Rizal segera menginjak pedal gas, memacu kendaraan roda empat itu dengan kecepatan tinggi agar secepatnya sampai di rumah. Ia tak sabar, ingin segera mengungkapkan rasa kesalnya kepada sang istri."Ini nggak bisa dibiarkan, Indri memang sudah terlalu kurang ajar," gerutu Rizal saat mobilnya memasuki pelataran rumah baru yang begitu luas.Lelaki muda itu berlari kecil untuk masuk ke dalam rumah. Tanpa diduga, ia mendapati Indri tengah asyik duduk di depan televisi sembari menyantap sepotong pizza."Indri, kamu ambil semua uang di dalam dompetku?!" todong Rizal tanpa basi-basi, matanya memerah dengan kedua tinju mengepal.Bukanya takut, Indri malah tersenyum kemudian menenggak air putih dari gelasnya."Ngapain sih marah-marah begitu, Mas? Nanti kamu menyesal lho, iya aku ambil buat beli pizza. Habisnya aku lapar," jawab Indri dengan santai kemudian kembali menyantap makananya."Keterlaluan, memangnya kamu nggak bisa masak sampai kamu harus selalu beli makanan dari luar. Lihat tubuhmu, s
Mentari mulai bersinar, menebar kehangatan di dunia bersama dengan embun pagi yang mulai menghilang di dedaunan. Hari yang ditunggu oleh Jihan telah tiba, ini adalah hari di mana ia harus pergi ke pengadilan agama untuk mengambil akta cerai sekaligus hari pembukaan caffe baru yang ia bangun dengan Anjas."Bunda, ayo keluar. Pak Anjas sudah menunggu di depan," ajak Fadil yang sudah berdiri di depan pintu. Bocah kecil itu tersenyum, memandangi penampilan sang ibu yang nampak begitu sempurna dengan balutan dress selutut berwarna hitam dan sepatu hak tinggi. Wajah ayu terpoles make up natural dan rambut lurus sepinggang yang ditata curly pada bagian ujungnya membuat penampilan jihan sangat memukau."Ayo, Sayang. Bunda dan Pak Anjas antar kamu ke sekolah dulu, nanti siang Pak Anjas yang jemput kamu untuk datang ke pembukaan caffe." Jihan menggandeng tangan sang putra untuk keluar kamar.Bocah kecil itu terdiam dengan dahi berkerut tajam, ada tanda tanya besar di benaknya karena hari ini A
Mata Anjas dan Rizal membelalak sempurna kala melihat Jihan yang menepis tangan Indri dengan begitu kasar dan mendaratkan tamparan keras di pipi wanita bertubuh gemuk tersebut."Jihan, apa-apaan kamu!" Rizal segera menarik tubuh Indri dan memeluknya, ia tak ingin keadaan semakin kacau.Jihan tersenyum miring seraya menepuk-nepuk tanganya sendiri yang seolah terkena kotoran setelah menampar wajah Indri."Aku sama sekali tak berniat untuk berbuat kasar kepada istrimu, tapi dia yang memulai," balas Jihan kemudian."Tapi nggak seharusnya kamu menamparnya." Rizal masih berusaha membela sang istri."Lalu, aku harus berdiam diri dan membiarkan dia melukaiku? Maaf, aku bukan Jihan yang dulu, sekarang aku tak akan membiarkan seorang pun menggores luka di hidupku. Termasuk kamu!" Jihan menekan kalimatnya, kemudian menoleh ke arah Anjas yang masih terpaku menatapnya."Ayo kita pulang, Njas. Masih ada urusan kita yang lebih penting dibanding berdebat dengan manusia seperti mereka," tambahnya kemu
