Arthur ingin sekali menyerbu dan menembak Wira membabi-buta, oleh karena melihat bagaimana dia memperlakukan Arta dengan kasar. Namun, akal sehatnya masih dingin, dia tidak mau kalap dan malah memposisikan Arta dalam bahaya. Lagipula, dia belum paham betul dengan situasi yang ada. "Sekian lama aku tunggu, kalian akhirnya kembali ke Tanah Air," dengus Wira tersenyum sembari menggosok-gosok senjata apinya dengan lap kecil."Saudara kembarmu itu juga sebenarnya berguna, hanya saja aku kehilangan dia."Arta mengerutkan kening mendengar pembicaraan satu arah dari Wira, tapi dia paham siapa yang dimaksud, yaitu Layla.Sedang di sudut lain, Arthur yang menyimak itu pun terdiam. Sedikit terkejut karena rupanya Wira bahkan sudah tahu jika Layla masih hidup. "Dia harus menjelaskannya padaku nanti!" geramnya pelan, sembari menyiapkan senjata.Matanya kemudian menangkap bayangan kelebat di atas bangunan, dia mendongak dan melihat Fala tengah mengendap di balik tiang beton yang berada satu lanta
Arthur mengejar Wira dan anak buahnya yang membawa serta Arta dan juga Fala, sambil dia sibuk membalas tembakan dan melumpuhkan anak buah Wira yang rupanya cukup banyak. "Sialan!" umpatnya ketika peluru di pistolnya habis, Arthur melempar senjatanya begitu saja. Di bawah hujan peluru di sekitarnya, Arthur melihat senjata laras panjang di tangan preman yang sudah mati terkapar, agak jauh dari jangkauannya. Jika dia keluar dari persembunyiannya, maka peluru sudah pasti akan menyambar tubuhnya. Di sisi lain, dia mengkhawatirkan Arta dan juga Fala yang dibawa oleh Wira entah kemana. "Tolong bertahanlah! Aku mohon!" bisik Arthur.Jika dia tidak segera keluar dari sini, dia sendiri akan semakin tersudut dan mati oleh serangan mereka. Maka dalam satu tarikan nafas, Arthur melakukan lompatan ke arah mayat preman itu dan mengambil senjatanya. Lalu dengan penuh amarah dan membabi-buta, dia melepaskan tembakan ke segala penjuru, membabat habis lawannya sehingga akhirnya tumbang satu persatu.
Arthur dan Bram mengejar Wira yang membawa Arta dan Fala. Mantan Kapten itu berhasil menembak ban mobil itu namun dia salah perkiraan, ternyata mobil itu tidak berhenti dan malah hilang kendali karena mengalami rem blong juga. Hingga akhirnya Bram memutuskan untuk menabrak bagian samping mobil itu untuk menghentikannya, sebelum menyerempet kendaraan lain dan membuat orang lain terluka."Satu kali lagi!" geram Bram bersiap untuk menabrak mobil itu lagi.Sementara itu Wira marah-marah di mobilnya, mengumpat anak buahnya habis-habisan dan mengatainya tak bisa mengendalikan mobil."Arthur brengsek! Mau buat kami mati apa?!" teriaknya berang."AW!" seru Arta yang kepalanya terbentur jendela, anak itu meringis merasakan kepala dan badannya yang sakit karena guncangan sejak tadi."Ini karena ayah sialmu itu!" umpat Wira.Arta menggeram, meski dia membenci Arthur, tapi dia tidak mau ada orang yang mengumpat ayahnya itu. Maka dia kemudian mengarahkan mulutnya ke tangan Wira di tangannya, dan
