Malam terasa semakin mencekam di ruang kerja kecil itu. Raka masih terpaku menatap ponselnya, berharap panggilan dari Ratna tersambung kembali. Namun, layar ponselnya tetap gelap. Tidak ada tanda-tanda ia akan dihubungi lagi.“Bahaya?” bisiknya pelan, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri.Kata itu terus terngiang di benaknya, berputar seperti gema di ruangan sempit ini. Siapa yang ingin menyakiti Sarah? Apa hubungannya dengan Jeno? Dan kenapa Ratna tiba-tiba menghubunginya setelah sekian lama menghilang?Pikirannya terpecah-pecah, seperti potongan puzzle yang hilang satu sama lain. Ia harus menemukan jawabannya sebelum semuanya terlambat. Dengan segera, Raka mengambil jaketnya dan ponsel. Ia tidak peduli jam sudah menunjukkan tengah malam.Sementara itu, di sebuah apartemen kecil, Ratna berusaha mengatur napasnya yang terengah-engah. Tangannya gemetaran saat mematikan ponsel dan menyembunyikannya di bawah bantal. Suara langkah kaki di lorong mendekat, membuat tubuhnya kaku. S
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Setelah memastikan rumah aman, Raka dan Sarah duduk di ruang tamu. Nasha akhirnya tertidur di kamar setelah Raka menenangkannya. Namun, Sarah masih tampak gelisah, tatapannya terus mengarah ke kertas kecil yang ada di atas meja."Mas, siapa sebenarnya yang mengirim ini?" Sarah memulai, suaranya pelan tapi sarat dengan ketakutan.Raka menghela napas panjang, mencoba merangkai kata-kata. "Aku nggak tahu, Sayang. Tapi ini ada hubungannya dengan Ratna.""Ratna?" Sarah menatapnya dengan bingung. "Kenapa dengan Ratna, Mas?""Aku juga nggak tahu," Raka bangkit, mencoba mendekati Sarah. "Tapi yang jelas, aku nggak akan tinggal diam. Aku akan cari tahu siapa yang berani mengancam keluarga kita."Sarah menatapnya tajam, tapi kemudian mengangguk. "Kalau begitu, kita harus bersama-sama menghadapi ini. Jangan sembunyikan apa pun lagi dariku, Mas."Raka memegang bahu Sarah dengan lembut. "Aku janji, nggak ada lagi yang aku sembunyikan."Keesokan paginya
"Mas, Nasha nggak mau diam," ucap Sarah lelah sambil melihat Raka yang baru saja selesai menelepon Dani.Raka segera menghampiri mereka dan mengambil alih bayi mungil itu dari pelukan Sarah. Dengan gerakan lembut, ia mulai menimang Nasha, suaranya terdengar pelan saat ia berbicara, "Sshh, Ayah di sini, Nak. Jangan nangis, ya."Melihat Nasha perlahan mulai tenang dalam pelukan Raka, Sarah menghela napas lega. Namun, wajahnya masih menyiratkan kekhawatiran."Kamu habis telepon Dani, Mas? Ada kabar tentang Ratna?" tanya Sarah dengan nada hati-hati, tidak ingin membangunkan Nasha lagi.Raka mengangguk. "Iya. Dani bilang Ratna masih di kota ini. Dia bahkan sering terlihat di sekitar kawasan perkantoran. Tapi yang bikin aku nggak tenang, dia berhubungan dengan seseorang yang sepertinya tahu tentang kita."Sarah memandang Raka tajam. "Seseorang? Maksudnya siapa?""Aku belum tahu siapa orang itu. Tapi Dani sedang mencoba cari tahu. Satu hal yang pasti, Ratna nggak datang ke sini hanya untuk u
