Santoso hanya diam saat anaknya mengiba pelukan darinya. Pria itu kemudian berdeham.“Untuk apa kamu datang?” Alih-alih memenuhi permintaan sederhana sang putri, Santoso justru berbicara tegas cenderung pedas.Hampir saja air mata Nilna tumpah kalau tidak ditahan sekuat tenaga. Hanya bapaknya satu-satunya keluarga yang dimiliki. Namun, sekadar memeluk untuk mencari kekuatan dan kedamaian saja tidak dituruti.Pengabaian Santoso rasanya lebih sakit dari talak yang pernah diterima dari Satria.“Ba-Bapak sehat?” Nilna mencoba mengabaikan retak di sudut hatinya. Ia berpura-pura mengalihkan bahasan. Ditatapnya kembali Santoso intens. Wajah sang bapak yang sudah tidak lagi muda itu terlihat sangat kelelahan efek baru pulang bekerja serabutan.“Hm. Ngapain kamu ke sini?” Santoso mengulang.“Pak, maaf kalau masalah video kemarin sempat viral dan membuat malu Bapak. Tapi demi Allah aku difitnah. Aku nggak sedang melakukan pembelaan, hanya memberitahu Bapak kalau aku nggak salah.”Santoso terdia
“Kenapa kamu ke dokter kandungan? Kamu hamil?" Satria mengulang pertanyaannya.“Bukan urusanmu. Urus saja dirimu sendiri!”Saat Nilna akan melangkah, Satria mengurung Nilna dengan kedua tangan pada tembok. Wajah Satria begitu dekat, membuat Nilna kesulitan meloloskan diri.“Bagaimana kalau–““Bang Satria!”Ucapan Satria terjeda karena panggilan dari seorang wanita. Begitu menoleh, ternyata ada Rosa yang menatap dengan mata membola. Wanita itu duduk di kursi roda. Sudah tidak ada perawat di sampingnya.Nilna mendorong kasar tubuh Satria, lalu buru-buru menjauh. Sungguh, wanita itu benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran sang mantan yang tiba-tiba begitu kepo dengan dirinya.Beberapa bulan mati-matian Nilna menyembuhkan luka batin sekaligus trauma yang dirasa. Namun, dengan entengnya Satria kembali mengusik dengan muncul di depannya. Itu pun ikut campur dengan bertanya macam-macam.Nilna berjalan gusar. Tiba di samping Rosa, tangannya dicekal.“Jangan goda suami saya! Bercita-ci
“Si dedek udah waktunya diselameti, Na. Udah empat bulan, 'kan?” tanya Anggi malam harinya sepulang Nilna dari rumah sakit. Keduanya tengah bersantai di dalam rumah.Nilna terdiam. Sebenarnya, ia ingin bercerita tentang pertemuannya dengan Satria tadi. Hanya saja, masih ragu.Nilna merupakan pribadi yang sangat tertutup sekalipun kepada Anggi, sahabatnya sendiri. Wanita tersebut sering tidak nyaman menceritakan apa yang telah terjadi. Kecuali jika sudah sangat kepepet.“Yang ibunya aku apa kamu, sih? Hafal bener kayaknya.” Akhirnya, Nilna menyahut setelah Anggi menyenggol lengannya.Anggi tergelak. “Aku, kan, aunty yang perhatian, baik hati, dan rajin ibadah.”“Iyain aja, deh. Biar nggak nangis.”“Katanya, empat bulan itu bayi saatnya ditiup nyawa, dicatat jodoh, maut, dan rezekinya. Kesempatan yang baik buat diadakan kirim doa biar semuanya dicatat baik. Jadi, kapan?” tanya Anggi lagi.“Nyari hari yang tepat. Kalau menurut penanggalan Jawa, yang baik itu hari Sabtu Wage. Tapi aku leb