Arthur memutar otak secepatnya untuk melepaskan Arta dari ancaman Wira. "Oke, akan aku turuti semua permintaanmu, tapi lepaskan dia tetap dia!" kata Arthur lalu mengangkat kedua tangannya.Bram yang melihat itu pun mengikuti gerakannya, sehingga kini mereka berdua mengacungkan tangan di udara sambil memegang pistol.Melihat itu Wira tersenyum sinis, tangannya yang tadi menodongkan pistol ke arah Arta, beralih pada kedua pria di hadapannya."Lemparkan senjata kalian!" perintahnya.Arthur dan Bram tidak punya pilihan lain. Tanpa menunggu lama, mereka pun kemudian menuruti perintah Wira dan melemparkan senjata yang ada di tangan mereka ke arah samping.Salah satu pistol itu terjatuh didekat kaki Fala. Arthur diam-diam meliriknya, berharap Fala mengambilnya untuk berjaga-jaga.Bram juga menyadari itu, maka sekarang mereka harus membuat Wira memusatkan perhatian terhadap mereka."Sekarang lepaskan anakku, kami akan menuruti perintahmu!" kata Arthur.Tapi Wira malah tertawa, "Kalian pikir
Wira tidak gentar dengan ancaman senjata Arthur di kepalanya, sebaliknya lelaki itu tertawa seolah sudah hilang akal dan tak taku menghadapi kematian."Seharusnya kamu takut, Wira! Karena aku tidak akan menjamin nyawamu lagi mulai dari sekarang!" geram Arthur menekan kepala Wira dengan moncong senjatanya.Wira tersenyum miring, "Apa kamu yakin?" ujarnya, kemudian matanya mengerling ke arah pepohonan.Bram mengerutkan kening dan ikut melayangkan pandang ke sekitar, dan kemudian dia terbelalak melihat beberapa orang asing muncul dari balik pohon dan menodongkan senjata ke arah mereka."Kapten!" kata Bram. Arthur menoleh, begitu juga Fala. Keduanya pun menyadari keadaan, dengan adanya anak buah Wira yang rupanya datang mengepung mereka."Sial!" umpat Arthur. Dia tidak takut meski dikerubungi banyak penjahat, tapi dia mengkhawatirkan Arta dengan keadaan ini.Tawa Wira meledak akhirnya, posisinya kembali menang. Dia yakin akan lebih unggul kali ini, dengan adanya bantuan dari anak buahnya
Lintang langsung menangis histeris mendengar kabar tentang suaminya, wanita itu jatuh terduduk di lantai. Candra yang berada di dekatnya pun langsung memeluknya untuk menenangkannya.Mira yang kemudian mengambil alih ponselnya pun ikut terkejut dan mengerti dengan reaksi Lintang.Candra menatapnya meminta penjelasan."Tuan Arthur terluka parah, Bram bilang mereka membawanya ke Rumah Sakit," ucapnya.Rahang Candra langsung mengeras, kekhawatiran seketika melanda pikirannya. Tapi dia tidak boleh ikut panik dan berusaha tetap tenang."Tenangkan dirimu, Nak, kita akan melihatnya ke sana sekarang juga!" kata Candra mengusap bahu Lintang yang menangis tersedu-sedu di dalam pelukannya.Lintang pun tak mampu berkata apa-apa, dia hanya bisa menangis.Candra meminta Rani untuk menemani Layla selagi mereka pergi untuk melihat keadaan Arthur dan juga Arta."Apa Papa dan kakakku baik-baik saja? Kenapa mereka belum pulang?" tanya Layla melihat kepergian ibu dan juga kakeknya, dan Mira turut serta b
Lintang menelan salivanya yang terasa pekat di mulutnya, tangis sedih yang ditahannya perlahan tumpah dan ia pun menangis lirih di hadapan Arta."Tidak apa-apa, kamu bisa meihat papamu lain kali, mungkin kamu juga masih lelah ya, Nak!" kata Lintang berusaha agar tidak terbawa kesedihan yang melanda hatinya."Ba-baiklah, Mama mau melihat papamu dulu, nanti Mama menemani kamu di sini." Lintang mencium kepala Arta dengan sayang, air matanya mengalir deras dan menetes, jatuh di pangkuan Arta tepat