Ketukan di pintu terdengar untuk ketiga kalinya, kali ini lebih pelan, seolah orang di luar memberi tanda bahwa ia tidak bermaksud mengganggu. Raka dan Sarah saling berpandangan. Sarah mencoba membaca ekspresi suaminya, yang tampak tegang namun mencoba menyembunyikannya dengan helaan napas panjang."Biar aku yang buka," ujar Raka sambil berdiri. Ia melangkah ke arah pintu dengan hati-hati, memastikan Sarah tetap berada di belakangnya. Tangannya ragu-ragu menyentuh gagang pintu, sementara pikiran-pikirannya berlarian, menduga-duga siapa yang berdiri di balik pintu itu.Saat pintu terbuka, wajah ramah seorang pria paruh baya dengan seragam hotel menyambut mereka. "Selamat malam, Pak. Saya ingin memastikan Anda nyaman di sini. Barusan ada tamu lain yang menanyakan kamar di lantai ini. Apakah ada yang perlu dibantu?" tanyanya sopan.Raka menghela napas lega, sementara Sarah yang berdiri di belakangnya ikut tersenyum kecil. "Tidak, terima kasih. Kami baik-baik saja,"
"Mumpung Papa masih hidup. Apa kamu mau mengabulkan permintaan Papa?" tanya Pak Herman dengan hati-hati, memandang Raka dengan sorot mata yang penuh makna.Raka langsung mendekat, mengernyitkan dahi. "Aku akan usahakan, kenapa sih Papa ngomongnya begitu?" tanyanya dengan nada setengah cemas.Pak Herman tersenyum tipis, garis wajahnya menunjukkan kelelahan. "Namanya ajal, Ka. Siapa yang tahu, kan? Papa juga begini karena kena karma.""Pa?" Raka bertanya dengan bingung. "Maksud Papa apa?"Pak Herman menepuk bahu Raka pelan. "Sudahlah. Lupakan saja. Tapi sekarang, Papa ingin satu hal dulu." Ia menghela napas panjang, seolah mencari kekuatan untuk melanjutkan. "Kita buat acara tujuh bulanan untuk Sarah, ya?"Raka dan Sarah saling berpandangan. Wajah Sarah terlihat terkejut, namun matanya berkilat lembut. Raka akhirnya mengangguk. "Kalau itu yang Papa mau, kita akan lakukan," katanya mantap.Sarah tersenyum kecil, meskipun hatinya berdebar. "Terima kasih, Pa. Itu berarti banyak buat kami."
Sarah berjalan setengah berlari untuk menghampiri perempuan itu. Lantas terisak begitu jarak mereka kini hanya tersisa setengah meter saja.“SURPRISE!!”Perempuan tadi merentangkan tangannya. Dalam sekejap, Sarah menghamburkan diri ke dekapannya meskipun perut buncitnya menjadi pengganjal di antara mereka.“Kenapa nggak ngabarin sih kalau mau ke sini?” isak Sarah kemudian.“Lira gitu loh. Aku senang banget lihat sahabat aku ini mewek hehe. Canda deh, Ra,” sahut Lira sambil tertawa kecil. Mereka pun terbahak bersama, mencairkan suasana penuh haru.“Sebentar, kita harus video call Dini!” Sarah mengeluarkan ponselnya dengan semangat, matanya berbinar seperti anak kecil yang menemukan mainan baru.Tak lama kemudian, wajah Dini muncul di layar. “Hei, kalian berdua kok kelihatan bahagia banget? Jadi iri nih!” Dini bercanda, suaranya yang riang menggema melalui speaker ponsel.&ldqu
