Weni melakukan aktivitas paginya seperti biasa, memasak untuk sarapan dan juga membersihkan rumahnya. Ia melakukannya sebelum semua orang bangun di rumahnya, bahkan sebelum matahari terbit dan keluar dari persembunyiannya.Tidak butuh waktu banyak untuknya melakukan segalanya, masih banyak sisa waktu yang ia miliki hingga suaminya terbangun. Sisa waktu itulah yang di pakai Weni untuk sekedar duduk dan menonton sesuatu di ponselnya.“Apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Haris yang tiba-tiba sudah bangun dan kini berdiri di ambang pintu kamarnya.“Aku hanya sedang melihat-lihat video,” jawab Weni seraya terduduk setelah ia sempat berbaring di atas sofa.“Aku ada pekerjaan pagi, jadi cepat siapkan semuanya sekarang.” Haris berlalu ke kamar mandi setelah memerintah Weni.Weni beranjak dari duduknya dan berlari ke dapur, menyiapkan bapa yang di butuhkah Suaminya. Tidak lupa untuknya menyiapkan pakaian sang suami dan menaruhnya di atas kasur.Tidak butuh waktu lama, Haris sudah siap dan rap
“Kamu ....”“Ada apa denganmu? Apa kamu tengah selingkuh? Kenapa wajahmu seperti itu?”Haris memegang rahang Weni, memeriksa kembali ekspresi yang diperlihatkan oleh Istrinya itu. Iya sangat yakin, bahwa kini Weni menyembunyikan sesuatu yang tak diketahuinya.“Ti-Tidak,” jawab Weni segera.“Tidak cukup aku menamparmu?” Haris mengeratkan cengkeramnya, membuat rintihan keluar dari mulut Weni. “Jangan sampai macam-macam denganku,” ancam Haris dengan gertakan kuat.Weni mengangguk, menahan rasa sakit yang diterimanya untuk kedua kali di pagi hari. Ia tak mampu meronta untuk dilepaskan, melainkan ia tak mampu melihat Haris menjadi lebih murka.Jadi Weni memutuskan untuk diam dan memilih menurut pada Haris. “Ba-Baik,” jawab Weni.“Bagus!” Haris melepaskan cengkeramannya. “Berikan aku uang,” perintah Haris.Weni terkejut saat Haris berjalan ke dekat lemari yang berjejer dengan televisinya. Di sana adalah tempat Weni menaruh dompet dan beberapa uang cash untuk keperluan sehari-hari.“Ma-Mas .
Weni terbangun dari tidur siangnya, setelah ia cukup lama menangis tadi pagi. Namun kini suasana hatinya sangatlah berbeda, setelah melepas semuanya pada Hajoon dirinya kini merasa sedikit ringan seakan satu bebannya terlepas.Berkat hal itu juga ia dan Hajoon lebih terbuka, tidak ada yang Weni rahasiakan pada Hajoon. Semua yang terjadi kini ia laporkan dan ceritakan semuanya pada Hajoon.“Melepas semua tekanan terkadang memang perlu.” Weni bergumammu seorang diri dengan senyuman yang terukir di wajahnya.Weni merasa sangat lega karena kini dirinya tak perlu lagi berbohong pada Hajoon, kini ia akan menceritakan apa pun pada Hajoon layaknya buku harian. Tak ada kebohongan lagi yang harus ia rancang untuk menutupi semuanya.“Mamah,” panggil Rena membuyarkan apa yang tengah dirasakan Weni.“Iya, sayang. Ada apa?” tanya Weni dengan senyuman yang tak luntur di wajahnya.“Mamah cantik,” puji Rena tiba-tiba membuat Weni terkejut dengan ucapan Rena.“Rena ingin minta sesuatu pada Mamah?” go
