Alia menatap suaminya dengan tak percaya, ketika dia mengatakan akan membawa Raffa jauh dan pergi dari kota itu. Untuk menghindari Arthur dan Lintang."Apa ini benar?" tanyanya dengan gamang.Fala mengeraskan rahangnya, "Mereka tidak akan bisa mengambil Raffa dari kita, Alia! Tidak akan pernah!" sergah meninggikan suaranya.Alia terkejut dengan sikap Fala yang biasanya selalu tenang, tapi kali ini laki-laki yang sudah menjadi suaminya selama 8 tahun itu terlihat bingung dan berapi-api. Alia mengira hanya dirinya saja yang berpikir sejauh itu, tapi ternyata Fala jauh lebih nekad."Tapi bagaimana dengan kondisi Raffa?" ucap Alia lirih, "kamu bilang jika Raffa memang membutuhkan donor, maka hanya ayah kandungnya saja yang bisa menolongnya," lanjutnya pedih.Fala terdiam. Tangannya mengepal menahan gejolak emosi yang bergejolak di dadanya. "Aku akan mencari pengobatan lain bagaimanapun caranya, walaupun itu harus membuatku jatuh miskin, akan kuberikan semuanya agar Raffa bisa sembuh!" te
"Siapa kalian?" tanya Arthur pada sepasang pria dan wanita berwajah bule yang muncul dari balik pintu.Kedua orang yang tampaknya suami istri itu saling pandang sejenak. "Kami keluarga Stone, apa ada yang bisa kami bantu?" jawab si pria.Ganti Lintang dan Arthur yang menoleh satu sama lain. "Bukankah ini rumah keluarga Fahrian?" tanya Lintang tak percaya.Si wanita dengan mata biru itu menggeleng, "No! Kami sudah tinggal disini sejak 3 tahun lalu, apa ada masalah dengan itu?" jawabnya langsung bertanya.Arthur mengerutkan kening, tidak mungkin jika Rey salah memberikan informasi. Pemuda itu juga tidak akan berani main-main dengannya. Matanya lalu memperhatikan gerak-gerik pasangan muda yang ada di hadapannya dengan jeli."Bagaimana ini?" ucap Lintang sedih, dia tampak putus asa.Arthur merangkul bahunya untuk menenangkannya. Dia lalu tersenyum lebar pada kedua orang itu."Ah ya, maaf! Sepertinya kami salah alamat, permisi!" katanya sambil menarik bahu Lintang untuk pergi meninggalkan
Arthur menepikan mobilnya untuk menghindari kecelakaan. Ditatapnya Hazen dengan sorot mata tak percaya dengan apa yang dikatakan gadis itu."Tolong jangan bercanda, Hazen! Jangan berbohong hanya untuk membuatku senang!" sergah Arthur. Hazen terisak lirih, "Raffa itu Arta! Dia anakmu dan Lintang yang selama ini kalian cari!" Arthur membeku dengan mulut ternganga seolah lupa untuk bernafas."Ap-apa yang sebenarnya terjadi?" ucapnya tertawa di sela tangisannya.Arthur meremas rambutnya dengan geram, berteriak kencang sambil memukul kemudi melampiaskan perasaan yang entah harus bagaimana mengatakannya.Bayangan Raffa yang selalu tersenyum tertawa riang menyambut kedatangannya, bagaimana celotehan lucunya ketika bercengkrama, hangat tubuh mungilnya ketika dalam pelukannya seolah menjadi magnet yang menghisap habis semua lelah dan kegundahan hatinya selama ini. Dan mengetahui apa yang terjadi pada Raffa sekarang ini, dimana kini tubuh sekecil itu harus menjalani prosedur berat untuk men
