“Adrian?! Kenapa mereka bisa akrab?” tanya ketua kelas bertubuh kurus kering itu dengan nada yang sedikit tertahan.Ia mengintip dari sebuah tempat duduk di depannya dengan gaya yang dramatis. Seolah-olah ia baru saja mendapat bahan baru untuk bergosip. Ia bertingkah bagaikan seorang tokoh dalam sebuah drama. Lalu ia menatap sahabatnya dengan kedua mata yang terbelalak seolah-olah keduanya akan loncat keluar.“Entahlah,” jawab Hayden dengan tidak acuh. Kemudian ia memakai earphone dan menatap pemandangan luar luar.“Kenapa kamu begitu tidak acuh?” bisik Satrio sambil mendorong kawannya. Ia sedikit kesal karena tidak mendapat tanggapan apapun dari kawannya itu.***Vanika berjalan dengan pria muda itu menuju rumahnya. Pria muda berkulit putih itu tersenyum bahagia dan Vanika merasa setiap rasa sakit di hatinya perlahan hilang. Mengingat Hayden selalu membuatnya teringat setiap moment yang ia jalani bersama laki-laki itu.“Kak Adrian?” tanya Vanika kepada pria di sampingnya.“Hmmm?” jaw
Sepertinya memang harus begini, memang jalannya harus begini.Semuanya berakhir di sini.Atau mungkin tidak.Berbagai macam hal terlintas di pikiran laki-laki itu. Ia keluar dari kelas itu dan disambut oleh sebuah senyuman hangat teman masa kecilnya. Gadis itu menghampirinya, tapi ia begitu kesal dengan semua yang terjadi akhir-akhir ini sehingga ia terus berjalan dan mengabaikan keberadaan kawannya.Gadis itu merasa sangat kecewa karena ia pikir sekarang ia bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan laki-laki itu. Namun, sebaliknya. Hayden semakin tidak mengacuhkannya. Emily menyaksikan Hayden terus berjalan menuju ruang kelasnya tanpa mengatakan apa pun. Gadis manis itu merasa begitu kecewa dan kembali ke kelasnya dengan kepala yang tertunduk.***“Entah kenapa aku sangat menikmati pelajaran olahraga hari ini. Teori saja sudah cukup bagiku karena praktik itu terlalu melelahkan. Ah, mungkin bagi sebagian besar siswa di kelasku juga begitu. Lagipula lebih enak melihat Pak Adrian kita
Vanika begitu terkejut melihat sosok yang ia rindukan muncul di hadapannya. Laki-laki berparas tampan itu menatapnya dengan wajah yang pucat dan tenang.“Ma,,, maaf, Hayden,” ucap gadis itu dengan suara yang pelan.“Ya, gak apa-apa,” jawab laki-laki jangkung itu dengan senyumnya.Momen ini sedikit terasa aneh karena mereka tidak berbicara dalam waktu yang cukup lama. Vanika masuk ke dalam area stand itu dan Hayden mendekati ibu penjual lontong kari itu.“Mau ambil pesanan ya? Sebentar ya,” ujar ibu itu sambil menyelesaikan pesanan Vanika.“Baik, Bu,” jawab Hayden dengan tenang.Kedua siswa itu masing-masing melihat sekeliling mereka di situasi yang sangat canggung itu. Tiba-tiba pandangan mereka bertemu dan mereka langsung saja mengalihkannya ke arah lain. Tidak lama kemudian ibu penjual lontong kari itu memberikan pesanan kepada laki-laki itu. Hayden melihat ke arah Vanika dengan senyumnya yang hangat.“Aku duluan ya,” ujarnya seraya tersenyum pada gadis itu.Vanika tersenyum tipis k
