Selama dua tahun berteman, baru kali ini Alvero mendengar Carla bercerita tentang pria yang berhasil mengambil peran dalam hidupnya. Alvero terkejut, jelas. Siapa yang tidak kaget jika seorang gadis tak terjamah itu akhirnya merasakan jatuh cinta dengan lawan jenis. Tapi jika teringat trauma yang Carla miliki, Alvero merasa senang karena artinya Carla sudah mulai membuka diri dan tidak terpaku pada masa lalu. Namun tidak menutup kemungkinan jika ia juga merasa sakit hati. Setiap kata yang keluar dari bibir Carla seperti sayatan benda tajam yang melukai ulu hatinya.
Carla mengatakan pria itu baru beberapa bulan menjalin pendekatan dengannya. Dan sialnya berhasil mendapatkan tempat spesial di hati Carla. Alvero meringis, apa kabar dengan dirinya yang berjuang selama dua tahun ini?
"Dia bilang mau jadikan aku sebagai cadangan. Ck!"
Siapa lagi yang Carla bicarakan kalau bukan Savian? Sejak mendengar pemb
Savian berdecak, melempar kesal ponselnya ke atas sofa. Matanya yang menyipit tajam itu kembali melirik ke jam Eiger yang melingkar di pergelangan tangan kokohnya. Jam 11 malam, dan Carla belum juga pulang. Kali ini Carla keterlaluan. Savian bangkit dari duduknya, tubuhnya yang menjulang tinggi berjalan mondar-mandir bak setrikaan di depan pintu utama. Ia risau dan tidak tenang memikirkan apa yang Carla lakukan di luar flat hingga larut malam begini? Ponsel Carla tidak aktif. Jika di hitung, mungkin hampir 50 kali Savian menelepon gadis itu. Sialnya, Carla seperti sengaja tidak mengaktifkan ponsel. Savian menggeram. Merasa tidak tahan ia hanya berdiam diri di temani kecemasan seperti ini. Dengan tak sabaran Savian melangkah masuk
Jam 8 pagi, Carla keluar dari kamar dengan wajah mengantuknya. Ya, ini memang sudah pagi, tapi cewek itu belum tidur sama sekali. Malam panjangnya ia habiskan dengan mendengarkan musik melalui earphone sambil memandang langit malam di jendela. Carla suka menghabiskan tengah malamnya dengan cara seperti itu, tenang dan sepi. Apa lagi sekarang hari libur, jadi Carla bisa tidur setelah ini sampai sore nanti. Mata Carla melebar, mulutnya yang menguap seketika terkantup saat membuka pintu kamarnya dan mendapati Savian yang duduk menegak di sofa ruang tengah. Wajah pria matang itu terlihat mengantuk dan butuh tidur. Mendengar suara decitan pintu yang terbuka, Savian praktis menoleh. Senyumnya mengembang melihat Carla yang di tunggu-tunggu akhirnya keluar dari kamar. Savian bahkan sampai tidak tidur hanya untuk menunggu Carla keluar dari kamarnya. Savian berdiri, mengangkat tangannya menyapa Carla, "Pagi, Carla!" terdengar antusiasme. Tapi, Carla t
Lupakan rasa cemburunya. Dengan wajah cemberut Savian mengoleskan nutella ke atas selembar roti yang baru saja keluar dari alat pemanggang roti. Masih hangat dan sudah pasti kreyes, kesukaan Carla sekali.Savian gagal menginterogasi Carla karena gadis itu malah mengamuk sebab Savian melahap habis roti bakar miliknya. Itulah mengapa saat ini Savian sibuk bergelut dengan alat pemanggang roti dan selai coklat hazelnut kegemeran Carla."Jangan cemberut lagi, kan sudah saya bikinin nih roti bakarnya." ujar Savian merayu, ia meletakan roti buatannya ke hadapan Carla, tentu saja dengan beralaskan piring.Carla menyesap kopinya lebih dulu sebelum mengunyah roti buatan Savian. Carla makan dengan tenang, tidak sambil bicara dan menatap lurus ke depan, berbeda dengan Savian yang tidak bisa berpaling dari wajah Carla barang sedetik pun. Sebenarnya Carla sadar dan risih, tapi dia memilih diam tak menggubris Savian.Kal