Minggu pagi di rumah Pak Herman dimulai dengan suasana santai. Matahari bersinar lembut melalui jendela besar ruang tamu, menyoroti dekorasi indah sisa acara tujuh bulanan Sarah kemarin.Raka sedang duduk di teras, membaca koran dengan segelas teh hangat di sampingnya, sementara Sarah membereskan beberapa dekorasi yang masih tersisa di dalam rumah.Ketika Sarah tengah mengelap meja, suara ketukan pintu yang tegas terdengar. Pak Herman, yang baru saja keluar dari kamarnya, segera berjalan menuju pintu.“Ada tamu, Pak,” lapor petugas keamanan yang sudah berdiri di hadapannya. Tak lama kemudian orang yang dimaksud pun muncul."Oh, Jeno! Masuk, masuk," sapa Pak Herman dengan ramah. Di depan berdiri seorang pria dengan jas mahal, membawa kotak kado besar yang dibungkus rapi dengan pita emas."Maaf, Om, saya nggak sempat hadir kemarin. Saya baru kembali dari luar kota," ujar Jeno sambil tersenyum sopan. Ia melirik ke arah Sarah yang baru saja keluar dari ruang tengah. "Selamat, Sarah. Semog
"Kamu mulai lagi, Sarah."Suara Raka terdengar rendah, hampir seperti gumaman, tetapi cukup jelas untuk membuat Sarah menyadari ucapannya barusan. Tatapan tajam Raka menembus ruang di antara mereka."Maaf, Mas. Aku keceplosan," jawab Sarah sambil menunduk. Nada suaranya penuh penyesalan, tetapi tidak mampu meredam ketegangan yang menggantung di udara.Mereka sama-sama terdiam. Raka memilih mengalihkan pandangannya ke luar jendela, sementara Sarah kembali membereskan piring-piring di tangannya. Dalam hati, keduanya tahu bahwa ini bukan sekadar pertengkaran kecil. Topik tentang Jeno dan Nadia yang muncul di antara mereka adalah luka lama yang belum sembuh, tetapi terus saja disentuh.Sarah merasa dadanya sesak. Ia tahu Raka tidak sepenuhnya terbuka padanya soal masa lalunya dengan Nadia, tetapi setiap kali nama itu disebut, Raka berubah menjadi dingin.Sore harinya, Sarah memutuskan untuk keluar rumah. Ia bosan dengan suasana yang kian menekan. Dengan ditemani asisten rumah tangganya, B
Sarah masih memikirkan kotak hitam yang ditemukannya semalam. Bayangan wajah Nadia di foto-foto itu masih terbayang jelas di pikirannya. Surat dengan tulisan tangan Raka juga terus terngiang. "Nadia akan selalu ada di hati Raka. Forever." Kalimat itu seperti belati yang menusuk hatinya.Namun, Sarah memilih pura-pura tidak tahu. Saat Raka bersiap-siap untuk berangkat ke kantor, ia tetap bersikap seperti biasa, bahkan menyelipkan senyuman kecil di tengah kegundahannya."Mas, nanti jangan lupa makan siang ya," ucap Sarah sambil menuangkan kopi ke cangkir Raka.Raka mengangguk sambil menyesap kopinya. "Kamu juga jaga kesehatan di rumah."Setelah Raka pergi, Sarah berdiri di depan pintu untuk memastikan mobil suaminya benar-benar meninggalkan halaman rumah. Begitu mobil menghilang di tikungan, Sarah langsung kembali ke kamar mereka dengan langkah cepat. Ia membuka laci lemari dan mengambil kotak hitam itu.Ia membawa semuanya menuju gudang kecil di belakang rumah, tempat mereka biasa meny
Malam itu, suasana rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Sarah duduk di ruang keluarga dengan segelas teh hangat di tangan. Tatapannya kosong, terpaku pada bayangan lampu di dinding. Pikirannya masih bergelut dengan kejadian tadi siang—emosi Raka yang meluap-luap, dan keputusannya untuk tidak memperpanjang argumen.Langkah kaki terdengar mendekat. Sarah menoleh dan melihat Raka berdiri di ambang pintu. Pria itu tampak lelah, tetapi matanya tidak lagi menyimpan amarah. Dia berjalan pelan dan duduk di sofa di seberang Sarah, menjaga jarak namun tidak lagi terasa dingin.“Aku…,” Raka membuka suara, tetapi terhenti sejenak. Dia menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “Aku terlalu keras tadi siang. Maaf ya, Sayang.”Sarah mengangguk pelan, menunggu apakah ada yang ingin Raka tambahkan. Namun, pria itu hanya menatap ke arah lantai, seolah mencari kata-kata yang tepat.“Aku tidak seharusnya membuang barang-barang i