Arthur dan Hazen kembali dengan membawa Alia bersama mereka. Lintang yang terkejut ketika melihat Hazen kali ini tak ambil pusing lagi, karena perhatiannya jatuh pada wanita yang dibawa oleh mereka."Siapa dia?" tanyanya ketika Arthur mendekat dan memeluknya. Arthur melihat sejenak ke arah Alia yang tertunduk dalam duduk di kursi."Dia ibu angkat Arta," jawabnya lirih.Lintang seketika membeku, dengan wajah memerah menahan tangis, dia berjalan menghampiri Alia dan berlutut di hadapannya."Apa yang kau lakukan? Tolong jangan seperti ini!" tepis Alia sambil ia sendiri menjatuhkan diri dan terduduk di lantai menghadapi Lintang.Arthur dan Hazen terdiam melihat pemandangan itu. Candra dan Mira yang baru saja masuk pun turut bungkam melihatnya.Lintang mengatupkan kedua tangannya sambil berurai air mata, memohon pada Alia. "Aku tahu kamu juga orang baik, kita juga sebagai sesama ibu bisa saling merasakan satu sama lain," ucapnya seraya menangis, "aku mohon, kembalikan anakku!" ratap Lint
Arthur memperhatikan kedua wanita yang memiliki andil besar dalam hidupnya itu dari dalam. Hazen dan Lintang tampak tengah berbicara satu sama lain. Mira bahkan menoleh ke arah Arthur dengan tatapan antara bingung dan penuh tanya. Arthur menghela nafas, dia lega karena Candra tidak tahu masalah mereka bertiga. Seandainya saja Lintang mengadu pada Candra, mungkin akan beda cerita dan dia tidak akan bisa kembali pulang ke rumah seperti ini. Sedang mereka sibuk memperhatikan Hazen dan Lintang, Alia tampak menerima telepon. Wanita itu tampak tegang dan membelalakkan matanya kaget."Apa? Mas kamu dimana?" teriaknya panik yang membuat perhatian semua orang pun tertuju padanya. Mereka langsung mengelilingi Alia dan menyimak dengan tegang.Arthur memberi isyarat agar Alia menekan pengeras suara, sehingga mereka bisa mendengar percakapan itu. Alia pun menurut.[ Sayang, Raffa drop! Aku membawanya ke rumah sakit! ]Sontak saja semua orang terbelalak kaget mendengarnya. Arthur membekap mulut
Apa yang menjadi kebahagiaan terbesar Lintang adalah kembali bertemu dengan anak semata wayangnya. Dan setelah melewati serangkaian peristiwa buruk dan penuh air mata, akhirnya itu terjadi. Kembali penuh dengan tangisan, hanya saja kali ini adalah tangis bahagia."A-Arta ...," bisik Lintang menutup mulutnya ketika dia melihat Raffa yang terbaring di ranjang rumah sakit. Wajahnya pucat, matanya terpejam dengan selang oksigen di hidungnya dan jarum infus di tangan kecilnya. Ingin sekali dia masuk ke sana dan memeluknya erat melepas kerinduan yang selama 5 tahun ini menghantui setiap tidur malamnya. Namun itu tidak bisa dia lakukan sekarang ini, mereka harus cukup puas melihatnya dari balik kaca. Satu hal yang membuat Lintang semakin tergugu, mengingat dia pernah membenci sosok anak itu, karena mengira dia adalah anak Arthur dan Hazen. Nyatanya ..."Sayang ...." Arthur datang mendekat, Lintang langsung berbalik dan menabrak dada suaminya dan meredam tangisnya di sana. Arthur pun memeluk
Lintang melepaskan pelukannya sambil mengusap air mata di wajahnya. Dia tertawa kecil ketika Arta turut membantunya. "Permisi," Seorang suster datang dan masuk ke dalam ruangan.Lintang pun mengerti, dia mundur sejenak memberi ruang pada suster itu untuk memeriksa Arta. Anak itu pun tampak tenang dan menurut saja. "Bagaimana kondisinya, Suster?" tanya Lintang.Suster itu tersenyum, "Masa pemulihan Raffa lebih cepat dari yang kami bayangkan, jika terus seperti ini, mungkin dokter akan mengizinkan