***"Ya ampun cucu-cucu Mama kok pada ganteng begini ya?"Amanda mengukir senyum sambil memandangi Regan juga Raiden yang sudah tampan dengan overall jeans yang mereka pakai.Jumat sore, Amanda meminta izin pada Aludra untuk mengajak cucu-cucunya ke luar bersama Dirga yang kebetulan pulang lebih awal.Tak jauh, rencananya Amanda ingin membawa Regan dan Raiden ke Mall untuk membeli mainan. Terlalu awal memang, tapi memang seantusias itu Amanda ingin membelanjai kedua cucunya."Gimana, Ma. Ganteng, kan?" tanya Aludra. Tak akan ikut keluar, perempuan itu masih memakai pakaian santai bahkan belum mandi."Ganteng, Sayang. Selera kamu emang lucu-lucu ya," kata Amanda."Hehe."Setelah semuanya siap—termasuk baju ganti juga dua botol susu besar milik Regan dan Raiden selesai dikemas ke dalam tas bayi berukuran sedang, Amanda dan Aludra segera menggendong dua balita tampan itu untuk menghampiri Dirga yang sudah menunggu di ruang tamu."Udah siap?" tanya Dirga saat Amanda dan Aludra datang."Ud
***"Minum dulu."Aludra menyodorkan segelas es jeruk yang baru saja dibawa Bi Minah pada seorang perempuan yang kini duduk di depannya—memasang raut wajah serius."Enggak butuh minum, butuhnya penjelasan," ketus perempuan di depan Aludra.Aludra mendongak. "Penjelasan apa?" tanyanya."Penjelasan apa?" tanya perempuan tersebut—mengulang ucapan Aludra. "Menurut kamu, telepon pagi tadi enggak butuh penjelasan, apa? Nangis-nangis telepon Kakak terus putusin telepon gitu aja. Ditelepon balik, malah enggak aktif.""Kamu pikir, itu enggak bikin panik?"Alula. Tentu saja perempuan yang duduk di depan Aludra dengan wajah seriusnya adalah Alula.Dia yang semula berniat pergi ke Bandung besok pagi, langsung memajukan jadwal kepergiannya menjadi sore ini setelah pukul satu siang tadi meminta izin pulang lebih awal.Dan satu-satunya alasan Alula mempercepat semuanya tentu saja telepon dari Aludra tadi pagi. Mendengar adiknya menangis tanpa tahu sebab yang jelas, Alula tak enak hati.Selama di kan
***"Ra, are you okay?"Berdiri di depan kamar mandi, Alula terlihat khawatir pada Aludra yang saat ini sedang memuntahkan isi perutnya seperti biasa."Fine, Kak," kata Aludra. Namun, pada kenyataannya ucapan yang dia lontarkan berbanding terbalik dengan keadaannya yang justru tak baik-baik saja.Aludra memuntahkan isi perutnya tak sedikit dan tentu saja semua itu membuat badannya terasa lemas sekarang. Jangankan berjalan, untuk berdiri pun rasanya dia tak sanggup."Ra," panggil Alula lagi, ketika Aludra tak bersuara. "Aludra Raveena, jawab Kakak!""Aludra!"Tak mendapatkan sautan, Alula mundur—bersiap-siap untuk mendobrak pintu. Namun, sebelum semua itu terjadi, Aludra lebih dulu keluar dengan wajah yang sedikit pucat."Kenapa, Kak?""Kamu bikin Kakak khawatir, tau enggak?" tanya Alula.Aludra tersenyum. Di tengah rasa lemas yang mendera, dia masih sempat menunjukkan raut wajah yang tak sedih.Padahal, apa yang dia alami cukup membuat Aludra rasanya ingin menangis setiap harinya."M
***"Kak udah, ini udah numpuk. Nanti enggak kemakan."Sekali lagi, Aludra berusaha protes ketika Alula tiba-tiba saja menambahkan lagi satu potong ayam goreng ke piringnya. Padahal, yang pertama dia ambil pun belum termakan."Harus dimakan," kata Alula posessive. "Kamu harus banyak makan, supaya penya-""Kak." Aludra melotot sebagai