Persimpangan yang dimaksudkan oleh Sarah tadi tidaklah dekat, tapi itu tidak masalah bagi Puti Bungo Satangkai. Lagi pula, jalan setapak itu sangat-sangat sepi dengan kondisi hutan lebat di kiri dan kanan. Bahkan, semenjak tadi, ia tidak melihat seorang pun di jalan setapak tersebut.Bungo juga tidak merasa bahwa Sarah telah membohonginya atau menjebaknya demi satu dan lain kepentingan. Ia masih bisa melihat sang mentari di sisi kiri langit, yang berarti ia memang sedang menuju ke arah utara.Setelah jauh berjalan, Bungo akhirnya tiba di persimpangan yang dimaksudkan oleh Sarah sebelumnya. Ia menghela napas, melirik ke kiri, lalu ke kanan. Kondisi jalan tanah itu sama saja, seperti jalan setapak yang nyaris tidak pernah dilalui orang.Paling tidak, sang gadis meyakini hal ini sebab tidak banyak rumah penduduk yang bisa ia lihat sepanjang perjalanannya barusan. Terhitung hanya tiga rumah—itu pun sudah termasuk dengan gubuk milik Sarah dan pamannya itu.Setelah menimbang-nimbang untuk s
Ayah dan anak itu masing-masing membawa sebilah parang, sebuah suluh dari daun kelapa kering sebagai penerangan mereka, dan di punggung sang anak, ia membawa sebuah keranjang rotan yang cukup besar.“Mari,” ajak si pria 50 tahun kepada Bungo. “Kami pun kebetulan sudah selesai mencari lauk.”Sang pemuda pun mengangguk tersenyum kepada Bungo.Setelah itu, Bungo mengikuti langkah ayah dan anak tersebut. Melihat dari apa yang mereka bawa, Bungo cukup yakin bahwa keduanya sebelumnya tengah mencari ikan atau juga belut di aliran air itu tadi.Di dalam keranjang rotan di punggung sang pemuda, Bungo dapat melihat beberapa ekor ikan dan belut, juga seikat besar kangkung. Ia tersenyum, lebih kepada menghargai kebersamaan ayah dan anak tersebut. Hal ini membuatnya mengingat bahwa ia tidak seberuntung itu. Tidak mengetahui siapa ayah dan siapa ibunya. Kecuali, Inyiak Mudo dan Inyiak Gadih saja.Setelah melewati pepohonan yang rimbun di sisi timur, mereka tiba di satu kawasan yang lumayan terbuka.
‘Tapi saya harus melakukan ini,’ kata Puti Bungo Satangkai dengan bahasa isyarat tangannya, dan ia tetap tersenyum dalam melakukan itu.Halimah cukup tersentuh dengan tekad si gadis bisu itu, pasti ada alasan kuat di balik keteguhannya itu, pikirnya. Ia mengusap kepalanya dengan lembut, bahunya, lalu ke punggungnya.“Apakah ini berhubungan dengan orang tuamu?” tanya Halimah. Ia tertawa halus demi menanggapi tatapan heran Bungo kepada dirinya. “Katakanlah,” ujar Halimah seraya menambahkan sepotong ikan ke piring Bungo, “naluri seorang ibu.”Bungo tersenyum. Yeah, pastinya seorang wanita, terlebih lagi seorang ibu seperti Halimah memiliki kepekaan tersendiri terhadap hubungan batin di antara seorang ibu kepada anaknya.“Jadi,” Husni menghela napas dalam-dalam, “engkau tidak hidup bersama orang tuamu, gadis manis?”Bungo menggeleng, dan masih dengan senyuman. Meskipun di mata Hasan dan adik-adiknya, Bungo terlihat sebagai seorang gadis berkekurangan yang sangat tegar, namun tidak bagi Hu
Kawanan itu berjumlah sekitar sepuluh orang dengan seorang pemimpinannya yang menunggang kuda putih. Sang pemimpin sendiri adalah seorang pria berbadan besar, berotot, namun hanya memiliki satu bola mata saja.Konon bola mata kanannya dicongkel oleh harimau gaib saat ia bertarung dengan harimau gaib tersebut, di salah satu hutan angker yang tidak seberapa jauh dari kawasan terpencil tersebut.“Kau!” tunjuk si pria di atas kuda hitam kepada Husni. “Kepala Dusun ini, apakah kau sudah mengumpulkan bayaran kami, hah?!”“Maafkan kami,” ujar Husni dengan menjura selayaknya kepada seorang raja. “Tapi, dalam tujuh purnama ini, kami mengalami gagal panen. Bahkan untuk makan pun kami kesulitan, Tuan.”Pria di atas kuda hitam itu menoleh kepada pimpinannya, ia melihat seringai sang pemimpin yang baginya itu adalah sebuah perintah.“Jangan mengada-ada!” teriak pria di atas kuda hitam kepada Husni.Teriakan yang menggelegar itu membuat para kepala keluarga itu mengkirik ketakutan, namun bagi Husni