pulang selama beberapa hari ke depan."Syukurlah!" desah Lintang lega. Suster itu lalu permisi dan keluar dari kamar. Lintang kembali duduk di kursi di dekat Arta."Aku nggak sabar untuk pulang ke rumah!" kata Arta senang. Lintang mengangguk, "Ya, kamu akan segera pulang!" sambungnya dengan senyum sendu di wajahnya. Ketika itu Alia datang dan menghampiri mereka. "Ada kabar baik?" tanyanya begitu melihat wajah kedua orang ibu-anak itu tampak gembira.Lintang pun tersenyum, seraya menatap
Arthur membuka mulutnya tanpa tahu harus mengatakan apa. Apa yang didengar dari Bram membuat jantungnya benar-benar berhenti dan seolah ada balok besar yang memukul dadanya. Arthur tak mampu lagi mendengarnya, tangannya seolah tak bertenaga dan terkulai jatuh begitu saja, tak mempedulikan ponselnya yang jatuh ke lantai dengan keadaan masih menyala dengan sambungan telepon dari Bram."Hazen ...," bisiknya dengan dada penuh dengan perasaan sakit dan sesak. Air matanya pun tak mampu dibendungnya. Hingga akhirnya Arthur menangis dengan tangan menyangga kepalanya. "Maafkan aku, Hazen! Maafkan aku!" bisiknya lirih.Hazen menembak dirinya sendiri, karyawannya di bengkel menemukannya sudah dalam keadaan tak bernyawa. Sebelumnya dia mengalami keguguran beberapa minggu lalu, diduga dia depresi dan akhirnya memilih mengakhiri hidupnya.Itulah yang dikatakan oleh Bram tadi. Keguguran? Apa itu artinya dia hamil olehnya?Arthur merasa terpukul dan dipenuhi perasaan bersalah. Kenapa dia tak men
Arta berlari keluar dari rumah sambil menangis. Namun ketika dia baru saja menginjakkan kakinya, dia terhenti dan tertegun karena mendapati Arthur dan Lintang ada di pintu gerbang halaman rumah mereka. "Arta!" panggil Lintang, matanya tampak sudah berkaca-kaca menatap Arta dengan penuh kerinduan. Namun tatapan mata Arta tertuju pada Arthur, anak itu tampak masih memiliki pandangan yang sama yaitu kebencian. "Anakku!" ucap Arthur seraya berjalan mendekat pada Arta. Ketika itu tampak Fala dan Alya keluar dari rumah untuk mengejar Arta, namun mereka pun terhenti dan sedikit terkejut karena mendapati Arthur dan Lintang ada di sana. Arta tampak berdiri kaku menunggu Arthur mendekatinya, tangannya mengepal dengan erat. "Tolong maafkan aku, apapun akan aku lakukan agar kamu bisa menerimaku!" ucap Arthur dengan mata penuh kesedihan. Arta tak menjawab, namun dia membuang muka seolah tak sudi untuk menatap Arthur. "Mama bahkan sudah memaafkan kami, kenapa kamu saat membenci Papa?" ucap Ar
Dengan semangat membara Arthur pun berusaha untuk pulih secepatnya. Dia berusaha untuk berjalan dengan menggunakan tongkat, menyangga tubuhnya yang masih terasa lemah.Lintang pun melihat perkembangannya, antara gembira dan juga sedih karenanya. Juga di sisi lain dia mencemaskan keadaan Candra yang semakin hari justru semakin mengkhawatirkan. Itu membuat mereka semakin diburu waktu untuk secepatnya menemui Arta."Istirahat dulu, Sayang," kata Lintang ketika melihat Arthur yang terengah-engah dengan bulir-bulir keringat di wajahnya. Sudah sejak pagi dia berjalan-jalan di sekitar taman sampai matahari naik dan bersinar sedikit panas di atas mereka.Arthur pun mengangguk lalu berjalan menghampiri Lintang yang duduk di kursi taman."Kita harus segera pergi ke sana!" kata Arthur setelah meneguk minumannya.Lintang tersenyum mengangguk, "Ya, aku juga tidak sabar untuk segera memeluknya!" timpalnya.Arthur tersenyum letih, "Ya, kita pasti bisa!" ucapnya penuh keyakinan.Raut wajah Lintang be
