Raynar Syaron berjalan menyusuri koridor panjang istana menuju aula utama. Sepatunya berbunyi 'tuk tuk' tergesa diatas lantai es yang memantulkan gema di sepanjang dinding, jubah putih yang ditahan dua buah permata biru di bahunya tampak berdesir saat kaki itu melangkah, pakaian kebesaran kerajaan yang berwarna putih biru melekat dengan sangat pas ditubuhnya yang tegap.
Lelaki itu melangkah mantap, lalu mendorong pintu tinggi aula utama dengan kedua tangan, menatap seorang pria paruh baya yang duduk di singgasana di seberang ruangan, sang raja negeri Maheswara.
"Anakku" sang raja memanggil Raynar dengan nada girang yang dibuat-buat sambil merentangkan tangan untuk menyambut kedatangan anaknya, "Kemarilah, nak. Kau sudah tau kita akan kedatangan tamu. Cepat. Cepat!"
Sang pangeran memutar bola mata sebal, namun tetap melangkah dan berhenti di depan singgasana ayahnya, membiarkan pelayan pribad
Seperti biasa, Raynar akan bangun saat para pelayan mulai berdatangan ke kamarnya, lalu dia dilayani oleh puluhan pelayan untuk mempersiapkan diri setiap harinya, sesudahnya Raynar dalam tampilan rapihnya, beranjak pergi ke istana ibunda untuk memberikan salam sebagai rutinitas paginyapermaisuri dalam balutan busana megahnya duduk di atas singgasana, dikipasi dan disuguhi buah-buahan oleh para dayang, "Salam kepada rembulan kerajaan, ibu.""Kemarilah, nak. " panggilnya dengan melambai kepada anak tunggalnya, gerakan itu menghasilkan bunyi gemericik dari perhiasan-perhiasan emas yang dikenakannya."kenapa ibu terlihat lesu, apa ibu sedang sakit?." Raynar meletakkan telapak tangannya di atas kening sang bunda, memeriksa suhu badannya. "Tidak nak, ibu hanya kurang enak badan." sanggah permaisuri, tak ingin membuat anaknya khawatir.Setelah para dayang pergi meninggalkan mereka berdua, Permaisuri menggengam tangan Raynar lantas bertanya, "Jadi bagaiman
"Kakak, kenapa kau lama sekali..." Seorang gadis tengah duduk menyadar ke sebuah pohon besar yang tersembunyi, dirinya terlihat kesal lantaran sudah cukup lama menunggu sang kakak.Seharusnya acara perundingan itu sudah selesai dari sepuluh menit yang lalu, tapi batang hidung orang yang ditunggunya masih belum terlihat juga.Gaun sutra berwarna krem dan sepatu senada yang dikenakannya terlihat basah juga kotor, akibat terkena cipratan lumpur dari hentakan kakinya, begitupun tangannya juga terlumuri noda kecoklatan tanah yang sedari tadi di main-mainkannya untuk mengusir kebosanan.Terdengar suara langkah kaki mendekat, karena kondisi khusus yang dimiliki Zea, dia tidak bisa bertemu dengan sembarangan orang. Lantas segera menyembunyikan diri di balik pepohonan besar.Sinar matahari yang tertutupi oleh pepohonan rindang di sekitar menghasilkan cahaya teduh remang-remang sehingga membuat penglihatan putri Zea tidak terlalu terfokus. Dari kejauh
"Ada apa guru?," Wirya memandang bingung tingkah Arga, sang guru sedang mengendus telapak tangannya yang terkena air minum tadi. "Ada racun."Pekerjaan para pelayan terhenti ketika mendengar pernyataan yang di ucapkan Arga. Mereka berbisik-bisik kepada satu sama lain, memperdebatkan kebenaran informasi tersebut, membuat ruangan menjadi gaduh.Wirya segera mengusir mereka dari kamar, menghindari keributan yang akan menganggu waktu istirahat sang bunda. Lalu hanya menyisakan dirinya, Arga dan putri Clamire."Apa anda ingat pangeran dari mana air itu berasal?." lanjut Arga masih memperhatikan liquid tadi. "Wirya kurang tahu guru, karena air itu sudah ada dari pagi tadi." Pangeran Ke-7 itu mendekati Arga melihat hal yang sama. Namun dia tidak merasakan sesuatu yang salah dari air itu, semuanya tampak terlihat normal. "Jika dugaanku benar, ini ada sangkut pautnya dengan semakin parahnya penyakit putri Clamire." Arga mengeluarkan serbet dari saku, la