Ukiran itu dibuat dengan rapi dan indah. Mungkin untuk kabanyakan orang itu adalah ukiran biasa yang dibuat orang yang sedang jatuh cinta. Sebuah kutipan dari buku karangan Shakespeare yang menjadi buku favorit mereka.“Forty thousand brothers could not with all their quantity of love make up my sum”Hayden tersenyum membaca tulisan itu. Ada semacam perasaan senang, rindu, kecewa, dan sedih yang bercampur di hatinya. Laki-laki itu berjalan dan menaiki tangga. Tatapannya menyapu semua bagian tempat itu dan ia tiba-tiba teringat rasa dukanya ketika kehilangan sang ayah. Pada akhirnya aku selalu berakhir di sini, pikirnya.Rumah pohon itu selalu menjadi tempat sekaligus teman di kala ia merasa tidak memiliki siapa pun untuk menemani rasa dukanya. Tidak lama kemudian hujan turun dengan lebat dan membuatnya sedikit mengantuk. Laki-laki bertubuh jangkung itu menutup pintu dan naik ke atas ranjang gantungnya. Kemudian ia berbaring sambil melihat ke arah jendela sambil menikmati pemandangan
Vanika menatap sosok yang baru saja duduk di sebelahnya. Laki-laki itu menatapnya balik dengan senyum yang hangat. Wajahnya begitu tenang seolah-olah tidak pernah terjadi hal buruk pada mereka. Senyum yang sedang ia tatap di wajahnya itu sudah cukup lama tidak ia lihat. Menenangkan, tapi membuat hatinya begitu bergejolak.“Vanika,” ucap laki-laki itu sambil menatap lekat kedua matanya.“Hayden,” balasnya dengan lembut.Seketika mereka saling bertatapan dalam keheningan. Tidak lama setelah itu, suasana canggung dan kaku menimpa mereka. Tatapan mereka beralih kepada sekumpulan siswa yang sedang bermain bola di lapangan.“Jimmy dan Joe semakin unggul dalam olahraga ya,” ujar Hayden yang berusaha mencairkan suasana.“Ya, mereka semakin hebat,” jawab Vanika sambil berusaha fokus dengan apa yang ia saksikan di depannya.“Kelihatannya begitu. Kalau kamu bagaimana? Apa kabarmu?” tanya laki-laki itu sambil menatap gadis itu.“Lumayan. Lebih baik dari sebelumnya,” jawab gadis berambut ikal itu
Vanika memandang pria itu dengan kedua mata bulatnya. Pria muda bertubuh tinggi itu baru saja meminta izin untuk memeluknya. Sedikit aneh bagi Vanika, tapi seperti itulah Adrian.“Sure. We’re friends,” jawab gadis itu sambil memeluk Adrian.Adrian yang mendengar itu sedikit merasa kecewa, namun merasa nyaman ketika gadis yang ia sayangi memeluknya. Pelukan singkat itu meninggalkan kesan berbeda bagi Vanika. Berbeda dari setiap pelukan Hayden yang penuh dengan gejolak remaja, Adrian memberikan kesan sederhana yang penuh ketulusan.“Ya sudah, aku pulang ya. Jaga diri baik-baik, Van,” ucap pria muda itu sambil menepuk bahu gadis yang berdiri di hadapannya.“Wah, wah, wah. Mencoba untuk berbicara informal ya?” ujar Vanika dengan tawa ringannya.“Ya,” jawab Adrian dengan senyum yang terkesan sedikit canggung.“Hati-hati di jalan ya,” pesan gadis bertubuh ramping itu sambil melambaikan tangannya seiring dengan perginya pria muda itu.***Vanika terbangun dari tidurnya karena Clarissa memasu
Vanika duduk di teras rumahnya sambil menatap lekat-lekat wajah gadis yang duduk di sebelahnya. Rambut gadis itu begitu gelap, lurus, dan indah. Kedua alisnya begitu tebal dan cantik. Bulu matanya lebat dan lentik. Kedua matanya sedikit sembap karena habis menangis.“Emily, are you okay?” tanya Vanika dengan sedikit cemas dan dibalas oleh anggukan kecil dari gadis di sebelahnya itu.Vanika meraih salah satu tangan Emily yang sedang meremas-remas gaun hitamnya. Seorang gadis cantik dengan wajah muram dan mengenakan gaun hitam adalah pemandangan yang sangat menyedihkan. Gadis berambut kecokelatan itu mengelus tangan Emily dengan lembut.“Ada apa, Emily?” tanyanya dengan lembut.“Vanika, maafkan aku,”“Untuk apa?”“Hayden…”“Kami sudah berakhir, Emily,” potong Vanika.“Aku mohon kembalikan dia jadi seperti dulu lagi, Van,” ucap Emily dengan pelan.“Kenapa?”“Dia berubah total sejak berpisah dengan kamu. Aku pikir hanya kamu yang bisa mengembalikan Hayden yang dulu,”“Emily, dulu kamu yan