di tangannya. Anak itu masih terdiam, sampai ibunya itu pergi dari ruangan itu. Dia lalu menggenggamkan tangannya, merasakan basah air mata di telapak tangannya.Bram dan Mira lalu ikut permisi dan berpamitan pada Arta. Hingga akhirnya tinggal Fala yang masih berdiri di dekat pintu menatap Arta."Apa kamu baik-baik saja, Nak?" tanyanya seraya mendekat dan duduk di dekat kaki Arta.Arta mengerjap, dia lalu mengangkat wajahnya dan menatap Fala dengan sendu."Maaf, aku tidak bermaksud untuk melaku
Arta tampak marah di kursi rodanya, dia menatap semua orang Lintang dan Alya dengan mata merah berair."Kenapa kalian menyembunyikannya dariku? Apa lagi hal yang kalian sembunyikan? APA?!" teriaknya histeris. Dia bangkit dari kursi rodanya, lalu dengan langkah hampir limbung berlari menjauh."Arta!" "Lepas!" sergah Arta pada Fala yang menangkapnya karena hampir terjatuh. Fala pun membiarkannya dan hanya bisa menatap anak itu berlari pergi ke arah lain."Mas, bagaimana ini?" kata Alya menghampiri Fala dengan wajah cemas.Fala memegang tangan istrinya itu, "Kita biarkan saja dulu, akan sangat kacau jika kita menahannya saat ini," katanya sendu.Lintang pun terdiam dalam tangis.Fala lalu menoleh pada Alya, "Kamu temani Lintang, biar aku yang mengawasi Arta," katanya, yang kemudian diangguki oleh Alya.Fala menatap Lintang sebentar sebelum akhirnya dia bergegas mengejar Arta. "Aku akan membantu mencarinya!" kata Bram, Lintang mengangguk setuju padanya.Bram pun berpamitan dan berlari
Arta berlari keluar dari rumah sambil menangis. Namun ketika dia baru saja menginjakkan kakinya, dia terhenti dan tertegun karena mendapati Arthur dan Lintang ada di pintu gerbang halaman rumah mereka. "Arta!" panggil Lintang, matanya tampak sudah berkaca-kaca menatap Arta dengan penuh kerinduan. Namun tatapan mata Arta tertuju pada Arthur, anak itu tampak masih memiliki pandangan yang sama yaitu kebencian. "Anakku!" ucap Arthur seraya berjalan mendekat pada Arta. Ketika itu tampak Fala dan Alya keluar dari rumah untuk mengejar Arta, namun mereka pun terhenti dan sedikit terkejut karena mendapati Arthur dan Lintang ada di sana. Arta tampak berdiri kaku menunggu Arthur mendekatinya, tangannya mengepal dengan erat. "Tolong maafkan aku, apapun akan aku lakukan agar kamu bisa menerimaku!" ucap Arthur dengan mata penuh kesedihan. Arta tak menjawab, namun dia membuang muka seolah tak sudi untuk menatap Arthur. "Mama bahkan sudah memaafkan kami, kenapa kamu saat membenci Papa?" ucap Ar
Dengan semangat membara Arthur pun berusaha untuk pulih secepatnya. Dia berusaha untuk berjalan dengan menggunakan tongkat, menyangga tubuhnya yang masih terasa lemah.Lintang pun melihat perkembangannya, antara gembira dan juga sedih karenanya. Juga di sisi lain dia mencemaskan keadaan Candra yang semakin hari justru semakin mengkhawatirkan. Itu membuat mereka semakin diburu waktu untuk secepatnya menemui Arta."Istirahat dulu, Sayang," kata Lintang ketika melihat Arthur yang terengah-engah dengan bulir-bulir keringat di wajahnya. Sudah sejak pagi dia berjalan-jalan di sekitar taman sampai matahari naik dan bersinar sedikit panas di atas mereka.Arthur pun mengangguk lalu berjalan menghampiri Lintang yang duduk di kursi taman."Kita harus segera pergi ke sana!" kata Arthur setelah meneguk minumannya.Lintang tersenyum mengangguk, "Ya, aku juga tidak sabar untuk segera memeluknya!" timpalnya.Arthur tersenyum letih, "Ya, kita pasti bisa!" ucapnya penuh keyakinan.Raut wajah Lintang be
