“Kemana saja kamu, baru pulang?” ternyata Denis menunggu kedatangan Rama, padahal sudah hampir jam sepuluh malam.Rama pikir Papanya sudah tidur, nyatanya masih menunggu. Prediksinya sang Papa akan membahas masalah kepergian dirinya beberapa malam kemarin.“Papa belum tidur?”“Jawab pertanyaan Papa,” sentak Denis.“Keluar kota,” jawab Rama santai lalu menghempaskan tubuhnya di sofa. Dia sudah lelah, tapi langsung meninggalkan Denis sangat tidak sopan.“Bertemu Anya ‘kan? Sudah melahirkan dia?”Rama tidak menjawab, hanya menghela nafas. Tidak lama Malika datang dan mengajak Denis ke kamar.“Pah, lebih baik ikut mama ke kamar. Papa harus istirahat, ingat tekanan Papa.”“Kalau kamu sayang Papa, harusnya tidak membela Anya.”“Cukup Pah, aku tidak ingin memanfaatkan Anya. Biar dia bahagia.”“Melepas dia untuk Bima. Anak itu anak Bima, cucu Danar. Ini sama saja kamu bunuh Papa, Rama. Aku tidak bisa biarkan Anya bahagia, dia sudah mengkhianati kamu. Warisan itu tidak akan jatuh pada Danar at
“Astaga,” gumam Rama saat orangtua Anya meninggalkan ruangannya. Bukan hanya gelengan kepala, tapi pria itu juga mengusap wajahnya.“Bisa-bisanya hanya mengkhawatirkan bisnis keluarga, daripada putrinya. Tidak papaku, tidak ayahnya Anya … sama saja.”Bicara dengan Bima, ia rencanakan besok. Rama membuka ponselnya mencari chat room dengan Selly lalu tersenyum. Mengetikan pesan untuk wanita itu, menanyakan sedang apa. Hal receh yang tidak pernah mereka lakukan saat masih bersama.Tiga menit, pesan yang dikirim masih belum dibaca. Rama kembali fokus dengan pekerjaannya. Hampir satu jam berlalu, ponselnya bergetar. Sempat melirik sekilas, dari jendela pop up ternyata pesan dari Selly. Wajahnya tersenyum dan gegas membuka pesan itu.Selly : Lagi cari makan, aku belum ada yang menafkahi.Masih dengan wajah tersenyum, Rama membalas pesan tersebut.Rama : Tunggu saja, pria itu masih otwTernyata Selly masih online dan sedang mengetik balasan.Selly : Harus pria mapan karena setelah menikah,
Gerbang rumah Anya terbuka setelah dua kali klakson. Mobil Selly perlahan memasuki pekarangan rumah yang ditempati Anya. Setelah memarkir mobil dengan benar, Selly gegas keluar. Anya menggendong Dewa dan menyambut di beranda rumah.“Dewa, ini onty datang.”“Heh, jangan dekat-dekat dulu. Mandi sana, baru boleh pegang.”“Dih, lihat doang,” rengek Selly menghampiri Anya. “Ya ampun, sudah makin montok. Udah besar pasti ganteng deh.”“Masuk gih, minta Mbak Ela tunjukan kamar kamu.”Selly pasrah demi bisa mencium dan menggendong Dewa. Kembali ke mobil mengambil tas berisi pakaian ganti. Sudah berencana akan mengunjungi Anya dan menginap.“Tunggu ya ganteng, onty mandi dulu.” Selly gegas ke dalam rumah menuju kamar tamu.Tidak sampai lima belas menit, ia sudah selesai membersihkan diri dan berganti piyama. Dewa sudah berada di ruang keluarga bersama Anya juga Ira.“Yah, kok bobo sih.” Selly duduk di lantai menatap Dewa yang dibaringkan di sofa beralas kain dan bantal bayi.“Bayi kerjanya Cum