Plak!!!Pertanyaan kurang ajar Savian dapat hadiah tamparan dari Carla. Setelah menciumnya dengan rakus seperti tadi, Savian malah bertanya apa ingin di lanjutkan?Carla beneran tidak habis pikir!"Nih, lanjutin sama panci!" ujar Carla kesal, lantas ia mengambil panci yang menggantung di dekatnya, lalu menaruhnya di kepala Savian.Carla hilang dari pandangan usai Savian melepaskan panci yang menutupi wajah tampannya iitu Bukannya mikir, Savian malah erkekeh melihat bagaimana menggemaskannya mimik wajah Carla ketika kesal. Padahal kalau Carla memberi izin, Savian bisa membuat gadis itu merasakan sensasi yang lebih nikmat dari sebelumnya.Savian mengusap sisi bibirnya, jejak ciuman mereka masih membekas di sana. Bibir Savian menyeringai, menatap pintu kamar Carla dengan pandangan menilai.Penolakan dari Carla semakin membuat Savian merasa tertantang. Lihat saja sampai kapan
"Pak Savian!" Langkah Savian yang sedang menuntun Carla ke parkiran kampus terhenti, secara kompak Savian dan Carla menoleh ke sumber suara. Mendapati Kristal yang menghampiri mereka seraya membawa lembaran kertas yang di gulung di genggamannya. Carla menelan ludah, tertampar dengan visual Kristal yang badas abis hari ini. Celana jeans ketat yang mencetak jelas kaki jenjangnya dipadukan dengan kemeja biru polos yang di masukan ke dalam celana, tak lupa dua kancing teratasnya dibiarkan terbuka. Carla yang sesama jenis saja menelan ludah, apa lagi mahluk jantan yang melihatnya. "Kamu tunggu di mobil, ya." Savian kembali melanjutkan langkahnya sambil menuntun Carla. Tersisa lima langkah saja untuk sampai dimobil Jeep putih milik Savian yang terparkir di bawah rimbunnya pohon beringin. Tangan Savian membuka pintu mobil bagian penumpang, memerintah Carla untuk masuk dan duduk menunggu selagi ia berbicara em
Savian mengamati wajah Carla yang terlelap di sampingnya. Posisinya saat ini sedang duduk di tepi ranjang sembari mengusapi perut rata Carla yang terlelap di sebelah kanan. Tanpa sadar Savian tersenyum samar, Carla kalau pulas begini wajah menyebalkannya jadi hilang tergantikan raut teduh dan polos bagaikan bayi. Tangan Savian yang bergerak mengusap lembut perut rata Carla kini berhenti. Ia terdiam sejenak seakan sedang mempertimbangkan sesuatu. Meski agak ragu, tapi Savian menundukkan kepalanya slow motion mengarah pada perut Carla. Cup. Kecupan manis bibir Savian jatuh tepat di atas perut Carla. Lembut dan dalam. Savian resapi mulusnya kulit perut Carla yang bersentuhan dengan bibirnya itu, sebelum akhirnya Savian mengangkat kepalanya lalu menarik kaus oversize yang Carla kenakan untuk menutupi seluruh perutnya. Savian beneran hanya mengusapi perut rata Carla, tidak merambat kemana-mana meskipun menahan tangannya untuk tidak geraya
Flashback. Hari pengumuman hasil SNMPTN. Suara ketukan pintu membuat Carla terdiam sejenak, belum juga ia beranjak untuk membuka pintunya, pintu tersebut sudah lebih dulu terbuka. Wajah Gentara muncul dari sana, membuat senyum di wajah Carla memudar seketika. Jantung Carla mulai berdetak abnormal seiring dengan tungkai Gentara yang melangkah masuk ke dalam kamarnya dengan senyum mengerikan. Pintu di tutup, Carla terduduk di atas ranjangnya dengan tangan gemetar. "Kakak dengar dari Mama, katanya hasil tes ujian kamu lolos, ya?" sambil berkata demikian Gentara melangkah mendekati ranjang Carla. Sementara Carla masih terpaku di tempat dengan wajah gelisahnya. "Kenapa diam? kakak nanya, Car." Gentara duduk di tepi ranjang, tangannya bergerak mengusap pipi tirus Carla. Wajah Carla melengos, menghindari sentuhan tangan dari kakak tirinya itu. Perlahan kepala Carla mengangguk, sebagai jawaban dari pertanyaan Gentara baru