Raka terpaku sejenak. Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tidak menyangka akan mendengar nama itu lagi setelah sekian lama, apalagi dari ibunya sendiri.“Tante,” ucapnya pelan, berusaha mengontrol suaranya. “Apa kabar, Tan?”“Baik, Nak Raka. Maaf kalau mengganggu waktumu pagi-pagi begini. Ada sesuatu yang ingin saya bicarakan,” kata orang itu. Suaranya terdengar lembut, tetapi ada nada berat di baliknya.“Tentu, Tante. Apa yang bisa saya bantu?”“Apa kamu punya waktu nanti sore? Saya ingin bertemu. Ada hal penting yang perlu saya sampaikan langsung,” ucapnya.Raka merasakan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia ingin tahu apa yang ingin disampaikan oleh Bu Erna. Namun, ia juga khawatir hal itu akan mengguncang hubungannya dengan Sarah yang baru saja mulai membaik.“Baik, Tan. Di mana kita bisa bertemu?” tanyanya akhirnya.Bu Erna memberikan alamat sebuah kafe kecil
Hari itu, udara terasa begitu tenang. Raka dan Sarah tengah duduk berdua di ruang keluarga, ditemani oleh Nasha yang sedang bermain dengan mainan di lantai. Meskipun suasana terasa begitu damai, ada sesuatu yang terasa berat di hati Raka. Ada semacam pertanda yang tak terucapkan, seolah dunia sedang mengingatkan mereka untuk lebih menghargai waktu yang ada. Beberapa hari sebelumnya, mereka baru saja merayakan ulang tahun pertama Nasha dengan penuh kebahagiaan. Momen itu, yang dipenuhi dengan tawa anak-anak panti asuhan dan sentuhan kasih sayang keluarga besar, memberikan Raka dan Sarah sebuah pemahaman baru tentang arti kehidupan yang sesungguhnya. Pak Herman kini mendatangi Raka yang sedang bersantai di taman belakang. Suaranya yang berat dan penuh makna terasa sangat berbeda dari biasanya. “Raka, ada hal penting yang ingin Papa sampaikan padamu,” kata Pak Herman saat teleponnya berbunyi. Suaranya terdengar agak lemah, namun tetap penuh kehangatan. Raka segera duduk tegak, khawat
Hari itu, langit tampak cerah, seakan ikut merayakan hari istimewa dalam keluarga kecil Raka dan Sarah. Nasha genap berusia satu tahun. Bukan pesta besar yang mereka persiapkan, tetapi sebuah acara syukuran sederhana yang penuh makna. Raka dan Sarah sepakat untuk merayakan ulang tahun pertama putri mereka dengan berbagi kebahagiaan di sebuah panti asuhan.Panti asuhan itu bukan tempat yang asing bagi mereka. Sejak kejadian penculikan Nasha dan konspirasi Bu Rini yang membuat mereka hampir kehilangan segalanya, Raka dan Sarah lebih banyak merenungi arti keluarga dan kasih sayang. Mereka ingin mengajarkan kepada Nasha bahwa kebahagiaan sejati bukan hanya tentang perayaan mewah, tetapi juga tentang berbagi dengan mereka yang kurang beruntung.Pagi itu, suasana panti asuhan sudah mulai ramai. Anak-anak di sana terlihat bersemangat menyambut kedatangan tamu istimewa mereka. Beberapa dari mereka bahkan sudah mengenal Sarah dan Raka karena kunjungan-kunjungan sebelumnya. Pak