Masih dengan degup jantung tidak karuan dengan peristiwa tadi, Anya masih mendekap Dewa yang mulai menangis.“Sayang, kaget ya. Ini Mama, nak. Mbak Ira, kamu ….”“Saya nggak pa-pa. Ayo pak, lebih cepat. Mobil di belakang masih ngikutin.”Ira menghubungi seseorang dengan ponsel di telinganya sambil menoleh ke belakang.“Kalian di mana? Kami diikuti, motor dan mobil,” ujar Ira lalu diam dan mengernyitkan dahi. “Hah?”“Pegangan Bu.”Brak.Mobil kembali ditabrak dari belakang. Wajah Anya pucat dan panik, tapi tetap berusaha untuk tenang. Dewa semakin rewel. Sempat menatap sekeliling, di mana pula mereka berada. Terdengar decit ban mobil, rupanya mobil di belakang berusaha menyalip.Ira kembali menghubungi seseorang, masih terdengar nada tunggu.“Pegangan,” seru sopir.BrakMobil di mana Anya berada sengaja dipepet dan kembali dibenturkan. Ira memasang seatbelt Anya dan melepaskan ponselnya begitu saja. Wanita itu ikut memegang Dewa sambil memperhatikan mobil di samping.Prank.Kaca jendel
Rama sudah mendengar kejadian yang menimpa Anya dan bayinya. Meski kronologi rincinya belum tau seperti apa. Sudah bisa dipastikan ini ulah Denis. Yang membuatnya semakin geram, Selly menjadi korban dengan kondisi yang lumayan parah.Mengecek jadwalnya tidak ada pertemuan darurat, Rama meminta Ibu Rahma menghandle pekerjaannya dua hari kedepan kalau sampai dia tidak datang ke kantor. Meninggalkan kantor, Rama menuju kediaman orang tuanya.“Ya,” ucap Rama saat menerima telepon dari Bima. Ia baru saja tiba di rumah, bahkan mobil baru saja parkir carport.“Selly sudah dalam perawatan, gue nggak bisa jelasin. Lo datang aja, ini juga laporan dari orang-orang gue. Bentar lagi gue sampai,” tutur Bima di ujung sana.“Kok bisa orang-orang kamu kecolongan begini.”“Nggak ngerti, gue pengen habisin juga mereka. Jaga Anya sama Dewa aja nggak becus. Lo di mana?” tanya Bima.“Baru sampai.”“Hah, sampe mana?” tanya Bima lagi.“Kediaman Denis Hardana,” sahut Rama lalu mematikan mesin mobil, melepas s
Rama tiba hampir jam tujuh malam, langsung menemui Bima dan Anya. Memastikan sendiri kondisi Anya dan Dewa baik-baik saja. Sempat berbincang sebentar dengan Bima lalu pamit menuju rumah sakit.Sebenarnya Bima sudah menyampaikan kalau Selly sudah sadar, kondisinya tidak separah Edi dan Ira. Namun, tetap saja Rama khawatir. Sudah mendapatkan info di mana Selly dirawat. Tiba di depan kamar, bertepatan dengan Ela keluar dari kamar itu.“Pak Rama,” sapa Ela.“Ada siapa di dalam?” tanya Rama.“Hanya ada mbak Selly, saya diminta cek Mbak Ira. Kata Mbak Selly dia nggak masalah ditinggal.”“ya sudah, Mbak Ela fokus dengan Ira saja. Biar Selly saya yang jaga.”Ela pun mengangguk dan permisi. Rama membuka pintu kamar dan hendak melangkah masuk saat mendengar suara Selly.“Tutup lagi pintunya Mbak, dingin banget.”Selly belum tahu kalau Rama yang datang. Posisinya berbaring miring membelakangi arah pintu dan sedang fokus dengan ponselnya. Rama yang sudah berdiri di samping ranjang tepat di belaka
Rama hanya tidur dua jam itu pun tidak lelap sempurna. Melihat kondisi Selly dan selalu meringis dalam tidur, seakan merasa bersalah. Bagaimana tidak, Papanya yang membuat Selly terluka. Meski ditujukan bukan untuk wanita itu, tetap saja semua salah Denis.Masih terpejam dengan kepada disandarkan pada sisi ranjang. Selly terjaga dan terkejut ada Rama di depannya. Tangannya terulur untuk mengusap kepala pria itu dan membuat Rama terjaga.“Sudah bangun? Mau ke toilet?” cecar Rama masih dengan suara serak khas bangun tidur.“Harusnya aku yang tanya, kamu tidur di sini apa tidak pegal.”“Masih lebih pegal kamu, bergerak juga sakit.” Rama menggeliat dan meregangkan otot tubuhnya lalu membantu Selly yang beranjak duduk dan menyodorkan gelas.“Tolong panggilkan perawat, aku mau ke toilet sekalian bersih-bersih.”“Aku bantu,” ujar Rama bersiap menggeser tiang infus.“Rama, panggilkan perawat aja.” Selly menolak usul Rama. Hubungan mereka saat ini tanpa status dan ia ingin hidupnya lebih baik,
