"Kamu masih memikirkan Brian, Yas?"Perempuan yang masih fokus menatap layar tiba-tiba menoleh ke arahku. Sebuah tanda tanya nampak jelas di sorot mata itu. Apa pertanyaanku kurang jelas? "Apa kamu masih memikirkan Brian, Yas?"Aku kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama. "Aku memikirkannya sebagai teman, Rel. Apa aku salah jika bertanya-tanya siapa yang menusuk Brian?"Tidak salah, Yasmin. Aku yang mulai terbakar cemburu. Aku takut kamu berpaling pada orang lain. Aku takut kamu pergi dari hidupku untuk kedua kalinya. "Aku memilihmu, berarti sudah tidak ada nama Brian di hatiku, Rel."Aku tarik tubuhnya hingga menempel di dadaku. Detak jantungnya pun terdengar jelas di telingaku. Maafkan aku yang terlalu cemburu, Yasmin. "Maaf terlalu cemburu, Yasmin."Yasmin mengangguk, lalu mempererat pelukan. Pukul 09.00 kami meneruskan perjalanan. Yogyakarta menjadi kota pilihan untuk tinggal dan menetap, entah sampai kapan aku sendiri tidak tahu. Semua tergantung keadaan. Perjalanan Ja
"Bagus ya kamu, Rel! Pinjem mobil buat pacaran sama perempuan murahan itu?"Aku remas kunci dalam tangan. Sekuat tenaga kutahan amarah dalam dada. Sadar perempuan di hadapan kami pernah baik, meski sekarang ucapannya begitu menyebalkan. "Tante dan Om apa kabar?" tanyaku seraya mendekat. Aku cium punggung tangan mereka satu persatu. Yasmin pun mengulurkan tangan, hendak bersalaman, sama sepertiku. Di luar dugaan, tangan itu dibiarkan menggantung di udara. Dengan rasa malu Yasmin menarik tangannya kembali. Ada yang berdesis di dalam dada ini. Namun lagi-lagi aku harus menahan diri karena tak ingin memperpanjang masalah. Jujur aku lelah dengan perdebatan dan pertengkaran yang tiada habisnya. "Dari mana saja kamu, Rel? Lima hari gak ada kabar apalagi batang hidungnya.""Maaf ya, Tan. Saya jadi merepotkan karena harus meminjam mobil Arman untuk pulang ke Jakarta. Mama sakit, saya harus pulang secepatnya.""Bagaimana kabar mama kamu, Rel? Dia baik-baik saja, kan?""Alhamdulillah sudah b
"Permisi..."Aku memaki seseorang yang datang di saat yang salah. Harusnya dia tidak bertamu di saat kami ingin memadu kasih. Astaga, dia tidak tahu situasi. "Kamu lihat, Rel! Aku mau beres-beres."Aku menghembuskan napas kasar. Sebenarnya aku enggan beranjak, tapi ketukan pintu memaksaku pergi dari posisi ternyaman. Ah, siapa sih dia? Seorang perempuan berambut sebahu dengan badan subur berdiri tepat di depan pintu. Dia tersenyum kala netra kami saling bertemu. Rupanya dia pengganggu kemesraan aku dan Yasmin. "Maaf, ada yang bisa saya bantu?" tanyaku datar. Bibir kupaksa tersenyum meski berat. "Mas penghuni baru kontrakan ini, ya?" tanyanya lalu tersenyum ramah. Sumpah senyum ramah itu tak mampu menarik sudut bibirku ke atas. Aku terlanjur kesal dengan kedatangannya yang tiba-tiba. Ah, andai ia tak datang pasti aku bahagia. "Iya, Mbak," ucap Yasmin yang tiba-tiba berdiri di sampingku. "Salam kenal saya, Yasmin," Yasmin menoleh ke arahku, "ini Farel, suami saya.""Salam kenal,
"Arman," ucap aku dan Yasmin serentak. Lelaki yang mengenakan kemeja berwarna biru dongker itu berjalan mendekat. Senyumnya tersungging indah kala melihat perempuan yang berada di sampingku. Melihat itu hatiku terbakar cemburu. "Kamu kenapa di sini, Arman?" tanyaku setelah ia berdiri di tengah-tengah kami. "Baru kelar tugas, Rel."Aku menautkan dua alis. Ini sudah pukul 09.00 tapi Arman baru keluar dari rumah sakit. Dia tidak membuntuti kami, kan? "Biasalah, Rel. Saat jam pulang tapi pasien datangnya keroyokan. Mau tidak mau harus pulang terlambat. Baru saja keluar aku lihat kamu turun dari sebuah mobil dengan seorang perempuan. Aku kira tadi Azizah, karena dari jauh hanya terlihat memakai hijab. Makannya aku susul kemari, tapi ternyata perempuan itu adalah Amara ... maaf, Yasmin maksudku," jawabnya seraya melirik ke arah Yasmin. Dari sorot mata itu, dapat tergambar jelas sebuah kekaguman. Bahkan ada rasa cinta yang terpancar di sana. "Bisa pilihkan motor metik yang bagus, Bro!"
