Nah ini adalah POV Ikhram. sudah puas kan, Jadi jangan marah lagi dengan Ikhram ya Mak. Yuk baca juga cerita ini: 1. Istriku Minta Cerai Setelah Aku Tagih Hutangnya. 2. Kunci Brangkas Rahasia Suamiku. 3. Maaf, Aku Pantang Cerai 4. Bawa Anak Lelakimu Pulang, Bu. 5. Talak Di Hari Kematian anakku. Happy reading and bantu vote ya guys. terima kasih.
"Tuan, ini informasi terbaru dari orang-orang tua itu. Kini mereka baru mengetahui, kalau pilihan mereka ternyata ular semua. Mereka semua melarikan diri, ketika keluarga dalam masalah." Aku tersenyum mendengar laporan Denis. Aku tau mereka memilihku bukan karena tulus, tapi hanya sekedar menunjukkan kalau aku menjadi salah satu pewaris, karena keturunan anak pertama yang sudah meninggal.Sehingga mereka tidak terlalu memperhatikanku sebagai pewaris. Mereka hanya menunggu aku mati perlahan-lahan, tentu dengan cara kejam dengan membuatku gemuk. Dengan harapan mati karena penyakit jantung atau sesak napas. Sayangnya rencana mereka hancur, oleh cinta seorang gadis miskin dan bar-bar. Cinta Pertama itu yang membuatku sadar dan bisa berpikir dengan benar, mengikuti utusan kakek yang selama ini bersembunyi, adalah langkah awal pemberontakanku. Hingga bisa muncul kembali sebagai pendiri Artama grup, terpisah dari dinasti keluarga kakek."Tuan anda mau kemana?" tanya Denis saat melihatku mem
"Tonggos" panggilan yang keluar dari mulut mungilnya. Ingin sekali meremas bibirnya itu, begitu sadar dia tidak mengingatku tapi mengingat aibku. Lega sekali melihatnya seperti itu, bapak dan ibunya juga terlihat senang. Aku menarik napas panjang, hampir saja aku kehilangan wanita ini. Pantas atau tidak aku akan merebutnya, dari sang suami yang bodoh itu. Langkah pertama aku harus merubah penampilan Amara, selain itu dia harus mulai menghadapai suaminya hingga menjadi mantan. Aku tidak rela dia kembali dengan si bodoh Bram itu."Kau mau membantu seorang wanita, tapi untuk apa?" tanya Rizwan dengan wajah bodohnya. "Membalas suami bodohnya, dia bekerja di perusahanmu," jawabku dengan malas."Siapa orangnya?" tanyanya dengan wajah penasaran. "Bramantyo," jawabku lagi. "Sial, berulah apa lagi pemalas itu?" Aku tersentak mendengar ucapan Rizwan. "Pemalas, gimana maksudmu?" tanyaku penasaran. "Capek aku dengan ulahnya, setiap bulan ada saja cutinya. Alasannya banyak sekali, keluhan dari r
Aku tersenyum melihat tingkahnya, namun senyumku menghilang saat melihat wajahnya memucat. Tiba-tiba dia mengetuk jendela mobil dengan kuat, melihatnya cemas aku segera meminta sopir untuk berhenti.Begitu mobil berhenti, Amara segera keluar lalu berjongkok di pinggir jalan. Tubuhnya bergetar saat menunduk untuk muntah, aku diam sembari menatapnya tajam, dengan sebuah kecurigaan yang tak masuk akal. Namun aku percaya dia bukan wanita murahan, dia tau cara menjaga dirinya. Walau aku tidak pernah mempercayai pria yang berada di sampingnya, seperti Rizwan dan Aska tentunya.Setelah agak lama berjongkok dengan perlahan dia berdiri, aku mencoba membantunya tapi tatapan matanya penuh dengan rasa jijik. Aku tersadar ketika dia menutup hidungnya, aku kembali mengendus tubuhku, tapi tidak mencium aroma lain selain aroma tubuhku dan tubuhnya."Apa kau yakin ini karena aroma tubuhku, bukan karena kau hamil muda?" tanyaku sinis. "Hamil, aku tidak keberatan jika harus tambah anak lagi," jawabnya t
Aku menarik napas panjang, sembari menatap tak berdaya wanita yang menangis memeluk lututnya. Amara menangis setelah aku paksa, memakaikan baju tidur ke tubuhnya. Tadi dia histeris karena mengira, baju yang aku berikan itu bekas wanita lain. Wanita ini benar-benar membuatku gila, wanita mana yang bisa membuatku melakukan hal yang tak masuk akal selain dirinya."Tidak pernahkah kau berpikir baik padaku, sejak kapan ada baju wanita lain di kamar kita? Semua baju di walk in closed itu masih baru semua, aku belikan hanya untukmu. Sudah lima tahun aku mengumpulkan semua baju itu, hanya untuk satu-satunya wanitaku ... Istriku." Aku mencoba menjelaskan dengan pelan, agar Amara tidak lagi mengila seperti tadi.Namun tetap saja aku menahan geram melihat tatapan matanya itu. Parahnya bukannya mendengar penjelasanku, dia malah tidur sembari menutupi tubuhnya. "Sebenarnya apa yang terjadi pada kita, Yang? Kau berubah setelah sah menjadi istriku." tanyaku lirih, sungguh aku masih tidak mengerti.