Hari-hari berikutnya terasa seperti berjalan di atas bara api. Ratna mulai melancarkan langkah-langkahnya, dan Raka berusaha mempersiapkan diri menghadapi berbagai kemungkinan. Di sisi lain, Sarah tetap berusaha menjaga keseimbangan rumah tangga, meskipun ia merasakan ketegangan yang terus meningkat.Malam itu, Pak Herman memanggil semua anggota keluarga untuk berkumpul di ruang keluarga. Sarah dengan hati-hati menggendong Nasha yang mulai rewel, sementara Raka duduk di sampingnya dengan tatapan waspada."Sebelum semuanya semakin jauh, Papa ingin kita membicarakan ini bersama," kata Pak Herman, suaranya tegas namun penuh kewibawaan. "Ratna memang adik tiri Raka, dan Papa tidak menafikan bahwa Papa punya kesalahan besar di masa lalu yang membuat dia merasa diabaikan."Pak Herman terdiam sejenak, mencoba menahan emosinya. "Namun, Papa perlu menegaskan bahwa apa pun yang terjadi, keluarga ini harus tetap bersatu. Raka, apa kamu yakin Ratna benar-benar ingin membawa masalah ini ke ranah h
Malam itu, bel pintu berbunyi lagi. Raka, yang sedang menggendong Nasha, mengernyit bingung."Siapa malam-malam begini?" gumamnya sambil melirik Sarah.Sarah mengangguk kecil. "Aku ambilkan Nasha, Mas. Kamu cek dulu siapa di depan."Raka menyerahkan Nasha dengan hati-hati dan menuju pintu. Begitu pintu terbuka, ia mendapati seorang pria berpakaian rapi berdiri di sana dengan ekspresi dingin."Selamat malam, Pak Raka. Saya pengacara dari pihak Ibu Ratna. Ini adalah surat resmi terkait tuntutan hukum terhadap keluarga Anda."Raka terdiam sejenak, menatap amplop yang disodorkan kepadanya. Suara pengacara itu terasa seperti palu godam yang menghantam pikirannya."Baik, terima kasih," ucap Raka akhirnya, dengan suara tertahan. Ia menutup pintu perlahan, lalu menghela napas panjang.Sarah mendekatinya dengan wajah penuh tanya. "Mas, siapa?"Raka menatapnya dengan mata yang lelah. "Pengacara Ratna. Mereka benar-benar serius."S
Malam itu, setelah membaca dokumen yang mengejutkan, Raka dan Sarah memutuskan bahwa mereka tidak bisa tinggal diam. Aset yang dipindahkan oleh Ratna adalah bagian dari warisan keluarga yang selama ini digunakan untuk menghidupi seluruh anggota keluarga, termasuk biaya pengobatan Pak Herman."Mas, kita harus menghadapinya dengan bukti ini," ujar Sarah dengan suara mantap.Raka memandang istrinya dengan rasa terima kasih. "Aku nggak tahu apa yang bakal terjadi nanti, tapi aku nggak akan membiarkan Ratna merusak keluarga kita."Sarah mengangguk. "Kita harus hubungi pengacara. Aku juga bisa minta bantuan Lira dan pacarnya, yang punya koneksi ke ahli hukum."Mereka segera menghubungi pengacara keluarga dan membuat janji pertemuan untuk keesokan paginya. Raka juga menyimpan dokumen tersebut dengan hati-hati di tempat yang aman.Keesokan harinya, Sarah bertemu dengan Dini di sebuah kafe kecil dekat rumah sakit. Lira, yang sudah lama mengenal Sarah, mende
Malam itu terasa dingin, dengan langit mendung yang menutupi bulan. Raka menatap layar ponselnya, membaca kembali pesan yang ia terima dari Jeno. Alamat yang disebutkan membawa ingatannya kembali ke sebuah tempat yang sudah lama tak ia kunjungi—sebuah kedai kopi kecil di pinggir kota, tempat ia, Jeno dan Nadia berkumpul setelah pulang sekolah beberapa tahun silam.“Mas, kamu yakin mau pergi?” tanya Sarah sambil menatap Raka dengan penuh kekhawatiran. Di tangannya ada secangkir teh hangat yang kini terasa dingin.Raka mengangguk, meski di dalam hatinya masih ada keraguan. “Aku harus tahu apa yang Jeno tahu. Kalau ini benar-benar bisa membantu kita, aku nggak bisa mengabaikannya.”Sarah menghela napas, lalu meraih tangan Raka. “Kalau ada apa-apa, kabarin aku, ya? Jangan bertindak sendirian. Aku nggak mau sesuatu yang buruk terjadi sama kamu.”Raka tersenyum tipis, mencoba menenangkan istrinya. “Aku janji. Aku bakal hati-hati. Kamu cukup bantu aku jagain Nasha ya, Sayang.”Dengan itu, ia