kode—membuat Alula refleks mengentikan ucapannya ketika dia baru sadar kehadiran Bi Minah yang masih sibuk mencuci piring kotor.Sesuai rencana, untuk malam ini sampai malam besok Alula akan menginap di rumah Aludra untuk menemani sang adik. Meskipun, besok ada Arka. Tetap saja dia ingin berada di dekat Aludra sebelum minggu nanti harus kembali ke Jakarta dengan perasaan yang tentu saja tak akan tenang karena penyakit yang diderita Aludra layaknya bom waktu.Bisa kapan saja meledak—membuat kondisi Aludra benar-benar terpuruk.Jika boleh berharap, Alula ingin Aludra segera berada di titik terlemah kondisinya agar Arka tahu dan adiknya itu dibawa ke rumah
***"Aludra aneh."Tanpa basa-basi, ucapan tersebut langsung diucapkan Arka tepat ketika Alula datang menghampiri lalu duduk di sampingnya.Mengerutkan kening, Alula memandang adik iparnya dengan tatapan pura-pura tak mengerti, karena pada kenyataannya dia jelas tahu maksid dari ucapan Arka tersebut."Aneh gimana?"Arka menoleh. Dia yang semula menatap tangga di depan rumah, kini mengalihkan perhatiannya pada Alula."Dia lebih sensitif belakangan ini," kata Arka. "Enggak tau kenapa, Aludra sering marah-marah tanpa sabab.""Itu karena kamu lakuin kesalahan aja kali," jawab Alula tenang. "Alula marah pasti ada penyebabnya."Arka menghela napas. Memanfaatkan Aludra yang kini tertidur pulas setelah menyusui Regan, dia memang sengaja menemui Alula di kamar tamu untuk mengajak mantan istri sekaligus kakak iparnya itu mengobrol.Karena barangkali saja—sebagai Kakak, Alula mengetahui sesuatu pada Aludra yang disembunyikan darinya.Sampai detik ini, feeling Arka tentang Aludra yang menyembunyi
***"Pokoknya hari ini aku harus cantik."Berdandan di depan cermin, Aludra terus menyapukan spon bedak ke semua permukaan wajahnya agar terlihat cantik di depan Arka, malam ini.Minggu depan harus pergi ke luar kota untuk mengurus pekerjaan, dinner perayaan ulang tahun Arka yang kedua puluh sembilan maju satu minggu.Memesan tempat di sebuah restoran, bukan Aludra yang memberi kejutan melainkan sebaliknya.Di restoran, Arka sudah menyiapkan meja khusus untuk dia dan Aludra. Tak hanya satu kursi, Arka bahkan sengaja mereservasi satu restoran untuk malam ini—khusus dirinya dan Aludra.Dan yang akan diberikan Aludra sebagai kado ulang tahun hanyalah jam tangan karena memang Arka tak menuntut kado apapun.Bagi Arka, Aludra mau memaklumi pekerjaannya dan bersedia makan malam di waktu yang lebih cepat pun, dia bahagia.Sesuai permintaannya waktu itu, Arka juga hanya menginginkan Aludra tetap di sampingnya."Malam-malam kayanya enggak bakalan kelihatan kalau mata aku agak kuning," kata Alud
***"Aludra mana?"Arka yang sejak tadi duduk menunggu di kursi panjang depan IGD seketika menoleh ketika sebuah pertanyaan diucapkan untuknya.Bukan Dirga maupun Amanda, yang datang menemuinya adalah Aksa karena memang setelah menemukan Aludra tak sadar, Arka memilih untuk menghubungi sang kakak.Arka takut Regan dan Raiden belum tidur. Jika dia menelepon kedua orang tuanya, bukan tak mungkin mereka akan panik sampai lupa dengan si kembar."Di dalam," kata Arka. Wajahnya jelas terlihat frustasi menunggu dokter yang menangani Aludra tak kunjung keluar.Demi apapun, jika terjadi sesuatu yang macam-macam, Arka tak akan memaafkan dirinya sendiri."Udah berapa