Baru saja tiba di tempat dia hendak menemui Shelby, ponselnya bergetar. Joe segera mengangkat, dan urung keluar dari mobilnya. Selama beberapa saat, dia mendengar suara khas Jean yang mengabari dirinya jika Maddox menerima panggilan dari Nick Lang. Joe menanyakan, apa maunya kepala CIA tersebut. Mantan perwira wanita itu kemudian mengatakan, jika Maddox yang akan menyampaikan sendiri nanti. “Oke, thanks, Lockey.” Baru saja ia selesai berkomunikasi dengan Jean, dari jauh, di teras café yang ia kunjungi, Shelby memberikan pertanda untuk menemuinya. Joe keluar dari mobil pick up dan melenggang, sembari menajamkan pandangannya ke sekeliling. Shelby ternyata sudah memesan minuman untuknya. Joe mengambil tempat duduk di sebelah wanita itu, dengan posisi menghadap ke parkiran. “Jangan khawatir, semua aman. Rock membantuku monitor,” ucap Shelby sembari mengarahkan pandangan ke gedung seberang jalan. Joe memicingkan mata dan melihat Rock ada di sana. “Sejak kapan kalian berteman?” tan
Joe kembali ke pondok dengan wajah bahagia. Dia tidak mengatakan apa pun, tapi raut wajah itu sudah menuturkan suasana hatinya. “Bagaimana dengan informasi Shelby?” tanya adiknya. Joe menuturkan tentang Russel yang mengubah strategi. Maddox seketika mengumpat pelan. Dia tidak menyukai rencana yang berubah, sebab mereka harus menyusun ulang strategi baru. “Sudahlah, lupakan semua hal untuk sementara waktu.” Pria tua itu meraih sesuatu dari sakunya. “Ini untuk kalian.” Jimmy menyodorkan sebuah kunci dengan gantungan berbentuk bulat yang mulai berkarat. Ada inisial DV di sana. Joe yang mengambil kunci itu terkesima. “Drucho Voller,” tebaknya dengan tepat. Jimmy mengangguk, sementara matanya merebak. “Kunci mustang?” tanya Maddox terkejut, menyadari kesamaan mobil kesukaannya dengan mendiang ayah. “Entah kenapa, pada hari aku mengetahui kendaraan mustang bobrokmu, hal yang kuingat pertama adalah ayah kalian, Mad. Sayangnya, aku belum tahu apa pun saat itu.” Jimmy tersenyum kecut
Saat Foxy menatap Russel yang tampak begitu gembira, wanita tersebut mulai menduga jika ada yang telah terjadi. Ketika makanan penutup dihidangkan, Arthur memberinya isyarat untuk mulai menyampaikan rencana tahap pertama. Foxy meletakkan garpu dan pisau dagingnya. “Semua pekerjaanku telah selesai. Informasi yang Josh miliki telah ada dalam data komputermu. Segala aset beserta harta yang kau inginkan, sudah menjadi milikmu sepenuhnya.” Russel mengusap mulut dengan lap makan dan tersenyum dengan takjub. Hatinya kian gembira dengan kabar yang Foxy sampaikan. “Tidak terlalu sulit buatmu, bukan?” tanya Russel tersenyum lebar. “Ya.” Foxy mengerahkan keberanian, untuk mengajukan kalimat berikutnya. “Aku ingin menagih janjimu.” Mafia tua itu mengacungkan telunjuknya dengan anggukan cepat. “Sudah kuduga. Kau menginginkan kebebasanmu, bukan?” “Semua orang berhak hidup tanpa kekangan siapa pun, Russ!” Foxy menekankan dengan intonasi yang tajam. “Oke. Tidak perlu melemparku dengan pern
