"Hah?! Dipecat?" Mas Guntur tampak kaget beberapa saat, kemudian dia tertawa, membuat kami kebingungan. Aku mengernyitkan kening melihat dia. Dia kenapa? Apa yang dia lakukan? Kenapa dia malah tertawa, aneh. Sama seperti tadi malam juga nih, dia aneh sekali malah tertawa ketika aku bicara serius, dia kira aku sedang main-main, hah?!Aku, Bang Fino, juga Nada saling berpandangan. Sepertinya mental Mas Guntur sudah terganggu sampai tertawa begitu. Aneh sekali melihat dia, memang menyebalkan sekali. "Apa kamu bilang? Kamu mau pecat aku? Silakan saja, Din. Tapi jangan sampai kamu menyesal ketika kamu sudah memecat aku. Kamu gak bakalan dapat kesempatan kedua lagi." "Tunggu-tunggu." Bang Fino menyipitkan matanya, memperbaiki posisi duduk, kemudian menatap Mas Guntur serius. "Kamu serius bilang kayak gitu ke Dina? Kayak percaya diri banget gitu, seolah kamu itu bakalan menang dalam ini semua. Kamu pernah mikir kalau jadi kamu itu memalukan gak sih? Atau kamu gak pernah merasa malu jadi
"Menurut kamu, si Guntur berani melakukan itu gak sama Weni, Dek?" tanya Bang Fino sambil melirikku. Mana aku tau, aku menggelengkan kepala. "Aku gak tau, Bang. Aku gak pernah lihat Mas Guntur melakukan kekerasan. Ya, perlakuan dia yang paling buruk itu ngasih nafkah sepuluh ribu. Dia gak pernah melakukan kekerasan sama aku."Pernah juga sih dia membentak, tapi tidak pernah KDRT. Ah, sejak kemarin kami juga belum bertemu dengan Weni. "Apakah kamu sudah bertemu dengan Weni dari kemaren, Nad?"Nada menoleh ke aku, kemudian menggelengkan kepalanya. "Belum ada, Din. Dia juga kayaknya nutupin diri banget, ya mungkin karena aku juga udah bantuin ngacauin acaranya, jadi dia gak mau buat hubungin aku dulu kali ya."Ah, entahlah. Aku juga bingung apa yang sebenarnya terjadi. "Kalau sampai benar si Guntur KDRT ke Weni, apa alasannya? Kita juga gak punya bukti buat bantu laporin ke polisi.""Enggak, enggak. Jangan." Aku menatap Nada yang baru saja mengatakannya. Bang Fino juga mengernyitkan
"Astaghfirullah." Aku menjatuhkan testpack itu, tidak sanggup melihatnya. Badanku lunglai, mundur sampai mentok oleh tembok. Aku menelan ludah, tubuhku yang bersandar di tembok langsung merosot. Astaga, garis dua di sana. Sesuatu yang tidak aku inginkan dan tidak aku sangka. "Mbak." Terdengar ketukan dari luar. "Udah kelar belum, Mbak? Gimana hasilnya?" Rumi masih mengetuk pintu, aku menutup telinga. Apa yang harus aku lakukan sekarang dengan testpack ini? Setelah beberapa menit berusaha untuk menenangkan diri sendiri, aku akhirnya beranjak. Mengusap air mata, kemudian melangkah keluar dari kamar. Kakiku masih gemetar rasanya, aku tidak sanggup. "Ya ampun, Mbak. Mbak kenapa nangis kayak gitu? Benar-benar kacau keliatannya. Astaga." Rumi membantuku untuk duduk di tempat tidur. "Mbak kenapa? Tarik napas dulu, mau minum? Atau aku panggilin Bang Fino aja biar Mbak lebih tenang? Siapa tau Mbak bisa lebih tenang."Buru-buru aku menggelengkan kepala mendengar perkataan Rumi. Kenapa ja