Plak!Anggi menghadiahi pipi Satria dengan tamparan.“Itu mulut enteng banget, ya, ngomong kayak gitu? Mau aku sobek-sobek? Kalau mau bayi Nilna, langkahi dulu bangkaiku.” Anggi berbicara sambil menunjuk wajah Satria.“Aku pikir kamu benar-benar datang baik-baik. Tapi ternyata masih saja punya niatan bu*uk. Keluar dari rumah ini!”Satria tersenyum sinis sambil memegangi pipi. “Itu bukan anakmu, tapi anak Nilna. Dia yang berhak menentukan. Kenapa kamu ikut campur? Nilna, keluar kamu! Jangan jadi pengecut! Sini adepi aku!” Satria berteriak kembali.“Satria! Keluar! Atau aku laporin ke RT karena kamu bikin ulah di sini!” Lukman ambil suara.“Oke, aku keluar. Padahal harusnya kalian berterima kasih karena aku bakal sudi merawat bayi tidak jelas asal usul penanam benihnya itu.”Kali ini, bogem mentah Lukman mendarat di wajah Satria.“Baji*an kau, ya! Mulutmu layak dihancurkan!”Satria tidak tinggal diam. Ia membalas pukulan Lukman. Perkelahian pun tidak dapat dihindari.“Lanjutkan sampai s
“Apaan teriak-teriak depan rumah orang? Gak ada akhlak!” Anggi keluar sambil berkacak pinggang.“Nilna mana? Ini ada jambu dersono. Biasanya orang hamil pegen makan ini!” Sri, tetangga kontrakan yang sudah sepuh dan telinganya sudah menurun daya dengarnya berbicara cukup keras. Wanita itu salah satu di antara orang yang peduli dengan Nilna dan Anggi.Saat melihat Sri, tampang marah Anggi berubah. Ia lalu menyengir setelah melihat kantong plastik yang dibawa wanita renta tersebut.“Eh, Mbah Sri. Mari masuk.” Anggi menghampiri.“Nggak usah. Langsung pulang saja. Ini tadi ada banyak di pohon, nyuruh cucu Mbah metik. Keinget Nilna. Makanya Mbah bawakan,” ujar Sri sambil menyerahkan kantong plastik.“Wuah, matur suwun, Mbah. Semoga Mbah panjang umur, sehat, tambah cantik, dan dapat cogan baru”“Co-cogan? Makanan apa itu?”Anggi tertawa. “Cogan itu cowok ganteng. Lelaki tampan.”Sri tertawa, lalu memukul pelan lengan Anggi.“Woh, bocah gemblung. Yowes, Mbah pulang. Kamu nggak boleh ikut mak
“Menggoda suaminya? Hah, ada-ada saja.” Nilna bergumam dan terus berjalan menuju mobil yang sudah menunggu.Tidak lama kemudian, Lukman menyusul dan duduk di kursi belakang, di samping Nilna.Mobil yang ditumpangi Lukman dan Nilna lantas berangkat, meninggalkan Anggi yang masih berdiri bersedekap sambil menatap Rosa tajam.“Heh, Lemper! Salah besar kalau kamu menuduh Nilna masih menggoda suamimu. Justru aku curiga suamimu yang masih mengharapkan Nilna.” Anggi jongkok di hadapan Rosa yang masih kesulitan berusaha berdiri.“Diam kamu, Wanita barbar! Dasar preman!” Rosa tidak mau kalah.“Ya, kamu memang datang ke sarang preman. Suami Nilna sudah kamu rebut dan itu berhasil. Sekarang justru menuduhnya menggoda suamimu? Kamu waras? Maumu apa lagi, sih? Belum puas bikin dia menderita?”“Belum! Sebelum si buruk rupa itu benar-benar pergi dari dunia ini!”“Hey! Dasar parasit, sun*dal bolong! Kira-kira kalau ngomong! Kamu ini kemaruk, ya! Sudah mendapatkan semuanya tapi masih saja mengusik hid
“Apa, Mas?” Nilna pura-pura bertanya.“Bukan apa-apa. Nggak penting.”Nilna mendesah kecewa. Di benaknya, ada rasa curiga seperti yang dirasakan Anggi.Entah apa yang mendasari Anggi justru meminta pria itu mengantarnya.“Lari dari amukan ulat bulu, Anggi menyuruhku masuk perangkap singa. Emang nggak konsisten pikiran anak itu.” Nilna membatin.**Beberapa saat kemudian, Nilna dan Lukman tiba di klinik. Keduanya duduk berdampingan karena masih antre menunggu giliran. Jika dilihat, mereka tampak seperti pasangan suami istri lain yang juga sedang periksa.“Nggi. Pake aja motorku ke mana aja kamu mau. Beri kesempatan buat aku sama Nilna berdua saja lebih lama.” Lukman mengirim pesan kepada Anggi.Anggi yang sudah sampai parkiran, mengerutkan dahi saat membaca pesan tersebut.“Bilang kek dari tadi biar aku nggak capek-capek nyusul.” Anggi membalas.“Ya udah, nanti aku kasih tip penghilang capek kalo udah di kontrakan. Sekarang cepet pulang lagi. Tapi inget, harus tutup mulut dari Nilna. C
