Sampai pukul sepuluh malah, Emma menunggu sang suami yang entah sedang pergi ke mana. Emma mencoba menghubungi nomor Alex tapi tidak aktif. Meski sejujurnya Emma merasakan ada perubahan drastis pada diri Alex, tapi Emma tidak mau berpikir terlalu jauh, Bisa saja Alex kelelahan karena dirinya sudah tidak bekerja di kantor lagi.Ketika Emma sudah mulai merasa ngantuk, Emma memutuskan untuk berbaring di atas sofa. Namun, baru saja Emma hendak memejamkan mata, terdengar seseorang membuka pintu ruang tamu.Emma spontan terduduk dan memeriksa pintu tersebut."Aku pulang," kata Alex begitu sudah masuk.Ini sudah sangat larut, sekalipun Alex berkata demikian pasti tidak akan ada mendengar. Emma yang melihat Alex begitu lesu akhirnya mulai penasaran."Apa pekerjaan kantor begitu banyak?" tanya Emma sambil membantu Alex melepas kemeja dan membawakan tas kerjanya."Ya." Hanya itu yang Alex katakan karena setelah itu ia melenggak menuju kamarnya."Kau mau ke mana?" tanya Emma bersuara cuku
Kondisi hati sedang tidak baik, apapun yang ada di hadapannya terasa menjengkelkan. Emma yang masih kesal karena Alex membandingkan dirinya dengan Stela, pagi ini masih begitu memendam amarah. Hati dongkol begitu terasa dan Emma ingin melampiaskannya segera. Namun, rasa cinta pada Alex sepertinya membuat Emma tidak bisa berkutik.Alex yang juga masih merasa marah, bahkan pergi ke kantor tanpa berpamitan pada Emma. Kala itu memang Emma belum bangun, karena begitu Alex semakin yakin kalau Emma tidaklah bisa seperti Stela.Sampai di kantor, Alex langsung disambut oleh sekertarisnya."Maaf, Tuan." Sekertarinya menunduk sopan."Ada apa? Kenapa menghentikanku di jalan?" Suara Alex terdengar sinis."Maaf, Tuan. Ini ada undangan dari Tuan Muchtar." Sekertaris itu mengulurkan surat undangan berwarna merah."Tuan Muchtar?" Alex menerima undangan itu lalu membawanya masuk ke ruangannya.Alex meletakkan tas kerja dan melepas jasnya, kemudian ia duduk dan kembali melihat surat undangan yang
Sudah bertemu Alex, Peter malah gagal bertemu Stela. Wanita itu tidak bisa Peter hubungi sama sekali, nomornya tidak aktif. Peter terpaksa putar balik kembali ke kantornya karena mendapat panggilan dari Paula.Sementara orang yang Peter cari, kini tengah merampungkan pekerjaannya di rumah. Karena acara sudah mepet, tentunya design gaunnya akan segera dituntaskan.Begitu gambar sudah beres, Stela segera bersiap-siap mengantar gambar tersebut untuk ikut seleksi. Berdandan ala kadarnya, Stela memasukkan ponsel, dompet dan hal penting lainnya ke dalam tas."Kau sudah siapa, Sweety?" Suara Janete membuat Stela menoleh."Yes, Mom." Stela tersenyum sumringah. "Doakan punyaku yang terpilih."Janete mendekat dan meraih kedua tangan Stela. "Tentu saja. Pasti kau yang akan terpilih."Ini memang bukan sebuah kontes besar, hanya saja bagi Stela ini awal usaha untuk kembali terjun ke duania designer. Jika awal yang kecil saja sudah berakhir, kesuksesan besar pasti segera tercapai."Aku beran