"Akhirnya surat itu keluar juga. Abang nunggu-nunggu banget dari kemaren."Aku menganggukkan kepala pada Bang Fino, memang kami menunggu surat itu datang, akhirnya sekarang datang juga. "Lumayan lama juga ya." Papa berkomentar. Entahlah, aku memegang perutku, kemudian mengusapnya perlahan. Semoga ini adalah keputusan yang terbaik. "Setelah ini, kita langsung ketemu sama Reyza buat nanyain perkembangan lacakan nomor teleponnya. Dia katanya lagi perjalanan ke sini.""Oke, Bang. Aku kayaknya mau bersih-bersih sekalian ganti baju dulu sebentar di kamar.""Ya udah, jangan lama-lama, nanti Abang panggil ya." Bang Fino mengusap kepalaku. Aku beranjak, tetapi kemudian duduk lagi, kepalaku agak pusing sedikit. "Kenapa, Dek?" tanya Bang Fino lagi, dia penasaran, begitu juga dengan Mama dan Papa yang memperhatikanku. "Kepalaku agak sedikit pusing, Bang.""Ya ampun. Ya udah, kamu biar dibantuin sama Rumi aja ya ke kamar, atau perlu Abang bantuin?""Gak perlu, Bang. Cuma agak pusing sedikit
"Udah gila itu orang!""Sabar, Bang." Rumi langsung memegangi lengan Bang Fino, dia menggelengkan kepala. Situasi sedang genting sekali. Aku tidak bisa berpikir panjang apa yang harus aku lakukan sekarang. Aku bingung."Kamu mau pergi ke tempat itu, Dek?" tanya Bang Fino sambil menatapku. Kalau hanya itu saja pilihan untuk bertemu dengan Putra, akan aku lakukan, meskipun risikonya besar sekali. "Jangan aneh-aneh, Dek. Kita gak tau apa yang disiapkan oleh mereka di sana. Mana suaranya juga gak kenal lagi. Entah siapa mereka itu." Bang Fino masih saja tersulut emosi. "A—apakah Pak Fino dan yang lain sudah berhasil untuk menemukan Putra? Kamu dari pihak sekolah minta maaf sekali karena lalai dan gagal untuk menjaga Putra.""Halah! Sekolahan ini tidak pantas untuk mendapatkan predikat terbaik. Harusnya dibubarkan saja sekalian! Kalian ini tidak bisa menjaga keselamatan murid dengan baik." Bang Fino kembali emosi. Aku menghela napas pelan, sudah pusing ditambah pusing dengan teriakan
"Mobilnya Mas Guntur?" Fredrin langsung menoleh ke aku. "Guntur itu nama suami kamu, kan?""Iya. Itu mobilnya Mas Guntur, suami aku yang sekarang kita hendak bercerai." Aku mengingatkan itu lagi, aku tidak mau disebut sebagai istrinya Mas Guntur lagi. "Astaga." Kami diam sejenak menatap ke depan. Aku mengusap wajah, apakah semua yang kamu pikirkan benar? Apakah yang di depan benar? Mobil Mas Guntur jelas sekali terparkir di sana. Apakah memang benar Nada ikut campur dalam urusan ini dan dia adalah pengkhianat yang sebenarnya? Dia yang membantu Mas Guntur?"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Bang Fino. Ternyata kami tidak salah dengan datang kesini tadi, justru di sini kami mendapatkan jawabannya. Entahlah, aku bingung harus melakukan apa sekarang, aku kaget, syok sekali melihatnya. "Foto dulu sebagai bukti." Bang Fino dengan cepat mengeluarkan ponselnya, kemudian memfoto mobil Mas Guntur yang terparkir di sana. "Apakah kita harus masuk ke sana?" tanya Bang Fino tidak
"Ka—kamu ngapain di sini?!" Aku mundur satu langkah, menelan ludah susah payah. Tatapan pria itu seperti mau menelanku hidup-hidup. "Sudah lama sekali sejak kejadian itu ya, Dina."Dia adalah sepupu Mas Guntur. Aku punya masa lalu yang kelam dengannya, ketika kami hanya berdua di rumah dan Mas Guntur tidak ada. Astaga, aku sulit sekali untuk membayangkan itu, bahkan tidak ada yang tau mengenai hal ini. Baik itu Mas Guntur, Bang Fino, Rumi, atau pun Mama dan Papa. "Bawa anak menyebalkan ini kemana pun. Jangan sampai dia tau ada di mana."Orang suruhan pria itu langsung mengangguk, kemudian membawa Putra entah kemana. Di depan gelap sekali, aku menelan ludah. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa kah aku harus memberontak? Pria itu melangkah mendekatiku. Aku langsung menatapnya galak. Sungguh, aku tadi nya mengira yang melakukan semua ini adalah Mas Guntur atau setidaknya Weni, atau malah Ratih. Kenapa malah jadi dia? Ini aneh sekali. "Pasti kamu mengira Guntur atau istri kedua
