Saat gue lihat raut wajah Pak Vino, sama sekali nggak ada kekagetan di sana. Kayanya cuma gue yang kaget kalau keputusan penangguhan itu barusan dibilang sama Pak Adnan. Entah karena dia sudah tahu sebelumnya atau karena ya kaya udah biasa aja kejadian aneh menyangkut karyawan selalu aja terjadi di kantor gue.
Pak Adnan menyeruput air mineral yang baru saja dipesannya dengan cepat.
“Informasi yang saya terima sendiri masih abu-abu kenapa ditangguhkan, ada yang bilang sekalian nunggu CEO baru, jadi sekalian perkenalan. Ada juga yang bilang karena nunggu keputusan dari para komisaris dan pemegang saham. Saya nggak bisa ngomong banyak karena kepergian saya ke London juga mereka yang atur. Wanda sendiri belum lapor ke saya secara resmi. Tapi yang saya tahu dia nggak akan ke Malang dalam waktu dekat. So, saya harap kalian bisa mengerti,” kata Pak Adnan panjang. “Terutama kamu, Matari. Kamu mungkin cukup kaget bahwa keputusan-keputusan di kantor itu selalu
Saat gue meletakkan proposal project gue terbaru dari Bu Ana sekaligus quotationnya ke ruangan divisi corporate secretary, banyak sekali tumpukan lipatan kardus yang belum terpakai sama sekali di salah satu sudut ruangan dekat dengan sofa mini mereka. Hanya Nirmala yang tampak stand by, yang lainnya sama sekali tidak ada di kursinya masing-masing.“Sepi amat, La?” tanya gue.“Pada ngeberes-beresin barangnya Pak Adnan meren,” kata Nirmala dengan logat Sunda Bandungnya yang khas.“Oh, udah mulai ya?” tanya gue kepo sambil menyerahkan proposal gue.“Hmmm, buru-buru nggak? Pak Adnan teh baru ada minggu depan, kan calon penggantinya juga dateng atuh.”“Pak Marjan gimana?”“Nggak bisa, Pak Marjan lagi dihukum atuh. Nggak boleh tanda tangan beginian pokoknya mah! Teteh mendingan nunggu Pak Adnan aja minggu depan, kalau buru-buru via online aja, PDF
Sehari sebelum kedatangan Pak Jaya di awal bulan Desember, kantor gue bebenah. Biasanya sih udah cukup bersih tapi ya lo pastinya tetep mau ngasih kesan yang bagus sama orang baru kan. Terlebih orang itu akan menjadi calon bos lo nantinya. Tetep yang paling keliatan sibuk ya para OB dan anak-anak sekretaris. Termasuk juga divisi GA.Ruangan Pak Adnan sudah seperti ruangan tanpa pemilik siapapun. Dulu di sana da foto-foto keluarganya, foto-fotonya dengan customer, foto-foto penghargaan yang diterimanya di bidang teknologi hingga foto-foto saat outing sama karyawan di beberapa tempat. Foto-foto itu sudah nggak ada di sana. Yang tetap dipertahankan cuma dokumen kantor, lukisan pemandangan daerah Bali, dan juga piagam penghargaan perusahaan.Seingat gue ada mesin kopi di sana, tapi tampaknya juga disingkirkan. Mungkin itu milik pribadi Pak Adnan. Bahkan sofa bed tempat beliau kadang beristirahat, sudah tak ada, benar-benar kosong. Semua barang-barang milik Pak Adnan sudah
Kedatangan Pak Jaya ternyata cuma satu hari itu doang. Dia udah info ruangannya mau dibikin gimana, bahkan dia pakai tim arsiteknya sendiri, bukan yang udah biasa dipakai kantor gue. anak-anak purchasing jadi ikut kalang kabut, karena tim arsitek ini harus terdaftar jadi rekanan dulu baru bisa kerjain design yang diminta sama Pak Jaya. Kecuali Pak Jaya mau pakai uang pribadinya sendiri tapi itu pun sulit karena kan ruangan dia milik PT bukan punya dia pribadi, jadi pengeluaran sekecil apapun harus dicatat baik-baik.Hal ini sebenernya nggak terlalu berdampak sama karyawan lain ya. Tapi ternyata itu cukup berdampak pada si Okan yang lagi ngedaftarin rekanan baru partner cyber security dia, yang ternyata memakan waktu lama. Dengan adanya pendaftaran arsitek baru yang ditunjuk sama Pak Jaya, pendaftaran partner Okan jadi terabaikan. Tentu saja ini bikin dia marah-marah, sedangkan customernya udah pengen kerja sama bareng partner tersebut. Bu Angel dan Pak Vino pun nggak bisa ban