Lintang merasa dia harus bertindak. Dia ingin sekali menangis menumpahkan semua rasa lelah dan kesedihannya, tapi dia tidak boleh lemah. Karena saat ini dirinyalah satu-satunya yang bisa menyatukan keluarga Adiwilaga, termasuk membuat Arta kembali pada mereka.Hari ini Arthur pulang ke rumah, kondisinya sudah sedikit lebih baik dan menurut dokter masa pemulihannya bisa berjalan dari rumah."Senang rasanya kembali ke rumah!" ucap Arthur ketika turun dari mobil, Bram membantunya untuk duduk di kursi roda."Selamat datang kembali di rumah!" ucap Lintang, dia mencondongkan tubuhnya memeluk suaminya dengan hangat.Arthur tersenyum, namun matanya tidak bisa menepis pemandangan dari wajah Lintang yang tampak kelelahan dengan kantung hitam di bawah matanya."Apa kamu baik-baik saja, Sayang? Kamu terlihat tidak sehat!" tanya Arthur dengan khawatir.Lintang menatap ke arah Bram dan Mira bergantian, lalu tersenyum canggung."Tidak apa-apa, hanya sedikit kurang tidur saja" tepisnya.Arthur tersen
Candra melangkah menuju kamarnya, namun ada yang berbeda dengan langkahnya, yang tampak sedikit diseret dan tampak terhuyung-huyung. Pria tua itu membuka mulutnya untuk bernafas, dia merasa oksigen semakin menipis di sekitarnya sehingga dia tampak tersengal-sengal. "Ya, Tuhan!" keluhnya pelan, tangannya yang bebas bergerak naik meraba dada kirinya. Pria tua itu menghentikan langkahnya untuk sekedar beristirahat, berharap jika dia bisa mendapat sedikit tenaga. Namun kemudian dia mengernyit dengan nafas tertahan, bulir-bulir keringat bermunculan di dahinya. Tangannya yang memegang tongkat terlepas, bermaksud untuk mengjangkau dinding karena dia merasa tubuhnya lemas. Namun sebelum tangannya menyentuh tembok di dekatnya, Candra sudah ambruk di lantai. Tangannya tanpa sengaja mendorong sebuah guci sehingga oleng dan lalu jatuh pecah berantakan, membuat suara nyaring di sepanjang koridor kamar. Mira yang baru saja pulang dari kantor menjalankan perintah Candra terkejut mendengar suara b
Bram menatap Arta menunggu jawaban anak itu, sorotan matanya terlihat tegas ingin mendengar apa yang akan dikatakan oleh Arta. Dia tidak akan bersikap lunak pada anak itu karena dia takut jika Arta terlalu lama dibiarkan seperti ini, maka dia akan semakin menjauh dari ayah dan ibunya sendiri."Arta?"Arta pun tampak sedikit gentar menghadapi Bram, kepalanya tertunduk dalam."A-aku ... tidak ingin mengganggu istirahat Papa, lain kali saja aku akan datang, Paman!" ucapnya.Alya merangkul bahu Arta untuk membuatnya sedikit tenang, dia juga menyadari jika ternyata anak itu terlihat segan terhadap Bram daripada orang lain.Bram menarik nafas panjang."Baiklah, kamu beristirahatlah dengan lebih baik di sana sampai ayah dan ibumu menjemputmu nanti," kata Bram, dia maju untuk menyentuh kepala Arta. Dia juga merasa sedikit bersalah karena bersikap tegas pada anak itu.Arta pun mengangguk, "Terimakasih, Paman!" ucapnya.Bram kemudian menatap Fala, "Kalau ada apa-apa, hubungi saja aku!" katanya.