Pagi itu, suasana di rumah Raka dan Sarah dipenuhi dengan ketegangan. Setelah pertemuan mereka dengan Jeno semalam, mereka memutuskan untuk segera mengambil langkah hukum terhadap Ratna. Dengan dokumen yang telah dikumpulkan oleh Jeno, mereka merasa memiliki dasar yang cukup kuat untuk mengajukan gugatan. Namun, mereka juga sadar bahwa perjalanan ini tidak akan mudah.Sarah menyiapkan sarapan di dapur sambil sesekali melirik ke arah Raka yang sedang berbicara di telepon dengan pengacara keluarga mereka. Wajah Raka tampak serius, penuh konsentrasi. Sarah mencoba menenangkan dirinya dengan mengaduk kopi, tetapi pikirannya terus melayang.“Mas, pengacaranya bilang apa?” tanya Sarah ketika Raka akhirnya selesai menelepon.“Kita punya peluang besar untuk menang,” jawab Raka sambil menghela napas. “Tapi pengacara bilang kita harus bergerak cepat sebelum Ratna menyadari langkah kita.”Sarah mengangguk, meski hatinya masih diliputi keraguan. “Kamu yakin kita siap, Mas? Aku takut dia punya car
Hari itu, udara terasa begitu tenang. Raka dan Sarah tengah duduk berdua di ruang keluarga, ditemani oleh Nasha yang sedang bermain dengan mainan di lantai. Meskipun suasana terasa begitu damai, ada sesuatu yang terasa berat di hati Raka. Ada semacam pertanda yang tak terucapkan, seolah dunia sedang mengingatkan mereka untuk lebih menghargai waktu yang ada. Beberapa hari sebelumnya, mereka baru saja merayakan ulang tahun pertama Nasha dengan penuh kebahagiaan. Momen itu, yang dipenuhi dengan tawa anak-anak panti asuhan dan sentuhan kasih sayang keluarga besar, memberikan Raka dan Sarah sebuah pemahaman baru tentang arti kehidupan yang sesungguhnya. Pak Herman kini mendatangi Raka yang sedang bersantai di taman belakang. Suaranya yang berat dan penuh makna terasa sangat berbeda dari biasanya. “Raka, ada hal penting yang ingin Papa sampaikan padamu,” kata Pak Herman saat teleponnya berbunyi. Suaranya terdengar agak lemah, namun tetap penuh kehangatan. Raka segera duduk tegak, khawat
Hari itu, langit tampak cerah, seakan ikut merayakan hari istimewa dalam keluarga kecil Raka dan Sarah. Nasha genap berusia satu tahun. Bukan pesta besar yang mereka persiapkan, tetapi sebuah acara syukuran sederhana yang penuh makna. Raka dan Sarah sepakat untuk merayakan ulang tahun pertama putri mereka dengan berbagi kebahagiaan di sebuah panti asuhan.Panti asuhan itu bukan tempat yang asing bagi mereka. Sejak kejadian penculikan Nasha dan konspirasi Bu Rini yang membuat mereka hampir kehilangan segalanya, Raka dan Sarah lebih banyak merenungi arti keluarga dan kasih sayang. Mereka ingin mengajarkan kepada Nasha bahwa kebahagiaan sejati bukan hanya tentang perayaan mewah, tetapi juga tentang berbagi dengan mereka yang kurang beruntung.Pagi itu, suasana panti asuhan sudah mulai ramai. Anak-anak di sana terlihat bersemangat menyambut kedatangan tamu istimewa mereka. Beberapa dari mereka bahkan sudah mengenal Sarah dan Raka karena kunjungan-kunjungan sebelumnya. Pak