"Apa gak sebaiknya kamu lapor ke orang tua kamu, Car?" Obrolan Savian dan Carla masih berlanjut. Mereka duduk bersebelahan di atas ranjang sembari menyenderkan punggung mereka. Di bahu lebar Savian tersandar kepala Carla yang terlihat nyaman. Kedua mata Carla terpejam, mengingat kembali hari dimana ia memilih memberitahukan Papa dan Mamanya tentang kelakuan bejat Gentara, kakaknya. Sekilas senyum pedih terlintas, Carla kembali merasakan bagaimana harapannya hancur saat itu. Dimana ia berharap mama dan mamanya memberinya perlindungan dari Gentara, tapi yang ia dapatkan adalah hal yang tidak pernah terbayangkan. Gentara playing victim dan membuat seolah semua Carla yang salah. Mulai hari itu Carla berhenti berharap kepada Mama dan Papa tirinya. Percuma.
Kahfi menghembuskan napasnya cemas, pria itu tidak bisa berhenti memikirkan istrinya yang sekarang entah berada dimana. Keina yang beberapa jam lalu mengeluh tak enak badan, kini menghilang. Sudah sejak tadi Kahfi ingin mencarinya, tapi Keino melarang dan mengatakan kalau sebentar lagi gadis itu pasti akan pulang. Kata Keino, Keina memang suka pergi main tanpa bilang-bilang. Kalau pun memaksa pergi, Kahfi juga tidak tahu harus kemana, dia tidak mengenal teman-teman dekat istrinya. Sedari tadi ponsel Keina juga tidak bisa dihubungi."Tunggu di dalam aja, Kaf. Dingin di sini." Keino datang sambil memainkan kunci mobil di tangannya, sepertinya pria itu hendak pergi.Kahfi mengangguk tanpa mengatakan apapun. "Enggak usah khawatir, Keina emang gitu anaknya, bandel. Sering kabur-kaburan. Nanti kalau dia udah pulang, sentil aja kupingnya, kebiasaan kalau main enggak izin dulu. Dia lupa kali kalau sekarang udah punya suami." gerutu Keino. Mungkin dia kesal dengan tabiat adiknya yang satu itu
Keina melenguh disela-sela tidurnya, bukan tanpa sebab tidurnya yang nyenyak itu terganggu. Ada sesuatu yang mengguncang pundaknya, dan dengan terpaksa Keina membuka mata."Na, bangun..." Suara halus itu kini sudah langganan ditelinganya, jelas dia tahu siapa pemiliknya. Kahfi."Kenapa sih, Kak? Aku masih ngantuk!" Keina menepis tangan Kahfi dari pundaknya. Demi Tuhan, dia masih ngantuk berat, setelah subuh tadi dia harus terbangun untuk sholat subuh, kini Kahfi kembali mengusik tidurnya lagi."Hei, kamu lupa hari ini kita mau ke Dokter Kandungan?" Meski suaranya masih tetap lembut, tapi nyatanya saat ini Kahfi sedang menahan rasa sabarnya. Baru beberapa minggu menjadi suami, namun rasa sabar Kahfi benar-benar diuji.Mendengar apa yang baru saja suaminya itu katakan, spontan sepasang mata Keina membulat sempurna. Dia segera memunggungi Kahfi dan meringis pelan. Tentu saja sambil mengumpat dalam hati. Benar, dia lupa kalau hari ini mereka sudah janjian untuk periksa kandungan. Bukan me