Gadis bergaun tidur putih itu berlari-lari menuju gerbang depan rumahnya. Rambut ikal panjangnya diterpa angin malam yang dingin.“Kak Adrian! Oh bukan! Adrian!” panggil Vanika dengan gembira.“Ah,, kenapa kamu berlari-lari seperti itu di malam hari? Menyeramkan,” ucap pria muda itu sambil melepaskan jaket tebal berwarna cokelat tua dari tubuhnya dan memberikannya pada gadis itu.“Loh kenapa di lepas?” tanya gadis itu sambil mengambil jaket itu.“Pakai saja,” jawab Adrian.Tidak lama kemudian mereka sudah duduk di teras rumah itu. Adrian terlihat sibuk mencari sesuatu dari tas ranselnya.“Loh kamu cari apa?” tanya Vanika penasaran.“Aku ke sini untuk kasih kamu sesuatu,” jawab pria muda itu yang masih sibuk dengan ranselnya.“Oh begitu. Ah, aku masih belum terbiasa pakai bahasa informal dengan orang yang lebih tua,” ujar gadis itu.“Gak apa-apa. Aku yang minta juga. Nah, ini ketemu,” ujar Adrian sambil mengeluarkan sebuah kotak kecil dan membukanya.Ia mengeluarkan sebuah gelang yang
“Aku gak tahu kalau Erika adalah pemilik rumah pohon di daerah atas itu,” ujar Adrian yang berjalan beriringan dengan Joe dari arah halaman belakang menuju meja makan.“Ya, keluarganya membeli tempat itu,” jawab Vanika yang sedang mempersiapkan makanan di meja makan yang berukuran besar dan memanjang itu.“Dan akhirnya tempat itu menjadi area bermain Erika,” sambung Joe sambil mengeluarkan sebuah kursi makan dan duduk di atasnya.“Ya, kurang lebih begitu,” jawab Vanika lagi.“Lalu kenapa kalian sampai keluar dari area itu dan memasuki kawasan milik orang lain?” tanya Adrian sambil memandang kekasihnya.“Kami gak begitu yakin. Lagipula aku gak mau ke sana lagi. Pria itu mungkin pemiliknya atau tinggal di dekat sana. Dia juga kelihatannya begitu misterius,” jawab kekasihnya dengan tegas.“Itu hanya perasaan kamu saja,” balas pria berparas tampan itu dengan senyum tipisnya.“Semua orang tua, terutama pria tua, terlihat sama saja di mataku,” ujar Joe dengan wajah yang tidak acuh.“Kami ga
Vanika takjub dengan apa yang dilihatnya. Sebuah telaga. Telaga dengan air yang jernih dan air terjun yang berukuran tidak begitu besar. Airnya begitu jernih sehingga cahaya matahari menyeruak ke dalamnya dan mereka dapat melihat bagian dasar di bagian yang dangkal. Di dasar telaga terdapat banyak batu berwarna putih yang terlihat indah seperti bebatuan yang biasa kita lihat di berbagai macam tayangan bertema alam.Udara di lingkungan itu begitu sejuk dan banyak tanaman yang rindang. Tempat tersebut terlihat seperti tempat yang belum terjamah. Lebih tepatnya terlihat seperti tempat di kisah-kisah fairytale atau mungkin dongeng tentang petualangan yang biasa kita dengar pada saat sebelum tidur.Tempat tersebut didomonasi oleh warna hijau yang menyegarkan mata. Vanika menengadahkan kepalanya dan menatap langit. Langit berwarna biru cerah dengan gumpalan awan yang terlihat seperti kapas yang berwarna putih bersih. Perpaduan pemandangan langit yang cerah dan suasana di sekitarnya yang pen