"Ada apa, Pak?" tanya Pak Budi setelah menghentikan seorang lelaki yang keluar dari pintu depan pasar. Teriakan lelaki itu sontak memancing semua mata menatap ke arahnya, tak terkecuali aku. Kami pun mengerubungi lelaki dengan pakaian serba hitam, persis seperti orang sedang melayat, sayangnya celananya selutut. "Ada yang pingsan di situ, Pak. Tolongin!"Seketika kami berlari menuju sebuah kios yang sudah dikerubungi banyak orang. "Kasih minyak kayu putih!" teriak salah satu orang. Aku menyibak kerumunan, lalu jongkok di samping kanan seorang perempuan bertubuh gempal, dia perempuan yang tak sadarkan diri. "Mas mau ngapain? Jangan ambil kesempatan, Mas!"Aku mengabaikan omongan perempuan yang berdiri tepat di belakangku. Dengan sigap aku periksa denyut nadinya. "Tolong cari ponsel dan hubungi keluarganya."Seseorang perempuan dengan sigap menuruti perintahku. Dia keluarkan satu demi satu barang yang ada di dalam tas. Ekor mataku melihat sebuah tablet obat yang jatuh saat ponsel
Aku pacu kendaraan roda dua dengan kecepatan tinggi. Tak peduli bunyi klakson kendaraan lain menemani perjalanan kali ini. Dalam kepalaku hanya satu tujuan, rumah. Dari kejauhan terlihat gerombolan orang memenuhi halaman rumah. Rasa takut kian memenuhi isi kepalaku. Apa yang terjadi pada Yasmin? "Mas Farel datang!""Minggir, kasih jalan!"Pekik mereka bersahut-sahutan. Tanpa diminta orang-orang itu memberikan jalan agar aku dapat masuk ke dalam. Yasmin ditidurkan di kursi ruang tamu sambil terus dioleskan minyak di bawah hidungnya. "Kenapa bisa begini, Mbak?" tanyaku pada perempuan yang tengah memijat telapak kaki Yasmin. "Saya sampai sini Mbak Yasmin sudah pingsan, Mas.""Terima kasih, Mbak."Tak berapa lama, Yasmin mulai membuka mata."Kamu kenapa, Sayang?" tanyaku sambil membangunkannya perlahan. "Diminum dulu, Mbak."Tanpa menjawab Yasmin meneguknya perlahan. Dia masih kebingungan dengan situasi yang baru saja dialami. Beberapa kali ia menoleh ke kanan kiri. "Mbak Yasmin sud
"Kapan terakhir kali haid, Yas?"Yasmin menautkan dua alis, "kenapa tanya itu, Rel? Aneh kamu.""Kapan terakhir haid, Yas?""Aku lupa, Rel. Sepertinya sebelum kita menikah. Memangnya kenapa?"Seketika bibirku melengkung ke atas. Rasa bahagia hadir tanpa diminta. Aku yakin 100 % jika Yasmin tengah berbadan dua. Karena semua ciri-ciri menunjukkan ke sana. "Senyum-senyum, emang ada yang lucu, Rel? Ini lagi duren, kenapa masih di sini? Buang saja sana! Baunya bikin orang mau pingsan begini."Aku meletakkan duren di lantai, dekat dengan kulkas. Kemudian kembali berdiri di depan Yasmin. Sebuah pelukan dan kata selamat justru membuat wanitaku kebingungan. "Kamu kesambet demit mana sih, Rel? Selamat ... selamat, apanya yang selamat. Orang istrinya muntah kok selamat."Yasmin benar-benar tidak menyadari perubahan fisik apalagi hormon dalam tubuhnya. Dia tidak tahu kalau kini dia tengah berbadan dua. Ini perempuan pura-pura tidak tahu atau gimana sih? "Nanti saja deh, kamu udah makan?""Belu