Keina duduk di depan Kahfi dan Keino dengan wajah tegang. Sejak kemarin kakaknya itu memang ada di rumah, tapi hubungan mereka sedikit canggung karena pemasalahan yang ada. Ya, tentu saja Keino marah saat mendengar kabar bahwa adiknya itu dihamili oleh pria yang tidak bertanggungjawab. Jangankan ngobrol, sejak datang saja Keino tidak mau menatap wajah Keina, baru tadi saat menegurnya di depan teman-temannya.Jadi, tolong jangan ditanyakan seberapa besar rasa marah Keino ke Keina. Sebagai kakak, dia jelas merasa sangat kecewa dan gagal melindungi adiknya dari janji manis laki-laki buaya."Gimana Keina, Kaf? Dia menjalani kewajibannya sebagai istri, kan?" tanya Keino menatap Kahfi dengan serius, walaupun Keina duduk tepat disebelah Kahfi, tapi tak sekilas pun matanya melirik ke arah sang adik yang merengut cemas.Sebelum menjawab pertanyaan kakak iparnya itu, Kahfi menoleh ke arah Keina dan tersenyum lembut. Dia menggerakan tangannya, merangkum punggung tangan Keina yang nganggur lalu m
"Na, mobil siapa tuh?"Keina yang sedang asik berbincang dengan Gibral lantas mengalihkan pandangannya ke arah yang sama dengan apa yang Miska lihat saat ini. Sebuah mobil Range Rover yang melaju memasuki perkarangan rumahnya. Perlahan kening Keina berkerut sebelum bibirnya mengeluarkan sebuah decakan sebal setelah tersadar siapa pemilik mobil mewah itu.Ya, siapa lagi kalau bukan suaminya, Kahfi. "Siapa, Na?" Mario ikut bertanya.Dan ketika pintu mobil itu terbuka, memunculkan Kahfi yang keluar dari dalam sana. Hal itu tentu saja membuat rasa penasaran teman-temannya terbayarkan. Jelas mereka masih ingat wajah pria yang duduk di kursi pelaminan bersama Keina menggantikan posisi Dirga yang notebene teman mereka juga. Mereka spontan bangkit berdiri, kecuali Keina yang ekspresinya langsung mendadak bete."Na, kok diam aja, itu suami lo datang!" Miska menarik tangan Keina cepat tatkala melihat Kahfi yang berjalan mendekati mereka dengan seulas senyum manisnya. Jika boleh jujur, tadi Mis
"Maaaaa, takut!" Keina berlari mundur saat mendengar gemercik minyak panas tatkala ia memasukan potongan ayam ke dalam penggorengan. "Ya ampun, Na! Masak aja kayak mau tawuran!" Komentar Dinne yang berdiri diujung pintu dapur sambil memegang ponsel yang menyorot ke arah sang anak. Ya, dia sedang merecord kegiatan Keina untuk dikirim ke Kahfi sebagai laporan. Meskipun Kahfi tidak meminta, tapi Dinne berinisiatif sendiri. "Ma, bantuin aku dong! Kok malah main hape doang!" Gadis itu menatap sang mama kesal, tangan kanannya memegang spatula sementara tangan lainnya memegang tutup panci yang dia ambil spontan untuk melindungi diri dari cipratan minyak. Dinne berdecak, sebelum mengindahkan perintah sang anak, dia mengatur tata letak ponselnya agar kameranya terus menyorot ke arah Keina. Setelah itu dia berjalan mendekati kompor, "Sini, gitu aja udah marah-marah." Dia mengambil alih spatula dari tangan Keina, lalu menggoreng potongan ayam yang tersisa. "Mama kayaknya salah deh, sebelum be
Kahfi mengelus bibirnya dengan kedua mata tertuju pada ponsel digenggaman. Biasanya di jam-jam segini pria itu sibuk dengan laptop dan pekerjaan, meskipun pekerjaannya sudah selesai tapi dia pasti selalu bertanya ke Sekretarisnya apakah ada pekerjaan yang bisa dia selesaikan saat itu. Namun untuk kali ini Kahfi memilih untuk korupsi waktu, entah kenapa dia lebih memilih untuk berperang dengan isi kepalanya sendiri daripada menandatangi berkas-berkas.Pria dengan kemeja abu-abu itu merenggangkan dasinya. Tangan kanan Kahfi memegang ponsel yang hanya dia tatapi sejak setengah jam lalu, sementara tangan lainnya memutar-mutar bolpoint. Nama sang istri yang asik berlarian di kepalanya menjadi alasan kenapa pria itu asik dengan dunianya sendiri. Kahfi melirik arloji dipergelangan tangannya, jam satu siang. Kalau dia telepon Keina dan bertanya apakah istrinya itu sudah sholat dzuhur dan makan siang, apa Keina akan merasa terganggu? Mengingat bagaimana respon Keina saat ia telepon tadi pagi,