Arta tampak tengah duduk di ranjangnya, memperhatikan Fala yang sedang membereskan barang-barang miliknya ke dalam tas. Dia sudah diperbolehkan pulang hari ini."Kamu siap untuk pulang?" tanya Fala tanpa menoleh, setelah menutup tas itu barulah dia memutar tubuhnya ke arah Arta.Anak laki-laki itu tak langsung menjawab, dia malah balik menatapnya. Sorot matanya terlihat ragu."Ada apa, Nak?" tanya Fala tanggap, karena dia melihat jika Arta sepertinya ingin mengatakan sesuatu. Dia lalu mendekat dan duduk di dekat anak itu.Arta tertunduk memandangi tangannya yang sedang memegang rubik. "Apa aku bisa pulang bersama kalian saja?" tanyanya.Fala tertegun mendengarnya. Itu memang menggembirakan, apalagi jika Alya tahu. Tapi situasinya saat ini sungguh riskan, dia tak bisa memutuskan begitu saja sekarang ini. Fala pun menghela nafas dan menyentuh kepala Arta dengan lembut."Kamu tahu sekarang kami sudah tidak berhak lagi menentukan, kecuali kamu meminta izin dulu pada orangtuamu," kata F
Pagi hari, Arthur sepenuhnya membuka mata. Kondisinya masih tampak lemah, namun setidaknya dia sudah bisa diajak bicara."Anda bisa menemaninya di sini, tapi tolong jangan mengajaknya mengobrol terlalu lama, beliau masih butuh istirahat!" kata Dokter memberi imbauan.Lintang pun mengangguk, dia mengerti kondisi Arthur saat ini. Meskipun begitu dia cukup lega karena suaminya sudah melewati masa kritis malam tadi.Dokter pun tersenyum kemudian berpamitan keluar dari ruangan.Alya dan Bram mengerti, mereka turut berpamitan dan memilih menunggu di luar dan membiarkan Lintang menemani Arthur sendirian saja."Selamat pagi!" sapa Lintang menyentuh tangan Arthur dengan lembut.Arthur yang saat itu masih terpejam pun perlahan membuka matanya, dia tersenyum melihat Lintang ada di sampingnya."Kamu di sini," ucapnya, suaranya setengah berbisik.Lintang menarik kursi dan duduk lebih dekat selagi memegangi tangan Arthur."Selamat datang kembali!" ucap Lintang seraya mencium tangan Arthur.Arthur t
Arthur mengalami lonjakan kondisi yang menegangkan, beberapa orang dokter berusaha untuk menolongnya hingga untuk beberapa lama ruangan itu pun tertutup dan tak terdengar apapun. Membuat Lintang yang menunggu di luar semakin tegang dan dipenuhi kecemasan tak terkira.Saat-saat yang menegangkan pun kemudian berlalu, dan suara pintu yang terbuka membuat semua orang yang menunggu di luar seketika berdiri menyambut dokter yang keluar dari dalam sana."Bagaimana, Dok? Bagaimana suami saya? Apa dia baik-baik saja? Apa dia selamat?" Lintang langsung mengajukan beberapa pertanyaan, Alya berdiri di sampingnya dan mengusap bahu wanita itu untuk membuatnya tenang.Dokter tampak menarik nafas panjang, sepertinya dia pun baru saja melalui saat-saat tegang mengurus pasiennya itu. Tapi kemudian raut wajahnya terlihat cerah."Tuan Arthur berhasil melalui masa kritisnya, dia baik-baik saja!" jawabnya.Lintang pun seketika meluruhkan bahunya dan menangis dengan penuh rasa syukur."Terima kasih, Ya Tuha
Arta tampak marah di kursi rodanya, dia menatap semua orang Lintang dan Alya dengan mata merah berair."Kenapa kalian menyembunyikannya dariku? Apa lagi hal yang kalian sembunyikan? APA?!" teriaknya histeris. Dia bangkit dari kursi rodanya, lalu dengan langkah hampir limbung berlari menjauh."Arta!" "Lepas!" sergah Arta pada Fala yang menangkapnya karena hampir terjatuh. Fala pun membiarkannya dan hanya bisa menatap anak itu berlari pergi ke arah lain."Mas, bagaimana ini?" kata Alya menghampiri Fala dengan wajah cemas.Fala memegang tangan istrinya itu, "Kita biarkan saja dulu, akan sangat kacau jika kita menahannya saat ini," katanya sendu.Lintang pun terdiam dalam tangis.Fala lalu menoleh pada Alya, "Kamu temani Lintang, biar aku yang mengawasi Arta," katanya, yang kemudian diangguki oleh Alya.Fala menatap Lintang sebentar sebelum akhirnya dia bergegas mengejar Arta. "Aku akan membantu mencarinya!" kata Bram, Lintang mengangguk setuju padanya.Bram pun berpamitan dan berlari