Vanika terdiam membisu dan kebingungan.I have a bad feeling, pikirnya.Vanika tersenyum tipis kepada kawannya. Ia sama sekali tidak ingin merusak suasana hati Erika yang sedang bahagia. Kendaraan mereka mendekati sebuah bukit yang dikelilingi sebuah pagar berwarna gelap.Pemandangan itu sangat tidak asing bagi Vanika. Gerbangnya yang besar itu terbuka secara otomatis. Mobil melewati pagar itu dan melaju terus ke atas. Jantung Vanika berdebar-debar. Kedua matanya menangkap sebuah pemandangan yang membuatnya semakin gugup.Tempat di mana dia sering menghabiskan masa remajanya dengan seseorang yang pernah ia cintai ada di depan matanya. Hampir tidak ada yang berubah dari tempat itu. Tempat di mana Hayden pertama kali melihatnya menangis. Tempat itu juga menjadi tempat pertama yang akan dikunjungi mantan kekasihnya itu saat ia tidak punya tempat mengadu.Tempat itu adalah rumah pohon peninggalan mendiang sang ayah dari Hayden Irawan dan sekarang tempat itu menjadi milik keluarga Erika. E
“Sudah sekian lama kita tidak bertemu, Vanika,” ujar wanita ber-lipstick merah itu.Wanita tersebut bangkit dari tempat duduknya. Vanika pun melakukan hal yang sama tanpa mengalihkan pandangannya dari wanita yang sudah berumur itu. Wanita itu memeluknya dengan perasaan yang haru karena sudah sekian lama mereka tidak bertemu. Bahkan, mereka akhirnya tidak sengaja bertemu di tempat dan waktu sama sekali tidak pernah mereka duga sebelumnya.Vanika sulit untuk mempercayai siapa yang saat ini muncul di hadapannya dan memeluknya dengan penuh kasih sayang. Ialah Nyonya Irawan, ibu dari Hayden yang pernah dicintainya.“Apa kabarmu, Nak?” tanya wanita cantik itu.“Baik, Bu. Bagaimana kabar ibu?” tanya Vanika seraya membalas pelukannya yang erat.“Saya semakin tua, Vanika. Kamu sedang apa di sini?” tanya Bu Irawan dengan kedua matanya yang menatap Vanika dengan antusias.Tangan wanita bertubuh kurus itu menarik Vanika agar duduk di sebelahnya. Vanika duduk bersebelahan dengan Bu Irawan di kurs
“Van,,, ummm,,, kalau aku dan Clarissa mendahuluimu gimana?” tanya Jimmy pada sahabatnya.“Wah? Serius? Kamu yakin?” ujar Vanika yang sulit untuk mempercayai hal yang baru saja ia dengar.“Aku yakin. Aku pikir kami sudah siap,” jawab sahabatnya dengan mantap.“Rencananya kapan?” tanya wanita muda itu lagi.“Aku pikir tahun depan adalah waktu yang tepat, tapi aku ingin bertemu orang tua kalian secepatnya,”“Benarkah? Ah, aku gak pernah menyangka akan jadi keluargamu,”Vanika yang terharu memeluk Jimmy layaknya saudara. Sulit dipercaya bahwa mereka sudah sedewasa ini.“Maaf ya,” ucap Jimmy pada Vanika.“Kenapa kamu harus minta maaf? Santai saja,” jawab Vanika yang tersenyum dengan hangat.“Wah ada apa ini? Kenapa situasinya aneh begini?” ujar Adrian yang mendekati mereka.Vanika menarik tangan kekasihnya dan berkata dengan nada yang pelan. Hampir seperti berbisik.“Jimmy akan menemui orang tuaku dan Clarissa,” bisiknya.“Benarkah?” tanya pria jangkung itu sambil merangkul Jimmy yang ter
“I see your face in every scene of my dreams, and I hear your voice in every sound. I wish I did not. It is too much what I feel. They say such love never lasts”(Thomas Hardy – The Return of the Native)“Apakah Adrian tahu kamu pergi menemui aku?” tanya pria muda itu.“Gak, Hayden. Dia gak tahu,” jawab wanita muda yang duduk di hadapannya.“Apa kamu sudah memikirkannya?” tanya pria itu lagi sambil memajukkan tubuhnya.“Memikirkan apa?” Vanika bertanya balik dengan wajah yang kebingungan.“Van, aku pikir kita bisa memperbaiki semuanya. Do you love me?”“Sometimes I do,,, sometimes I don’t,”“Vanika, I’m the one who wants to love you more. I know you. You always want to be loved to madness,”So whenever you ask me again how I feelPlease remember my answer is youEven if we have to go around a long wayI will still feel the sameWe’ll be alrightI want to try again(d.ear ft. Jaehyun – Try Again)“Hayden, aku pikir ini adalah momen yang tepat untuk mengutarakan pendapatku,” ucap Vanika