Okan tampak udah makin males untuk ke datang ke kantor. Meskipun begitu, Bu Angel akhirnya nge-push purchasing lebih keras. Kali ini dia datengin divisi Purchasing sambil ngomel-ngomel. Dia minta punya Okan harus segera beres. Apalagi udah masuk dokumennya udah lebih dari sebulan. Jangan salah, suara omelannya kedengeran sampai di lantai 3 dong, padahal anak-anak purchasing nggak satu lantai sama kita.“Kenapa si Angel, Ri?” tanya Pak Vino yang keluar dari ruangannya dan ngehampiri gue.Belum sempat gue menjawab, Sania yang berinisiatif menjawab duluan. Biasalah, si carmuk selalu bergerilya duluan dibanding gue yang cenderung pasif. Sania menjelaskan duduk perkaranya dengan cepat dan akurat. Untungnya nggak ditambah-tambahin.Pak Vino hanya menarik napas kemudian turun ke lantai dua, di mana divisi purchasing dan GA berada di sana. Sepeninggal Pak Vino suara Bu Angel mulai tak terdengar lagi. Tampaknya Pak Vino berhasil meredam situasi. Gue bertatapa
Sedikit trauma, gue sebenarnya males waktu Hafis ngajakin nongkrong di apartemennya weekend kali ini. Kebetulan si Mayang lagi liburan sama keluarganya ke luar kota jadinya dia nggak ada temen. Tapi Hafis meyakinkan gue kalau kita bakalan ada di unitnya aja. Nggak usah keluar-keluar kalau-kalau takut ketemu sama Bu Angel dan Pak Abimanyu.Dia juga ngajakin kita semua nginep sama-sama. Yang cewek-cewek bakalan tidur di kamar Hafis, sedangkan para cowok, termasuk Andika, cowoknya Rindu bakalan tidur di depan tv sambil begadangan main PS. Kalau salah satu dari mereka ngantuk, mereka akan tidur di sofa aja. Jangan salah, ukuran sofa apartemen Hafis lebih gede dari ukuran spring bed kamar kosan gue. Lebih empuk dan comfy pastinya. Karena dipesen khusus sama nyokapnya sama langganan furniturenya, yang kebanyakan customernya orang-orang tajir kaya mereka.Sebenernya ada 2 kamar lagi di kamar Hafis. Jadi totalnya ada 3 kamar. Belum termasuk kamar ART ya ini. Cuma
“Muka lo tegang banget, wei?” tanya Hafis saat gue datang kembali ke unit apartemennya.“Habis ketemu Mak Lampir doi!” ledek Inara sambil meletakkan belanjaan di meja dapur.Rindu menatap kami berdua. “Siapa? Bos lo lagi?” tebak Rindu 100 % tepat.Gue cuma nyengir. “Harusnya gue nggak keluar-keluar ya?”“Lah kenapa gitu? Yang bikin salah kan mereka, kok lo malah yang sembunyi? Harusnya mereka dong yang sembunyi!” timpal Rindu.“Tuh, apa gue bilang?” tandas Inara. “Nggak usah sok-sokan ngerasa nggak enak. Mereka aja biasa aja. Baguslah kalo si cewek jadi baik sama lo selama di kantor. Sudah sewajarnya sebagai upah karena lo tahu rahasia mereka.”“Betul!” seru Rindu disertai persetujuan yang lain.“Ini bukan skandal perusahaan sih kayak couple yang lain tuh yang lo critain juga. Tapi tetep aja, kalau misalkan pada tahu dan