Ira dan Edi masih dalam perawatan di rumah sakit. Selly sudah memaksa pulang meski lebam di tubuhnya masih ada. Rama memaksa wanita itu untuk tinggal di rumah Anya untuk sementara dan saat ini mereka sedang bicara serius di ruang keluarga.Anya sejak tadi hanya menunduk dengan jemari tangannya saling terpaut, Bima yang duduk di sampingnya mengusap punggung tangan Anya seraya mengatakan kalau semua akan baik-baik saja.Selly selalu mengenakan piyama dengan alasan mudah mengenakan dan tidak terlalu menyakitkan saat tersentuh ke kulit yang masih lebam. Rama duduk di sampingnya.“Aku tidak akan memaksa, semua terserah kamu. Kalau ingin melanjutkan masalah ini, aku temani ke kantor polisi untuk membuat laporan,” tutur Bima. “Rama juga tidak ada masalah.”Tentu saja Anya ragu dan harus pertimbangan benar keputusan yang akan diambil. Meskipun bukti dan saksi bisa menjerat pelaku, kemungkinan apapun bisa terjadi dan Bima sudah menyampaikan masalah itu. Bisa jadi para pelaku akan mengaku kalau
Mobil yang dikemudikan Citra memasuki gerbang tempat tinggal Anya. Wanita itu datang bersama Alya, keduanya tampak terpukau dengan tempat tinggal putrinya sekarang. Bahkan lebih besar dari kediaman orang tuanya Rama.Meski takjub, Citra tidak mengatakan secara langsung khawatir menambah kesal Alya dan menimbulkan rasa iri.“Ayo, turun,” ajak Citra setelah memarkir mobilnya.“Ini rumah mas Bima?”“Entahlah bunda nggak ngerti. Kalau mereka menikah ya rumah Anya juga. Yang pasti bunda ikut bahagia kalau anak-anak bunda bahagia dengan hidupnya.”“Tapi bunda nggak mau lihat aku bahagia dan tidak dukung aku,” keluh Alya sambil membuka seatbelt, wajahnya tentu saja cemberut.“Bunda dukung kamu, tapi tidak dengan merebut Bima apalagi saling menyakiti dengan Anya. Kita sudah bahas ini berkali-kali dan kamu sudah janji Alya,” ketus Citra. Bosan dengan nasehat untuk putrinya yang selalu saja membahas hal yang sama.Alya mengekor langkah Citra, ada asisten rumah tangga yang menyambut mereka lalu
“Tunggu, sepertinya ….” Anya terdiam dan meremas tangannya sendiri, terasa dingin dan berkeringat.Nggak pa-pa. Ada aku,” ujar Bima lalu meraih tangan Anya dan menggenggamnya. “Umar juga ikut masuk, kamu tidak usah khawatir. Dewa aman dengan Ira dan orangku di kamar.”Penuturan Bima tidak serta merta membuat Anya tenang, bukan takut hanya saja malas kalau sampai mereka akan berdebat dan saling menyalahkan. Siang ini sudah diatur oleh Umar pertemuan dengan keluarga Anya.Bertempat di sebuah hotel, menyewa sebuah ruang pertemuan. Termasuk layanan makan siang. Dewa sudah dibawa Ira ke atas, menunggu di kamar. Kalau memang kondisi aman, bayi itu akan dibawa turun.“Sebelah sini,” ujar Umar karena Bima dan Anya terlihat siap melanjutkan langkah mereka.Suara langkah mereka teredam karpet yang membentang di sepanjang koridor. Pertemuan pertama dengan keluarganya setelah Anya melarikan diri. Banyak hal yang terjadi selama ini, persalinannya dan perceraian dengan Rama.Penjelasan Bima membuat