Mas Kahfi: Assamu'alaikum, Na... Selamat pagi.Mas Kahfi: Hari ini kesiangan enggak sholat subuhnya? Oh iya, jangan telat sarapan, ya.Keina yang baru membuka kedua matanya dan tak sengaja mendapati pop-up pesan dari Kahfi lantas berdecih. Entah kenapa pesan manis itu terlihat menjijikan untuknya. Typing Kahfi benar-benar menggambarkan sosok bapak-bapak yang sudah tua, sangat berbeda dengan Keina yang terbiasa menerima pesan dengan typing gaul dari teman-teman sepantarannya.Tanpa berniat membalas pesan dari suaminya itu, Keina lantas meletakan kembali ponselnya ke atas nakas. Sejenak dia merenggangkan otot-otot badannya sebelum menyibak selimut dan turun dari ranjang. Gadis dengan setelan piyama biru muda itu berjalan menuju jendela kamarnya, membuka ventilasi udara dan menghirup banyak-banyak udara yang belum terkontaminasi polusi.Kepala Keina menoleh ke belakang, melirik jam dinding. Ternya masih pukul enam pagi. Sejujurnya, ini momen langka karena Keina bisa bangun disaat matahar
Menepati janjinya, selepas sholat dzuhur Kahfi membawa Keina ke rumah Galih untuk silahturahmi sekaligus mengenalkan istri cantiknya itu. Tentu saja, Galih dan istrinya menyambut dengan baik kedatangan keduanya. Ya, meski gagal menjadikan Kahfi sebagai menantu mereka, tapi hubungan keluarga Galih dengan Kahfi tetap baik. Mereka juga banyak memuji Keina yang katanya cantik. Usai berbincang kecil selama kurang lebih setengah jam, Kahfi dan Keina harus pamit karena mereka harus pergi mengejar jam penerbangan pesawat ke Jakarta yang sudah mereka pesan siang ini. Ya, hari ini Keina akan kembali ke Jakarta, jika gadis itu menepati janjinya, maka dia akan kembali lagi bulan depan untuk menetap selamanya bersama Kahfi di kota ini."Sudah dicek lagi barang-barang kamu? Ada yang ketinggalan enggak?" tanya Kahfi seraya mengambil alih tas besar yang sedang Keina bawa. Lantas dia menaruhnya ke dalam bagasi mobil."Enggak ada, Kak," jawab Keina.Kahfi mengangguk, dia lantas membukakan pintu penump
"Mas Kahfi, tumben sudah dua hari saya enggak lihat mas Kahfi jamaah di sini,"Kahfi yang baru saja melangkah keluar dari pintu masjid langsung menghentikan tungkainya, dia berbalik badan dan mendapati Pak Galih yang melempar pertanyaan kepadanya.Sebelum menjawab, Kahfi lebih dulu menyalami tangan pria paruhbaya itu. Dia cukup dekat dengan Pak Galih selaku ketua RT dikompleknya. Apalagi mereka sama-sama jamaah tetap di masjid, jadi setiap hari pasti bertemu."Iya, Pak, kemarin saya habis dari Jakarta," jawab Kahfi dengan senyuman di wajah teduhnya. "Oh iya, Pak, rencananya pagi ini saya mau ke rumah bapak," imbuh Kahfi sambil melangkah menuju halaman masjid. Tentu saja, tungkai Galih juga mengiringi."Ada apa, mas?" Galih bertanya sambil memakai sandal jepitnya.Kahfi menahan senyum, sebenarnya dia tidak ingin berbicara dengan situasi seperti ini, dijalan menuju arah pulang. Meskipun jalanan sedang sepi dan hanya ada beberapa orang yang juga baru keluar dari masjid selepas sholat sub