"Apakah anda yakin?." Tanya Arga memastikan.Tanpa ragu Clamire mengangguk, "Mengingat kondisi saat ini, waktu saya tidak tersisa banyak. Saya memberitahukan semua ini kepada tuan agar nantinya Wirya tidak bersedih saat kepergian saya. Penilaian saya tidak pernah keliru, saya tidak pernah seyakin ini dan semantap ini dengan keputusan saya." Teguh Clamire, matanya memancarkan keyakinan mendalam.Setelah Arga mendengarkan cerita sang putri sejenak, Sekarang semuanya menjadi jelas dan masuk akal, sedikit demi sedikit semua kejadian ini berhubungan, tiap-tiap benang petunjuk yang sudah di temukan, berakhir membawa Arga ke sebuah kesimpulan.Pemuda itu mengusap dagunya, "Berarti ini semua memanglah sudah di rencanakan." Gumamnya.•Dari arah pintu, Wirya tergesa-gesa memasuki ruangan "kalian tahu apa yang baru saja Wirya dapatkan." Tutur si pangeran.Sebelum melanjutkan, tak lupa Wirya terlebih d
Plakk, Plakkk "Argh!!." Suara erangan dan cambukan terdengar bersahut-sahutan dalam ruang interogasi yang berada di bawah tanah, tempat berlapisi besi itu sudah menjadi saksi bisu akan banyaknya penyiksaan yang telah di lakukan disana, itulah sebabnya ruangan ini terkesan gelap dan suram. Dua orang pria berpakaian serba hitam tengah terbelenggu dalam jeratan rantai dan borgol. Wajah mereka pucat, karena terus menerus memuntahkan darah akibat pukulan cambuk yang di terima. "Baiklah Jika kalian masih bersikeras tak ingin mengatakannya, maka aku terpaksa untuk mengeluarkan alat lainnya." Mahavir menghampiri lemari kayu di sudut ruangan, dia mengeluarkan tongkat bergerigi tajam, kemudian memanaskannya ke perapian. "Tenang saja, aku hanya akan mencetakkan ini ke bagian-bagian yang tertutupi baju, agar para tetua tidak menyadarinya." Tukas Mahavir, Seringai bengis menghiasi wajahnya yang tampan, Membuat para penyusup itu meneguk ludah,
Tak lama kemudian, ruangan di sebelah menjadi sunyi, suara wanita-wanita tadi sudah tak terdengar, mungkin mereka sudah meninggalkan ruangan.Matahari mulai meninggi, hari semakin siang, namun siluet Kastara belum juga terlihat. Arga mengetuk-ngetukkan jari ke meja, dia mulai khawatir.Tepukan di bahu menyadarkan Arga, segala pemikiran negatif yang sempat terlintas di benaknya telah sirna, lantaran orang yang sedari tadi di tunggu, sudah ada di depan mata."Maaf ya, tadi sempat tersesat...hehehe" Tawa Kastara canggung. Setelah pemuda itu mendudukan diri, dia kembali berbicara, "sebenarnya kedatanganku kemari ada hubungannya dengan racun antibiotik yang pernah kau suruh untuk diteliti." Kastara mengeluarkan botol kaca kecil, lalu menyodorkannya kepada Arga."Efek yang di hasilkan obat penawar itu belum maksimal, Kastara masih membutuhkan beberapa komposisi untuk membuatnya rampung, namun sangat sulit untuk membuat penawar itu dengan keter