“Ada apa, Adrian?” tanya Vanika dengan wajah yang tidak acuh. Wajahnya yang pucat menjadi merah padam. Wajah yang sama sekali tidak acuh seolah-olah selama ini dia telah dikhianati. Wajah yang seolah-olah tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat ia percaya. Pria itu hanya berjalan mendekat dan sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Wanita muda itu duduk di sebuah bangku sambil memasukkan semua barangnya ke dalam ranselnya. Ia juga sibuk mengikat rambutnya yang terurai tidak beraturan. Pria bertubuh jangkung itu duduk dengan tenang dan memberikan sekaleng minuman bersoda kesukaan kekasihnya. Vanika mengambilnya dengan perlahan dan menggenggamnya erat-erat dengan canggung. Mereka tidak saling berpandangan dan fokus dengan minuman mereka masing-masing. “Kelihatannya kamu kelelahan,” ucap pria muda itu yang mencoba mencairkan suasana yang tidak mengenakkan itu. “Aku gak kelelahan,” jawab wanita muda itu yang kemudian lang
Kedua mata indah nan gelap itu menatapnya dengan tajam. Tatapannya membuat jantung wanita muda itu berdegup dengan kencang. Vanika hanya diam terpaku. Membeku dan tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Lidahnya terasa begitu kelu.“H,,, hay,,, hayden?” ucapnya dengan gugup.Pria muda itu tersenyum hangat. Namun, Vanika hanya menatapnya dengan perasaan yang campur aduk. Ia meraih plester yang disodorkan kepadanya dan terdiam kebingungan. Hayden duduk tepat di sebelahnya. Mereka duduk dengan posisi yang persis sama dengan posisi duduk mereka beberapa tahun lalu.“Apa kabarmu, Van?” tanya Hayden.“Baik. Kapan kamu kembali ke sini?” balas Vanika dengan canggung.“Beberapa waktu lalu,” jawab pria rupawan itu yang dibalas oleh sebuah anggukan kepala wanita yang duduk di sebelahnya.“Sini aku bantu pakaikan plester di lukamu,” ujar pria muda itu yang langsung berlutut di hadapan wanita muda itu.“Ahh jangan. Gak usah. Aku bisa sendiri kok,” tolak wanita berambut ikal itu.“Kamu memang cocokn
Wanita itu berdiri terpaku. Kedua telapak tangannya menutup mulutnya yang terbuka karena terkejut. Ia benar-benar tertegun dengan hal yang sama sekali tidak pernah ia duga sebelumnya.Di dekat pintu masuk, sahabatnya berdiri. Sahabat yang sudah ia kenal sejak kecil. Sahabat yang sudah lama tidak ia temui. Sekarang sahabatnya telah menjadi pria dewasa yang tampan. Pria itu membawa sebuah tas berisi bingkisan di tangannya.“Emily,” sapa pria muda itu.Emily berlari dan memeluk pria itu dengan perasaan haru. Pria muda itu memeluknya dengan erat.“Happy anniversary, Em. Maaf aku gak bisa datang ke pernikahanmu tahun lalu,”“No, it’s okay. Lagipula aku hanya mengundang keluarga dan teman-teman dekat,”“Ini untuk kamu,” ucap pria itu seraya memberikan sebuah tas yang berisi sebuah bungkusan.“Thanks, Hayden,” jawab wanita muda itu dengan senyum yang hangat.Hayden duduk berhadapan dengan sahabatnya. Ia menyesap secangkir kopi hangat. Wajah Emily terlihat begitu gembira karena kedatangan sah