Setiap kali keduanya berpindah tempat dalam perkelahian mereka, setiap kali itu pula Puti Bungo Satangkai mengikuti. Tujuannya hanya satu, mengamati setiap gerakan kedua sesepuh itu agar kemampuan dan kesaktian yang telah ia warisi bisa mencapai tahap seperti keduanya.
Permukaan air laut di sekitar mereka membuncah seiring pergerakan silat keduanya, seolah-olah permukaan air adalah sesuatu yang padat bagi kaki-kaki mereka sehingga dengan mudahnya mereka bergerak bebas dalam melakukan serangan demi serangan.
Pertarungan di antara pasangan suami-istri itu terus terjadi, dari pagi hingga rembang petang. Dan selama itu pula Puti Bungo Satangkai setia mengawasi keduanya.
Tidak ada keletihan yang terlihat oleh sang dara pada kedua sesepuh tersebut, tidak pula masing-masing mau mengalah—setidaknya, menghentikan pertarungan itu sendiri. Atau mungkin beristirahat barang sejenak sebelum melanjutkan pertarungan mengingat keduanya sudah bertarung lebih dari setengah hari.
Ada kalanya Puti Bungo Satangkai yang menyaksikan pertarungan antar sosok berilmu tinggi itu justru melihat sepasang naga yang saling memperebutkan satu hal. Liukan tubuh mereka yang indah, atau semburan-semburan bernapas api yang saling bentrok dengan semburan bernapas es, lalu ledakan-ledakan yang tercipta menghasilkan serpihan-serpihan halus yang berkilauan laksana serpihan kristal yang disinari cahaya mentari sore.
Pertarungan yang mengerikan namun sekaligus indah mengagumkan.
Pada satu kesempatan, dua naga itu saling melilit dengan disertai permukaan air laut yang membuncah hebat, dan satu deru angin yang luar biasa ganas membawa keduanya kembali ke daratan. Berputar-putar kencang laksana kitiran.
Dhummm…!
Untuk kali yang ketiga daratan pulau kecil itu bergetar ketika tubuh keduanya saling terpisah dan sama terhempas kencang ke bumi. Puti Bungo Satangkai bergegas menghampiri, berdiri tujuh langkah dari keduanya.
Kedua sesepuh itu dalam posisi duduk bersila di atas hamparan rumput.
‘Inyiak Mudo!’ sahut sang dara dengan gerakan isyarat tangannya, lalu ia berpaling pada wanita sepuh di samping kanannya. ‘Inyiak Gadih!’
“Tetap di tempatmu, Bungo!” teriak Inyiak Mudo seraya menyeka lelehan darah di sudut bibirnya.
Sang dara terpaksa tidak melanjutkan keinginannya untuk memeriksa pria sepuh itu dan juga istrinya.
Hal yang sama juga terjadi pada Sabai Nan Manih, dari sudut bibirnya mengalir darah kental. Ia menyeringai seraya menyeka lelehan darah itu.
“Kemampuanmu tidak berkurang sama sekali, hah, Tua Bangka!”
Inyiak Mudo tersenyum. “Kau juga sama, Sabai. Kesaktianmu semakin tinggi saja. Hmm, kau masih sanggup berdiri, Sayang?”
“Jangan meremehkanku, Akhirali!”
Inyiak Mudo terkekeh, ia tahu pasti bahwa sang istri tidak akan sanggup lagi untuk sekadar berdiri. Dan hal itu pun sama dengan yang terjadi pada dirinya sendiri. Paling tidak, tidak sebelum mereka sama-sama menenangkan aliran energi yang berkecamuk di dalam diri masing-masing.
“Tapi…” Inyiak Mudo menyembunyikan senyumnya.
Ia sadar, kali ini sang istri tidak akan bisa dihentikan sebagaimana dengan pertarungan mereka di tahun-tahun sebelumnya. Untuk itulah, Inyiak Mudo merencanakan sesuatu yang dapat menghasut ego istrinya tersebut.
“Kurasa, sampai kapanpun, kau tidak akan sanggup melampauiku, Sabai, alih-alih hendak membunuhku.”
“Jangan besar kepala kau, Tua Bangka!” sahut Inyiak Gadih. “Aku sepuluh kali lebih baik darimu!”
“Benarkah?” Inyiak Mudo semakin tersenyum senang. Kepribadian istrinya yang satu ini memang paling mudah untuk dipancing, akan berbeda jauh bila pribadi yang sebenarnya yang muncul. “Kurasa, kau hanya mengada-ada saja.”