Kedua orang itu duduk di salah satu meja dengan sikap yang kikuk dan sungkan. Maddox yang tadinya biasa memperlakukan Foxy seenak hati, kini tampak salah tingkah. Seorang pelayan menuangkan anggur untuk wanita itu dan Maddox menunggu hingga pelayan itu pergi untuk mulai melemparkan pertanyaan. “Bagaimana Russel bisa melepaskan kau? Kupikir keputusanmu hanyalah satu tiket masuk dan tidak bisa mendapatkan jalan untuk keluar.” Foxy meneguk anggurnya dan wajahnya mengernyit. Anggur itu tidak memenuhi selera lidah Foxy yang menyukai anggur merah chardonnay. “Aku tidak sepenuhnya bebas. Belum. Tapi dia menjanjikan itu setelah aku bertemu dengan tim audit yang telah dia pilih, di kota ini.” Maddox menatap Foxy yang tampak tidak seperti dulu. Tubuhnya sedikit kurus dan rambutnya yang panjang telah ia potong menjadi pendek sebahu. Namun, wanita itu tetap saja menawan. “Aku turut berduka atas kematian Peter,” ucap Maddox dengan pelan. Foxy memalingkan wajah ke arah lain, matanya berkaca-k
Malam itu semua urusan selesai dengan cepat. Foxy tidak menyangka ada jalan yang terbuka lebar untuknya melepaskan diri dari Russel. Malam sudah begitu larut dan Foxy kembali hotel tempat ia menginap dengan tubuh lelah. Bukan karena banyak hal yang menyibukkan dirinya hari ini. Pertemuan dengan Maddox menyisakan kepahitan yang membuatnya tersiksa. “Oh, Tuhan,” keluhnya sementara memejamkan mata. Sepertinya tidak ada dunia terang yang penuh cahaya saat ini. Hidupnya dalam kegelapan dan rasanya sulit untuk meraih pintu menuju sisi lebih baik. Bukan ini takdir hidup yang ia rencanakan dulu. Semua memudar seiring tuntutan hidup, waktu dan ambisi serakah. Foxy melepaskan sepatu hak tinggi dan gaunnya. Dengan hanya mengenakan pakaian dalam, ia berjalan menuju ke mini bar, lalu meraih botol sampaye. Dirinya sangat butuh sesuatu untuk membuatnya lelap malam ini. Dengan pikiran yang penuh, mustahil ia akan tertidur nyenyak. Foxy pasti akan terjaga sepanjang malam merenungkan semuanya.
Menjelang pagi, Foxy terbangun dengan kepala berdenyut nyeri. Ia terkapar di lantai berkarpet kamar hotelnya. Semalam ia tidak hanya menghabiskan satu botol sampaye. Sebotol vodka habis berpindah ke perutnya. Rasa mual memenuhi mulutnya. Dengan terhuyung, ia berjalan menuju kamar mandi dan memuntahkan semua isi lambung. Napasnya terengah dan ia duduk bersandar di tembok dingin kamar mandi. Rasa sakit di kepalanya kian bertambah dan rasanya Foxy ingin kembali merebahkan diri. Sekuat tenaga, ia berjalan kembali dan menghempaskan tubuh di pembaringan. Matanya sempat melirik ke arah jam digital yang hotel sediakan di kamar tersebut. Pukul sembilan pagi. Semua laporan telah ia kirimkan tadi malam sebelum melarutkan diri dengan alkohol. Seharusnya ia menelepon Russel untuk mengabari semua, supaya seseorang menjemput di hotel. Namun, satu-satunya hal yang tidak ia inginkan adalah kembali ke pulau yang membuatnya tersiksa tersebut. Ya, Russel tinggal di sebuah pulau terpencil yang ja
Restoran yang cukup mewah tersebut penuh oleh para manusia berdompet tebal, dengan status dan jabatan tinggi. Pelayan hilir mudik melayani tiap meja dengan kesigapan yang luar biasa teratur dan cepat. Joe duduk di salah satu meja yang ada di sudut ruangan, dekat dengan balkoni. Seorang pria perlente dengan jas hitam rapi dan rambut tersisir ke belakang menemani dirinya. Keduanya menikmati hidangan steak yang paling khas dari restoran tersebut. Daging wagyu dengan grade sembilan, menjadi menu andalan dan paling digemari oleh pengunjung. Joe menghabiskan potongan terakhir, lalu mengusap mulut dengan lap. “Jadi kita berada dalam satu kubu untuk saat ini, Joe?” Senyum Joe terkembang dan meneguk anggur merah dengan gerakan pelan. Cairan yang kini melewati mulutnya, terasa sempurna. “Begitu namamu muncul, aku cukup terkejut, Gurning. Tidak menyangka. Seorang Titus Gurning memilih untuk melepaskan diri dari jaring laba-laba Russel,” puji Joe. Pria yang disebut terkekeh. “Kau yang me