Lalu hari-hari di istana berlalu dengan damai, hingga beberapa hari kemudian, "Arga!," Kastara berjalan melambai sembari mendekati Arga. "Terima kasih banyak Arga, berkat bantuanmu, Kastara berhasil di terima kerja di istana juga dalam bidang yang sesuai dengan keinginan Kastara, bagaimana menurutmu?," Ucapnya sembari berputar-putar memamerkan setelan jas laboratoriumnya. Sekarang Kastara sudah diterima menjadi bagian dari tim ilmuwan Kerajaan."Yah itu terlihat cocok untukmu, tapi jangan lupakan tujuan awal kita Kastara." Balas Arga mengingatkan.Kastara spontan mengangguk "tentu saja sobat."Tapi sesaat kemudian Kastara menjauhi Arga, dia menutup hidung, sembari mengipas, "kau habis dari mana Arga?, kenapa baumu sangat menyengat?." karena Kastara dan Arga adalah bagian Orang Darat yang memiliki ketajaman indra layaknya binatang, jadi hanya mereka yang bisa mencium bebauan itu. Sangat berbeda dengan Orang Negeri yang jika di hadapkan dengan ba
"Dia menjadi seperti ini, mungkin karena respons vasovagal yang di hasilkan, sehingga memicu penurunan detak jantung dan tekanan darah." Duga Kastara, mereka sekarang tengah berada di kamar Zea.Arga dengan perlahan menurunkan sang putri ke atas ranjangnya, "Namun kenapa dia menjadi pucat dan gemeteran, padahal luka yang di alaminya tidak cukup parah." Tanya pemuda itu."Jika dengan semua gejala yang di alaminya tadi, diagnosaku mengatakan, Putri Zea menderita tekanan mental yang berakibat pada kelainan syaraf." Tukas Kastara, sambil dengan telaten membaluti luka sang putri.Dalam tidurnya, Putri Glaciem itu bergerak-gerak gelisah, dahinya mengerut, serta alisnya menekuk dalam. "Sepertinya, Zea sedang bermimpi buruk."|Flashback On|Enam tahun yang lalu.Di dalam sebuah kamar paling cantik di Istana Glaciem, seorang gadis kecil berusia sembilan tahun sedang duduk di depan jendela ka
"Arga Giandra Bratajaya!." "Tuan Arga!." "Tuan Guru!." Teriakan demi teriakan terus terdengar saling sahut menyahut, menciptakan kebisangan dalam suatu lembah yang letaknya agak ke pedalaman, sehingga dulunya jarang terjamah oleh kumpulan manusia awam. Walau tenggorokan sudah terasa kering, dan suara mulai terdengar serak pun. upaya mereka belum juga terlihat tanda-tanda akan membuahkan hasil. Padahal seluruh Anggota prajurit, termasuk pimpinan jendral sudah menghabiskan waktu hampir seharian penuh untuk melakukan pencarian terhadap sang pimpinan. "Anda ada dimana, tuan Arga?." Seru Jendral lirih, Tak terbilang sudah berapa banyak pikiran yang tidak-tidak terus berseliwiran mengundang kecemasannya. Hingga Pergerakan kedua kakinya mulai melemah, sang pemilik tubuh dirasa tak mampu lagi meneruskan berjalannya. Walau lemah, dengan susah payah Jendral mencoba berpegangan pada tepian batang kayu didekat aliran, berusaha menahan bobot tubuhnya supaya tidak langsung meluncur jatuh. Na
Syrenka berusaha mati-matian menahan pergerakannya saat Arga berjalan mendekati tempat persembunyiannya. Nyawa Syrenka seakan ikut mengambang. Saat Arga sudah sampai tepat di depannya, keberadaan mereka berdua hanya terhalang oleh dinding batu karang saja saat ini. Hampir selangkah lagi, Arga tiba-tiba berhenti. pemuda itu menunduk, tangannya perlahan turun, lalu jemarinya menggapai sebatang tangkai Anggrek berlian dan lantas mencabutnya. "Kurasa cuma bunga ini yang ukurannya paling besar." Gumam Arga sembari menyelipkan lagi bunga dengan bentukan spesial itu. Selanjutnya Arga lekas memutar arah, pemuda itu menelusuri lagi setiap bunga guna memastikan suoaya tak ada yang terlewat. sebelum pemuda itu memutuskan untuk meninggalkan ladang Anggrek Berlian itu, dan berenang pergi ke daratan. Sedangkan syrenka hanya bisa menatapi sosok yang mulai menghilang ke permukaan itu tanpa bergeming. Dia masih tidak bisa menyangka, jika baru saja berkesempatan untuk melihat orang yang dicintainya