"Apa ini, dan untuk apa?" tanya Amara saat aku meletakan kartu warna gold di hadapannya. Kartu debit yang aku berikan setelah menikah, kartu yang dia tinggalkan ketika kabur saat hamil.Kartu yang isinya terus bertambah seiring waktu kepergiannya. Aku hanya berharap soal nafkah tidak akan memberatkan-ku, ketika masalah perceraian dia ungkit seperti saat ini. Meski aku tau dia tidak pernah mengunakan uang nafkah itu, karena saat pergi dia meninggalkan kartu debit pemberianku itu."Tidak perlu kembali ke kampung, atau menjual rumah dan tanah bapak. Di kartu ini ada uang hampir lima belas miliar, jika kurang tinggal bilang aku akan transfer lagi," jawabku sembari menyerahkan kembali, kartu debit itu ke hadapannya. "Untuk apa kau memberiku uang sebanyak ini?" tanyanya lagi. "Itu uangmu, aku sudah menjual rumah yang aku berikan sebagai mahar untukmu. Selain itu uang di kartu itu adalah nafkah, yang selama ini aku berikan kepadamu selama kita menikah." Aku menjelaskan agar istriku ini paham
Denis menunduk setelah menyerahkan berkas yang dia bawa. Aku memeriksanya sebentar, lalu menyerahkan kembali setelah aku tandatangani. "Apa ada yang tak kau laporkan padaku, tentang kejadian yang menimpa istriku, Den?" tanyaku pelan.Sembari menatap Denis yang masih menundukkan kepalanya. Jelas terlihat dia kebingungan, namun aku tetap menunggu jawabannya. "Saya minta maaf, Tuan. Tentang kejadian waktu itu, saya sudah menghubungi anda, tapi anda tidak mengangkat panggilan saya. Saat itu anda dalam perjalanan bersama Nyonya Kartika." Aku menarik napas mendengar penjelasan Denis. Otakku bergerak cepat untuk berpikir, saat itu memang aku dalam perjalanan ke rumah sakit. Alasannya waktu itu Kartika sempat jatuh di kamar mandi, takut terjadi sesuatu pada kandungannya, aku langsung membawanya ke rumah sakit. Sialnya setelah selesai bertemu dokter, aku justru ketemu Amara di depan ruangan dokter kandungan. Waktu itu aku juga baru tau Amara juga tengah mengandung, aku menyesal karena melakuk
"Apa yang kalian inginkan?" tanyaku pada papa dan mama. Melihat mereka sudah membuatku geram, tapi tidak bisa berbuat apa-apa karena mereka orang tua kandungku. "Papa dengar wanita itu kembali lagi, sudah lima tahun Ikhram buka matamu. Jangan di butakan oleh cinta, kita tidak tau siapa di balik wanita ini." Papa berkata dengan nada sinis. Aku tertawa mendengar ucapannya, ucapan pria yang seharusnya menjadi pelindung keluarga, nyatanya hanya cangkang kosong berkedok kepala keluarga. "Aku tidak pernah meminta apapun dari kalian, tidak juga meski demi selembar nyawaku." Aku kembali menatap papa dan mama."Aku tidak akan menyentuh keluarga itu, tapi aku juga tidak mau kalian menyentuh istriku. Jika tidak, mungkin kalian akan melihat betapa gilanya anak kalian." Aku tersenyum sinis, sembari menatap perban di tanganku. "Sejak penetapan hak waris keluarga, berapa kali aku hampir mati diracuni. Apa kalian tau dan bertindak melindungi? Tidak. Uang dan kedudukan membutakan mata hati kalian. S