"Rel... Farel.""Rel, bangun! Aku pengen anggur bali.""Hem ....""Aku pengen makan buah anggur, Farel!"Aku mengejapkan mata beberapa kali, menyesuaikan cahaya yang tiba-tiba masuk ke retina. Aku lirik benda bulat yang menempel di dinding, tepat menghadap ranjang ini. Jarum jam masih menunjukkan pukul 12.00. Namun Yasmin sudah membangunkan diriku. Gagal sudah mimpi indah yang ada di depan mata. "Masih malam, Sayang. Kita tidur lagi, yuk!" Aku kembali menarik selimut hingga menutupi sekujur tubuh ini. Mataku benar-benar tak bisa diajak kompromi. "Aku pengen anggur Bali, Rel. Anggur yang warnanya hitam dan rasanya manis asam seger gitu.""Besok aku belikan, Sayang. Ini sudah malam, toko buah pasti tutup.""Aku maunya sekarang, Farel! Bukan besok."Aku menyibak selimut, tubuh kupaksa bangun meski mata belum terbuka sempurna. Amarah Yasmin jauh lebih berbahaya dibandingkan rasa kantuk. "Oke aku belikan, Sayang. Kamu tunggi di rumah. Tapi aku gak janji bisa dapat anggur Bali ya.""Nant
"Makan ya, Rel," bujuk Mama seraya mendekatkan sendok ke arahku. Aku menoleh, kembali fokus menatap awan yang terlihat dari jendela kamar. Saat ini aku tengah terkulai lemas di atas ranjang khas rumah sakit. Beberapa hari yang lalu aku terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena jatuh pingsan di kamar mandi. "Jangan dibiarkan kosong perutnya, Rel. Kamu tahu, kan harus bagaimana? Jangan hanya pandai menasihati pasien, sementara kamu sendiri tidak melalukan hal itu."Aku masih membisu. Netraku masih tertuju pada titik yang sama. Langit siang hari di Kota Jakarta. Bukan langit biru dengan burung yang menari di sana. Namun langit yang tertutup oleh awan putih akibatnya banyaknya pencemaran udara. "Rel, jangan seperti ini, Nak. Kamu harus sembuh demi ...""Demi siapa, Ma? Demi memenuhi obsesi Papa. Percuma aku sembuh jika hidupku terasa mati. Aku hidup tapi mati."Isak tangis kembali terdengar di telinga. Siapa lagi kalau buka Mama. Namun kali ini aku memilih bungkam. Tenggelam dalam ras
Yasmin luruh di lantai. Tangisnya pecah detik itu juga. Penyesalan pun hadir, bahkan menyesakkan dada. Maafkan aku, Rel. Aku salah mengira. Aku pikir kamu tega meninggalkan aku dan Naura hanya karena harta. Tapi justru kamu yang berkorban untuk Naura. Farel... Pulanglah. Butiran-butiran kristal telah membanjiri pipi. Bahkan surat pemberian Farel telah baca oleh air mata. Ya Allah, haruskah kami berpisah untuk kedua kalinya? Dipisahkan dengan orang kita sayangi itu memang berat. Apalagi jika perpisahan itu terjadi karena keadaan. Itu jauh lebih menyakitkan dari dikhianati. ***Hari demi hari Yasmin lewati dengan kesedihan. Tawanya memang terdengar, tapi hanya untuk menutupi sunyi dan luka dalam sanubari. Farel memang meninggalkan dirinya. Namun lelaki itu telah menyiapkan aset untuk Yasmin dan Naura. Tanggung jawab seorang ayah meski tak dapat terus bersama. "Owek... Oweek..."Tangis Naura menggema memenuhi setiap sudut ruangan. Semakin mendekati kamar, suara itu semakin keras.