Lintang merasa dia harus bertindak. Dia ingin sekali menangis menumpahkan semua rasa lelah dan kesedihannya, tapi dia tidak boleh lemah. Karena saat ini dirinyalah satu-satunya yang bisa menyatukan keluarga Adiwilaga, termasuk membuat Arta kembali pada mereka.Hari ini Arthur pulang ke rumah, kondisinya sudah sedikit lebih baik dan menurut dokter masa pemulihannya bisa berjalan dari rumah."Senang rasanya kembali ke rumah!" ucap Arthur ketika turun dari mobil, Bram membantunya untuk duduk di kursi roda."Selamat datang kembali di rumah!" ucap Lintang, dia mencondongkan tubuhnya memeluk suaminya dengan hangat.Arthur tersenyum, namun matanya tidak bisa menepis pemandangan dari wajah Lintang yang tampak kelelahan dengan kantung hitam di bawah matanya."Apa kamu baik-baik saja, Sayang? Kamu terlihat tidak sehat!" tanya Arthur dengan khawatir.Lintang menatap ke arah Bram dan Mira bergantian, lalu tersenyum canggung."Tidak apa-apa, hanya sedikit kurang tidur saja" tepisnya.Arthur tersen
Candra melangkah menuju kamarnya, namun ada yang berbeda dengan langkahnya, yang tampak sedikit diseret dan tampak terhuyung-huyung. Pria tua itu membuka mulutnya untuk bernafas, dia merasa oksigen semakin menipis di sekitarnya sehingga dia tampak tersengal-sengal. "Ya, Tuhan!" keluhnya pelan, tangannya yang bebas bergerak naik meraba dada kirinya. Pria tua itu menghentikan langkahnya untuk sekedar beristirahat, berharap jika dia bisa mendapat sedikit tenaga. Namun kemudian dia mengernyit dengan nafas tertahan, bulir-bulir keringat bermunculan di dahinya. Tangannya yang memegang tongkat terlepas, bermaksud untuk mengjangkau dinding karena dia merasa tubuhnya lemas. Namun sebelum tangannya menyentuh tembok di dekatnya, Candra sudah ambruk di lantai. Tangannya tanpa sengaja mendorong sebuah guci sehingga oleng dan lalu jatuh pecah berantakan, membuat suara nyaring di sepanjang koridor kamar. Mira yang baru saja pulang dari kantor menjalankan perintah Candra terkejut mendengar suara b
Bram menatap Arta menunggu jawaban anak itu, sorotan matanya terlihat tegas ingin mendengar apa yang akan dikatakan oleh Arta. Dia tidak akan bersikap lunak pada anak itu karena dia takut jika Arta terlalu lama dibiarkan seperti ini, maka dia akan semakin menjauh dari ayah dan ibunya sendiri."Arta?"Arta pun tampak sedikit gentar menghadapi Bram, kepalanya tertunduk dalam."A-aku ... tidak ingin mengganggu istirahat Papa, lain kali saja aku akan datang, Paman!" ucapnya.Alya merangkul bahu Arta untuk membuatnya sedikit tenang, dia juga menyadari jika ternyata anak itu terlihat segan terhadap Bram daripada orang lain.Bram menarik nafas panjang."Baiklah, kamu beristirahatlah dengan lebih baik di sana sampai ayah dan ibumu menjemputmu nanti," kata Bram, dia maju untuk menyentuh kepala Arta. Dia juga merasa sedikit bersalah karena bersikap tegas pada anak itu.Arta pun mengangguk, "Terimakasih, Paman!" ucapnya.Bram kemudian menatap Fala, "Kalau ada apa-apa, hubungi saja aku!" katanya.