“Aku akan membuktikan jika aku lebih baik darimu! Hari ini juga kau akan mati di tanganku, Akhirali!”
Inyiak Mudo terkekeh-kekeh. “Bagaimana bisa kau hendak membunuhku, Sayangku, Sedangkan kau hanya bisa bersila seperti itu saja?”
“Kau—” Inyiak Gadih memandang begitu geram pada sang suami yang sebenarnya hanya dua jangkauan tangan saja darinya.
“Begini saja,” ucap Inyiak Mudo. “Mari kita buktikan siapa yang terbaik di antara kita berdua.”
“Cih!” Inyiak Gadih meludah, ludah yang bercampur darah.
“Bukankah kau hendak membunuhku?”
“Tentu saja, demi membayar nyawa putriku!”
Pria sepuh kembali tersenyum diiringi helaan napas yang panjang. “Kita gunakan saja gadis bisu itu sebagai wadah bagi pertarungan kita. Bagaimana menurutmu?”
Tatapan Inyiak Gadih tertuju pada Puti Bungo Satangkai. “Kau hanya akan membahayakan nyawa orang yang tidak berdosa, Tua Bangka!”
Pria sepuh terkekeh menganguk-angguk. “Tidak, Sabai, tidak. Di situlah letak penentunya.”
“Apa maksudmu?”
“Kalau kau mengakibatkan gadis itu sampai tewas, berarti kau tidak ada apa-apanya, dan jangan harap akan bisa membunuhku!”
“Bagaimana jika ternyata kau yang justru membunuh gadis itu, hah?”
“Maka, aku akan diam saja ketika kau menggunakan Telapak Penghancur Ragamu ke tubuhku.”
Untuk sesaat Sabai Nan Manih memikirkan ucapan suaminya itu, tatapannya yang begitu tajam seolah mencari-cari kebenaran di wajah sang suami.
“Kupenuhi tantanganmu!” ucap wanita sepuh seraya mengentakkan satu tangannya ke arah Puti Bungo Satangkai.
Sang dara terkesiap, ia merasakan tarikan yang begitu kuat yang memaksa tubuhnya melayang mendekati Sabai Nan Manih.
“Ke sini kau, gadis manis!” ucap wanita sepuh.
Seiring kedua tangannya membuat gerakan memutar sedemikian rupa, seiring itu pula tubuh Puti Bungo Satangkai berputar-putar. Lalu, dibantu pula dengan gerakan kedua tangan dari Inyiak Mudo yang mengimbangi agar gadis tersebut tidak sampai terhempas ke bumi.
Plekh!
Teph—teph!
Puti Bungo Satangkai terduduk dengan bersila menghadap ke arah pantai. Dua tangannya sama mengembang ke samping, dipaksa oleh dua kekuatan dahsyat kedua sepuh. Telapak tangan kiri sang gadis menempel dengan telapak tangan kanan Sabai Nan Manih, sedangkan telapak tangan kanannya menempel dengan telapak tangan kanan Inyiak Mudo.