Informasi dari Bima yang menemui orangtuanya untuk melamar bahkan menyampaikan kenyataan siapa Dewa, membuat Anya lega. Meski tahu proses lamaran itu tidak seperti lamaran pada umumnya. Sudah terbayang akan bagaimana sikap Bagas dan Alya.Citra juga sudah menghubungi dan menyampaikan kedatangan Bima. Berjanji akan merestui, bahkan kalau Bagas tidak mengizinkan Citra akan ikut Anya dan meninggalkan rumah.Bukan hanya antusias karena akan menikah dengan Bima, tapi hari ini ia akan kembali ke Jakarta. Semalam sudah menghubungi Selly, tapi wanita itu kekeh tidak akan datang. Lewat telpon saja mereka saling terisak apalagi bertemu. Panjang kali lebar pesan dari Selly, begitupun doa dari Anya.“Ayo, anak papa yang ganteng,” ajak Dewa.Sebagian barang dan perlengkapan Anya serta Dewa sudah dibawa sejak kemarin-kemarin, hari ini mereka hanya pindah fisik saja. Rumah itu tidak dijual tetap dijaga dan Mbak Ela tidak ikut ke Jakarta karena penduduk asli daerah itu.Bima memutuskan rumah itu dija
Bagas tidak percaya dengan yang baru saja dia dengar, bahkan menanyakan lagi khawatir Bima salah sebut. Bisa saja maksudnya adalah Alya, tapi yang terucap Anya.“Saya serius dan dalam keadaan sadar kalau wanita yang ingin saya pinang adalah Anya.”“Mas Bima sedang mabuk kah?” tanya Alya sinis.“Tidak, saya dalam keadaan sadar dan normal. Umar asisten saya saksi kalau saya tidak dalam keadaan pengaruh alkohol.”“Kenapa Kak Anya? Dia itu janda dari sepupu Mas Bima, apa kata orang kalau pemimpin di Hardana Company menikahi janda dari sepupunya sendiri.”“Alya,” tegur Citra karena gadis itu mulai tidak kondusif, khawatir semakin kasar kata yang keluar dari bibirnya.“Aku benar ‘kan, kak Anya itu sudah janda.”“Benar kamu memang benar, tapi bukan sebuah kesalahan kalau saya memilih Anya yang sudah janda untuk membina rumah tangga,” tutur Bima lagi membela dirinya dan juga harga diri Anya.Ia menduga Alya adalah gadis muda yang polos, belum paham akan perbedaan cinta dan obsesi. Seperti kal
Bagas sangat antusias menyambut kedatangan Bima. Menduga pria itu akan menanggapi permintaannya untuk dekat dengan Alya. Meski Citra sudah mengingatkan kalau kehadiran Bima bisa jadi bukan masalah Alya.Jangan tanya bagaimana persiapan Alya, sejak tadi siang dia berada di salon untuk melakukan perawatan. Citra hanya bisa menarik nafas karena nasehatnya percuma. Tidak akan peduli kalau akhirnya akan kecewa, toh dia sudah menasehati.“Bima sekalian makan malam ‘kan?”“Tidak. Dia akan datang setelah makan malam,” sahut Citra. Ia lebih antusias dengan rencana kepulangan Anya dan baru dirinya yang tahu sesuai dengan keinginan Anya.Bisa jadi kedatangan Bima ada hubungannya dengan Anya, tapi dia tidak akan menduga-duga karena semua akan terkuak saat Bima datang dan menjelaskan semuanya.“Sepertinya kita akan punya menantu lagi. Bahkan kali ini lebih hebat dari Rama. Siapa yang bisa menolak Alya.”“Jangan menduga-duga, kalau salah gimana? Bisa saja Nak Bima datang bukan untuk Alya.”Bagas me
Seperti janjinya, Selly mendatangi kediaman Anya setiap akhir pekan untuk bermain bersama Dewa. Sudah hampir dua bulan setelah kedatangan Rama dan umar Dewa sudah lebih dari empat bulan.Setiap ia menemui Anya dan Dewa, tidak melihat ada Bima. Meski tanpa bertanya, ia tahu kalau Anya dan Bima akan segera menikah. Bahkan kepindahannya ke Jakarta pun semakin dekat. Sudah diduga kalau Anya tidak menyampaikan padanya karena ingin menjaga perasaan.“Ish, kamu kenapa montok dan lucu begini sih.” Selly menggesekan hidungnya ke dada Dewa yang tertawa mendapati ulah Selly. “Ikut tante ya ke kontrakan, di sana sepi,” ujarnya lagi kemudian menggendong bayi itu dan berjalan-jalan di samping rumah.Berada dalam buaian Selly membuat Dewa mengantuk dan sudah memejamkan mata, Ira sudah menyiapkan alas tidur Dewa karena jam segitu memang waktunya si bayi tidur.“Wah, sudah tidur,” ucap Anya. “Mbak Ira, bawa ke kamar ya.”“Biar aku aja, kasihan takutnya keganggu kalau pindah tangan,” ujar Selly lirih l
