.Jemari Mas Reno mengepal, otot tubuhnya pun tegang. Wajahnya merah padam dengan mata membulat, menatap tajam pada Bulan. Sementara wanita itu tampak tersenyum tak tahu malu."Mohon maaf sudah membuat kaget!"Seketika aku berbalik ke arah mikrofon saat mendengar Viola bersuara. Viola tampak berdiri di depan mikrofon."Perkenalkan, dia Bulan. Istri baru Reno," lanjut Viola.Kontan semua keluarga yang hadir langsung berkasak-kusuk mendengar penjelasan Viola."Viola yang undang Bulan. Karena gimanapun, dia sudah menjadi bagian dari keluarga kita. Apalagi saat ini dia sedang mengandung anak Reno," paparnya lagi."Viola!" seru Papi.Dengan memegangi dadanya, Papi menatap tajam pada menantu pertamanya.Viola hanya menatap Papi sekilas, kemudian kembali berkata, "silahkan, Bulan! Kamu bagian d
Bukannya panik, Mas Reno malah tampak bernafas lega. Karena tadi kami memang mengira Mami yang kenapa-kenapa. Kalau sampai Mami kenapa-kenapa, kemungkinan besar Mas Reno sangat merasa bersalah."Mas, gimana?" tanya Kiano. Mungkin ia heran melihat Mas Reno tak panik dengan berita yang mereka bawa."Ya, udah. Bawa aja ke rumah sakit," sahut Mas Reno dengan enteng."Ya, udah. Ayo, Mas! Mbak Bulan maunya digendong Mas Reno, dia enggak mau ditolong orang lain," papar Kiano.Hih, modus aja!"Gimana, Dek?" Mas Reno meminta persetujuanku."Iya, enggak apa-apa. Lagian dia emang istrimu. Tambah heboh nanti orang-orang kalau sampai kamu biarin dia," ucapku malas.Akhirnya kami berdua bersama tiga orang sepupu Mas Reno berjalan menuju taman. Langkah kami terhenti saat terlihat Papi turun dari lantai dua."Bulan kenapa, Ren?" tanya Papi."Pendarahan katanya, Pi," sahut Mas Reno. "Nekat, sih, udah dibilangin dokter buat jangan aktivitas berat malah ke sini. Cari penyakit emang!" omel Mas Reno."Uda
"Sebenarnya apa masalah Mas Randi sama kita, ya, Mas?" tanyaku saat kami masih di dalam mobil memandangi mobil Mas Randi. "Apa jangan-jangan ....""Apa, Dek?" sahut Mas Reno saat aku tak menyelesaikan kalimatku."Apa jangan-jangan ... Bulan selingkuhan Mas Randi. Terus biar dia aman, kamu dijadiin kambing hitam, Mas."Mas Reno tampak berpikir sembari memandangi mobil Mas Randi. Ujung jari telunjuknya mengetuk-ketuk setir mobil."Bisa jadi, ya, Dek?" ucap Mas Reno akhirnya. "Terus kalau misalnya Bulan ternyata hamil anak Randi, kalau nanti anak itu lahir terus tes DNA sama aku, hasilnya gimana ya, Dek? Kemungkinan cocok apa enggak, ya? Secara aku dan Randi saudara.""Wah, benar juga, ya, Mas? Kemungkinan bisa begitu. Coba kapan-kapan pas konsul ke dokter, kita tanyain sekalian, Mas," usulku.Mas Reno mengangguk setuju. "Mungkin itu sebabnya, Bulan sangat percaya diri buat buktiin itu anakku, ya, Dek? Kalau misal benar gara-gara aku saudaraan sama Randi terus anak itu bisa cocok juga sa
"Siapa, Sil, yang meninggal?" tanya Dokter Rahardian sembari menepikan mobilnya.Aku menoleh ke arah laki-laki itu dengan lelehan air mata di pipi. Bibirku seperti membeku sehingga tidak bisa langsung menjawab pertanyaan calon suamiku itu.Tak banyak bertanya lagi, Dokter Rahardian langsung memelukku. Memang hanya itu yang aku butuhkan saat ini. Cukup lama aku menangis di pelukan Dokter Rahardian sampai akhirnya aku sedikit tenang dan bisa berbicara."Mami meninggal .... Mami udah meninggal ...." Tangisku kembali pecah dan Dokter Rahardian kembali memelukku.Bagiku Mami bukan cuma ibu mertua yang teramat baik. Mami adalah pengganti ibuku yang entah berada dimana. Dari Mami aku merasakan kasih sayang seorang ibu. Dan sekarang aku mendengar kabar kalau wanita berhati mulia itu telah tiada."Udah, kita ke sana sekarang?" tawar lelaki beraroma wangi maskulin tersebut.Aku mengangguk sembari mengusap pipiku yang basah.Begitu tiba di kediaman Papi, hampir semua sanak keluarga sudah berkump