Bertemu dengan suami Bu Angel adalah hal yang nggak pernah gue sangka. Sepertinya, gue dan mereka punya chemistry kuat, sampe mengharuskan gue bertemu di mana-mana dengan Bu Angel dan orang-orang di sekitarnya. Kali ini yang gue lihat adalah suami Bu Angel.Tentu saja tempatnya bukan di apartemen. Hafis mengajak gue dan yang lain nongkrong di sebuah casual bar di bilangan Rasuna. Hafis menjanjikan akan nongkrong cuma sampe band papan atas itu selesai aja. Setelah itu kita akan pulang dan nggak akan lama-lama nongkrong di sana.Itu adalah kali pertama gue ke casual bar. Untungnya bar yang direserved oleh Hafis adalah bar yang ramah untuk orang-orang rumahan dan katrok seperti gue ini. Nggak ada musik dj. Bahkan lampu pun nggak ada yang remang-remang, bahkan terang benderang. Di salah satu sudut, di mana mini panggung berada, sedang mengalun lagu-lagu rock lama yang dinyanyikan band lokal. Kata Hafis setelah ini band favoritnya akan muncul.Rindu tampak menggoyang
Gue berjalan cepat menuju ruang divisi sekretaris untuk mengumpulkan proposal pengadaan Aplikasi HRIS berbasis mobile untuk Bank-nya Bu Anna. Ternyata di sana sedang ada Bu Sandy, head corporate secretary yang jarang banget gue lihat itu. Dia melempar senyum pada gue dengan ramah. Namun dia kembali berkutat dengan Ipad nya, membalas-balas email.“Ini siapa yang bakalan ttd?” tanya gue pada Imas.“Masih Pak Adnan. Akta belom juga jadi-jadi nih. Ini gue lagi kumpulin mana aja yang harus gue bawa ke rumah Pak Adnan. Jadinya kita 2-3 hari sekali secara random nganterin berkas-berkas ke rumah beliau. Semoga akta cepet jadi deh, kasihan Pak Adnan juga nggak berangkat-berangkat ke London. Padahal sekeluarganya udah cabut ke sana semua,” jawab Imas setengah berbisik, panjang kali lebar, tanpa ditanya.“Imas, jangan gossip terus. Jawabnya seperlunya aja,” ujar Bu Sandy.Gue cuma melempar senyum nggak enak sama beli
Namun kejanggalan yang lain yang gue temukan, malah bukan soal Bu Angel lagi. Mungkin Bu Angel berhasil diredam dan nggak mencuat, setidaknya gitu yang gue pahami. Tapi soal Pak Marjan dan Bu Cla.Gue pikir, mereka juga udah adem. At least kalopun emang masih ada hubungan, mereka nggak yang seenak jidat muncul di publik sebagai pasangan. Tapi, gue malah ketemu mereka, saat gue sedang antri beli kopi di salah satu kedai kopi di dekat kantor.“Siang, Bu, Pak!” sapa gue dengan lantang pada mereka yang baru masuk ke barisan antrian, yang kebetulan sebagai pengantri terakhir.Mereka nggak bisa mengelak untuk nggak ngantri di belakang gue, karena memang belum ada pelanggan lain yang masuk. Bu Cla akhirnya cuma bisa tersenyum. Sedangkan Pak Marjan malah tampak tak peduli dengan kehadiran gue di situ. Sudah biasa, dia cuma nyapa yang menurut dia satu level sama dia. Sedangkan gue? Gue cuma budak corporate aja, nggak lebih dari itu.Waktu gue order, Bu
Kepulangan gue dari Singapore disambut kabar tak enak saat gue masuk ke kantor. Desas-desus soal Bu Angel jadi simpanan udah jadi bahan obrolan blak-blakan siapapun. Dulu, biasanya cuma jadi bahan ghibah underground. Soalnya nggak banyak yang tahu cowoknya siapa. Meskipun beberapa dari mereka bisa menebak bahwa dia adalah orang penting, bukan orang biasa.Makanya, gue pun nggak ketemu sama sekali dengan Bu Angel saat kedatangan gue pertama di kantor dari liburan. Oleh-oleh yang gue sengaja beli khusus buat dia bahkan nggak disentuh sama sekali sama dia di meja yang biasa dia duduki. Dia nggak pernah muncul di kantor. Semua koordinasi bahkan lewat email dan telepon aja. Chat gue bahkan dibaca dan dibalas bisa sehari kemudian. Itupun ngambang. Padahal gue lagi butuh dia buat nge-guide customer gue yang baru yang gue dapet dari bokapnya Hafis, anak perusahaan Bank lama yang mau mandiri dan bikin manajemen sendiri.Tentunya itu nggak gampang. Selain karena pasti banyak per