Tepat sekitar pukul tuju malam, Bill datang ke rumah Stela. Tidak ada yang memberitahu Stela kalau hari ini Bill akan datang. Dan begitu Bill sudah masuk, Janete segera pergi ke kamar Stela sementara sang suami menemani Bill di ruang tamu."Sayang, ayo bersiap!" kata Janete begitu masuk ke kamar Stela.Stela yang kala itu sedang duduk bersandar sambil membaca novel, lantas mendongak. Di atas hidungnya, tersampir kaca mata bulat."Bersiap ke mana, Bu?" tanya Stela heran. Kaca matanya ia lepas, lalu menurunkan dua kakinya ke lantai. "Dan kenapa ibu rapi sekali?"Janete menarik tangan Stela lalu mendorongnya ke arah lemari. "Tidak usah banyak tanya, kau pakai saja baju yang paling bagus."Stela menyingkir hingga terlepas dari ibunya. "Ada apa sih, ini?""Kakekmu sudah menunggu di bawah," kata Janete."Kekek?""Iya. Kakekmu mengajak kita semua makan malam."Stela spontan membulatkan bibir. "Kenapa ibu tidak beritahu aku dari tadi?" tanya Stela heran."Kakekmu mengajaknya mendada
"Ngomong-ngomong ada apa kau tiba-tiba mengajakku makan malam?" tanya Stela."Tidak ada, aku hanya ingin tanya sesuatu saja," jawab Chloe."Apa?""Tentang yang tadi …" Chloe berhenti bicara sambil memainkan jari."Tentang apa?""Tentang kau dan Peter.""Oh!" Stela terpekik dan tertegun."Maaf, bukannya aku ingin ikut campur, aku hanya ingin tahu saja karena bagaimanapun dia adalah adikku."Sama sekali tidak tersinggung, Stela justru tersenyum. "Aku dan Peter masih berteman. Kau tahu aku baru saja bercerai kan? Aku tidak mau bersama Peter dalam waktu dekat karena nantinya akan disangka menjadikan Peter sebagai pelampiasanku saja.""Benar …," lirih Chloe. "Aku hanya merasa senang saat Peter bisa dekat dengan seorang wanita."Stela tersenyum lagi. "Sebagai wanita yang pernikahannya sudah pernah hancur, aku akan lebih hati-hati saat ini.""Tentu saja."Drt … drt ... drt ...Ponsel di tas Stela bergetar."Tunggu sebentar." Stela menghentikan obrolan lalu merogoh ponselnya."
Peter terus saja memikirkan perkataan Stela di akhir pertemuannya tadi. Setelah mengantar Stela pulang, Peter tidak bisa mengabaikan kata penuh arti itu.Sekitar pukul 12 malam, Peter bahkan belum bisa tidur. Entah kenapa matanya sulit untuk dipejamkan. Hingga satu jam berlalu, Peter tidak kerasa kalau dirinya tidur di sofa tanpa bantal ataupun selimut.Ia terbangun ketika semburat sinar matahari menembus melalui, jendela kaca dan tirai tipis di kamarnya. Rasa kantuk sebenarnya masih ada. Perlahan Peter duduk lalu meregangkan badan ke kanan dan ke kiri hingga tulangnya berbunyi."Apa aku bangun kesiangan?" celoteh Peter sambil menguap.Peter menurunkan ke dua kakinya lalu mencari jam dinding. Sudah pukul delapan pagi, dan tidak ada yang membangunkannya."Kemana para pelayan?" batin Peter.Peter lantas berdiri dan sekali lagi meregangkan badannya yang sedikit terasa pegal karena posisi tidur yang kurang pas.Selanjutnya Peter berjalan ke arah ranjang dan berdiri di depan nakas m
"Peter," celetuk Stela begitu sudah kembali ke kamarnya. Dua menit yang lalu, si tamu sudah pulang dan Stela tentunya kembali masuk ke kamar berencana untuk mandi sore. Dal situasi gembira karena gaunnya telah terpilih, senyum di bibir Stela terus saja mengembang hingga menciut tatkala melihat beberapa panggilan dan pesan dari Peter yang isinya sebuah omelan. "Kenapa dia jadi mendadak mengamuk di pesan begini?" gumam Stela. "Ada apa coba?" Stela tidak mau rasa bahagianya saat ini terganggu oleh siapa pun termasuk Peter. Meletakkan ponselnya di atas ranjang, Stela berdiri lalu melepas pakaiannya. Bari saja selesai melepas blusnya, ponsel kembali bergetar. Satu pesan masuk dari Peter lagi. Sambil memangku bajunya yang sudah terlepas, Stela kembali duduk di tepi ranjang. Begitu membaca bunyi pesan yang dikirim oleh Peter, Stela spontan berdecak. (Ayo bertemu. Kau di mana sekarang?) Hanya pesan itu yang terbaca oleh Stela, Pesan sebelumnya ia abaikan saja. "Selalu saja begini!" deng