Selepas mendapatkan pusaka, lantas semakin menyelam menuju ke kedalaman air. Arga sudah lama berubah pikiran, Alih-alih meminta kepunyaan milik Raja. Jika di berikan kesempatan. Walau harus mengeluarkan tenaga lebih, Arga lebih memilih mengandalkan kemampuannya untuk mengambil sendiri Anggrek Berlian itu. Karena perbandingan kualitas kesegaran Anggrek Berlian yang lama jauh berbeda di bandingkan dengan yang baru di petik. Di tambah alasan lain mengenai harga diri, ia tak sudi jika harus mendapatkan rasa iba dari Sang Raja berhati busuk itu. Arga yang sekarang sudah berubah total, dia tak sepolos dulu. Pastilah ada maksud tersembunyi, jika Arga meminta Anggrek Berlian kepadanya, dan Raja mau memberikan dengan gamplang kepunyaannya itu. Jadi Tentu saja, Arga harus memanfaatkan waktunya sekarang ini sebaik mungkin agar bisa mendapatkan obat untuk sang Ibunda. "Aku harus menemukan Anggrek Berlian itu!." Gumamnya penuh tekad. Tepat setelah Arga mengakhiri kalimatnya, pemuda itu mera
Beberapa saat Lalu... |Syrenka| Dulu Ayah sering menceritakan banyak kisah mengenai legenda kaum kami. Ada satu kisah yang sangat membekas di ingatanku, yakni mengenai nasib hidup seorang putri duyung yang berakhir tragis. Karena dia berani menentang takdir, jatuh cinta dengan bangsa manusia. Setelah berkorban banyak, hingga akhirnya harus menukar suaranya yang indah dengan sepasang kaki. Ia malah harus melihat orang yang ia cintai menikah dengan orang lain. Merasa Putus asa ia pun memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan melompat ke laut. Dan detik berikutnya... Ia menjadi buih. Begitulah kisah cinta melegenda para duyung yang sewaktu kecil pernah sangat aku sukai. Dulu aku sangat ingin mencoba bagaimana rasanya jatuh cinta itu. Dan kini walau dengan versi agak berbeda, berkat tak sengaja menyelamatkan seorang pemuda, diriku mulai merasakan jatuh cinta itu. Bahagia saat memikirkannya, Berdebar-debar setiap kali di dekatnya, Tersipu malu saat di perhatikannya. Perasaan seder
|Pararryon| Aku pandangi seonggok tubuh tak berdaya yang tergeletak di depanku, sudah hampir seharian kondisi Asrai belum juga ada kemajuan. Aku sudah memberikannya perawatan terbaik semampuku. "Teman terbaik... sangat susah untuk ditemukan, sukar untuk di tinggalkan, dan sulit untuk dilupakan." Aku mengedarkan pandangan berusaha mencari dari mana asal suara itu berasal. Tapi tak kutemukan siapapun, yang aku dapat hanya kehampaan. Hingga kenyataan, kembali menyadarkanku. Suara itu hanyalah bekas kenangan yang merambat keluar dari memori lamaku. Entah kenapa, dalam keadaan seperti ini. aku malah teringat akan Kata-kata polos Asrai di waktu dulu. Hatiku bergejolak, aku merasakan seperti ada sesuatu mendorong untuk keluar dari kedua mataku yang mulai memanas. Mungkin beginilah rasa kesedihan yang biasanya muncul pada diri manusia yang putus asa dan kecewa. Aku baru tahu, jika rasa kesedihan itu bisa sampai membuat perasaanku semenderita ini. Andai saja, dengan penderitaan i