Gue adalah orang yang paling terakhir ke basement. Ditemani Hafis, sebagai juru kunci apartemen, kami berdua sama-sama turun. Seharusnya, lift ini bisa disetting langsung ke basement, tapi entah kenapa, lift berhenti di lantai Ground, tempat lobby berada.Gue hampir menahan napas saat gue sadar, yang masuk ke dalam lift adalah istrinya Pak Abimanyu, yang sampai saat itu gue nggak tahu namanya. Menyadari ada Hafis, dia hanya tersenyum namun setelah itu memalingkan muka dan menunduk. Gue dan Hafis tahu dia habis atau masih menangis. Hanya saja kami berdua merasa kikuk untuk berbincang. Akhirnya lift melaju menuju basement dengan sunyi senyap. Suara mesin lift yang halus terdengar samar menjadi satu-satunya background suara.“Ting!”Lift berhenti. Wanita tadi mengangguk pada Hafis dengan sopan tanpa berkontak mata bersiap untuk pergi.Ternyata, kami menuju basement yang sama, meskipun masih ada 3 lantai basement lagi. Gue yang tahu kalau dekat de
“Sebelum berangkat, jangan lupa kumpul dulu di tempat gue!” Hardik Hafis mengingatkan di telepon.Gue yang masih di kantor dan izin setengah hari itu langsung memakinya.“Nggak usah teriak-teriak juga, kali!” kata gue kesal.“Lo di mane nih?” tanya Hafis.“Masih di kantor gue cuy!” sahut gue.“Are you kidding me? Lo izin setengah hari?”“Iyap! Gue nggak mau rugi, man! Penerbangan kita kan masih jam 7 malem. Nanti istirahat makan siang gue balik kosan dulu, ganti baju terus ke apartemen lo.”“Ya udah, pokoknya jam 4 sore kita berangkat ya dari apartemen. Kalo lo telat dikit, gue tinggal. Ngerti lo?”“Iya, iya, tenang aja!”“Oke deh, gue udahan ya! Mau nelepon yang lain.”“Siap.”Gue kadang geli sama sifat perfeksionisnya Hafis. Kaya kalau kita mau trip bareng-bareng kaya gini, pasti kita ak
Gebrakan pertama yang dibuat HRD adalah mereka membuat HRD Socialization Day setiap satu bulan sekali. Makin padat nggak tuh jadwal gue di kantor. Ada Sales Monthly Meeting, ada Quarterly Meeting dan kali ini ada HRD Socialization Day yang diprakarsai Bu Sylvi lewat email blast-nya hari ini. Gue yang lagi kelar meeting bareng Yudha dan Ronald langsung mengeluh saat mengecek email itu dari hp kami. Tentu saja bagi kami yang mirip sebagai pekerja lapangan itu cukup memberatkan.“Gue udah dapet mandat nih di group WA, kalau dari divisi gue, digilirin aja jadwal yang ikut sosialisasi itu. Kan lo tahu anak engineer sebanyak apa, jadi kaya dibagi dua orang per sesi. Bagus deh jadinya adil. Kalo yang nggak bisa dateng boleh tukeran jadwal sama yang belum pernah dateng,” kata Ronald sambil menunjukkan WA grupnya.“Beneran tuh?” sahut Yudha.“Beneran, makanya kalo punya grup WA dibaca dong, bro!” sahut Ronald.“Bukannya gi