Setelah berhasil menyelamatkan Nasha dari tangan penculiknya, Raka, Sarah, dan Jeno kembali ke tempat persembunyian sementara mereka. Malam itu mereka beristirahat sejenak, meski pikiran mereka masih dipenuhi ketegangan. Namun, mereka tahu bahwa semua ini belum benar-benar berakhir.Keesokan paginya, Jeno menerima laporan dari timnya bahwa beberapa anak buah Bu Rini yang terlibat dalam penculikan telah tertangkap. Namun, dalang utama di balik kejadian ini masih menjadi misteri."Aku sudah melacak transaksi dan komunikasi mereka. Satu nama yang terus muncul adalah seorang pria bernama Anton," kata Jeno dengan serius. "Dia adalah tangan kanan Bu Rini yang selama ini bekerja di balik layar. Sepertinya dialah yang mengatur segalanya."Raka mengepalkan tangannya. "Jadi, dia yang selama ini mengancam keluargaku?"Jeno mengangguk. "Dia sangat licin dan punya banyak koneksi. Tapi aku sudah menghubungi seseorang yang bisa membantu kita menangkapnya."Tak la
Malam semakin larut, tetapi Raka, Sarah, dan Jeno masih terjaga. Pikiran mereka penuh dengan kekhawatiran dan strategi. Pesan singkat yang baru saja diterima Raka seolah menjadi alarm bahwa mereka tidak memiliki banyak waktu lagi."Kita harus menemukan keberadaan mereka sebelum mereka melakukan sesuatu yang lebih gila," kata Jeno dengan nada serius. "Aku sudah menghubungi seseorang yang pernah bekerja untuk Bu Rini. Dia setuju untuk bertemu, tapi dengan syarat kita harus berhati-hati."Raka mengangguk. "Di mana kita bisa menemuinya?""Sebuah gudang tua di pinggiran kota. Dia bilang tempat itu aman, jauh dari pantauan orang-orang yang mungkin bekerja untuk Bu Rini," jawab Jeno.Sarah menggenggam tangan Raka erat. "Aku takut, Mas. Bagaimana jika ini jebakan?"Raka menatap dalam ke mata istrinya. "Kita tidak punya pilihan lain, Sayang. Ini satu-satunya petunjuk yang kita punya. Aku janji, aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi padamu atau Nasha."Jeno menghela napas. "Baiklah, kita be
Sarah menggigit bibirnya, mencoba menahan isak tangis yang hampir pecah lagi. Raka masih duduk di sebelahnya, ponsel di tangannya terasa dingin, seperti ancaman yang baru saja mereka terima. Jeno, yang berdiri di seberang mereka, mengetik sesuatu di ponselnya dengan cepat. Pria itu kemudian menatap Raka dengan sorot mata penuh kewaspadaan."Aku sudah menghubungi seseorang untuk melacak sumber video itu. Butuh waktu, tapi kita akan menemukan mereka," kata Jeno dengan suara dalam.Raka mengangguk, tangannya masih menggenggam jemari Sarah erat. "Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuh Nasha lebih lama lagi. Tapi kita harus berhati-hati, mereka jelas tahu pergerakan kita."Sarah menelan ludah, mencoba mengusir rasa takut yang menggerogoti hatinya. "Siapa yang cukup kejam untuk melakukan ini, Mas? Aku yakin ini bukan Ratna. Dia ada di penjara. Lalu siapa?"Hening. Raka menatap Sarah, begitu pula Jeno. Tidak ada yang bisa menjawabnya saat itu.Namun, di balik keheningan itu, otak Raka be
"NASHA?"Suara Sarah memekik lantang. Tangannya gemetar saat ia melihat layar ponselnya. Tak lama kemudian, sebuah kiriman video berputar otomatis, menampilkan seorang bayi mungil berusia tiga bulan yang menangis keras. Mata Sarah membelalak, napasnya tercekat. Itu Nasha. Anak mereka telah diculik.Raka segera meraih ponsel dari tangan Sarah, matanya membelalak saat melihat rekaman itu. Nasha berada di dalam ruangan yang remang-remang, hanya diterangi cahaya redup dari lampu gantung. Tangisan bayi mereka menggema, membuat dada Sarah dan Raka terasa sesak. Tak ada suara lain dalam video itu, hanya isakan kecil yang semakin memilukan.Sebuah pesan muncul sesaat setelah video berakhir."Kalian ingin Nasha kembali? Jangan hubungi polisi. Kami akan memberitahu langkah selanjutnya."Sarah menatap Raka dengan wajah penuh ketakutan. "Mas... kita harus melakukan sesuatu. Nasha masih kecil, dia butuh kita."Raka mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. "Aku tidak akan membiarkan mereka menyen