Peter membawa Stela masuk ke dalam mobil. ia tak mau kalau beberapa orang yang masih di taman melihat Stela menangis. Setelah Stela duduk, Peter mulai memasangkan sabuk pengaman. Suara isak tangis Stela terdengar begitu jelas dan membuat Peter merasa tidak enak hati. Stela yang memang tidak tahu perasaannya bagaimana saat ini, hanya bersandar diam saja masih sesenggukan. Selesai dari itu, Peter menutup pintu mobil kemudian berjalan memutari bagian depan mobil dan masuk duduk di jok kemudi. "Apa kita pulang saja?" tanya Peter sebelum melajukan mobilnya. Stela mengangguk. Mobil sudah melaju dengan kecepatan sedang. Obrolan di taman yang belum jelas ujungnya, membuat Peter enggan mengantar Stela pulang saat ini. Pada akhirnya Peter membelokkan mobil menuju tempat lain. Sebuah tempat yang nyaman untuk bicara. "Kenapa ke sini?" tanya Stela heran. Ia terduduk sambil mengusap sisa air matanya. Di luar sana adalah sebuah taman yang tidak jauh berbeda dengan taman sebelumnya. Bedanya tam
Hari pernikahan pun datang. Stela dan Peter sudah siap dibimbing sang Pendeta untuk mengucapkan ikrar janji suci. Acara digelar dengan sederhana yang hanya menghadirkan pihak keluarga dan tamu bisnis saja.Dari balik kain putih berbahan tutu, Peter bisa melihat wajah Stela yang dirias begitu cantik. Sederhana dan terlihat elegan di padukan dengan gaun putih yang menutupi kedua kaki."Kau sangat cantik," kata Peter. Di balik kain tersebut, Stela hanya tersenyum.Detik berikutnya, pengucapan ikrar janji pun terlontar. Pemasangan cincin bergantian dan riuh tepuk tangan mulai terdengar. Mereka berdua kini sudah sah menjadi sepasang suami istri.Rasa bahagia dan haru, dirasakan semua orang yang hadir. Kedua orang tua Stela dan Peter mereka bahkan sampai tidak sadar menitikkan air mata."Selamat untuk kalian berdua." Kata Jane serasa memeluk mereka berdua.Mereka yang lain pun bergantian memberi ucapan selamat.Pagi berlalu meninggalkan acara sakral yang kini sudah beralih ke rumah s
Bill tidak pernah main-main dengan perkataannya. Menyangkut pelecehan pada Stela, semua bukti sudah ada dan Alex harus berakhir hidup di jeruji besi sesuai dengan ketentuan dari pengadilan. Asal keluarga aman, Bill rela melakukan apa saja.Satu tahun Bill diam tanpa berkomunikasi dengan putri dan cucunya, tak lain karena hanya sekedar ingin membuktikan bahwa keluarga Alex memang buruk. Belum lagi keburukan masa lalunya dengan Muchtar. Semua ada jalan cerita masing-masing."Kau sudah merasa tenang sekarang, bukan?" tanya Peter sambil menunduk menyusuri wajah Stela yang kini sedang bersandar di pundaknya. "Aku akan terus menjagamu sampai kapanpun."Stela mendongak dan tersenyum. "Terima kasih kau sudah datang dalam kehidupanku."Sesaat keduanya terdiam menikmati pemandangan air danau yang jernih nan tenang. Hanya sedikit bergelombang saat beberapa daun kering berjatuhan tertiup angin.Sudah lama Stela tidak berkunjung ke tempat ini. Tiada yang berubah selain bertambah terasa nyaman