Setelah berhasil menyelamatkan Nasha dari tangan penculiknya, Raka, Sarah, dan Jeno kembali ke tempat persembunyian sementara mereka. Malam itu mereka beristirahat sejenak, meski pikiran mereka masih dipenuhi ketegangan. Namun, mereka tahu bahwa semua ini belum benar-benar berakhir.Keesokan paginya, Jeno menerima laporan dari timnya bahwa beberapa anak buah Bu Rini yang terlibat dalam penculikan telah tertangkap. Namun, dalang utama di balik kejadian ini masih menjadi misteri."Aku sudah melacak transaksi dan komunikasi mereka. Satu nama yang terus muncul adalah seorang pria bernama Anton," kata Jeno dengan serius. "Dia adalah tangan kanan Bu Rini yang selama ini bekerja di balik layar. Sepertinya dialah yang mengatur segalanya."Raka mengepalkan tangannya. "Jadi, dia yang selama ini mengancam keluargaku?"Jeno mengangguk. "Dia sangat licin dan punya banyak koneksi. Tapi aku sudah menghubungi seseorang yang bisa membantu kita menangkapnya."Tak la
Malam semakin larut, tetapi Raka, Sarah, dan Jeno masih terjaga. Pikiran mereka penuh dengan kekhawatiran dan strategi. Pesan singkat yang baru saja diterima Raka seolah menjadi alarm bahwa mereka tidak memiliki banyak waktu lagi."Kita harus menemukan keberadaan mereka sebelum mereka melakukan sesuatu yang lebih gila," kata Jeno dengan nada serius. "Aku sudah menghubungi seseorang yang pernah bekerja untuk Bu Rini. Dia setuju untuk bertemu, tapi dengan syarat kita harus berhati-hati."Raka mengangguk. "Di mana kita bisa menemuinya?""Sebuah gudang tua di pinggiran kota. Dia bilang tempat itu aman, jauh dari pantauan orang-orang yang mungkin bekerja untuk Bu Rini," jawab Jeno.Sarah menggenggam tangan Raka erat. "Aku takut, Mas. Bagaimana jika ini jebakan?"Raka menatap dalam ke mata istrinya. "Kita tidak punya pilihan lain, Sayang. Ini satu-satunya petunjuk yang kita punya. Aku janji, aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi padamu atau Nasha."Jeno menghela napas. "Baiklah, kita be
Sarah menggigit bibirnya, mencoba menahan isak tangis yang hampir pecah lagi. Raka masih duduk di sebelahnya, ponsel di tangannya terasa dingin, seperti ancaman yang baru saja mereka terima. Jeno, yang berdiri di seberang mereka, mengetik sesuatu di ponselnya dengan cepat. Pria itu kemudian menatap Raka dengan sorot mata penuh kewaspadaan."Aku sudah menghubungi seseorang untuk melacak sumber video itu. Butuh waktu, tapi kita akan menemukan mereka," kata Jeno dengan suara dalam.Raka mengangguk, tangannya masih menggenggam jemari Sarah erat. "Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuh Nasha lebih lama lagi. Tapi kita harus berhati-hati, mereka jelas tahu pergerakan kita."Sarah menelan ludah, mencoba mengusir rasa takut yang menggerogoti hatinya. "Siapa yang cukup kejam untuk melakukan ini, Mas? Aku yakin ini bukan Ratna. Dia ada di penjara. Lalu siapa?"Hening. Raka menatap Sarah, begitu pula Jeno. Tidak ada yang bisa menjawabnya saat itu.Namun, di balik keheningan itu, otak Raka be
"NASHA?"Suara Sarah memekik lantang. Tangannya gemetar saat ia melihat layar ponselnya. Tak lama kemudian, sebuah kiriman video berputar otomatis, menampilkan seorang bayi mungil berusia tiga bulan yang menangis keras. Mata Sarah membelalak, napasnya tercekat. Itu Nasha. Anak mereka telah diculik.Raka segera meraih ponsel dari tangan Sarah, matanya membelalak saat melihat rekaman itu. Nasha berada di dalam ruangan yang remang-remang, hanya diterangi cahaya redup dari lampu gantung. Tangisan bayi mereka menggema, membuat dada Sarah dan Raka terasa sesak. Tak ada suara lain dalam video itu, hanya isakan kecil yang semakin memilukan.Sebuah pesan muncul sesaat setelah video berakhir."Kalian ingin Nasha kembali? Jangan hubungi polisi. Kami akan memberitahu langkah selanjutnya."Sarah menatap Raka dengan wajah penuh ketakutan. "Mas... kita harus melakukan sesuatu. Nasha masih kecil, dia butuh kita."Raka mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. "Aku tidak akan membiarkan mereka menyen