"Aku rasa Denis tidak berbohong, di sini yang salah memang aku. Aku terlalu mempedulikan Kartika, sehingga semua orang salah paham termasuk kau." Aku meraih tangan amara lalu menciumnya. Setelah mendengar penjelasan Denis, akhirnya aku sadar. Semua terjadi karena kebodohanku, Amara tidak bersalah begitu juga dengan Kartika. Wanita itu hanya terlalu mencemaskan aku, hingga membuat perhatiannya menjadi berlebihan. "Jadi menurutmu hanya kau yang salah, wanita bersuami itu tidak bersalah, karena terlalu memperhatikan suamiku?" Amara bertanya sembari menatap wajahku. "Tidak perlu kau jawab, aku sudah mengerti." Aku menarik napas panjang, ketika melihat Amara berdiri lalu meninggalkanku sendiri. "Bukan begitu, Sayang. Tolong dengarkan aku dulu." Aku membuka selimut yang menutupi tubuh Amara. Bukannya membuka selimut, dia malah memejamkan matanya.Aku menghembuskan napas dengan kesal, aku kira setelah berbicara dengan santai tadi. Hubungan kami akan membaik, ternyata aku kembali membuat Am
Bagi orang tua hidup sudah lebih dari cukup asal ada anak dan cucu. Setelah memastikan aku dan Ikhram akan membawa anak-anak mengunjungi mereka saat liburan, kakek Ikhram membujuk mama Ikhram agar setuju pergi ke perkebunan teh kami. Meski terlihat tak ikhlas, tapi mama Ikhram akhirnya setuju. Aku dan Ikhram membawa anak-anak mengantar mereka langsung ke perkebunan, awalnya mau menaiki pesawat tapi anak-anak malah mau naik mobil. Alhasil kami membutuhkan tiga hari perjalanan untuk sampai ke perkebunan. Kemudian kami menghabiskan waktu yang tersisa hingga weekend baru kami kembali. Kali ini kami kembali menaiki pesawat, meski tak tega tapi aku menguatkan hati saat meninggalkan kakek dan mama Ikhram. "Mama masih belum menyerah, beberapa hari ini dia mencoba membuatmu merasa bersalah. Untungnya istriku sudah lebih cerdas jadi tidak tertipu lagi, kalau tidak aku akan pusing memikirkan cara menyadarkan mama." Ikhram memelukku, sembari berjalan ke dalam ruang tunggu. Sedangkan di depan
Melihat istri dan anak hampir celaka, di depan mata dan tanpa bisa berbuat apa-apa membuat Ikhram trauma. Setiap kali memejamkan mata dia akan bermimpi buruk, hal itu sudah terjadi selama dua hari ini.Merasa tertekan dan tidak beristirahat dengan tenang, semakin membuatnya frustasi. Hasilnya dalam jangka waktu singkat Ibu kota gempar, dua perusahaan besar dan dua keluarga kelas atas jatuh dalam sekejap. ARTAMA grup mengeksekusi perusahaan Sam dan kakek Ikhram. Tentu saja hal itu menambah masalah baru, namun itu justru membuat Ikhram merasa puas. Aku hanya bisa melihat kepuasannya, karena aku tau rasa sakit yang dia rasakan selama ini."Apa kau yakin akan bertarung dengan kakek dan juga ... Mama?" tanyaku lagi saat menemaninya istirahat, di kamar yang ada dalam ruang kerjanya."Jangan lupa ada Sam juga, kalau merasa iba kau bisa mengatakannya sekarang." Ikhram menyentuh daguku, lalu memberi kecupan di bibir dengan lembut. Mendengar nama Sam di sebut membuatku bingung, "Ada hubungan