Sang dara ingin protes pada kedua sesepuh itu yang menjadikan tubuhnya sebagai sarana dalam mereka mengadu kesaktian. Hanya saja, ia yang bisu menyebabkan suara yang keluar dari mulutnya hanya berupa ha-hu ha-hu saja. Sementara, ia seolah kehilangan kendali atas kedua tangannya sendiri.“Tenangkan dirimu!” ucap Inyiak Mudo terhadap Puti Bungo Satangkai. “Kosongkan pikiran. Jangan memikirkan tentang apa pun, Bungo!”Bersamaan dengan berakhirnya ucapan Inyiak Mudo, ia lantas menyalurkan tenaga dalamnya ke dalam tubuh sang dara dengan kekuatan penuh. Dan hal tersebut bersamaan dengan Sabai Nan Manih yang juga melakukan hal yang sama dengan Inyiak Mudo.Dalam keadaan tidak tahu apa-apa dan tiba-tiba terseret menjadi sarana bagi kedua sesepuh itu, Puti Bungo Satangkai dengan cepat melakukan apa yang dikatakan oleh Inyiak Mudo, meskipun harus dengan sedikit kesulitan.Sang gadis mengernyit hebat dengan mata terpejam, hanya dalam hitungan detik keringat sebesar bulir-bulir padi telah muncul
Sang dara membuka mata setelah ia menenangkan diri dan menenangkan dua tenaga dalam yang sebelumnya berkecamuk di dalam dirinya. Ia menemukan bahwa Inyiak Mudo sedang menatap kepada Inyiak Gadih, pun begitu sebaliknya.“Sabai, istriku…” ucap Inyiak Mudo dengan begitu lirih dan lelehan darah dari sudut bibir, juga dari dua lubang hidung.“Suamiku…” sahut Inyiak Gadih dengan kondisi nyaris serupa.Dan detik selanjutnya, kedua sesepuh itu sama hening dengan kepala terkulai, menekuk. Namun yang pasti, Puti Bungo Satangkai sama menemukan satu senyuman di bibir kedua sesepuh tersebut.Ia segera bangkit, dan mendekati Inyiak Gadih, mencoba mencari tahu apakah wanita sepuh itu hanya pingsan saja, atau justru telah meninggal dunia.Meskipun tubuh wanita sepuh itu masih terasa hangat bagi Puti Bungo Satangkai, namun ia tidak menemukan denyut kehidupan pada nadi di pergelangan tangannya, tidak pula di lehernya. Sang dara memastikan sekali lagi dengan mencoba merasakan embusan napas di sekitar lu
Diilhami oleh pertarungan Inyiak Mudo dengan Inyiak Gadih, dan perkelahian yang saling melilit kedua belut moray itu, Puti Bungo Satangkai menggabungkan beberapa unsur dari empat jenis kesaktian yang telah ia kuasai.Selama tujuh purnama ke depan, hal baru itulah yang coba dikembangkan dan dikuasai oleh sang dara.Puti Bungo Satangkai mungkin tidak akan pernah tahu siapa orang tuanya, namun, sebagaimana dengan kakak laki-lakinya yang juga tidak pernah ia ketahui ada—Buyung Kacinduan alias Mantiko Sati, sang dara juga mewarisi kejeniusan ayahnya—Sialang Babega. Juga, kecantikan dari ibunya, Zuraya. Ditambah, bekal yang sudah ditunjukajarkan oleh Inyiak Mudo dan Inyiak Gadih selama ini, jadilah sang dara berhasil menciptakan kesaktian yang benar-benar baru.Gerakan-gerakan tubuh sang gadis dalam rentak jurus silatnya itu terlihat seperti seorang yang sedang menari dengan gemulai, tiada kesan kekerasan sama sekali dalam gerakannya itu. Hanya saja, setiap gerakan tangan, kaki, bahkan sepa
Di atas sampan kecil milik mendiang Inyiak Mudo, Puti Bungo Satangkai berdiri menatap ke arah Pulau Sinaka yang semakin jauh dan semakin jauh ia tinggalkan. Air matanya telah berlinang semenjak ia meninggalkan tepian pantai tadi.‘Selamat tinggal, Inyiak Mudo, Inyiak Gadih, aku memulai langkahku sendiri di kehidupan yang lebih nyata. Aku akan selalu mengingat Inyiak berdua, mengingat semua pesan dan nasihat kalian…’Sampan kecil terus bergerak ke arah timur, ke pulau besar bernama Andalas. Di mana, di sanalah nanti perjalanan yang sesungguhnya dari Puti Bungo Satangkai akan bermula.Mengandalkan ingatan dan jalur yang biasa dilalui oleh Inyiak Mudo sebelum-sebelum ini, Puti Bungo Satangkai mengambil jalur yang sama pula. Ia juga melabuhkan sampannya berjauhan dari keramaian Bandar Bangkahulu.Tapi di titik itu kini juga telah ramai. Titik di mana sering digunakan Inyiak Mudo untuk menambatkan sampannya di masa-masa yang lalu. Sehingga ketika gadis jelita itu menepikan sampannya, ia me