Jihan mengernyitkan keningnya, ia tak ingat jika hari ini ada janji dengan seseorang. Dengan malas, janda muda itu mengarahkan pandangan menuju ke teras, tempat di mana seorang pria paruh baya mengenakan setelan jas tengah duduk menopang kaki sembari memainkan ponsel mewah keluaran terbaru."Pak Brama, mau apa lagi sih dia datang ke sini? Pasti mau bikin masalah!" gerutu Jihan setelah mengetahui siapa tamunya.Wanita itu turun dari mobil dan menghampiri sang tamu yang belum menyadari kedatanganya karena terlalu asyik bermain ponsel."Mau apa lagi Bapak datang ke rumah saya?" tanya Jihan tanpa menyapa lelaki itu terlebih dahulu.Brama mendongak, menatap Jihan kemudian menyunggingkan sebuah senyuman."Saya ingin bertemu dengan cucu saya," jawab Brama dengan begitu santai.Kedua alis Jihan saling bertaut setelah mendengar pernyataan lelaki tua itu."Cucu? Memangnya siapa cucu Bapak? Saya rasa, cucu Anda tidak ada di sini," ucap Jihan ketus.Di halaman depan, Anjas baru saja turun dari mo
Bu Inggar mengikuti ke mana arah jari telunjuk putrinya tertuju, wanita itu membulatkan mata setelah melihat apa yang tengah dilakukan oleh sang mantan menantu di depan sana."Benar-benar kurang ajar itu Jihan. Ayo kita ke sana sekarang." Bu Inggar melangkah tergesa, menghampiri Jihan yang baru saja selesai memotong pita dan mempersilakan seluruh pengunjung untuk masuk ke dalam caffe."Heh, Jihan. Kurang ajar, jadi selama ini kamu makan uang Rizal dan sekarang kamu gunakan untuk buka bisnis caffe ini setelah kalian cerai? Tega kamu senang-senang dia atas penderitaan saya yang hidup serba kekurangan sekarang," tuduh Bu Inggar dengan suara lantang.Para pengunjung caffe saling berbisik, ada yang sebagian langsung percaya dengan ucapan Bu Inggar. Namun, lebih banyak yang lebih percaya kepada Jihan karena sudah tahu bagaimana perjalanan hidup wanita muda itu sampai bisa seperti sekarang ini.Kedua alis Jihan saling bertaut mendengar tuduhan yang baru saja dilontarkan oleh mantan ibu mertu
Mata Rizal mengembun, menahan bulir bening yang mendesak di sudut mata. Dadanya terasa sesak seperti dihimpit beban berat. Ingin rasanya menangis sepuasnya, akan tetapi sebagai seorang lelaki tentu ia merasa malu jika terlihat lemah meski di hadapan keluarganya sendiri."Rizal, kamu kenapa? Ada masalah? Indri mana? Kenapa kamu ke sini sendirian?" cecar Rindi yang penasaran karena melihat mata sang adik memerah akibat menahan tangis."Aku diusir sama Indri, Mbak. Dia ingin menceraikan aku, dan aku juga sudah dipecat dari perusahaan, aku hancur! Aku balik lagi jadi gembel sekarang, Mbak!" Suara nyaring Rizal memenuhi seluruh sudut ruangan. Terlihat jelas jika lelaki itu tengah berada di titik terendahnya. Karir yang ia bangun kini hancur, kehidupan rumah tangganya pun berantakan.Mulut Bu Inggar menganga, bola matanya melotot seolah ingin keluar dari tempatnya. Tak percaya dengan apa yang baru saja disampaikan oleh sang putra. Pernikahan Rizal dan Indri yang baru seumur jagung sudah be
Rindi duduk di meja makan, menyuapi Putri sembari memperhatukan wajah Rizal yang tampak sedih dan terpuruk. Ia tahu bahwa Rizal masih mencintai Jihan, mantan istri yang sudah ia sia-siakan hanya demi mengejar harta."Mbak, jadi solusi apa yang mau Mbak Rindi kasih ke aku?" tanya Rizal setelah isi piringnya tandas."Zal, aku tahu kamu masih mencintai Jihan. Sekarang dia sudah mulai sukses, penampilanya juga jauh lebih cantik dibanding saat masih menjadi istrimu dahulu," ujar Rindi dengan wajah serius.Kening Rizal mengernyit tajam, ia tak paham dengan tujuan Rindi yang sebenarnya."Maksud, Mbak Rindi?" tanya Rizal dengan dua alis yang saling bertaut."Bagaimana jika kamu minta rujuk saja sama Jihan? Aku yakin dia pasti masih mau rujuk sama kamu kalau tahu Indri sudah meminta cerai. Kalau kalian kembali bersama, kamu bisa kembali hidup enak, termasuk Mbak dan Ibu juga. Nggak perlu capek-capek jual gorengan begini, kamu juga nggak perlu pusing nyari kerja lagi." Rindi mengutarakan ide ko