Arta tampak tengah duduk di ranjangnya, memperhatikan Fala yang sedang membereskan barang-barang miliknya ke dalam tas. Dia sudah diperbolehkan pulang hari ini."Kamu siap untuk pulang?" tanya Fala tanpa menoleh, setelah menutup tas itu barulah dia memutar tubuhnya ke arah Arta.Anak laki-laki itu tak langsung menjawab, dia malah balik menatapnya. Sorot matanya terlihat ragu."Ada apa, Nak?" tanya Fala tanggap, karena dia melihat jika Arta sepertinya ingin mengatakan sesuatu. Dia lalu mendekat dan duduk di dekat anak itu.Arta tertunduk memandangi tangannya yang sedang memegang rubik. "Apa aku bisa pulang bersama kalian saja?" tanyanya.Fala tertegun mendengarnya. Itu memang menggembirakan, apalagi jika Alya tahu. Tapi situasinya saat ini sungguh riskan, dia tak bisa memutuskan begitu saja sekarang ini. Fala pun menghela nafas dan menyentuh kepala Arta dengan lembut."Kamu tahu sekarang kami sudah tidak berhak lagi menentukan, kecuali kamu meminta izin dulu pada orangtuamu," kata F
Pagi hari, Arthur sepenuhnya membuka mata. Kondisinya masih tampak lemah, namun setidaknya dia sudah bisa diajak bicara."Anda bisa menemaninya di sini, tapi tolong jangan mengajaknya mengobrol terlalu lama, beliau masih butuh istirahat!" kata Dokter memberi imbauan.Lintang pun mengangguk, dia mengerti kondisi Arthur saat ini. Meskipun begitu dia cukup lega karena suaminya sudah melewati masa kritis malam tadi.Dokter pun tersenyum kemudian berpamitan keluar dari ruangan.Alya dan Bram mengerti, mereka turut berpamitan dan memilih menunggu di luar dan membiarkan Lintang menemani Arthur sendirian saja."Selamat pagi!" sapa Lintang menyentuh tangan Arthur dengan lembut.Arthur yang saat itu masih terpejam pun perlahan membuka matanya, dia tersenyum melihat Lintang ada di sampingnya."Kamu di sini," ucapnya, suaranya setengah berbisik.Lintang menarik kursi dan duduk lebih dekat selagi memegangi tangan Arthur."Selamat datang kembali!" ucap Lintang seraya mencium tangan Arthur.Arthur t
Arthur mengalami lonjakan kondisi yang menegangkan, beberapa orang dokter berusaha untuk menolongnya hingga untuk beberapa lama ruangan itu pun tertutup dan tak terdengar apapun. Membuat Lintang yang menunggu di luar semakin tegang dan dipenuhi kecemasan tak terkira.Saat-saat yang menegangkan pun kemudian berlalu, dan suara pintu yang terbuka membuat semua orang yang menunggu di luar seketika berdiri menyambut dokter yang keluar dari dalam sana."Bagaimana, Dok? Bagaimana suami saya? Apa dia baik-baik saja? Apa dia selamat?" Lintang langsung mengajukan beberapa pertanyaan, Alya berdiri di sampingnya dan mengusap bahu wanita itu untuk membuatnya tenang.Dokter tampak menarik nafas panjang, sepertinya dia pun baru saja melalui saat-saat tegang mengurus pasiennya itu. Tapi kemudian raut wajahnya terlihat cerah."Tuan Arthur berhasil melalui masa kritisnya, dia baik-baik saja!" jawabnya.Lintang pun seketika meluruhkan bahunya dan menangis dengan penuh rasa syukur."Terima kasih, Ya Tuha
Arta tampak marah di kursi rodanya, dia menatap semua orang Lintang dan Alya dengan mata merah berair."Kenapa kalian menyembunyikannya dariku? Apa lagi hal yang kalian sembunyikan? APA?!" teriaknya histeris. Dia bangkit dari kursi rodanya, lalu dengan langkah hampir limbung berlari menjauh."Arta!" "Lepas!" sergah Arta pada Fala yang menangkapnya karena hampir terjatuh. Fala pun membiarkannya dan hanya bisa menatap anak itu berlari pergi ke arah lain."Mas, bagaimana ini?" kata Alya menghampiri Fala dengan wajah cemas.Fala memegang tangan istrinya itu, "Kita biarkan saja dulu, akan sangat kacau jika kita menahannya saat ini," katanya sendu.Lintang pun terdiam dalam tangis.Fala lalu menoleh pada Alya, "Kamu temani Lintang, biar aku yang mengawasi Arta," katanya, yang kemudian diangguki oleh Alya.Fala menatap Lintang sebentar sebelum akhirnya dia bergegas mengejar Arta. "Aku akan membantu mencarinya!" kata Bram, Lintang mengangguk setuju padanya.Bram pun berpamitan dan berlari