"Dokter, ada yang ingin saya bicarakan.""Langsung saja, Dok!" jawab Harun dengan mata fokus menatap layar laptop. "Dokter Farel melakukan kesalahan lagi, Dok."Harun mengalihkan pandangannya. "Maksudnya?""Dokter Farel salah memberikan resep, Dok.""Apa!" pekik Harun. Seketika Harun menutup laptopnya. Dia bergegas menuju ruangan putranya. Sepanjang jalan dia mengumpat dalam hati. Lagi-lagi merutuki kecerobohan putranya. "Percuma kuliah tinggi-tinggi, ngasih resep saja gak becus!" BRAK! Pintu berwarna abu itu didorong kasar. Suara keras sontak membuat Farel tersentak, kaget. Lelaki yang tengah fokus itu membawa artikel seketika mengalihkan pandangan. "Bisa-bisanya kamu salah memberikan resep, Rel! Apa gunanya kuliah tinggi, obat asma saja gak ngerti!"Farel masih diam, dia enggan membalas makian Harun. Pikirannya sudah lelah karena terus memikirkan keadaan istri dan putri semata wayangnya. Berpisah dengan keluarga membuat hidupnya mati. Ya, dia hidup tapi mati. Harun terus mema
"Sayang, titip Naura ya," ucap Farel sebelum mobil yang membawa Yasmin dan Naura pergi dari hadapannya. "Doakan Naura sembuh agar kita dapat berkumpul kembali."Farel mengangguk dan tersenyum datar. Sebisa mungkin ia tutupi kemelut dalam rongga dadanya. Lelaki itu tak ingin istrinya curiga dan membatalkan keberangkatannya ke Singapura. * Flashback *Satu bulan yang lalu. "Yas," panggil Farel lirih. Saat ini mereka berada di ruang rawat inap. Suasana sunyi membuat suara lirih terdengar begitu jelas. Yasmin pun menoleh, menatap lelaki yang duduk di kursi, tepat di hadapannya. "Aku sudah mencari donasi untuk pengobatan Naura.""Sudah dapat, Rel?"Farel mengangguk pelan. Detik itu mulutnya begitu kelu. Kalimat yang sedari tadi menari di kepalanya mendadak hilang, meninggalkan mulut yang tertutup, membisu. "Secepat ini, Rel? Yakin ini bantuan dari yayasan?""Iya. Aku dapat dari teman lama. Kamu tahu, kan. Aku mantan dokter, jadi tahu akses untuk mendapatkan bantuan dari yayasan." Fa
Satu minggu kemudian"Rel, gendongnya gimana?" Yasmin melirikku, dia nampak bingung bagaimana cara menggendong Naura. "Kamu bawa tasnya saja, Yas."Aku meletakkan tas berisi keperluan Naura selama di rumah sakit. Dengan hati-hati, aku gendong bayi mungil ini. Yasmin hanya diam, memperhatikan caraku menggendong bayi yang baru berusia 12 hari. "Kamu pinter banget, Rel.""Hem!""Iya lupa, kamu lebih jago dari aku." Yasmin tersenyum samar. Setelah semua urusan selesai, kami pun segera meninggal rumah sakit. Sepanjang jalan tak henti-hentinya Yasmin menatap wajah mungil yang ada di dalam pangkuanku. Senyum tergambar jelas di wajah ayunya. Yasmin bahagia, begitu pula diriku. "Dia cantik ya, Pa."Aku tersenyum mendengar kata itu. Papa... entah kenapa aku tergelitik kala Yasmin memanggilku dengan sebutan itu. Ternyata aku sudah benar-benar tua. Sudah ada ekor ke mana pun aku pergi. "Kenapa mesem begitu? Aku salah ngomong ya?""Enggak.""Lalu kenapa kamu tertawa? Aku tersenyum lebar. "
"Boleh, tapi ada syaratnya, Rel.""Papa.""Iya ini Papa.""Tolong bantu Farel, Pa."Aku mengiba, dengan sengaja menurunkan harga diri yang sempat kujunjung tinggi. Aku menyerah, mengalah demi Yasmin dan putri kecil kami. "Ada syaratnya, Farel.""Syarat... Maksud Papa?""Farel... Farel, kamu lupa... di dunia ini tidak ada yang gratis! Semua hal harus ada timbal baliknya, bukan?"Aku diam, kepala mencoba mencerna setiap kata yang terucap dari mulut Papa. Entah setan apa yang kini mendiami kepala Papa. Pola pikirnya tak seperti dulu. Papa telah berubah. "Apa yang Papa mau?""Papa akan kirimkan sejumlah uang. Kamu kirimkan no rekening sekarang!""Lalu apa yang Papa mau dariku?""Nanti Papa beritahu.""Tapi, Pa.""Pikirkan dulu kesehatan anak dan istrimu, Farel."Sambungan dimatikan sepihak. Meski belum puas dengan penjelasan Papa, aku memilih diam dan menerima penawarannya. Karena hanya itu satu-satunya harapan yang aku punya. Setelah mengirimkan nomor rekening yang baru. Aku segera m