Jihan urung untuk melanjutkan kalimat, ia merasa jika perasaanya mulai terombang-ambing. Keraguan menyelimuti hati. Di satu sisi, ia tak ingin lagi disakiti oleh Rizal dan keluarganya. Namun di sisi lain, ada Fadil yang juga membutuhkan sosok seorang ayah, dan di sudut hati yang paling dalam, masih ada sedikit rasa untuk lelaki di yang duduk di depannya saat ini."Bagaimana, Jihan? Kamu mau 'kan kembali rujuk denganku? Demi kebahagiaan anak kita, pasti Fadil sangat sedih melihat kita berpisah seperti ini!" Rizal kembali mendesak Jihan untuk memberikannya jawaban.Jihan kembali menatap Rizal dengan pandangan tajam penuh keraguan. Ia masih tak percaya jika Rizal bisa berubah secepat ini."Apa sebenarnya tujuan kamu ngajak aku rujuk, Mas?" tanya Jihan."Aku nggak ada maksud lain, Jihan. Aku benar-benar sudah berubah, aku mohon kamu percaya sama aku ya?" Rizal menangkupkan kedua tangannya di depan wajah.Jihan terdiam sejenak, menghirup napas panjang kemudian menghembuskanya secara perlah
Rizal kembali menyimpan benda pipih berbentuk persegi panjang itu ke dalam saku setelah mengakhiri panggilan tersebut. Wajahnya datar, menatap wajah-wajah tegang yang terpampang di hadapannya tanpa ada satu kata pun terucap dari bibir."Zal, siapa yang telepon barusan? Siapa yang meninggal?" tanya Bu Inggar dengan wajah penasaran."Indri dan Papanya kecelakaan, Bu. Dan ... mereka meninggal dunia di tempat.""ALHAMDULILLAH," seru Rindi dan Bu Inggar secara bersamaan.Rizal menggaruk bagian belakang kepalanya dengan kening mengernyit melihat tingkah Ibu dan kakaknya yang aneh menurutnya."Kok kalian malah ngucap syukur? Ini berita duka lho, Mbak, Bu. Indri dan papanya meninggal!" Rizal menautkan kedua alisnya penuh tanya, ia mengulangi kalimatnya tadi.Dua wanita beda generasi itu terkekeh, kemudian saling melempar pandangan. Bu Inggar meminta Rindi memberikan penjelasan kepada Rizal melakui kontak mata."Zal, kamu kalau lemot jangan kebangetan. Kita 'kan sama-sama tahu kalau Indri dan
Rizal melangkah masuk ke dalam rumah dengan hati berdebar sekaligus perasaan bahagia. Setidaknya, meski ia tak sungguh-sungguh mencintai Indri. Namun, satu masalah hidupnya akan beres jika Indri tak jadi meminta cerai. Ia tak perlu pusing memikirkan biaya hidupnya sehari-hari karena bisa menumpang hidup kepada wanita kaya raya bertubuh gemuk itu.Ayunan tungkai Rizal semakin mendekat ke ambang pintu, senyum mengembang di bibir. Namun, senyum itu seketika musnah kala mendengar isak tangis sang ibu.Rizal buru-buru membuka pintu. Di sofa, Indri duduk bersebelahan dengan Brama. Sedangkan Bu Inggar dan Rindi duduk di seberang meja dengan kepala menunduk. Air mata berderai membasahi pipi sepasang ibu dan anak itu."Ada apa ini? Kenapa Ibu dan Mbak Rindi menangis?" tanya Rizal dengan wajah bingung.Bu Inggar menhampiri sang putra dan menuntunnya untuk ikut duduk di sofa."Pak Brama dan Indri datang kemari untuk mengambil BPKB mobil kamu, Zal," ucap Bu Inggar di tengah-tengah isakan.Rizal m