Penasaran dengan keadaan Selly, Anya menitipkan Dewa pada Ira dan Ela di rumah. Sedangkan ia diantar supir dan ditemani satu orang bodyguard meninggalkan rumah menemui Selly.Sudah lebih dari satu minggu setelah kedatangan Rama, Selly tidak ada datang dan jarang sekali menghubungi Anya. Khawatir dengan kondisi wanita itu, ia pun memutuskan untuk menemui langsung.“Kita ke mana Bu?” tanya supir Anya.“Hm. Di kontrakan Selly pasti nggak ada, ke kantornya aja. Sebentar saya share alamatnya.” Anya menunduk fokus pada ponselnya mengirimkan alamat kantor Selly pada Edi -- supirnya.Tidak sampai lima belas menit, mobil memasuki pekarangan kantor cabang Hardana Company.“Ini tempatnya?”“Iya bu, sesuai dengan sherlock dari ibu.”Bodyguard membuka pintu mobil untuk Anya keluar dan mengikutinya. Saat ini hampir jam sebelas siang, terlihat beberapa motor juga dua unit mobil di sana yang Anya kenali salah satunya adalah milik Selly. Ada Ob di depan pintu kaca.“Selamat siang,” sapa Anya.“Siang M
“Nggak ada urusan sama Selly, Jana ke sini karena urusan lain,” seru Bu Yeni yang mendengar ucapan Sena.“Justru itu Bu, katanya sekalian. Dia sering telpon saya tanyakan kabar Selly,” ujar Sena. “Kamu blokir kontak dia ya?” kali ini Sena bertanya pada Selly.“Ya, iya sih. Bilang aja kontak aku ganti dan kamu nggak tahu. Selesai perkara.” Selly mencoba fokus dengan layar komputernya sambil memijat pelipis. Tetiba pening kembali menyerang, gara-gara Sena membicarakan Jana. Ia malas berurusan dengan pria itu.“Biar aja si Jana mau nemuin Selly kek, mau nemuin saya atau tukang soto di ujung jalan. Terserah manehna wae. Kamu mending fokus dengan tugas kamu, Neng, kamu juga,” cetus Yeni membuat perkumpulan itu bubar seketika.Beberapa hari absen kerja, tentu saja membuat tugasnya menumpuk. Meskipun masih terasa badan belum fit, Selly berusaha untuk fokus bahkan tidak terasa jam kerja sudah berakhir.“Sel, mau sampai jam berapa? Kamu baru keluar dari rumah sakit, emangnya mau besok masuk la
Hujan turun semakin deras saat mobil Rama sudah benar menghilang dari pandangan. Ransel yang tergantung di bahu kiri melorot dan terjatuh di lantai. Rasanya tubuh Selly menjadi lembut seperti jelly, sangat lemas. Air matanya sudah tidak bisa dibendung mengalir begitu saja.“Ra-ma,” ucapnya lagi sambil memukul dada yang terasa sesak.Semalaman ia tidak tidur, bahkan makan pun tidak. Hanya membersihkan diri dan berganti pakaian lalu meringkuk di bawah selimut. Hatinya hancur, karena berharap bisa bersama dengan Rama lagi. Ekspektasi terlalu tinggi nyatanya harus gigit jari.Yang membuatnya sedih bukan hanya gagal bersama Rama lagi, tapi penyesalan. Merasa apa yang ia rasakan saat ini adalah karma atau balasan karena kesalahannya di masa lalu. Menyakiti Anya dan menduakan Rama.Isak tangis sudah berhenti, tapi air matanya seakan terus merembes mengalir. Tisu berantakan di lantai dan wajahnya sudah bengkak karena menangis terus. Di saat seperti ini lagi-lagi dia harus merasakan sendiri da