Saat mendengar perkataan orang itu, Nilna dan Lukman menoleh bersamaan. Keduanya mengembuskan napas panjang.Nilna mengepalkan tangan. Entah mengapa Rosa serupa lalat yang ada di mana-mana, selalu mengganggunya. Rosa terus berjalan melewati Nilna sambil sedikit terseok-seok. Bibir wanita itu menyungging sebelah, seolah-olah ekspresi jijik. Kakinya masih terasa sakit karena sempat terkilir tadi.“Mas, nyari tempat lain aja gimana?” ajak Nilna. Lukman mengangguk.“Kak Nilna!” Suara Samira menginterupsi dari arah kiri Nilna. Wanita hamil itu urung melangkah.“Samira? Tadi Rosa ....” Nilna berbicara sambil menunjuk ke dalam, syarat pertanyaan. Sebuah kode tanya apakah Samira datang bersama Rosa atau tidak.“Iya. Ada Ibu dan Bang Satria juga di sini. Dia siapa, Kak?” Dari nada suaranya, Samira sudah tidak marah lagi dengan Nilna. Samira menatap Lukman, meminta penjelasan.“Dia Mas Lukman. Teman kerja Kakak di restoran dulu,” jawab Nilna.Samira dan Lukman pun bersalaman sambil saling melem
“Mas!” panggil Zia. Ia mendatangi Faruq di ruang fitness pribadi yang ada di rumahnya. “A-pa, Sa-yang,” jawab Faruq sambil berolahraga angkat beban. “Aku mau kasih tahu sesuatu. Tapi udahi dulu olahraganya.” Faruq menatap sang istri sebentar, lalu menuruti apa yang dipinta. Dengan napas masih terengah-engah, Faruq duduk sambil mengelap peluh dengan handuk kecil. Zia menyerahkan amplop. “Apa ini? Tagihan?” Faruq membolak-baliknya. “Iya. Tagihan dalam jumlah gede pokoknya. Cepetan buka!” Faruq pun membuka amplop itu dan ternyata isinya tiga buah testpack berbeda merek bergaris dua. “Ka-kamu hamil?” Faruq tergagap. Zia mengangguk. “Hm’eh. Gimana ini? Aku takut.” Faruq terdiam. Harusnya ia yang takut, harusnya ia yang khawatir. Istrinya pun ternyata punya rasa yang sama. Jika ketakutannya juga ditunjukkan, pria itu takut sang istri tambah kepikiran. “Ssst! Jangan mikir macam-macam. Kita berdoa saja semoga semuanya selamat dan baik-baik saja. Mulai sekarang kalau Mas ada dinas k
“Katanya, Latifa hamil,” jawab Faruq sambil menunjukkan pesan teks dan gambar dari Mahardika. “Apa! Ini kabar luar biasa, Mas Sayang!” Zia terlonjak, memeluk suaminya erat. “Ya, dan katanya lagi, kemungkinan mulai bulan depan Mahardika akan dimutasi ke Surabaya. Itu artinya, Latifa juga akan dibawa ke sana. Alhamdulillah, semoga dengan semua ini kehidupan semuanya jauh lebih baik.” “Aamiin. Semoga setelah jauh dari Mas, obsesinya itu bisa mereda.” “Dan kamu nggak ada yang ngusik!” Faruq kembali menggotong istrinya menuju ranjang. ** “Zia sudah siap dirias, Mbak?” tanya Faruq kepada Farah yang baru masuk kamar. “Belum, dikit lagi. Jangan usik dia dulu. Nanti kalau selesai, pasti kamu Mbak panggil,” jawab Farah, lalu keluar lagi. Hari ini adalah walimatul ursy sekaligus resepsi pernikahan di Kilisuci Ballroom Hotel Grand Surya Kediri. Sementara Zia dirias, Faruq harus mengungsi di kamar kakaknya. Fariz tengah bermain di sampingnya. “Boy, kalau punya adek, kamu pengen cowok apa