"Ingin berbicara denganku? Apa lagi mau nya itu? Jangan bilang kalau dia mau memaksakan kehendaknya yang tidak jelas."Sungguh, aku tidak habis pikir lagi dengan jalan pikiran pria itu. Untungnya dia sudah tertangkap sekarang, jadi aku tidak perlu memikirkan untuk kejar-kejaran dengannya lagi. "Aduh, gak tau kalau itu, Dek. Tapi polisi tadi bilang, pria itu ingin memberikan pesan terakhir pada kamu." Abangku itu tampak mengingat-ingat apa yang dikatakan oleh polisi tadi. Keningku langsung terlipat mendengarnya. "Memangnya dia mau dihukum mati? Kayaknya gak bakalan seberat itu deh, pakai bilang pesan terakhir segala.""Entah. Abang juga gak paham." Bang Fino mengangkat bahunya. Kalau soal beginian dia memang tidak mengerti. "Nanti aku minta temenin Fredrin atau Reyza aja deh." Bang Fino langsung menoleh ke aku dengan wajah cemberut. "Kamu gak mau ditemenin sama Abang?"Eh? Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Kenapa malah jadi begini? Bang Fino memang sering sekali cemburu. "Kan
"Hah?! Menghancurkan bagaimana, Wen? Apa yang hendak dia lakukan?""Aku gak tau, dia gak bicara dengan detail tadi. Dia lagi mabok."Oh ya?! Guntur mabok? Tumben sekali, dia mana pernah mabok dulu. Kenapa tiba-tiba dia malah mabok ya? Aku menggaruk kepala yang tidak gatal, sejujur nya aku cukup bingung dengan semua ini. "Terus gimana? Kamu kapan mau pulang? Seperti nya kamu harus ngasih tau semua yang kamu dapatkan di sana padaku deh." Aku berkata pelan. "Emm, boleh deh. Kita ketemuan aja di tempat lain. Nanti kalau di rumah kamu, bisa ketahuan sama Nada. Bisa-bisa malah kacau semua nya."Baik lah kalau begitu. Aku menganggukkan kepala mendnegar perkataan nya barusan. "Ya udah, kita langsung ketemuan aja. Aku butuh banyak banget informasi dari kamu juga soal nya. Kita ketemuan langsung ya."Aku langsung mematikan telepon dari Weni untuk bersiap-siap karena kami juga harus bertemu dan aku ingin bicara banyak hal pada Weni Karena menurut aku hal ini harus segera diselesaikan dan juga
"Astaga."Aku langsung terdiam ketika mendengar pesan suara itu. Jujur saja aku kaget sekali mendnegar nya. Apa maksud dari pesan ini ya? Pesan yang aku temukan di ponsel milik Mas Reyza. "Emm, apakah benar yang dikatakan oleh Tri sebelumnya Kalau memang delia benar memakai pelet?" Namun aku tidak percaya sama sekali karena ini sangat sulit untuk dijelaskan oleh akal sehat dan juga memang cukup aneh. Mungkin aku juga perlu mengecek ke rumahnya Mas Reza di kamarnya untuk mencari tahu lebih lanjut juga. Atau aku perlu bekerja sama dengan Tri untuk mengungkapkan ini semua apalagi apa yang dikatakan oleh Tri tadi memang benar dan sepertinya dia tidak berbohong kah atas apa yang dia katakan tadi. Awalnya aku tidak percaya pada diri karena memang agak sangat sulit untuk diterima oleh akal sehat ketika mendengar perkataannya yang bilang kalau Mas Reza ternyata kena pelet oleh si Delia tetapi ketika mendengar dia bicara tentang adiknya yang meninggal gara-gara kena pelet ya mungkin aku m