“Sepertinya aku gila karenamu, Weni Anggara.”Weni terdiam, kini tatapannya yang memerah berganti dengan tatapan kesal. Ia sangat kesal dengan ucapan Hajoon yang berulang kali membuat jantungnya dalam kondisi tidak baik-baik saja.Andai ia bisa berlari saat ini juga, mungkin ia akan segera berlari ke rumah sakit untuk memeriksakan jantung serta otaknya. Pikirannya saat ini seakan tak waras, ia yang merasa lebih gila sekarang karena seorang pria bernama Hajoon.“Ada apa?” Hajoon menyelidiki ekspresi wajah Weni yang berubah seakan kini ia tengah marah. “Apa aku membuatmu marah?” tanya Hajoon tanpa merasa bersalah.“Kamu sedang bertanya padaku?” ketus Weni tak mau kalah.“Tentu aku sedang bertanya padamu.” Hajoon mengikuti permainan Weni. “Nada bicaraku kan sedang bertanya, buka sebuah pernyataan.”Weni kembali merasa kesal dengan perkataan Hajoon yang selalu bisa membuatnya terdiam dan tentu kalah telak. “Memang beda bicara dengan seorang pengusaha sepertimu,” sindir Weni mencoba mengal
“Lagi-lagi kamu membuang uang?”“Bagaimana bisa itu disebut membuang uang? Aku hanya mengajak Rena untuk bermain dan membeli boneka.“Itu namanya membuang uang! Sudah berapa kali kamu mengajak Rena ke tempat bermain mahal itu,” marah Haris dengan tatapan yang siap menerkam Weni.Weni pun menatap kesal pria yang masih berstatus suaminya itu. Ia tak habis pikir dengan pola pikir Haris, selama ini ia diam karena semua menyangkut dirinya.Namun kini ia tak bisa diam karena ini menyangkut anaknya, Rena. Bagaimana bisa Haris melakukan itu pada Rena, padahal selama ini dirinya tak pernah ada waktu luang untuk anaknya.“Uang itu adalah hasil kerjaku sendiri, dia berhak mendapatkan yang lebih.” Weni kini tak mau berbaik hati. “Berapa bulan ini kamu meminta uang dariku, bukankah itu sudah cukup untuk mengganti hutang kita? Tapi nyatanya, masih banyak hutang yang tertinggal. Kamu apakan uangku? Kamu ....”Plak!Tamparan yang cukup keras menghampiri pipi Weni, hingga ia terjatuh ke lantai. Weni m
“Hari ini kita mau ke mana?” Rena terus bertanya saat melihat gaun berwarna kuning yang di pakainya, terlebih gaun itu juga di gunakan oleh Ibunya. “Kita akan berjalan-jalan, apa Rena mau pergi bersama Mamah?” tanya Weni mendekatkan dirinya pada Rena, ia memasakan sebuah jepitan kuning di rambutnya. “Papah tidak ikut?” tanya Rena kembali. Weni tersenyum dan mengusap wajah kecil anaknya. “Papah sedang melakukan perjalanan kerja, jadi tidak bisa ikut dengan kita. Apa Rena sedih Papah tidak ikut?” tanya Weni dengan lembut. Rena mengangguk, wajahnya sangat menunjukkan kekecewaannya. Sudah cukup lama dirinya tak bepergian bersama dengan kedua orang tuanya, Weni bisa memahami kesedihan itu. Bahkan bagi Weni, masa kecilnya hanya ada tentang dirinya. Ia bahkan jarang di ajak saat ada jalan-jalan bersama keluarganya, walaupun di ajak ia akan menjadi seseorang yang di abaikan tanpa sebuah kehangatan. Dirinya akan jadi pesuruh atau seseorang yang selalu melakukan tugas apa pun saat bepergi
“Bagaimana bisa wanita secantik ini dibiarkan kedinginan.”Weni berbalik dan siap menolak pria yang tiba-tiba memberikan selimut rajut hangat untuknya. “Tidak .... Hajoon?” sebut Weni terkejut dengan apa yang dilihatnya.Pria di hadapannya kini tersenyum, membuat perasaan Weni bertambah tak karuan. Di saat hatinya belum sepenuhnya normal, pria itu mengambil Rena dari pelukannya.Terlihat Rena sedikit menggeliat, tapi tak lama ia kembali tertidur. Seakan tak masalah dengan dada pria yang baru pertama di temuinya itu.“Ayo, kita masuk dulu. Di sini terlalu dingin,” ucapnya dengan satu tangan yang terbebas untuk merangkul pundak Weni.Weni hanya bisa menurut, perasaannya tak karuan. Segalanya bercampur aduk menjadi satu, ia tak bisa mengatakan apa pun atau merespons apa pun.Mereka masuk ke dalam ruangan yang lebih hangat dengan tempat yang begitu nyaman. Hajoon menaruh Rena di atas kasur dan tak lupa menyelimutinya dengan selimut yang tebal.“Apa perjalanan ke sini melelahkan?” tanya Ha