Rasa sakitnya masih tertinggal dalam hati Joe, ketika mendengar Titus mengabarkan mengenai Heather. Selama dua jam lebih, Joe duduk tidak bergerak di tepi pembaringan. Matanya menerawang jauh, hampa. Sudah tiga hari dia menginap di hotel tersebut dan seharusnya Maddox menemui dirinya besok pagi. Tapi Joe tidak memiliki keinginan untuk menelepon atau menanyakan kepastian pada adiknya. “Heather, maafkan aku.” Joe bergumam berulang kali. Benarkah Heather telah pergi? Masih tidak ingin percaya serta menelan mentah-mentah informasi dari Titus. Akan tetapi Joe kembali teryakinkan dari jawaban Jean saat mengkonfirmasi ulang. Pria itu masih belum bisa menguasai diri. Terselimuti duka yang menggunung dan menyesakkan dadanya. Akan lebih mudah jika dia menangis atau melontarkan amarah demi meluapkan emosi saat ini. Namun, Joe rasakan justru kebas yang membuatnya hanya terdiam membeku. Perlahan, rasa benci menyeruak dalam hati Joe. Ini adalah karena Russel! Selama ini dia hanya terdiam
Suara tangis bayi terdengar menambah kemeriahan pesta di halaman belakang kediaman Maddox. Apple dan April sibuk bergantian menggendong bayi mungil yang terbalut kain lampin ungu. Dia sangat cantik, mewarisi kejelitaan Shelby. “Jadi kau benar-benar pensiun dari semuanya?” tanya Tim Muller, sembari membalik steak di panggangan. Shelby tertawa tanpa suara, mengerling pada Joe yang tak berhenti menatapnya dengan mesra. Dia menjadi ayah yang bahagia, saat Shelby memberikan bayi mungil cantik dalam pernikahan mereka. “Entahlah, tawaran Nick sangat menggiurkan. Tapi, kupikir aku akan sedikit rehat untuk sementara waktu, sampai Bow besar nanti.” Wanita itu mengarahkan pandangan pada putrinya yang berada dalam dekapan Apple. “Aku bisa menjaganya, Shelby! Jangan khawatir, aku adalah pengasuh terhebat di kompleks rumahku!” tawar Apple dengan cepat. “Kuliahmu, Ape! Kau pikir bisa sekolah sambil mengasuh bayi?!” tukas April. “Aku kandidat yang sempurna, karena sebentar lagi akan lulus dan pu
Chapter 109. End of the Game Seiring matahari tenggelam, keesokan harinya, semua yang Jimmy kumpulkan merapat di pulau tersebut. Joe dan Shelby tampak kaget, sebab dia juga melihat Maddox serta Foxy. Satu sama lain saling menyapa, sementara Joe menggelengkan kepala tidak percaya. “Apa-apaan ini, Jim?!” Jimmy tertawa, merapatkan kapal dan melompat turun dengan gesit. Gibs di belakangnya tampak tidak kalah tangkas. Sepertinya Jimmy-Gibs telah menjadi sahabat dekat yang tak terpisahkan. “Kita akan menyudahi dengan pertempuran terepik, Joe!” Jimmy mengatakan bagaimana rencana ini telah dia rancang sedemikian rupa. “Memancing dalang sesungguhnya?” ulang Shelby kaget. “Apa maksudnya?” Maddox dan Foxy mendekat, mereka menambahkan apa yang telah didapatkan sejauh ini. Mendengar bagaimana semua sudah diperhitungkan, benar-benar mengejutkan Joe dan Shelby. “Aku menembak Josh sendiri dan itu bukan hanya sekali. Analisa kalian yang mencurigai dia masih hidup rasanya mustahil,” tangkis Joe.