"Kamu sejak tadi bilang kayak gitu. Apa maksud dari perkataan kamu?" tanyaku sambil menatap dia yang tampak kesal sendiri. Dia saja tidak mau menjelaskan kenapa dia bilang kalau Delia itu adalah wanita iblis. Dia kenapa sih? Apa kah dia sebelum nya ada masalah dengan si Delia itu? "Dia itu bisa membuat orang lain luluh sama dia, termasuk suami kamu. Aku hampir saja masuk perangkap dia."Eh?! Membuat orang lain luluh? Bagaimana maksud nya? Jujur saja aku bingung sekali dengan perkataannya pria ini dia bahkan mau menjelaskan Siapa dirinya Tetapi dia sudah bilang kalau Delia itu adalah iblis Ya aku juga tidak tahu sih dengan apa yang sebenarnya terjadi ini juga bilang kalau dia pernah luluh pada si Delia itu. "Si Reyza itu terkena pengaruh nya si Delia, harus nya kamu bantuin dia buat lepas dari itu semua, bukan nya malah membiarkan Reyza terkena pengaruh wanita menyebalkan itu.""Tapi Tri, Mas Reyza terlihat mencintai si Delia banget, maka nya kan memang dia itu mencintai si Delia,
Delia adalah penyebab nya? Apa maksud perkataan pria ini?"Apa maksud kamu?" tanyaku pelan. "Sudah lah, nanti kamu akan tau sendiri. Aku langsung ke rumah kamu sekarang."Dia mematikan telepon. Aku mengembuskan napas pelan, sejujur nya ini sangat membingungkan. Lalu aku harus apa sekarang? Tidak jadi tidur kalau begini aku mah. Hmm, lebih baik aku mengobrol dengan Hani di luar, meskipun ada Nada juga di sana, tetapi ya sudah lah aku sedang butuh teman untuk mengobrol sekarang. "Akhir nya kamu datang juga Din, lama banget. Kayak nya kamu itu sibuk banget ya? Jelas sih, karena kan Putri juga baru sampai di sini."Mendengar perkataan nya Hani, aku langsung tersenyum. Antara nada hanya mendengarkan perkataan aku dan juga Hani dia tidak menimbrung sama sekali karena mungkin masih tidak enak padaku. "Kalian sudah ngobrolin apa aja sejak tadi? Kayak nya dari aku pergi, sampai aku balik lagi ke sini, kalian belum pindah posisi juga." Aku mengangkat bahu, menatap mereka bergantian. "Yang
"Hah?!"Jujur saja aku kaget sekali mendnegar nya, bahkan aku langsung menutup mulutku sendiri. Astaga, apa yang baru saja Putri katakan? Dia bilang kalau dia ingin Papa nya kembali ke sini? Ya memang nya bagaimana cara membuat Papa nya bisa ada di sini lagi? "Aku gak mau tinggal di sini kalau Papa gak ada di sini! Aku gak mau bicara sama siapa pun kalau Papa belum ada di rumah ini!" Dia kembali berteriak, membuatku menggelengkan kepala. Sulit sekali untuk memberikan pengertian pada Putri kalau Papanya Itu sudah meninggal ya memang masih kecil dan belum paham sama sekali dengan apa yang terjadi di rumah ini makanya akan lebih sulit dibandingkan untuk memberitahukan Putra dan juga Aurel. "Papa itu sudah meninggal, Putri. Kamu itu malah buat Mama tambah pusing, masalah Mama itu udah banyak banget." Putra yang lebih dulu bicara. Putra sudah besar sekali anak sulungkung benar-benar mengerti dan paham dengan apa yang terjadi di rumah ini dan dia juga membantu aku banyak sekali. Aku t
"Hah?! Kamu serius, Rum?"Jujur saja, aku kaget sekali dengan perkataan Rumi, sekaligus senang. "Iya, Mbak langsung ke sini saja ya. Putri sudah pulang ke rumah."Alhamdulillah kalau begitu. Aku tersenyum senang. Kemudian langsung mematikan telepon dari Rumi, menoleh ke Bang Fino yang juga tampak ikutan senang. "Kabar yang benar-benar bagus, dek."Benar apa yang dikatakan oleh Bang Fino, ini memang kabar yang sangat bagus. Namun, sejujurnya hal ini adalah sesuatu yang aneh juga karena tidak mungkin tiba-tiba Putri pulang tanpa ada sesuatu aku merasa ada yang berbeda dan ada yang aneh juga.Entah kenapa perasaanku juga tidak enak karena ini sangat berbeda dari pada biasanya."Kamu mikirin apa lagi, Dek? Kan Putri juga sudah pulang ke rumah, harus nya kamu senang, bukan malah kelihatan sedih kayak gitu. Ada apa dengan kamu?" tanya Bang Fino sambil menatapku. Jika tidak tahu dengan apa yang terjadi padaku intinya justru aku merasa sangat aneh dan merasa ini sangat berbeda daripada bia