"Yasmin!"Farel segera berlari mendekati istrinya yang tergeletak di lantai tepat di depan kamar mandi. Yasmin pingsan beberapa saat yang lalu. "Yasmin, kamu kenapa?" Farel kebingungan melihat Yasmin tak bergerak. Farel menyentuh pipi istrinya, tapi Yasmin masih diam saja. Refleks Farel mengangkat tubuh Yasmin. Tertatih ia membopong tubuh Yasmin ke dalam kamar. Farel berusaha menguasai diri. Dia tepis rasa khawatir yang bersemayam dalam dadanya. Suami mana yang tak khawatir dan panik melihat istrinya tak sadarkan diri. Apalagi dalam kondisi mengandung. Dengan cekatan Farel memeriksa denyut nadi perempuan di hadapannya. Seketika wajah lelaki menegang kala melihat cairan merah yang mengalir di kaki istrinya. Tanpa pikir panjang, Farel berlari ke luar. Dia berusaha meminta bantuan tetangganya. Tidak lama sebuah mobil berhenti di jalan depan rumah Farel. Farel dan seorang lelaki dengan hati-hati membopong tubuh Yasmin. Mereka merebahkan Yasmin di jok bagian tengah."Tolong cepat ya,
"Papa."Mataku melotot melihat lelaki yang kini berdiri di hadapanku. Lelaki yang sejak semalam kupikirkan kini berdiri di depan mata. Namun dengan wajah merah padam. "Siapa tamunya, Rel?"Aku masih diam, pertanyaan Yasmin bagi angin lalu. Hanya lewat tanpa singgah apalagi menetap. "Mama dan Hazna mana?" tanyanya dengan netra menelisik setiap sudut ruangan ini. "Ada di dalam, Pa. Papa masuk dulu!""Gak sudi! Suruh mama dan Hazna keluar, sekarang!" pekiknya. "Kok lama, siapa tamunya, Mas?"Aku menoleh ke belakang. Yasmin sudah berdiri dengan wajah menunduk, ketakutan. "Papa," ucap Mama dan Mbak Hazna serempak. Hening menyelimuti ruangan ini beberapa saat. Ada takut dan tegang yang membuat suasana tidak lagi kondusif. Tatapan papa mampu membuat semua orang menciut, terutama Yasmin. "Ayo pulang, Ma, Hazna!""Dari mana Papa tahu aku dan mama berada di sini?" tanya Mbak Hazna ketika berada di sampingku. "Tak penting, pulang sekarang!""Sabar, Pa! Semua bisa dibicarakan dengan baik-
"Mama... Mbak Hazna."Aku tak mampu lagi berkata-kata, hanya sebuah pelukan yang mampu melukiskan betapa rindu hatiku ini. "Lepas, Rel!" Mbak Hazna mendorong tubuhku hingga menjauh. "Kamu mau Mbakmu ini mati kehabisan napas?"Aku tersenyum sambil menggaruk kepala yang tak gatal. Aku terlalu bahagia hingga mengapresiasikan rasa itu secara berlebihan. Mbak Hazna tak tahu, betapa aku sangat merindukan dia dan mama. "Ma, Mbak," panggil Yasmin seraya mencium penggung kedua wanitaku dengan khitmad. Sempat kulihat keraguan yang nampak di wajah istriku. Namun seketika berubah kala mama dan Mbak Hazna menyambut dengan pelukan hangat. Ini adalah momen yang selalu aku nantikan. Kami berkumpul tanpa rasa benci dan amarah. Kami hidup menjadi keluarga yang utuh dan bahagia. Namun perjuangan kami belumlah selesai. Aku dan Yasmin harus berusaha keras melunakkan hati papa yang sekeras baja. "Disuruh diem di situ, Rel? Tante sama Mbak Hazna capek berdiri begitu."Seketika aku terkesiap kemudian se