“Ya, Mas jijik.” Zia mendorong kasar tubuh suaminya hingga pria itu mundur selangkah. “Pergilah. Aku ingin menyelesaikan mandi,” ujar Zia sambil berusaha menutupi tubuh depannya. Faruq kembali merapatkan diri dengan istrinya. Dicekalnya pinggang ramping itu. Tubuh keduanya kembali saling menempel. “Mas jijik dengan kelakuan mantan suamimu itu. Dia yang membuat tubuhmu jadi seperti ini.” Faruq menyapu bibir Zia dengan ganas. Ia juga menciumi semua bekas luka itu termasuk luka bekas operasi cesar, membuat Zia kembali terpejam sambil menggigit bibir menahan agar suara khas gejolak gairah terdengar. Tangannya refleks meremas rambut sang suami. “Bekasnya memang tidak bisa hilang, tapi Mas pastikan tidak akan ada lagi tambahan luka di tubuhmu. Mas sangat mencintaimu.” Faruq menatap Zia serius. Dengan tubuh masih berpakaian lengkap meski basah, Faruq kembali mendekap tubuh sang istri. “Ya sudah, lekaslah mandi. Jangan lama-lama. Mas mau ganti pakaian di ruang sebelah. Bajumu sudah pind
“Assalamualaikum. Ada apa, Ka?” Faruq mengangkat panggilan seraya masih menggandeng sang istri, membawanya duduk di bibir ranjang.Zia melepas cadar, lalu berkata lirih, “Loudspeaker, Mas.”Faruq mengangguk dan panggilan dilakukan dengan pengeras suara.“Latifa dirawat di rumah sakit, Mas. Dari tadi teriak nyebut nama Zia. Saya ingat-ingat, itu nama calon istri Mas bukan?”“Iya dan hari ini dia resmi jadi istri saya. Apa yang terjadi?”Zia mulai didera ketakutan.“Maaf kalau telepon saya mengganggu. Tapi saya ingin bertanya apa yang sudah dilakukan istri Mas ke Latifa sampai dia sekacau itu.”Spontan Faruq menatap Zia. Wanita itu merebut ponsel suaminya. “Maaf, Mas. Apa dia beneran bunuh diri? I-ini saya Zia yang bicara.”“Ya, dia mengamuk bahkan melukai dirinya sendiri. Apa yang sudah Mbak lakukan ke dia?”Zia menghela napas berat dan mengeluarkan pelan. “Baik, akan saya ceritakan apa yang terjadi.”Zia menceritakan semua yang terjadi tadi pagi saat Tuti menemuinya. Faruq yang juga b
“Mengancam bunuh diri?” Zia mengulang. Beruntung Tuti datang setelah ia memakai cadarnya. Ia masih duduk, enggan berdiri sebab gaun pengantinnya lumayan panjang. Salah berdiri takutnya malah menginjak baju dan bisa-bisa jatuh.“I-iya. Hanya kamu yang bisa menghentikannya.” Tuti terlihat sangat khawatir. Ia sempat mengunci pintu kamar agar tidak ada orang yang masuk.“Bu, mohon maaf sebelumnya. Bukankah Latifa sudah punya suami? Harusnya Ibu mencari suaminya, bukan saya.”“Tapi ini ada urusannya sama kamu. Bukan sama suaminya.”“Tapi dia masih menggertak, ‘kan? Belum bunuh diri sungguhan?”Tuti menggeleng. “Tolong. Bilang sama Faruq agar membatalkan pernikahan ini. Demi Latifa.”Sikap Tuti berbanding terbalik dengan saat dulu pernah melabrak Zia saat di rumah sakit. Keangkuhan dan kesombongannya seolah-olah runtuh berganti tampang permohonan.“Kenapa harus saya, Bu? Bukannya Ibu bisa bicara sendiri ke Mas Faruq?”Tuti menggeleng. “Kalau saya yang meminta, dia tidak akan mau. Kalau kamu
Zia bangkit. Ia berjalan cepat meninggalkan Faruq dan Fariz yang masih ada di samping peristirahatan terakhir Rizkia. “Yang, tunggu!” Faruq mengejar sampai ia tiba di samping sang istri. Dicekalnya pergelangan tangan Zia dengan tangan kiri sementara yang kanan menggendong Fariz. “Bukan gitu maksud Mas. Mas hanya trauma. Mas nggak mau kehilangan kamu! Apalagi kamu bilang kayak gitu barusan. Untuk itu cukup Fariz saja yang jadi anak kita. Sungguh, Mas sanggup lagi jika harus kehilangan istri lagi.” “Memang tadi Mas tahu aku mau ngomong apa? Main motong gitu aja.” “Tahu. Pengen mati syahid kayak Rizkia, 'kan? Mas jadi mikir mungkin lebih baik anak kita cukup Fariz saja. Sudahlah, ayo pulang. Kita bicara lagi kalau sudah di rumah.” Zia terdiam. Sepertinya Faruq menyembunyikan banyak hal. Ia harus mengorek lebih jauh jika nanti tiba di rumah. Sepanjang perjalanan pulang, hanya didominasi suara cerewet Fariz. Sementara Zia menolak membahas hal apa pun dan meminta suaminya fokus menyeti