Aula pengadilan dipenuhi dengan desas-desus dan tatapan tajam dari berbagai pihak. Sidang gugatan terhadap Ratna akhirnya dimulai, menjadi momen yang akan menentukan nasib keluarga Raka. Dengan bukti yang hilang, mereka harus mencari celah lain untuk melawan Ratna di hadapan hakim.Raka dan Sarah duduk di barisan penggugat, didampingi oleh pengacara mereka, Pak Rendy. Di seberang, Ratna tampak percaya diri dengan pengacara handalnya, seorang pria berpenampilan rapi dengan senyum yang mengintimidasi. Sorot matanya penuh dengan kesombongan, seolah yakin bahwa dirinya akan menang.Hakim mengetuk palu tanda sidang dimulai. "Sidang gugatan keluarga Raka Prasetya terhadap Ratna Wijayanti dibuka. Penggugat, silakan sampaikan tuntutan Anda."Pak Rendy berdiri. "Yang Mulia, kami memiliki bukti kuat bahwa tergugat telah memindahkan aset keluarga secara ilegal ke rekening pribadinya, tanpa persetujuan dari pewaris sah, yang menyebabkan kerugian besar bagi kel
Kehidupan Raka dan Sarah dalam beberapa minggu terakhir terasa seperti berjalan di atas bara api. Terlebih saat Jeno diserang oleh beberapa orang tak dikenal.Saat ini gugatan hukum terhadap Ratna telah menjadi berita utama di keluarga besar dan di luar sana. Ratna, seperti yang diperkirakan, tidak tinggal diam. Ia menggunakan segala cara, dari intimidasi hingga permainan kotor untuk menggagalkan perjuangan Raka dan Sarah.Hari itu, Raka dan Sarah sedang mengatur dokumen-dokumen penting di ruang kerja kecil di rumah mereka. Flash drive yang berisi dokumen-dokumen penting, termasuk bukti transfer aset ilegal Ratna, menjadi inti dari rencana mereka. Raka memastikan semua file telah dicadangkan dengan baik.“Sayang, aku rasa kita harus menyimpan salinan file ini di tempat yang lebih aman. Flash drive ini terlalu berisiko kalau hanya kita simpan di sini,” kata Raka sambil memegang benda kecil itu.Sarah mengangguk, setuju dengan saran suaminya. &l
Raka masih memikirkan ancaman terselubung Ratna saat sidang sementara Sarah merasa tertekan setelah mengetahui kondisi Pak Herman kembali memburuk. Beban dari kasus ini mulai menyusup ke dalam hubungan mereka.“Mas, kamu yakin bukti itu aman di tangan Jeno?” tanya Sarah sambil menuangkan kopi ke cangkir.Raka yang duduk di kursi makan, hanya mengangguk tanpa menatap Sarah. “Jeno sudah buktikan dia bisa dipercaya, Sayang. Aku rasa kita nggak punya pilihan lain.”Sarah menghela napas panjang. “Tapi kita juga harus waspada. Ratna mungkin akan bertindak lebih gila kalau dia tahu Jeno berpihak pada kita.”Raka menatap istrinya dengan mata yang penuh beban. “Aku tahu kamu khawatir, Sayang. Tapi kita sudah sampai sejauh ini. Kalau kita goyah sekarang, Ratna yang menang.”Sarah menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan rasa kesal. “Aku bukan goyah, Mas. Aku cuma… aku cuma nggak mau kehilangan apa yang sudah kita perjuangkan.”Raka berdiri dan berjalan mendekati Sarah, menyentuh pundaknya lemb