Pada masa itu, Kerajaan Minanga masih dipimpin oleh si Kuciang Ameh yang bergelar Rajo Bungsu yang sudah berusia 60 tahun. Permaisurinya adalah Upik Andam—48 tahun, yang bergelar Ratu Nan Sabatang sebab ia adalah anak tunggal dalam keluarganya. Tiga belas tahun kepemimpinan Rajo Bungsu di Istana Minanga, kondisi kehidupan rakyat telah jauh lebih baik daripada sebelumnya. Keberadaan Ratu Mudo alias Puti Pandan Sahalai semenjak menikah dengan Buyung Kacinduaan alias Mantiko sati, dan setelah menyerahkan tampuk kekuasaan pada si Kuciang Ameh, tidak lagi diketahui. Pasangan suami-istri muda itu menghilang tanpa jejak seolah ditelan oleh bumi. Beberapa kali Rajo Bungsu mencoba mengutus orang-orang istana guna menyambung tali persaudaraan di antara mereka, namun selalu berakhir dengan kegagalan. Tapi paling tidak, Rajo Bungsu yakin bahwa kemenakannya si Puti Pandan Sahalai itu berada di tangan yang aman, Mantiko Sati bukanlah pemuda sembarangan. Ia pendekar yang berilmu tinggi dan sangat
Perampok itu terpelanting beberapa langkah ke belakang, terhempas dengan posisi berlutut. Untuk sesaat, ia seperti mampu menahan serangan tak berwujud tersebut. Detik selanjutnya, ia mengernyit, mengerang seperti orang yang benar-benar dalam kesakitan, lalu muntah darah, dan tumbang dengan tertelungkup di tanah.“Keparat…!” maki perampok ketiga, ia dan perampok keempat bersiaga dengan senjata masing-masing di tangan meski setengah ke bawah tubuh mereka sama-sama telanjang.Sementara itu, gadis yang menjadi korban pemerkosaan keempat perampok itu bangkit dan beringsut menjauh dengan cepat, ia meraih pakaiannya yang telah robek-robek hanya demi menutupi dua bagian pribadi di tubuhnya.Dan ketika perampok kedua itu terhempas, hanya sekitar tiga langkah saja dari posisinya kini, ia terperanjat, dan menggigil ketakutan.Masalahnya, gadis itu bukanlah seorang yang mengerti silat dan kesaktian. Dengan kata lain, ia juga tidak melihat siapa yang menyerang perampok-perampok tersebut. Janganka
“T—Tidak, jangan mendekat,” lalu sang gadis menjatuhkan diri, bersujud ke tanah, kepada Puti Bungo Satangkai. “Saya mohon. Saya tidak bersalah, o—orang-orang jahat itulah yang telah melakukan keburukan di kawasan ini. M—Mereka memperkosa—”Sang gadis terdiam sebab pada saat itu Puti Bungo Satangkai berjongkok di hadapannya, menyentuh bahunya dengan lembut, dan tersenyum manis seolah menawarkan persahabatan, bukan ketakutan.“U—Uni,” ujar sang gadis, “b—bukan Sibunian?”Puti Bungo Satangkai menggeleng dengan senyuman.“Bukan h—hantu?”Kembali ia menggeleng.Meskipun dalam hal usia Puti Bungo Satangkai mungkin memang lebih tua daripada gadis di hadapannya itu, namun soal wajah dan penampilan, Puti Bungo Satangkai justru terlihat jauh lebih muda.Namun begitu, gadis tersebut sengaja memanggil orang yang telah menyelamatkannya itu dengan kata Uni hanya sebagai tanda menghormati saja.Si gadis bisu melirik ke samping si perampok kedua yang tertelungkup di samping kanannya. Ia lantas membet
Tidak berapa lama, mereka sampai di depan sebuah gubuk yang dinding-dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Gubuk itu tidak besar, dan seperti sebuah rumah panggung, ciri khas masyarakat Minanga pada saat itu.“Ini rumahku,” ujar Sarah seraya mengajak Puti Bungo Satangkai untuk memasuki gubuk tersebut.“Siapa yang kau bawa bersamamu itu,” satu suara terdengar dari arah samping kanan gubuk. “Sarah?”“Mak Uncu,” ujar Sarah. “Ini, Bungo. Tadi, dia telah menyelamatkanku.”“Menyelamatkanmu?” pria sepantaran 40 tahun dengan tubuh sedikit kurus itu mengernyit. “Apa yang terjadi?”Di tangannya, pria yang dipanggil Mak Uncu oleh Sarah tersebut membawa sebuah bungkusan dari daun pisang, dan sebilah cangkul bergagang pendek di tangan lainnya. Ia hanya mengenakan celana komprang usang sebetis itu saja, tanpa ada pakaian lain di bagian atas. Dan sebuah ikat kepala yang juga usang di keningnya.Wajah, tangan, dan kakinya terlihat basah yang menandakan ia baru saja membersihkan anggota tubuhnya terse