“Tuan, ampuni kami!” jerit si kepala keluarga. “Jangan sakiti istri saya, Tuan!”“Lepaskan saya,” jerit sang istri. “Saya monon, Tuan, lepaskan saya!”Si pria mendorong sang wanita sepantaran 30 tahun itu hingga ia tersungkur dan terguling di tanah. Sang suami dengan cepat mendekati istrinya, memeluknya dengan sangat erat sementara dua anaknya yang masih kecil-kecil menjerit-jerit di dalam rumah.Sang wakil kawanan menyeringai, sembari mengusap-usap dagunya ia berkata pada pasangan suami-istri tersebut, “Kulihat-lihat, istrimu masih cukup muda!”“Tidak, Tuan,” tangis si suami yang berusia sekitar 40 tahunan. “Jangan sakiti kami, jangan sakiti istri saya, Tuan. Saya berjanji akan membayar lebih di tujuh purnama ke depan.”“Terlalu lama, bodoh!” hardik si wakil. “Seret paksa isrinya!”Satu anggota kawanan yang tadi mengangguk, lalu mendekati pasangan suami-istri tersebut. Ia dengan kasar menarik dan memisahkan sang istri dari tangan suaminya.“Tidak, Tuan, mohon ampuni kami!” teriak si
Sang pemimpin Kawanan Berbaju Hitam menggerakkan satu tangannya ke depan, sebuah isyarat pada kedelapan anak buahnya yang tersisa.Tujuh orang serentak bergerak, mengepung para kepala keluarga yang berlutut di tanah, bersama dengan seorang yang di atas kuda coklat sebelumnya.Pria di atas kuda itu menyeringai, tujuh rekannya telah menghunus senjata masing-masing.“Siapa pun kau,” ujarnya dengan suara lantang, “jika tidak memperlihatkan dirimu sekarang juga, para penduduk ini akan kami bantai!”‘Bajingan!’ Puti Bungo Satangkai mendelik berang. Bahkan ada kilatan aneh pada bola matanya yang tertuju kepada si pria di atas kuda coklat itu.Bungo tidak bisa tinggal diam begitu saja, ia memutar otak untuk dapat menyelamatkan para kepala keluarga tersebut.Saat ia menoleh ke arah bawah, ia melihat sebuah caping, ia tersenyum. Caping itu mungkin akan sangat berguna menutupi wajahnya.Dengan gerakan yang sangat ringan, Bungo turun dari atap rumah penduduk tanpa mengeluarkan suara. Ia merapatka
“Hei!” teriak si tangan kanan sembari menodongkan senjatanya ke arah Puti Bungo Satangkai. “Cepat beri tahu kami, siapa nama dan gelarmu agar mudah bagi kami membuatkan nama di nisanmu!”Bungo menyeringai halus. ‘Baik sekali kalian, sampai-sampai akan membuatkan nisan untukku!’Tapi tetap saja, Bungo tidak akan menggubris berbagai pertanyaan dari orang-orang tersebut. Dan ya, ia berhasil memancing emosi mereka.“Keparat!” si tangan kanan kembali bergerak, menyerang Bungo. “Meskipun kau seorang wanita, aku tidak akan segan-segan untuk membunuhmu!”Ia melompat tinggi, berputar sedemikian rupa sehingga tubuhnya terlihat seperti sebuah gasing. Tentu saja, bukan sembarang gasing, sebab ia memegang sebilah pedang lebar yang sewaktu-waktu dapat mencacah tubuh lawannya.Hanya saja, yang di lawan si tangan kanan itu bukanl pula seorang gadis biasa. Meskipun pengalamannya belumlah banyak dalam hal bertarung yang sesungguhnya, namun dengan sikap tenangnya itu, Bungo mampu memanfaatkan keadaan de
Sebab yang satu itu terlihat sudah ketakutan, Bungo pun bergerak cepat untuk menjatuhkan tiga lainnya.“B—Bunian!” tiba-tiba si pria yang terkencing di dalam celana itu berteriak, ia bangkit duduk dengan cepat. Bola matanya membesar, lalu melirik kepada pimpinannya. “Si—Sibunian! Dialah yang telah menghajar kami pagi tadi, Anta!”Sang pimpinan mengernyit, tatapannya tertuju kepada anak buahnya itu, lalu kepada Puti Bungo Satangkai yang lagi-lagi telah berhasil membuat dua anak buahnya yang lain terkapar dengan mudahnya.“Sibunian?” ulang sang pimpinan yang bernama asli Antaguna.“Benar!” ujar si pria yang masih menjeplok di tanah. “Dialah yang telah menggagalkan aksi kami pagi tadi!”Bungo menyeringai. ‘Jadi kau salah satu dari empat penjahat yang pagi tadi memperkosa Sarah? Begitu, ya?’Ini kesempatan yang baik untuk memberikan satu pelajaran berharga lainnya kepada pria tersebut. Setidaknya, itulah yang dipikirkan oleh Bungo. Padahal, pagi tadi ia sengaja tidak membunuhnya, tentu sa
Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis
Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan
‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak
Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i
Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l
Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha
Pria rupawan mengernyit. Dia berhenti tepat dua langkah di hadapan Antaguna.Sementara itu, Puti Bungo Satangkai pun akhirnya menghentikan serangannya sebab dihalangi oleh Antaguna yang berlutut di tengah-tengah di antara dia dan si pria rupawan.‘Apa yang kau lakukan?!’ Bungo menggerak-gerakkan tangannya.“Bungo, jangan teruskan!”“Tarigan!” Pria rupawan memandang si gadis bisu sebelum kembali pada Antaguna. “Apa maksud dari semua ini?”“Uda, kumohon!”“Berdirilah! Kau tahu aku benci seseorang yang berlutut di hadapan orang lainnya, bukan?”Antaguna mengangguk dan berdiri. Bungo menghampirinya dengan tatapan menuntut penjelasan lebih.“Siapa gadis ini, Tarigan?”“Uda …” Antaguna melirik pada Bungo dan mengangguk.Bungo mengernyit. ‘Apa artinya ini?’“Bungo,” ucap pria tinggi besar dan berotot dengan menggenggam tangan sang gadis. Lalu melirik pria rupawan yang juga memaksa sang gadis untuk menatap pria yang sama. “Dia, Uda Buyung. Abangmu, Bungo.”‘Kau bilang apa?’ Bungo membelalak.
Pria kurus tiba-tiba terdiam dan membelalak. “K-Kau, kau …”‘Tunggulah di sini. Aku akan menghajar orang yang telah melukaimu!’Dan Puti Bungo Satangkai lantas menyerang si pria rupawan. Sementara pria bernama Fèng itu hanya bisa termangu sembari mengusap lelehan darah di sudut bibirnya dengan punggung tangannya.Fèng adalah pria yang sama yang pernah dijumpai oleh Bungo di satu hutan lebat, di seberang sungai di mana si Simpai Gilo tinggal. Pria yang nyaris sepenuhnya menjadi gila itu akhirnya merelakan kematian istrinya setelah bertemu dengan si gadis bisu tersebut.Alasan Bungo ingin melindunginya sebab si Simpai Gilo sendiri sepertinya telah mengawasi Fèng sebelum kematiannya. Atau lebih tepatnya, menjaga Fèng dan rutin memberikannya makanan.Inilah yang diyakini oleh sang gadis sehingga dia menyerang si pria rupawan tanpa tahu duduk permasalahan di antara keduanya terlebih dahulu.“Hei, Nona. Kau tidak harus―”Tapi ucapan si pria rupawan tidak didengar oleh Bungo. Sang gadis tela
Pria rupawan berputar-putar cepat di udara. Di satu ketinggian, dia merentangkan tangan dan kakinya dengan tiba-tiba sehingga gerakan berputar tubuhnya terhenti. Lalu dia menukik ke arah si pria kurus dan pucat.Pria kurus mengibaskan pedangnya ke samping.Swiing!Dan seketika, bilah pedang merah seolah dibungkus oleh lidah api.“Apa pun jurusmu, aku sudah siap menahan itu!” ucapnya dengan sangat percaya diri.Pria rupawan tersenyum lagi. Selagi tubuhnya meluncur ke bawah, dia melenting ke belakang, berjumpalitan sekali, lalu menukik lagi dengan lebih cepat.Pada satu ketinggian yang ia rasa pas, pria rupawan lantas menghantamkan cakar tangan kanannya ke arah si pria pucat di bawah.“Terima seranganku, kawan, Auman Membuncah Samudra!”“Serang aku!” teriak si pria kurus pucat.Swoosh!Lagi-lagi gelombang angin yang dahsyat disertai kilat-kilat kecil kebiru-biruan menderu dari cakar si pria rupawan. Bahkan, suara bergaung yang menyertai serangan itu sendiri laksana auman seekor harimau