Awal bulan Juni tahun 2019 bertepatan dengan libur panjang Hari Raya Idul Fitri 2019. Tentu saja kantor gue baru officially masuk di tanggal 10 Juni. Trip gue bareng geng Sableng harus diundur hingga bulan depan. Gue enggak enak sama mereka sebenarnya, cuma mengingat seharusnya Bu Sylvi, pengganti Direktur HRD sudah datang, dan cuti gue bisa disapprove. Lagian nggak cuma gue yang mengalami hal yang sama. Untuk cuti lebaran semuanya sudah approve kecuali cuti harian, semuanya masih menunggu approval HRD.Ada opsi lain. Pak Vino udah nawarin ke kami semua kalau mau cuti, cuti aja izin ke dia, nanti dia catetin, sambil nunggu sistem beres. Kalau udah beres, dia akan minta HRD input semua kuota cuti yang terpakai. Cuma kaya ribet aja harus laporan dulu ke dia. Pasti gue harus ngejelasin mau ke mana. Mana kontrak kerja gue ditangguhkan lagi. Ini kejadian yang persis sama kaya waktu Nana dulu. Bedanya kalau dulu ngebenerin sistem, kalau sekarang nggak ada yang approve sistemnya. Ja
Selama menunggu pengganti resmi, Bu Nami membantu beberapa pekerjaan HRD. Misalnya untuk review kebijakan baru, review cuti, review sistem dan lain-lain, namun bukan sebagai final approval. Dia mencatat banyak hal, untuk dilaporkan kepada Pak Jaya. Seperti biasa, sistem karyawan milik gue belum bener. Alamat trip sama geng Sableng bakalan diundur. Untungnya mereka bisa ngerti dan menunggu sinyal oke dari gue.Beberapa pekerjaan gue sebagai sidekick sudah banyak berkurang, dulu seminggu sekali pasti ada job, sekarang, bisa 2 sampai 3 minggu sekali, itu pun cuma ngecekin SOP-SOP baru doang udah sampai proses apa. Dari situ gue banyak tahu, beberapa alur proses ada yang diubah sedikit, adapula yang dirombak abis-abisan. Terutama soal budget entertainment ke customer. Bahkan terang-terangan ditulis, perwakilan kantor gue yang biasanya 2-3 orang, dibatasi hanya 1 orang aja. Kalaupun nambah, FA berhak nggak approved sisanya. Hal ini dikecualikan jika gue udah kasih proposal di awal
Gue kaget setengah mati saat Sania dan Rahma memberitahu bahwa hari itu adalah hari terakhir Bu Wanda bekerja bersama di kantor ini. Meskipun sebenarnya gue sudah mengira kejadian ini akan segera datang, tapi gue nggak menyangka bahwa hari itu adalah hari yang sudah gue prediksi selama ini. Wajah para bawahannya tampak sedih. Karena bagaimanapun juga Bu Wanda sudah bergabung lama dengan perusahaan. Beberapa orang memberikan ucapan selamat dan menyalaminya dengan sopan. Meskipun akhir-akhir ini banyak tersulut emosi, Bu Wanda nyatanya tetap membagi-bagikan kue donat untuk dibagi-bagi ke seluruh divisi. Gue sendiri juga dapet bagian. Lumayan snack time di sore hari. Beberapa orang berkerumun untuk ngajak foto farewell. Tentu saja gue enggak ikutan atau sedikitpun tertarik. Sania dan Rahma nggak mau ketinggalan. Sepertinya banyak yang ingin foto bareng sama beliau untuk terakhir kali. Namun hal itu nggak membuat gue berkeinginan yang sama. Gue sendiri belum genap 1 tahu
Seharusnya udah musim kemarau, tapi bulan April itu gue disambut hujan deras di awal bulan. Banyak yang masih bertahan di kantor karena nggak menyangka hujan akan turun sederas itu. Biasanya bulan April bakalan jadi sisa-sisa musim penghujan. Namun nyatanya, hujan masih sederas bulan Desember dan Januari. Gue yang mau pulang akhirnya mengurungkan niat dan mengajak Anwar buat main PS di lounge.“Nggak berani gue, Kak!” sahut Anwar sambil mengeluarkan hpnya dengan niat main game online sambil menungggu hujan.“Kan udah selesai jam kerja, dodol!” timpal gue kesal.“Boleh kali, War, main PS, orang disediain juga! Gue liat-liat lo sekarang jiper amat! Biasanya juga seenaknya lo!” ledek Sania.Anwar menarik napas.“Ya udah ayok, tapi bentar aja ya, gue mau nerobos hujan aja. Mau pulang cepet, nyokap masak opor ayam kesukaan gue nih!” sahut Anwar dan mengikuti gue menuju ke lounge.Untungnya di sana t