“Bagaimana kamu bisa ada di sini?”Weni yang tengah duduk berdua bersama Hajoon, mulai memberanikan diri untuk bertanya dengan tenang. Perasannya juga sudah cukup tenang setelah mereka bertiga makan siang bersama.“Dengan pesawat,” jawab Hajoon enteng, tak lupa dengan senyuman yang terus terkembang di wajahnya.Seharian ini Hajoon tak melepaskan senyumannya, ia terus saja menatap Weni dengan tatapan fokus dan juga senyuman yang tak luntur. Awalnya Weni terus tergoda olehnya, tapi kini ia sudah terbiasa dan sangat menyukainya.“Aku serius, Park Hajoon!” Weni menekan setiap kalimat yang ia ucapkan.Pria yang berasal dari Korea itu hanya kembali tersenyum. “Kamu benar-benar menggemaskan,” lanjutnya tak mampu membendung perasaannya saat melihat Weni bertingkah.“Kamu itu sudah gila?” Weni tetap dalam mode rasional, meski terkadang ia hampir melewati batas. Namun lawannya justru terus saja memberikan tindakan yang membuat segalanya goyah.Hajoon kini tengah mengusap kepala Weni lembut, san
Weni terbangun dengan cukup kaget, mengingat kamar yang semula terlihat gelap kini sangat terang. Tangannya segera meraba nakas, mencari keberadaan ponselnya untuk mengetahui jam berapa sekarang.Namun tak lama pergerakannya tertahan, ada tangan besar yang kini menariknya untuk kembali tidur. Bahkan tangan itu kini memeluknya erat dengan balutan selimut tebal.“Kamu tidak bekerja?” tanya Weni menyerah saat tubuh hangat sang pemilik tangan kini bisa ia rasakan.“Aku ambil cuti hari ini.”“Bukannya kamu sedang banyak pekerjaan?” Weni melepaskan pelukan sang pria, membalik tubuhnya dan menatap pria yang selalu membuatnya terpesona itu. “Aku Ngga mau kamu sering mengabaikan pekerjaan karena aku,” tutur Weni memegang wajah tampan kekasihnya, Hajoon.Hajoon tersenyum, ia menghilang di dekapan Weni. Menghirup wangi tubuh Weni yang tembus oleh selimut tebal yang melilit tubuh kecil wanitanya. Rasanya sudah la
Weni menatap ruangan yang cukup sepi saat siang hari, Rena tengah tertidur siang dan ia baru saja menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Tak banyak yang dilakukan di kediaman Hajoon karena ada seorang Wanita paruh baya yang membantunya pada pagi hari dan ia akan menyelesaikannya sisanya.Bahkan kegiatan berbenah sangat mudah karena ada alat-alat yang cukup canggih untuk membersihkan rumah. Weni cukup sedikit kesulitan pada awal pengoperasian alat-alat canggih itu, beruntung Wanita paruh baya yang Bernama Bibi Jang sangat membantunya, meski mereka berbicara dengan Bahasa Korea yang minim.“Apa yang harus aku lakukan lagi?” gumam Weni menyalakan Televisi di hadapannya.Beruntung saluran TV tidak hanya berbahasa Korea, banyak penayangan film luar dan acara-acara yang berbahasa Inggris. Weni sedikit terhibur, hanya saja tetap ada rasa bosan tersendiri untuknya.Hal itu terus berulang sampai tak terasa sudah seminggu lamanya ia berada di negeri orang. Hal yang sangat menghibur bagi Weni ada