Waktu bersantai bagi seorang wanita yang sudah menikah dan punya anak adalah hal yang paling mewah. Satu atau dua jam untuk menenangkan diri, itu sudah lebih dari cukup bagi mental yang kadang sedikit tertekan. Setelah menyingkirkan Ikhram, akhirnya aku bisa memuaskan diriku dengan belanja dan makan enak. Setelah dua jam menjelajahi jalanan, akhirnya aku pergi ke perusahaan Ikhram dengan membawa satu cup besar boba dan satu kotak besar aneka kue potong. Aneka kue dengan bermacam-macam cream. Ada cream coklat, stroberi dan juga moka, aku tertarik melihatnya jadi membelinya. Siapa sangka ternyata jumlahnya cukup banyak, sebelum Ikhram melihatnya aku akan menyimpannya di pantry saja. Sore baru aku bawa pulang, tentu saja tanpa sepengetahuan suamiku itu. Setelah sampai depan lobby aku celingak-celinguk untuk melihat situasi, jangan sampai kepergok Ikhram yang kadang muncul macam jelangkung itu. Dia kadang bisa muncul kapan saja dan dimana saja, tanpa bau dan tanpa suara pas kan
Melihat orang gila di rumah sakit jiwa lebih baik, daripada melihat mertua yang mengila, karena tidak bisa melawan menantunya. Aku hanya diam saat melihat mertuaku menangis seperti anak kecil, melihatnya seperti itu membuatku berpikir, apa aku benar-benar tertipu oleh penampilannya ketika pertama kali bertemu. Saat itu mertuaku itu terlihat begitu menderita, dengan wajah pucat yang seperti kurang darah, namun sekarang penampilannya terlihat berubah drastis. Ibarat Kucing telah berubah menjadi Singa, tatapannya juga lebih tajam dan juga kejam. "Aku mamamu, wanita yang melahirkanmu. Apa pantas kau perlakukan seperti ini, hanya demi wanita yang baru kau nikahi?" tanya mama Ikhram dengan sinis. "Aku sudah lama menikahinya, Ma. Dia juga orang yang berdiri di sampingku saat terpuruk dulu, andai tak ada dia aku tak akan berdiri tegak seperti ini di depan mama saat ini." Ikhram memegang tanganku dengan erat. Aku menepuk punggung tangannya agar dia tenang, saat ini kami benar-benar d
Ujian pernikahan setiap orang berbeda, ada yang diuji dengan anak, suami bahkan dari sang istri. Sedangkan aku, ujian pernikahanku masih sama, baik pernikahan pertama ataupun yang kedua, aku diuji dengan mertua dan wanita kedua. Ujian itu kembali datang, mungkin karena di pernikahan pertama aku gagal mengatasinya. Sedangkan di pernikahan kedua ini, aku bertekad untuk melawan ujian itu, tentu saja dengan dukungan suamiku Ikhram. Sedangkan di pernikahan pertamaku dulu, Bram tidak hanya membantuku mengatasi ujian tersebut, tapi dia justru membuatku putus asa. Sehingga aku menyerah dan memilih bercerai. "Berjuanglah jika memang sudah memilih untuk bertahan, bapak juga setuju jika kau melawan orang yang ingin menghancurkan pernikahanmu. Begitu juga ketika Ikhram tidak lagi mendukungmu, kami bersedia menerimamu kembali pulang," ujar bapak dengan mantap. Ikhram memeluk pinggangku dan berjanji pada bapak dan ibu, bahwa dia tidak akan membiarkan aku berjuang sendiri. Dia bahkan berani
Ketenangan, sepertinya menjadi sebuah hal yang paling berharga, sehingga begitu sulit untuk aku dapatkan. Hanya dalam waktu seminggu akhirnya wanita itu datang tanpa diundang. Dengan wajah angkuhnya dia menatap, rumah yang aku tempati sekarang. Senyum sinis juga terukir di bibirnya, lalu mulutnya pun mulai berkicau dengan nada penuh penghinaan. "Pantas kau begitu percaya diri, saat meninggalkan rumah putraku. Ternyata kau memiliki cadangan, untuk hidup senang dengan menumpang pada seorang pria. Sudah berapa lama kau bersamanya, jangan-jangan kalian sudah bersama ketika masih bersama dengan Ikhram?" tanyanya sinis. "Aku rasa Kau tidak perlu tahu sejak kapan aku bersamanya, sama seperti ketika kau pergi dan melupakan putramu. Waktu yang kau perlukan untuk pergi cukup banyak, tapi mengapa baru sekarang kau kembali. Apa mungkin tiada paksaan saat itu, jangan marah karena kenyataannya hanya kau yang tahu apa yang terjadi saat itu," ujarku tak mau kalah. "Kau benar-benar wanita kura