Sejak dahulu kala, Tuhan sudah mengatur segalanya dengan penuh keseimbangan. Begitupun dengan makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Tak ada yang berakhir sia-sia. Semuanya diberikan kelebihan, namun juga tak luput dari kekurangan. Itulah sebabnya, kita akan saling membutuhkan, saling berpasangan, saling bantu bahu- membahu, juga saling menguntungkan. Begitu juga dengan benda-benda yang tak bernyawa, masing-masing dari mereka yang memiliki manfaat, juga pasti memiliki kemudaratan. Itulah konsep keseimbangan. Hingga suatu masa, keseimbangan itu pernah hampir musnah. Pada zamannya, Alam semesta pernah berada di saat-saat tergelap dan tersuram.Semua hal itu semata-mata, disebabkan karena rasa keserakahan manusia. Awalnya semuanya berjalan dengan semestinya di dukung dengan ekosistem alam yang sempurna. Namun di antara sejuta keberadaan manusia berhati baik, pastilah ada satu manusia berhati licik. Perlahan Para manusia dengan kecerdasan mereka berlomba-lomba ingin mendominasi seisi dunia, bahk
"Bisa nanti saja bertanya nya?, selamatkan aku terlebih dulu." Jawabku ketus. Walau begitu, sebenarnya di dalam diri, hatiku ini tengah was-was. Sebab Ini kali pertamaku bertatapan langsung dan berani meminta tolong kepada manusia."Kau bisa bicara?!." Tukas anak itu, seraya memandangiku dengan tatapan terkejut, bercampur takjub seakan tak percaya.Aku mendengus, "Tentu saja, aku ini binatang suci tahu." Ucapku menyombong. Kau pasti tambah terkejut kan?. Ya, teruslah kagum padaku.•°Setelah berhasil melepaskan tandukku dengan jerih payah dan sedikit bantuan darinya. Anak itu tak langsung pulang, dia malah duduk di tepian sembari menyerangku dengan banyak pertanyaan."Oh, jadi tak sembarangan binatang bisa berbicara sepertimu ya?." Tanya anak itu lagi, matanya masih menatapku dengan berbinar-binar, seakan baru saja di pertemukan dengan sebuah benda langka yang jika di perhitungkan akan bernilai jutaan berlia
|Flashback On||Pararryon|Sebagai Satu-satunya hewan yang diberikan karunia untuk bisa berbicara dan memahami bahasa manusia. Tak banyak yang bisa dilakukan oleh naga air seperti aku ini, hanya bisa sesekali berkeliling atau mungkin mendengarkan aktivitas ramai dari pedagang dan nelayan di atas sana. Aku yakin saat kalian membaca satu paragraf di atas. Di dalam benak, kalian pasti bertanya-tanya kemana keluarga dan koloniku?. Akan aku jawab, sebenarnya aku tak memiliki keluarga. Aku adalah satu-satunya naga air yang hidup di perairan ini, karena sejak kecil aku terpisah oleh rombongan koloniku yang bermigrasi, dan aku tertinggal disini. Hari demi hari, aku lalui seperti biasanya. Hingga di suatu hari yang cerah, "Shiela akan jaga disitu, dan kalian di bagian sana." Aku mengenali, suara cempreng itu berasal dari seorang anak manusia. "Jangan berbalik ya!." Setelah ucapan itu, aku mendengar ada suara menyerukan angka seperti sedang menghitung, juga ada yang berbicara singkat dengan
|Arga|Namun tiba-tiba instingku menyuruhku untuk berbalik melawannya, dan aku mengandalkan waktu yang tepat ini untuk mengenai titik lemah Pararryon yang tengah lengah. DRAAKK!Gerakanku itu jelas, terlalu cepat dan terlalu sekilas untuk bisa di lihat oleh mata berusia tiga juta tahun miliknya. Tangan kiriku yang bebas meninju mahkota di atas kepala Pararryon, meretakkannya dengan gampang.Si naga kembali beringsut ke belakang hingga karena terkejut, meskipun punggungnya sebenarnya sudah mepet ke dinding terowongan. Kepalanya bergetar beberapa kali seperti orang menggigil. "Boleh juga, manusia. Kekuatan yang mengerikan sekali. Aku tidak pernah jadi manusia, tapi menurut penilaianku kau terhitung manusia dengan kemampuan langka, pemuda yang sangat cerdik."Aku tak terlalu mendengarkan semua kata-kata semanis madu itu, karena pandanganku masih teralihkan. Aku kini mengamati fenomena menakjubkan yang baru pertama kali aku temui di kehidupanku ini, atau bahkan satu-satunya dan tak akan