Aula pengadilan dipenuhi dengan desas-desus dan tatapan tajam dari berbagai pihak. Sidang gugatan terhadap Ratna akhirnya dimulai, menjadi momen yang akan menentukan nasib keluarga Raka. Dengan bukti yang hilang, mereka harus mencari celah lain untuk melawan Ratna di hadapan hakim.Raka dan Sarah duduk di barisan penggugat, didampingi oleh pengacara mereka, Pak Rendy. Di seberang, Ratna tampak percaya diri dengan pengacara handalnya, seorang pria berpenampilan rapi dengan senyum yang mengintimidasi. Sorot matanya penuh dengan kesombongan, seolah yakin bahwa dirinya akan menang.Hakim mengetuk palu tanda sidang dimulai. "Sidang gugatan keluarga Raka Prasetya terhadap Ratna Wijayanti dibuka. Penggugat, silakan sampaikan tuntutan Anda."Pak Rendy berdiri. "Yang Mulia, kami memiliki bukti kuat bahwa tergugat telah memindahkan aset keluarga secara ilegal ke rekening pribadinya, tanpa persetujuan dari pewaris sah, yang menyebabkan kerugian besar bagi kel
Kehidupan Raka dan Sarah dalam beberapa minggu terakhir terasa seperti berjalan di atas bara api. Terlebih saat Jeno diserang oleh beberapa orang tak dikenal.Saat ini gugatan hukum terhadap Ratna telah menjadi berita utama di keluarga besar dan di luar sana. Ratna, seperti yang diperkirakan, tidak tinggal diam. Ia menggunakan segala cara, dari intimidasi hingga permainan kotor untuk menggagalkan perjuangan Raka dan Sarah.Hari itu, Raka dan Sarah sedang mengatur dokumen-dokumen penting di ruang kerja kecil di rumah mereka. Flash drive yang berisi dokumen-dokumen penting, termasuk bukti transfer aset ilegal Ratna, menjadi inti dari rencana mereka. Raka memastikan semua file telah dicadangkan dengan baik.“Sayang, aku rasa kita harus menyimpan salinan file ini di tempat yang lebih aman. Flash drive ini terlalu berisiko kalau hanya kita simpan di sini,” kata Raka sambil memegang benda kecil itu.Sarah mengangguk, setuju dengan saran suaminya. &l
Raka masih memikirkan ancaman terselubung Ratna saat sidang sementara Sarah merasa tertekan setelah mengetahui kondisi Pak Herman kembali memburuk. Beban dari kasus ini mulai menyusup ke dalam hubungan mereka.“Mas, kamu yakin bukti itu aman di tangan Jeno?” tanya Sarah sambil menuangkan kopi ke cangkir.Raka yang duduk di kursi makan, hanya mengangguk tanpa menatap Sarah. “Jeno sudah buktikan dia bisa dipercaya, Sayang. Aku rasa kita nggak punya pilihan lain.”Sarah menghela napas panjang. “Tapi kita juga harus waspada. Ratna mungkin akan bertindak lebih gila kalau dia tahu Jeno berpihak pada kita.”Raka menatap istrinya dengan mata yang penuh beban. “Aku tahu kamu khawatir, Sayang. Tapi kita sudah sampai sejauh ini. Kalau kita goyah sekarang, Ratna yang menang.”Sarah menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan rasa kesal. “Aku bukan goyah, Mas. Aku cuma… aku cuma nggak mau kehilangan apa yang sudah kita perjuangkan.”Raka berdiri dan berjalan mendekati Sarah, menyentuh pundaknya lemb