Shelby mencapai pulau dengan kapal sewa yang dia kemudikan sendiri. Tidak segera menuju kediaman Russel yang masih berjarak setengah jam lagi, wanita itu justru menghabiskan beberapa saat di dermaga hingga helikopter Joe Black mendarat di sana. Terkejut melihat pria yang dia cintai menyusul, Shelby menolak permintaan Joe yang meminta untuk mengurungkan niatnya. “Aku harus menanyakan, kenapa Russel membiarkan aku dan mama seperti manusia sampah selama ini!” Joe menghela napas berat, merebut botol minuman yang ada di tangan wanita itu. “Kita tidak akan datang tanpa persiapan, Shelby!” cetusnya. “Tunggu sampai bantuan datang!” Akhirnya, wanita itu mengalah. Mereka menanti di kapal, yang sebenarnya bisa saja terdeteksi oleh Russel. “Mustahil dia mengetahui kedatangan kita. Pelayan setianya sudah mati, ayahmu bisa jadi ada di rumahnya tanpa siapa pun.” Analisa Joe sepertinya benar, sebab selama mereka menunggu di kapal hingga menjelang tengah malam, tak ada satu pun yang datang mengus
Joe terhenyak, panggilan baru saja berakhir dan adiknya mengatakan jika Shelby adalah putri dari Russel Brown! Bagaimana mereka baru mengetahuinya sekarang? Jika rencana membunuh anak mafia itu masih dia dan Maddox lanjutkan, itu berarti dirinya akan siap kehilangan wanita yang sudah menjadi teman kencan tersebut. Sanggupkah dia berhadapan dengan Shelby, jika benar itu terjadi? Entahlah, Joe benar-benar kebingungan, terlalu syok dengan fakta yang terkuak beberapa menit lalu. Masih meraba-raba dengan situasi saat ini, Joe harus menenggak minuman yang dia beli di minimarket pom bensin lebih dulu untuk kembali menguasai diri. Dia duduk selama beberapa belas menit, mengatakan pada diri sendiri untuk cepat berpikir dan mengambil keputusan. Dirinya butuh menempuh tiga jam lebih untuk mencapai kediaman Russel, dan itu pun jika ada transportasi yang bisa membawanya lewat udara. Melalui jalan darat akan sangat panjang dan mustahil bisa mengejar Shelby. Tempat Russel tinggal adalah sebu
Maddox menegakkan tubuh, melatih pelan-pelan fisiknya yang terhajar selama lima hari terakhir dengan vonis keracunan makanan. Foxy membantunya, memastikan dia tidak terlalu lemah melanjutkan proses tersebut. Bagaimanapun juga, Maddox perlu diingatkan untuk istirahat yang banyak demi pemulihan diri. Bobotnya tampak berkurang, walau baru lima hari dia terkapar. “Jangan terlalu memaksakan, kau masih butuh untuk mengembalikan energi,” ucap Foxy, penuh kelembutan mengingatkan. Maddox mengatur napas, meletakkan tubuhnya di salah satu kursi tanpa bantahan. Wanita yang saat ini mendampinginya mendekat, memberikan botol minuman untuk dia. Sambil meneguk, Maddox membiarkan Foxy mengusap keringat di leher juga pundaknya. Ia melirik pada wanita yang begitu setia berada di sisi, tak peduli akan urusannya sendiri. “Aku bisa keluar besok, bisakah kau mencari hotel untuk kita? Aku tidak mau kembali ke rumah yang Titus sediakan,” pinta Maddox. Foxy mengangguk. “Jangan khawatir,” sahutnya pelan.