"Apa lagi mau kamu di sini?! Jangan-jangan kamu mengikuti aku ya?"Dia adalah saudaranya Mas Reza yang memang tidak setuju dulu ketika Mas Reza menikah dengan aku. Emang rata-rata keluarganya Mas Reza itu setuju dengan pernikahan aku tetapi mereka juga sebagian ada yang tidak setuju karena mereka melihat aku sebagai janda dan juga tidak punya masa depan ketika menikah dengan Mas Reza padahal Mas Reza sendiri pun tidak masalah dengan itu semua. Terserah mereka sajalah mereka yang punya hak untuk mereka sendiri aku tidak ikut campur Tetapi kalau sudah sampai seperti ini aku juga tidak akan terima dengan Apa perkataan mereka. "Kamu ini lucu Dina, aku ini ingin kamu mati dan aku ingin kamu merasakan yang kamu rasa kan."Hah?! Tunggu sebentar, benar-benar kaget ketika mendengar perkataannya apa yang baru saja dia katakan dan seperti itu emangnya aku melakukan hal yang di luar nalar atau Aku melakukan hal yang benar-benar buruk sampai dia mengatakan hal tersebut begitu? "Ada apa sih?! S
"Memang kurang ajar banget mereka itu!" Bang Fino tampak kesal sekali. Wajah nya memerah menahan marah. "Guntur memang begitu sejak dulu, Bang. Dia itu gak akan berhenti kalau dia gak masuk ke penjara. Jadi, memang aku harus menjebloskan dia ke penjara dulu baru dia bisa berhenti untuk tidak mengganggu hidup kita."Aku berusaha untuk menenangkan diri aku sendiri, jangan sampai terpancing oleh si Guntur itu. Dia memang sengaja agar aku dan juga Bang Fino marah dengan semua nya. "Gak bisa dibiarin ini semua, Dek. Kita pokok nya harus segera menyusun semua rencana, jangan sampai tiba-tiba kita yang kehilangan semua nya. Abang marah banget loh sama dia. Abang kesal sama dia."Sungguh sejujur nya aku paham sekali dengan apa yang Bang Fino katakan. Aku juga merasa kan hal tersebut, karena kami satu pemikiran. Baik lah, aku juga tidak aka. Membiarkan semua nya terjadi, aku juga akan mulai memikir kan semua nya, bagaimana cara nya si Guntur itu menyesal dengan semua yang dia lakukan sekara
"Tapi kenapa bisa Mas Reyza sampai diculik?"Lagi pula, siapa yang menculik Mas Reyza, ah aku tidak percaya sih sebenar nya, tetapi apa ini? Aku bingung sekali deh. Ah iya aku lupa kalau Bang Fino ada di luar, jadi nya aku juga tidak bisa terlalu lama. Memang Bang Fino tidka mau ikutan karena takut nanti malah membuat saudara Mas Reza berpikir yang aneh-aneh tentang aku. Kami juga senang menghindari dari perbuatan itu karena juga maka masuk Islam masih basah dan aku juga belum bisa melupakannya sama sekali. "Ini pasti gak mungkin foto nya Mas Reyza. Nanti aku tanya saja deh pada Mama nya Mas Reyza." Aku bergumam pelan, memasukkan foto tersebut ke dalam saku celanaku. Pandanganku terhenti ketika melihat buku yang diletakkan begitu saja di atas pakaiannya Mas Reza. Ini buku apaan apakah ini adalah buku harian nya Mas Reyza?Hmm, bisa sih ini. Aku juga langsung memasukkan buku nya ke dalam tasku. Setelah puas berkeliling dan juga menatap fotonya Mas Reza lumayan lama Aku akhirnya me