Jihan urung untuk melanjutkan kalimat, ia merasa jika perasaanya mulai terombang-ambing. Keraguan menyelimuti hati. Di satu sisi, ia tak ingin lagi disakiti oleh Rizal dan keluarganya. Namun di sisi lain, ada Fadil yang juga membutuhkan sosok seorang ayah, dan di sudut hati yang paling dalam, masih ada sedikit rasa untuk lelaki di yang duduk di depannya saat ini."Bagaimana, Jihan? Kamu mau 'kan kembali rujuk denganku? Demi kebahagiaan anak kita, pasti Fadil sangat sedih melihat kita berpisah seperti ini!" Rizal kembali mendesak Jihan untuk memberikannya jawaban.Jihan kembali menatap Rizal dengan pandangan tajam penuh keraguan. Ia masih tak percaya jika Rizal bisa berubah secepat ini."Apa sebenarnya tujuan kamu ngajak aku rujuk, Mas?" tanya Jihan."Aku nggak ada maksud lain, Jihan. Aku benar-benar sudah berubah, aku mohon kamu percaya sama aku ya?" Rizal menangkupkan kedua tangannya di depan wajah.Jihan terdiam sejenak, menghirup napas panjang kemudian menghembuskanya secara perlah
Rindi duduk di meja makan, menyuapi Putri sembari memperhatukan wajah Rizal yang tampak sedih dan terpuruk. Ia tahu bahwa Rizal masih mencintai Jihan, mantan istri yang sudah ia sia-siakan hanya demi mengejar harta."Mbak, jadi solusi apa yang mau Mbak Rindi kasih ke aku?" tanya Rizal setelah isi piringnya tandas."Zal, aku tahu kamu masih mencintai Jihan. Sekarang dia sudah mulai sukses, penampilanya juga jauh lebih cantik dibanding saat masih menjadi istrimu dahulu," ujar Rindi dengan wajah serius.Kening Rizal mengernyit tajam, ia tak paham dengan tujuan Rindi yang sebenarnya."Maksud, Mbak Rindi?" tanya Rizal dengan dua alis yang saling bertaut."Bagaimana jika kamu minta rujuk saja sama Jihan? Aku yakin dia pasti masih mau rujuk sama kamu kalau tahu Indri sudah meminta cerai. Kalau kalian kembali bersama, kamu bisa kembali hidup enak, termasuk Mbak dan Ibu juga. Nggak perlu capek-capek jual gorengan begini, kamu juga nggak perlu pusing nyari kerja lagi." Rindi mengutarakan ide ko
Mata Rizal mengembun, menahan bulir bening yang mendesak di sudut mata. Dadanya terasa sesak seperti dihimpit beban berat. Ingin rasanya menangis sepuasnya, akan tetapi sebagai seorang lelaki tentu ia merasa malu jika terlihat lemah meski di hadapan keluarganya sendiri."Rizal, kamu kenapa? Ada masalah? Indri mana? Kenapa kamu ke sini sendirian?" cecar Rindi yang penasaran karena melihat mata sang adik memerah akibat menahan tangis."Aku diusir sama Indri, Mbak. Dia ingin menceraikan aku, dan aku juga sudah dipecat dari perusahaan, aku hancur! Aku balik lagi jadi gembel sekarang, Mbak!" Suara nyaring Rizal memenuhi seluruh sudut ruangan. Terlihat jelas jika lelaki itu tengah berada di titik terendahnya. Karir yang ia bangun kini hancur, kehidupan rumah tangganya pun berantakan.Mulut Bu Inggar menganga, bola matanya melotot seolah ingin keluar dari tempatnya. Tak percaya dengan apa yang baru saja disampaikan oleh sang putra. Pernikahan Rizal dan Indri yang baru seumur jagung sudah be
Bu Inggar mengikuti ke mana arah jari telunjuk putrinya tertuju, wanita itu membulatkan mata setelah melihat apa yang tengah dilakukan oleh sang mantan menantu di depan sana."Benar-benar kurang ajar itu Jihan. Ayo kita ke sana sekarang." Bu Inggar melangkah tergesa, menghampiri Jihan yang baru saja selesai memotong pita dan mempersilakan seluruh pengunjung untuk masuk ke dalam caffe."Heh, Jihan. Kurang ajar, jadi selama ini kamu makan uang Rizal dan sekarang kamu gunakan untuk buka bisnis caffe ini setelah kalian cerai? Tega kamu senang-senang dia atas penderitaan saya yang hidup serba kekurangan sekarang," tuduh Bu Inggar dengan suara lantang.Para pengunjung caffe saling berbisik, ada yang sebagian langsung percaya dengan ucapan Bu Inggar. Namun, lebih banyak yang lebih percaya kepada Jihan karena sudah tahu bagaimana perjalanan hidup wanita muda itu sampai bisa seperti sekarang ini.Kedua alis Jihan saling bertaut mendengar tuduhan yang baru saja dilontarkan oleh mantan ibu mertu