Kakiku gemetar saat menuruni tangga, di bawah mertuaku itu berdiri dengan angkuhnya. Aku tertawa melihatnya, karena begitu profesional sekali dia menutupi sifat aslinya. Hingga membuatku tertipu dengan kelakuannya. Aku menyerahkan koperku dan memintanya untuk memeriksa, aku tidak mau ada yang mengatakan aku mencuri. Ikhram mengengam tanganku dengan erat, sesuai dengan kesepakatan aku akan pergi untuk menenangkan diri untuk sementara. "Kau bisa meninggalkan segalanya, tapi tidak dengan cincin pernikahan kita. Ingat kau tidak boleh pergi diam-diam, setelah aku menyelidiki masalah ini aku akan menjemputmu kembali." Ikhram mengambil koperku, lalu kembali mengengam tanganku. Dia membawaku menuju ke mobil Aska yang menunggu di luar. Kali ini dia mau berkompromi setelah aku ancam akan mengajukan gugatan cerai, tanpa menunggu melahirkan. "Pak, saya minta maaf. Saya berjanji akan menyelidiki masalah ini, saya juga berjanji tidak akan menceraikan Amara." Ikhram mengambil tangan bapak
Anak adalah buah hati orang tua, tapi ketika sudah memiliki cucu maka julukan itu sudah tidak berlaku lagi. Seperti saat ini Ikhram memijit keningnya karena diabaikan oleh ibunya. Padahal di dalam hatinya masih ada sesuatu yang belum selesai bergejolak, sama seperti yang aku rasakan. Kami saling pandang, lalu kembali menatap kedua anak kecil itu yang terhalang oleh mama dan kakek Ikhram. "Mami, Papi," rengek Rara karena dia merasa tidak nyaman, bersama mama dan kakek Ikhram. Alasan karena ini pertama kalinya mereka bertemu. "Sayang, ini nenek dan buyut kalian. Ini ibunya papi dan itu kakeknya papi, salim dulu biar kenal dan akrab." Melihatku berjongkok di depan mereka, dengan senang mereka mencium tangan mama dan kakek Ikhram. Aku tersenyum melihat mereka mulai mendekat, pada kedua orang yang baru mereka kenal itu. Bahkan mereka sudah mau duduk di sebelah mama dan kakek Ikhram dan menerima makanan yang di suap-kan ke mulut mereka. "Mami kenapa kita baru ketemu nenek dan mana k
Sebuah kejahatan besar dan dilakukan oleh seorang wanita, hebatnya lagi bisa menyembunyikannya selama bertahun-tahun. Aku merinding saat menatap Tante Rida, dia benar-benar wanita kejam yang tak boleh di sentuh, sayangnya dia telah menyingung Ikhram. Namun aku lebih merasa takjub ketika melihat perlakuan Papa Ikhram, dia bahkan memeluk Tante Rida dengan erat, meski telah mengetahui kejahatan wanita itu pada anak dan istri sahnya. Mau tak mau aku harus menahan mual di dalam perutku, andai bisa, ingin rasanya mencabik-cabik wajahnya itu. "Tidak nyaman berada di sini? Bawa mama keluar dulu dan melihat-lihat perusahaan kita." Ikhram membelai wajahku di depan banyak orang. Aku segera menolak meski perutku terasa tidak nyaman, begitu juga dengan mama Ikhram. Kami harus tau keputusan apa yang akan mereka ambil, untuk memberikan pelajaran pada Tante Rida. "Aku tidak menyangka sama sekali, kau memiliki nyali yang sangat besar. Mengirim putriku ke neraka hanya karena ucapan wanita jalan