"Dokter Nafisa?" gumamku nyaris tak terdengar. Bahkan oleh diriku sendiri. Saat mata dokter cantik itu terpaku ke menatapku, aku mengangguk kecil sembari tersenyum kaku. Sorot matanya menunjukkan keterkejutan saat melihat keberadaanku. Padahal jelas kudengar tadi dia bertanya tentang Dokter Rahardian.Apa dia tidak tahu kalau Dokter Rahardian akan ke sini bersamaku?Aku menoleh ke arah Dokter Rahardian. Lelaki itu juga sepertinya sangat terkejut melihat keberadaan gadis yang pernah dijodohkan oleh orang tuanya dengan dirinya. Mungkin dia tidak menyangka, di saat ia ingin memperkenalkanku pada orang tuanya, justru ada gadis yang pernah dijodohkan dengannya itu di sana.Sejurus kemudian, aku melihat Dokter Rahardian menoleh ke arah ibu tirinya dengan tatapan tidak suka. Setelah itu ia menghela napas dan bersikap seperti tidak ada apa-apa. Ia kembali menatap Dokter Nafisa."Udah dari tadi, Sa?" sapa Dokter Rahardian."U-udah." Dokter Nafisa kemudian berjalan perlahan ke arah kami dan du
"Siap ketemu calon mertua?" canda Dokter Rahardian begitu aku membukakan pintu. Bibirnya tersenyum lebar dengan kedua bola mata berbinar terang. Aku tidak tahu sejak kapan dokter itu jadi seceria ini."Aku takut, nih." Aku memang takut kalau-kalau orang tua Dokter Rahardian tidak menerimaku dengan baik. Apalagi mengingat status kesehatanku."Kenapa?" Binar di matanya kini menghangat."Aku takut mereka enggak suka sama aku. Kamu tahu sendiri gimana kondisiku." Aku memajukan bibir bawah. Hatiku risau memikirkan itu.Dokter Rahardian mengambil jemariku dan menempelkan ke dadanya. "Dengarkan aku!" pintanya dengan wajah serius. "Kita ketemu mereka bukan untuk meminta mereka untuk suka sama kamu atau enggak. Apalagi meminta persetujuan. Aku cuma ingin ngenalin calon istriku ke mereka. Itu doang."Perasaanku kini semakin campur aduk. Antara terharu dan kasihan kepada calon suamiku itu. Aku terharu karena lelaki itu tidak menyimpan keraguan sedikitpun untuk menikahiku, tetapi aku juga kasihan
Lama aku menjawab permintaan Mami. Karena bagiku itu tidak mudah. Meski aku tahu, Mas Reno saat ini seperti apa. Namun, lelaki itu hanya masa lalu bagiku. Bahkan dia adalah orang yang menghancurkan hidupku, membunuh anakku, dan merampas masa depanku. Sudah cukup aku berurusan dengan Mas Reno. Aku ingin melanjutkan hidup tanpa bayang-bayang masa lalu, seperti saat-saat terakhir ini."Mas Reno harus punya semangat hidup, dengan atau tidak adanya aku, Mi. Karena seperti apapun, kami berdua sudah punya kehidupan masing-masing. Ini juga dulu yang Mas Reno mau, kan, Mi?"Sebenarnya aku tidak tega mengatakan itu kepada Mami, hanya saja aku tidak mau memberi harapan palsu pada Mami. Perpisahan ini keputusan bersama. Bahkan dulu Mas Reno yang menginginkannya. Toh, hidup dan mati bukan di tangan manusia.Ah, aku jadi teringat Cilla. Bagaimana aku menanti kehadiran anak itu selama delapan tahun pernikahan. Bagaimana bahagianya aku saat tahu ternyata di rahimku bersemayam sebuah janin yang aku ri
Dokter Rahardian menepati janjinya. Ia menjemputku setelah acara selesai, menjelang magrib. Mami dan Papi mengantarku sampai teras. Mami terlihat begitu berat melepasku, berkali-kali dia memelukku dan menangis."Mami harus sehat. Besok-besok aku ke sini lagi. Pokoknya Mami harus sehat, oke?" Aku berusaha memberi semangat pada mantan ibu mertuaku itu."Kalau kamu ada apa-apa, hubungi Mami, Sil! Mami selalu ada buat kamu," ucap wanita yang masih memegang lenganku dengan erat itu."Iya, Mi, pasti. Aku akan sering main ke sini nanti."Mami mengangguk kemudian sekali lagi memelukku. Setelahnya aku berpamitan pada Papi. Lelaki itu tampak lebih tegar daripada Mami. Ia menepuk punggungku dengan sayang, kemudian berkata, "Jaga diri kamu baik-baik, Sil!""Iya, Pi," jawabku. Dan pada saat itu, aku bisa melihat Mas Reno. Laki-laki itu tampak sedang menatap ke arahku dari balik jendela kaca yang ada di kamarnya. Saat menyadari aku melihat dirinya, ia pergi dan tidak bisa aku lihat lagi.Ah, Mas Re