Jihan mengernyitkan keningnya, ia tak ingat jika hari ini ada janji dengan seseorang. Dengan malas, janda muda itu mengarahkan pandangan menuju ke teras, tempat di mana seorang pria paruh baya mengenakan setelan jas tengah duduk menopang kaki sembari memainkan ponsel mewah keluaran terbaru."Pak Brama, mau apa lagi sih dia datang ke sini? Pasti mau bikin masalah!" gerutu Jihan setelah mengetahui siapa tamunya.Wanita itu turun dari mobil dan menghampiri sang tamu yang belum menyadari kedatanganya karena terlalu asyik bermain ponsel."Mau apa lagi Bapak datang ke rumah saya?" tanya Jihan tanpa menyapa lelaki itu terlebih dahulu.Brama mendongak, menatap Jihan kemudian menyunggingkan sebuah senyuman."Saya ingin bertemu dengan cucu saya," jawab Brama dengan begitu santai.Kedua alis Jihan saling bertaut setelah mendengar pernyataan lelaki tua itu."Cucu? Memangnya siapa cucu Bapak? Saya rasa, cucu Anda tidak ada di sini," ucap Jihan ketus.Di halaman depan, Anjas baru saja turun dari mo
Mata Anjas dan Rizal membelalak sempurna kala melihat Jihan yang menepis tangan Indri dengan begitu kasar dan mendaratkan tamparan keras di pipi wanita bertubuh gemuk tersebut."Jihan, apa-apaan kamu!" Rizal segera menarik tubuh Indri dan memeluknya, ia tak ingin keadaan semakin kacau.Jihan tersenyum miring seraya menepuk-nepuk tanganya sendiri yang seolah terkena kotoran setelah menampar wajah Indri."Aku sama sekali tak berniat untuk berbuat kasar kepada istrimu, tapi dia yang memulai," balas Jihan kemudian."Tapi nggak seharusnya kamu menamparnya." Rizal masih berusaha membela sang istri."Lalu, aku harus berdiam diri dan membiarkan dia melukaiku? Maaf, aku bukan Jihan yang dulu, sekarang aku tak akan membiarkan seorang pun menggores luka di hidupku. Termasuk kamu!" Jihan menekan kalimatnya, kemudian menoleh ke arah Anjas yang masih terpaku menatapnya."Ayo kita pulang, Njas. Masih ada urusan kita yang lebih penting dibanding berdebat dengan manusia seperti mereka," tambahnya kemu
Mentari mulai bersinar, menebar kehangatan di dunia bersama dengan embun pagi yang mulai menghilang di dedaunan. Hari yang ditunggu oleh Jihan telah tiba, ini adalah hari di mana ia harus pergi ke pengadilan agama untuk mengambil akta cerai sekaligus hari pembukaan caffe baru yang ia bangun dengan Anjas."Bunda, ayo keluar. Pak Anjas sudah menunggu di depan," ajak Fadil yang sudah berdiri di depan pintu. Bocah kecil itu tersenyum, memandangi penampilan sang ibu yang nampak begitu sempurna dengan balutan dress selutut berwarna hitam dan sepatu hak tinggi. Wajah ayu terpoles make up natural dan rambut lurus sepinggang yang ditata curly pada bagian ujungnya membuat penampilan jihan sangat memukau."Ayo, Sayang. Bunda dan Pak Anjas antar kamu ke sekolah dulu, nanti siang Pak Anjas yang jemput kamu untuk datang ke pembukaan caffe." Jihan menggandeng tangan sang putra untuk keluar kamar.Bocah kecil itu terdiam dengan dahi berkerut tajam, ada tanda tanya besar di benaknya karena hari ini A