Weni menatap wanita bak bidadari tepat di hadapannya, wanita dengan wajah yang kecil dan cantik. Kulit putih bersih, bibir yang tipis, rambut sebahu yang indah terurai.Bahkan saat wanita itu mendekat wangi lembut semerbak mengisi indra penciuman Weni. Semua kepercayaan diri Weni hancur luluh lantah tepat di saat wanita itu duduk di dekatnya.“Maaf membuatmu terkejut akan kehadiranku,” ucap Yerim untuk membuka pembicaraan di antara mereka.Weni tak menjawab, ia bingung, kesal, marah, rendah hati, dan merasa minder. Semua perasaan itu akan meledak, andai Weni membuka mulutnya. Ia menahan segalanya, berharap masih bisa mempertahankan harga dirinya.Weni sepenuhnya tahu bahwa dirinyalah yang salah, ia yang berselingkuh. Weni bisa merasakan posisi Yerim, karena belum lama itu adalah posisinya.“Aku dan Hajoon bertunangan bukan karena cinta.” Yerim cukup fasih dengan bahas Inggris, jadi Weni bisa mengerti ucapannya. “Kami bertunangan karena aku sakit, Hajoon menerimanya begitu saja. Tapi s
Weni menatap langit yang berbeda dari langit yang biasa menemani hidupnya selama ini. Udara yang cukup dingin menerpa wajahnya, memberikan kesejukan yang berbeda.“Mamah, ini dimana?”Weni berjongkok dan memakaikan syal pada leher Rena agar anak semata wayangnya itu tak sakit dengan perubahan cuaca yang tiba-tiba. “Kita sedang berada di negara yang Bernama Korea Selatan,” jawab Weni.“Apa?”Rena menatap tak mengerti, ia bahkan sedikit mengernyitkan keningnya karena tak mengerti. Namun belum sempat Weni kembali menjelaskan, tangan besar nan kokoh sudah mengambil alih Rena darinya dan menggendong tubuh kecil Rena dengan erat.“Rena sekarang ada di tempat Om dilahirkan.” Hajoon menjelaskan dengan singkat dan di terima dengan cepat oleh Rena. “Apa Rena senang berada di tempat kelahiran Om?” tanya Hajoon dengan membawa Rena dan Weni ke sebuah mobil yang terparkir.Mereka masuk ke dalam mobil yang cukup bagus, bahkan saat masuk ke dalamnya Weni bisa merasakan kemewahan mobil itu. Bahkan so
Weni menghembuskan napasnya dalam, melangkahkan kakinya dengan pasti. Setelah ia keluar dari gedung tempatnya berada, kehidupan dan status baru kini di sandangnya.‘Janda’Ya, kini statusnya berubah dari seorang ‘Istri’ menjadi seseorang ‘janda’. Wanita yang telah bercerai dengan suaminya secara sah.Pengadilan memutuskan menerima gugatannya, begitu juga hak asuh sepenuhnya menjadi miliknya. Weni cukup merasa puas, meski ada rasa yang sedikit tertinggal kala semua diputuskan.Wajah Haris yang ia pikir akan sedikit menyesal, justru menunjukkan rasa senangnya. Bahkan salam perpisahan dengan menjabat tangan dilakukannya dengan senang hati.“Sudah selesai?”Suara berat yang kini lebih banyak menyita pikirannya, sukses membuat Weni terkejut. Bahkan ia terlihat seperti baru saja bertemu hantu.Pria tinggi nan tampan dengan gagahnya berdiri di hadapan Weni, ia seakan menanti kehadiran Weni sejak tadi. Bahkan wajah sang pria seakan menunggu kepastian yang sudah beberapa bulan ini di t
Weni yang tak menau isi perjanjian ikut terkejut. Matanya kini teralihkan menatap pengacara wanita di sampingnya, dirinya juga butuh penjelasan.“Setelah bercerai, semua hubungan akan terputus baik dengan Istri atau Anak.” Pengacara itu berbicara dengan tegas, Weni dan Haris menatap dengan penuh penolakan. “Hal ini dimaksudkan agar tidak ada ancaman yang akan merugikan pihak mana pun.”“Wah, aku tidak tahu kalau kamu segila ini.” Haris menatap Weni dengan rendah. “Kamu dengan teganya memisahkan seorang Anak dan Ayah,” sindir Haris.“Aku ....” Weni merasa bersalah.“Baiklah, lagi pula ini semua menguntungkanku. Aku juga bisa memiliki anak lainnya dari kekasihku.” Dengan yakin Haris menandatangani surat itu, yang membuat kekecewaan besar pada hati Weni. “Ini, aku kembalikan.”Haris mengeluarkan ponsel di sakunya dan menaruh di meja, ponsel yang ia ambil untuk bisa menghubungi Hajoon. “Urus semua hingga tuntas, aku tidak mau mengeluarkan sedikit pun uang.”“Kamu benar-benar menerima uan