"Kau baik-baik saja?" tanya Louis dengan napas masih memburu usai menghajar Alex.Berdiri di samping mobilnya, Stela masih sesenggukan sambil mencengkeram kerah bajunya dengan kuat. Sementara Alex sudah melesat pergi dalam keadaan babak belur."Sebaiknya aku antar kau pulang."Stela terpaksa meninggalkan mobilnya di jalan, ia ikut mobil Louis. Setidaknya bersama Louis lebih aman saat ini. "Di mana rumahmu?" tanya Louis sebelum melajukan mobilnya."Putar balik, rumahku ada di jalan sana," jawab Stela lemas.Louis sesekali melirik Stela yang tengah bersandar sambil memandangi ke luar jendela. Wajahnya masih masam dan ada raut kecemasan.Mobil Louis sudah masuk ke pekarangam rumah Stela sekitar pukul tuju malam. Stela yang masih tertegun, bahkan tidak sandar kalau mobil sudah berhenti di halaman rumah. Pikiran Stela masih melayang-layang teringat akan perbuatan Alex yang begitu keji.Louis turun lebih dulu. Ia memutari mobil lalu berpindah ke pintu samping di mana ada Stela yang
Stela tentunya sangat penasaran dengan apa yang kakek dan keluarga Peter bicarakan, Setela obrolan terakhir dirumah saat makan siang. Saat beberapa menit hampir masuk ke kompleks perumahan, Stela berhenti dulu di pom bensin. Baru saja hendak turun dari mobil, ponsel di dalam tas berdering. Pintu yang sudah terbuka sebagian pun Stela tutup kembali."Nomor siapa ini?" Wajah Stela berkerut heran. Seseorang menelpon tapi nomor tersebut tidak terdaftar di kontaknya."Halo, siapa ini?" sapa Stela kemudian."Temui aku di restoran cepat saji.""A-Angela?" pekik Stela."Tidak usah kaget begitu, aku hanya ingin bicara denganmu."Sambungan terputus, Stela urungkan niat pergi ke toilet dan segera putar balik."Untuk apa dia bertemu denganku?" batin Stela.Tidak mau berpikiran yang macam-macam, Stela terus melajukan mobilnya hingga akhirnya sampai di tempat yang dituju.Setelah mencangklong tasnya, Stela pun bergegas turun dari mobil. Di depan sana, di tempat restoran cepat saji, sepertin
Sepulangnya dari tempat Peter, Stela menceritakan semuanya pada ibu dan kakeknya. Tepat jam makan siang, mereka mengobrolkannya di meja makan, tapi tanpa ada Bowen karena dia sedang sibuk mengurusi panen perkebunannya . Untuk Bill, tentu merasa senang dan langsung setuju jika Stela menikah dengan Peter. Namun, sebagai Ibu yang sempat membuat Stela menderita, Janete tidak langsung mengatakan setuju."Apa kau yakin, Sayang?" tanya Janete khawatir."Belum tahu, ibu," sahut Stela usai meneguk air putih. "Aku hanya merasa nyaman saat bersama Peter.""Kalau kau minta pendapat kakek, tentu saja Kakek setuju," timbruk Bill yang lebih dulu selesai menghabiskan makan siangnya. "Kakek sudah lama mengenal keluarga Peter."Janete kembali ikut bicara. "Bukan ibu tidak merestui, ibu hanya tidak ingin kau sakit hati lagi."Kalimat Janete membuat Stela merasa ragu. Meski selama ini Stela tahu Peter usil, tapi dia sangat baik. Hanya saja, tiada yang tahu bagaimana tentang isi hatinya. Bisakah Pete
Emma kembali dengan tangan hampa. Percuma saja berdebat dengan Louis kalau memang Emma juga bersalah dalam ini. Mulanya Emma pikir Louis mencintainya, tapi saat melihat murka dan penjelasan Louis, ya, menang semua hanya permainan belaka. Tidak jauh berbeda seperti saat pertama Emma kembali pada Alex.Sudah sampai di rumah, ruangan nampak sepi. Lampu-lampu juga sudah dimatikan. Ketika masuk ke dalam kamar, Alex masih belum ada di sana. Emma yakin Alex masih berada di kamar lantai dua.Hati rasanya dongkol, tapi Emma tidak berani berbuat apa-apa saat ini. Jika mendekat, Alex mungkin saja akan kembali mengamuk.Di tempat Louis, Chloe sudah keluar dari persembunyiannya. Wajahnya masih terlihat masam seperti saat pertama tadi baru ke sini."Kau sudah tahu alasan kenapa aku bersama Emma kan?" kata Louis coba menjelaskan.Chloe tersenyum kecut. "Jika semua atas nama dendam, apa harus sampai kau bercinta dengannya?""A,aku …" Louis mendadak diam."Katakan saja kau menikmati saat itu,"