Joe melangkah dengan cepat, mendatangi kendaraan yang berhasil mereka catat plat dan lokasinya. Mobil yang dipakai oleh pria yang memalsukan diri menjadi tukang masak restoran itu diselubungi terpal dan Joe terpaksa menyingkap semuanya. SUV keluaran lama itu terparkir di depan apartemen kumuh di pinggir kota. Begitu berada di sisi kaca pengemudi, Joe mulai mengayunkan linggis yang ada di tangannya. Praang! Kaca itu hancur dalam sekejap. Ia membuka pintu dari dalam, memeriksa dashboard dan setiap sudut kendaraan. Selama lima belas menit, dirinya mengacak-ngacak isi mobil tersebut hingga gerakannya terhenti. Di bawah jok belakang, Joe menemukan topeng beserta pakaian chef serta sepatu! Dia segera menarik keluar plastik dari saku celana, lalu memasukkan satu persatu ke dalam. Usai mendapatkan semua, Joe meninggalkan mobil dengan santai. Sebentar lagi, sidik jari itu akan menjelaskan, siapa pelaku yang telah membuat Maddox terkapar tak berdaya! ** Jimmy dan Gibs menunggu dengan tid
‘Bangunlah, Mad.’ Foxy memandang pria yang terbaring dengan wajah pucat. Kondisi detektif itu lumayan membaik, akan tetapi masa kritisnya belum berlalu. Menguras lambung yang menyebabkan muntah berkepanjangan terjadi dalam beberapa jam. Foxy harus menyaksikan pria tersebut merintih, meratap dengan tubuh menggigil gemetar karena sakit juga lelah. Tak pernah sedetik pun ia meninggalkan sang detektif. Foxy mendampingi setiap saat, meski ada waktu di mana dia sendiri menangis sambil berharap Maddox tidak akan pernah meninggalkan dirinya. Tersudut dalam situasi yang tidak menyenangkan, Foxy sedang berjuang untuk melupakan duka yang bertubi-tubi menimpa. Belum mampu mengenyahkan kepedihan atas kematian Peter, Arthur menyusul dengan kondisi kematian tidak kalah menggenaskan. Setiap mengingat kilasan masa lalu, Foxy menyalahkan semua atas kiprahnya. Jika dua pria tersebut tidak terlalu peduli terhadap dirinya, mungkin mereka masih hidup dan baik-baik saja. Jauh di lubuk hati Foxy mey
Mereka tahu apa yang sedang terjadi saat ini. Para dokter dan perawat yang bertugas mengikuti protokol yang Nick tetapkan dengan disiplin. Joe baru selesai melakukan panggilan dengan Titus. Baru saja ia menutup ponsel, dari jauh Raymond Gibs datang bersama Jimmy dengan tergopoh-gopoh. Jean dan Foxy masih berbicara di lorong, sementara Jimmy dan Gibs berlari menuju ke arah Joe. “Dia sudah stabil, tapi hingga sekarang belum sadar. Entah kenapa, tapi Maddox masih belum bisa diajak komunikasi.” Wajah Joe tampak kalut dan gusar. “Sial! Keparat!” Jimmy melontarkan kata umpatan yang ia teriakan dengan keras. “Jika aku tahu bedebah yang melakukannya, jangan harap dia masih bernyawa!” pekik Jimmy. Bekas kepala FBI, Raymond Gibs mencoba meminta Jimmy untuk bertenang. Semua orang kini menatap mereka. “Wah, wah! Maddox tidak hanya mengundang penegak hukum negara untuk turun tangan! Tapi kumpulan manusia dalam bayang-bayang juga keluar dari persembunyiannya!” seru Nick dari ujung lorong. Se
Di sebuah bunker tersembunyi seorang pria bangkit dari kursi makannya dan berjalan menuju ke arah ruangan yang terdapat berbagai monitor dalam jumlah banyak. Ruangan yang didesain dengan sangat canggih tersebut dikendalikan oleh dua orang ahli teknologi yang usianya masih sangat muda. Sembari memegang gelas wine, pria itu mengamati satu persatu layar yang menunjukkan grafik saham. Senyumnya tersungging penuh kepuasan. “Mereka pikir akan bisa melenggang bebas dan melebarkan kekayaan setelah kematianku! Cih! Manusia-manusia itu terlalu merasa diri pintar!” Tidak lama, muncul pria satunya lagi dan berdiri di sebelahnya. “Hingga detik ini kau belum membuat perhitungan dengan pengacara wanita tersebut, Master.” Pria yang dipanggil ‘Master’ kembali tersenyum licik. “Tenang. Dia akan menerima pembalasan yang jauh lebih menyakitkan, Troy. Pembalasan yang paling menyakitkan!” desis Master dengan sinis. “Bagaimana jika CIA mengetahui keberadaanmu? FBI mungkin dengan mudah bisa kau tipu.