Weni terbangun dengan pantulan cahaya yang cukup terang menembus kelopak matanya yang tertutup, membuat tidur nyenyak terusik. Dengan malas ia membuka mata, tubuhnya terasa tak nyaman. Rasanya ia menghabiskan seluruh tenaganya semalam.Memikirkan apa yang semalam terjadi, Weni dengan segera membuka matanya. Ia terkejut mendapati tubuhnya hanya tertutup selembar selimut tebal. Tubuhnya kini tanpa busana, ingatan akan semalam terpampang jelas di pikirannya.Semalam adalah malam terpanas untuknya, setelah sekian lama ia merasakan kenikmatan yang tak pernah di rasakannya selama berumah tangga dengan Haris. Ia tak tahu bahwa melakukannya bisa membuatmu mabuk kepayang.“Sedang memikirkan apa?” bisikan lembut tepat di sampingnya membuat Weni terkejut dan menarik selimutnya.“Ha-Hajoon ....”Pria dengan wajah tampan itu segera membuat jantung Weni tak karuan. Terlebih saat Hajoon tersenyum manis dan mencubit pipi Weni lembut.“Apa semalam aku terlalu berlebihan? Kamu sampai pingsan da
“Weni Anggara, menikahlah denganku.”Hajoon kembali melontarkan ajakannya pada Weni yang sejak tadi terdiam dan tak kunjung merespons ucapannya. Weni terlihat terkejut, hanya saja matanya berkata lain. Mata seorang Wanita yang tengah bahagia karena apa yang dinantikannya kini menjadi kenyataan.“Apa aku masih kurang baik untukmu? Katakan apa yang membuatmu ragu menjawab ajakanku?” tanya Hajoon mencoba membuat Weni yakin akan dirinya.Weni yang ditanya hanya terdiam, ia merasa ini adalah kesempatan untuknya untuk memantapkan diri. Ia juga sangat penasaran pria seperti apa sebenarnya Park Hajoon yang selama ini ia kenal, masih banyak yang tak ia ketahui tentang pria di hadapannya.“Aku belum tahu banyak tentangmu, itu yang membuatku ragu.” Weni berbicara dengan mantap, terlihat Hajoon tak memperlihatkan keterkejutan akan pernyataannya.Hajoon memegang kembali pipi Weni dan tersenyum lembut. “Tanyakan apa pun yang ingin kamu ketahui untuk aku bisa bersamamu?”Deg! Pertanyaan itu
Hari demi hari berganti, Weni suah berada di rumah barunya selama 3 hari bersama Rena. Rena tidak rewel sedikit pun, ia justru menikmati fasilitas yang di dapatkannya dari Hajoon.Bahkan tanpa dipungkiri Weni juga ikut merasakan itu, ia cukup bebas dan nyaman. Dirinya tak perlu tertekan dengan Haris ataupun keluarganya, Weni menikmati kegiatannya sebagai seorang wanita dengan penuh kedamaian.Weni tak tahu apa yang terjadi di luar sana, terlebih tentang apa yang akan terjadi antara Haris dan Hajoon. Dirinya hanya mengandalkan kabar dari Mila, tapi yang di tunggu tak juga mengabarinya.Ia akhirnya mengikuti apa yang diperintahkan Hajoon, untuk tetap di rumah dan mengikuti semua arahan yang diberikannya. Karena hanya itu yang bisa ia lakukan.“Mamah, Rena mau makan.” Rena menarik baju Weni yang kini tengah menikmati secangkir teh di sofa yang nyaman. Bukankah itu terlihat elegan, ia bahkan tak pernah berpikir meminum teh di ruang tengah dengan menonton televisi akan senyaman ini.“Rena