Alex menjauh dari Emma untuk sesaat. Di kamarnya yang dulu saat masih beristrikan Stela, Alex tengah merenungi semuanya. Hidupnya sudah hancur, ia kehilangan Stela, perusahaan, ia juga sudah dikhianati istri barunya yaitu Emma. Meski Emma berkata sebuah penyesalan, tapi Alex sudah terlanjur sakit hati."Mungkin ini yang kau pernah rasakan dulu," gumam Stela. "Kau pasti marah, kecewa padaku saat itu. Dan bodohnya, aku baru menyadarinya saat ini."Seperti bukan seorang pria perkasa, Alex jatuh tersungkur di bawah ranjang sambil menangkup kepala. Ia tidak tahan lagi jika terus menahan air matanya. Air mata itu kini mengalir dengan derasnya sampai berjatuhan membasahi kedua lututnya yang menekuk."Aku sungguh bodoh!" sesal Alex. "Andai saja kita masih bersama, aku tidak akan sekacau ini."Cekleeek!Terdengar suara pintu terbuka secara perlahan. Alex sungguh tidak peduli, ia masih tertunduk memeluk kedua lututnya sambil menangis.Perlahan, May melangkah mendekat dengan tatapan iba da
Peter pergi dengan mengendarai mobil Stela, tadi mobilnya sudah ia titipkan pada Glen sebelum pergi. Karena Peter tengah emosi dengan wajah cukup babak belur, tentunya Stela tidak mengizinkan Stela menyetir.Sampai di rumah Peter, Stela turun lebih dulu dari mobil. Ia berlari memutari mobil lalu membukakan pintu untuk Peter."Ayo turun," kata Stela begitu pintu sudah terbuka."Terima kasih," sahut Peter sambil meringis menyentuh ujung bibirnya.Stela yang melihat Peter merasa kesakitan ikut mengerutkan wajah hingga mendesis kecil."Apa sakit sekali?" tanya Stela sambil menuntun lengan Peter.Peter menggeleng.Sampai di dalam, Stela memanggil Nora untuk mengambilkan air es dan handuk kecil. Sementara itu, Stela menuntun Peter membawa ke kamar di atas."Kenapa harus bertengkar?" tanya Stela sambil membantu Peter duduk di tepi ranjang.Peter masih terlihat nyengir menahan perih di ujung bibirnya dan bagian perut yang sempat kena pukul juga."Dia yang memulai," ujar Peter. "Aku
Sementara di tempat lain, Stela kini sudah sampai di rumah sang mantan suami lagi. Ia terpaksa datang kembali hanya untuk mengambil barang pribadinya yang tertinggal. Jika bukan karena itu, Stela sudah enggan menginjakkan kaki di rumah ini lagi.Karena pintu luar tidak tertutup, Stela masuk begitu saja hanya dengan mengucap kata "Permisi". Biar bagaimanapun juga, Stela sudah tidak ada hak lagi di rumah ini, jadi mau mengambil apa pun harus lebih dulu menunggu penghuni rumah muncul.Dan sesuai dugaan Stela, pastilah yang muncul wanita gila itu alias si Emma. Tidak mau bertengkar, Emma langsung mengatakan apa tujuannya datang ke sini."Kau sengaja kan!" seloroh Emma sambil mendorong dada Stela."Aku datang hanya ingin mengambil ponselku saja. Kau tidak usah khawatir, setelah ini aku langsung pergi.""Enak saja!" sungut Emma. "Kau sudah sengaja meninggalkan ponselmu supaya Alex tahu kan?"Stela mengerutkan dahi karena tidak paham. "Apa maksudmu?""Jangan pura-pura tidak tahu kau!"