"Mas, apa yang kamu lakukan?" Aku membekap mulutku sendiri. Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang aku lihat ini.Seluruh dinding kamar Mas Reno dipenuhi dengan foto-foto kami berdua di berbagai momen dan berbagai ukuran. Setiap sudut ruang berukuran 6x5 meter itu juga dipenuhi dengan barang-barang kenangan kami berdua sejak pacaran. Bahkan beberapa dari barang-barang itu sebelumnya sudah aku simpan di gudang rumah kami dulu karena tidak terpakai. Namun, sekarang semua itu terpajang dengan rapi di kamar ini.Ada dua buah manekin yang ditaruh tak jauh dari ranjang, dipakaikan kaos couple pertama yang kami beli saat ke Bali. Selain itu, dua manekin itu juga dililit dengan syal rajut couple yang kami beli saat ke Dieng, Wonosobo. Dan bagian bawahnya dililit dengan kain songket couple milik kami.Maksud kamu apa, Mas? Maksud kamu apa? Bukannya kamu menceraikanku karena ingin bisa bersatu dengan Bulan? Terus kenapa dengan ini semua? Maksudnya apa?Aku berjalan mendekati Mas Reno, me
Aku tertegun mendengar perkataan Dokter Rahardian. Sepersekian detik, bumi seperti berhenti berputar. Bagaimana tidak? Seorang dokter muda yang tampan dan mapan, ingin menikah dengan janda pengidap HIV seperti aku? Pasti ada yang salah dengan Dokter Rahardian."Sil, kenapa malah bengong?" Dokter Rahardian melambaikan telapak tangannya di depan wajahku."Jangan bercanda, Dok," sahutku lalu terkekeh. Hidupku udah sebercanda itu. Berusaha mempertahankan pernikahan, justru yang aku dapat penyakit mematikan."Emang aku terlihat kayak lagi bercanda, ya?" Sorot mata Dokter Rahardian lurus menembus pupil mataku.Meski ada debar aneh saat ditatap seperti itu, aku berusaha mengabaikannya. Aku memilih mengangguk mengiyakan pertanyaan Dokter Rahardian. Bagaimana mungkin ucapannya itu serius. Mau cari mati apa Dokter Rahardian? "Terus, aku harus pakai bahasa apa biar enggak terdengar bercanda buat kamu, Sil?" tanyanya lagi."Dok, Dokter ini masih muda, tampan, dan mapan pula. Mau cari gadis yan
Satu tahun sudah aku meninggalkan kota tempat tinggalku dan Mas Reno sebelumnya. Aku memang sengaja ingin memulai hidup baru. Tak lama setelah kepindahanku, Dokter Rahardian juga dimutasi ke kota tempat tinggalku juga. Sehingga kami kembali bertemu karena dia kembali menjadi dokter yang menanganiku. Tak hanya itu bahkan Dokter Rahardian membimbingku untuk menjadi relawan yang bergerak di bidang HIV. Dan aku menikmati itu.Saat sedang berada di tengah-tengah orang-orang yang memiliki virus mematikan yang sama dengan aku, aku jadi merasa punya teman. Aku tidak sendirian berperang dengan virus mengerikan tersebut. Aku benar-benar berusaha melupakan semua masa laluku. Tentang Mas Reno, Mami, ataupun Papi. Meski saat sendiri, aku sering menangis karena masa lalu kami terlalu berharga untuk dinodai seperti ini. Namun, tak ada lagi yang bisa aku lakukan selain terus melangkah dan menatap ke depan tanpa menoleh ke belakang lagi.Hari ini Dokter Rahardian mengajakku seminar di kota tempat Ma
"Sejauh ini kondisi Ibu cukup baik," ucap dokter yang dipanggil Papi untuk datang ke rumah setelah memeriksa kondisi Mami. "Hanya saja, kalau bisa Ibu dibuat biar enggak banyak pikiran dulu. Ibu pingsan karena stress yang cukup berat. Sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikiran Ibu," jelas dokter langganan keluarga Papi.Aku, Papi, dan Mas Reno mengangguk dengan kompak. Tidak ada satu pun dari kami yang menyahut penjelasan dokter tersebut. Sepertinya pikiran kami bertiga sama, kalau Mami sampai pingsan seperti ini karena pernikahanku dan Mas Reno yang sudah berakhir. Namun, apa boleh buat. Nasi telah menjadi bubur. Jalan takdir memang sudah menggariskan kami untuk berpisah.Malam ini, Mami meminta untuk tidur bersamaku. Kami bercerita sampai larut tentang masa lalu. Saat aku masih SMA dulu dan cerita kami yang lainnya. Meski berkali-kali aku meminta Mami untuk tidur, tetapi wanita itu masih terus bercerita tidak memedulikan perintahku."Sampai kapanpun, Mami tetap Mami kamu, Sil. K