“Assalamualaikum.” Zia mengucapkan salam, lalu langsung menuju ke samping ranjang suaminya. Faruq terpejam, terlihat sedang tidur.“Bu Latifa apa kabar?” tanya Zia sopan. Mati-matian ia menahan diri agar tidak marah melihat keberadaan Latifa di sana.Latifa melengos tanpa berniat menjawab.Zia mengambil tangan kanan suaminya pelan karena terpasang jarum infus, lalu menciumnya takzim.Latifa menyeret tangan Zia keluar ruang inap setelah Zia melepaskan tangannya dari Faruq.“Berani-beraninya kamu kembali menampakkan diri,” ucap Latifa dengan napas memburu.“Kamu sekarang istri dr. Faruq Dahlan, Sp. A. Hempaskan rasa minder, bangun kepercayaan dirimu setinggi-tingginya. Kamu punya hak atas Mas. Kasih perhitungan sama Latifa biar dia menjauh dari kehidupan kita karena penolakan Mas sudah tidak mempan.” Perkataan Faruq kembali terngiang di benak Zia. Suaminya benar. Ia sekarang punya kuasa penuh atas Faruq, termasuk menjaganya dari bibit pelakor seperti Latifa.“Memangnya ada yang salah?”
“Bu-bu Latifa?” Zia hendak melepaskan diri dari pelukan suaminya, tetapi pelukan itu justru makin erat.“Jangan salah paham. Saya bisa menjelaskan. Manggilnya aku kamu aja kali, ya, mulai sekarang? Biar kesannya nggak formal dan kaku banget. Gimana?” tanya Faruq. Zia masih diam.“Ngambek? Cemburu? Alhamdulillah kalau istri saya, eh, istri Mas cemburu.” Faruq tertawa, lalu menggelitiki istrinya.Ada rasa tak biasa dirasakan Zia saat Faruq menyebut dirinya dengan sebutan mas. Ah, pria itu memang pandai membuatnya jungkir balik.“Lepas! Nggak lucu.” Zia berusaha melepaskan diri, tetapi tidak berhasil.“Dengerin Mas sini, jangan ngambeknya yang diduluin. Jadi, Latifa itu sudah menikah dengan dokter umum yang dinasnya di Puskesmas Grogol. Dia menikah karena dijodohkan orang tuanya pasca Mas menolak keinginan mertua turun ranjang. Mungkin Latifa menikah karena terpaksa, melihat bagaimana dulu dia ngebet banget dinikahi Mas. Entah apa yang terjadi dengan rumah tangganya, sebulan lalu dia dat
“Yang, ditanya, kok, diem?” Faruq terpejam. Sementara hidungnya sibuk menghidu aroma harum tubuh sang istri. “Eh, i-itu. Sa-at saya di rumah sakit kemarin, di-dia terpaksa lepas sama saya, nggak mau ASI lagi,” jawab Zia terputus-putus. Faruq terkekeh. “Grogi, ya, diginiin?” Bukannya melepaskan pelukan, tangan pria itu justru bergerilya nakal. “Mulai sekarang, kamu harus membiasakan diri dengan stimulasi kayak gini. Nggak usah grogi, dibuat santai saja. Saya nggak bakal nerkam kamu. Mungkin hanya menghamilimu.” “Pak!” Faruq tertawa. “Saat bertemu pertama kali di kontrakanmu kemarin, kalau saya tidak punya iman kuat, saya hampir saja kalap ingin memelukmu.” Faruq kembali berbisik. “Pak, geli. Ta-tangannya tolong dikondisikan,” ucap Zia sambil menangkap jari telunjuk suaminya. Faruq tertawa. “Sumpah saya itu gemes banget sama kamu. Fariz udah tidur lagi?” “Sudah kayaknya.” “Ya sudah, ayo kita sholat Isya’ dulu.” Faruq melepaskan pelukan, lalu meletakkan kepalanya di atas pipi Z