lama?" tanya Aksa setelah beberapa detik lalu pandangannya tertuju ke arah pintu bening bertuliskan Instalasi gawat darurat."Hampir setengah jam," kata Arka.Aksa menghela napas. Mendekati Arka, pria itu duduk di samping sang adik lalu sedikit membungkukan badannya.Setelah itu, Aksa memandang Arka dengan seksama. "Jadi sebenarnya
***"Mas pelan-pelan aja, enggak usah lari!"Alih-alih mengindahkan ucapan Aurora, yang dilakukan Dewa sekarang justru terus berlari menyusuri lobi rumah sakit tempat Aludra dirawat.Mendapat telepon dari Arka yang mengabarinya tentang kondisi Aludra, Dewa membatalkan semua jadwal meetingnya hari ini lalu bergegas menuju Bandung bersama Aurora juga Alula.Mengemudi dengan kecepatan tinggi, pajero sport hitam milik Dewa sampai di rumah sakit setelah menempuh perjalanan dua jam karena ketiganya memang berangkat pukul enam pagi."Shit." Dewa mengumpat ketika semua lift masih berada di atas. Mengedarkan pandangan, dia berlari menuju tangga agar bisa segera sampai di ruangan rawat Aludra di lantai tiga.Siuman, kondisi Aludra memang sedikit membaik dan dokter Septa pun mengizinkan dia untuk menjalani perawatan di ruangan biasa.Namun, tentunya setelah ini Aludra tak akan diizinkan untuk pulang. Parahnya kerusakan yang terjadi pada hatinya membuat dia harus segera mendapatkan donor.Jika di
*** "Semangat, Sayang. Jangan tegang ya." Menunggu sekitar satu jam setelah sampai di rumah sakit, Aludra akhirnya siap masuk ruang operasi untuk melahirkan putri kecilnya. Tak didampingi Aurora, yang datang ke rumah sakit hanya Dewa karena memang sang istri tak bisa pergi setelah kedua cucunya sigap menghadang agar sang Oma tak bisa ke mana-mana. Namun, tentu saja Aurora berjanji akan datang setelah Regan maupun Raiden berhasil dia tidurkan. Untuk Amanda dan Dirga, kedua orang tua Arka juga sedang dalam perjalanan setelah ditelepon oleh sang putra setengah jam lalu. "Doain ya, Pa." "Pasti, Ra," kata Dewa. Seumur hidup Aludra, ini adalah kali ketiga dia masuk ruang operasi. Pertama saat melahirkan Regan dan Raiden, kedua ketika mendapatkan donor dari Alula dan ketiga, sekarang—ketika dia akan melahirkan putri ketiganya. Sensasinya masih sama. Ruang operasi di setiap rumah sakit masih terasa dingin dan mungkin sedikit menyeramkan. "Kita mulai sekarang ya, Bu." "Iya, dokter."
***"Aku takut."Aludra yang sejak tadi duduk bersandar sambil mengelus perutnya seketika menoleh ketika Arka yang sejak tadi fokus mengemudi tiba-tiba saja berucap demikian."Takut apa?" tanya Aludra.Arka menoleh sekilas. "Takut kamu lahiran di jalan," ucapnya. "Usia kehamilan kamu tuh udah tiga puluh tujuh minggu, Ra. Duh ngeri kan kalau lahiran di jalan.""Ck, lebay," celetuk Aludra. "Dokter Ellina kan bilang kalau HPL aku dua minggu lagi, Mas. Santai aja kali.""Kan bisa maju.""Ya jangan maju," kata Aludra. Dia kemudian mengusap lagi perutnya yang buncit. "Jangan lahir dulu ya, Sayang. Mama mau nengok aunty dulu.""Iya Mama," ucap Arka.Hari ini, Aludra memang mengajak Arka ke Karawang untuk mengunjungi makam Alula. Tak membawa anak-anak, seperti biasa Aludra menitipkan Regan dan Raiden bersama Aurora juga Dewa yang sudah berkunjung lebih dulu kemarin ke makam Alula.Kemarin, terhitung delapan belas bulan sudah Alula pergi menghadap Sang Pencipta dan Aludra masih merasa semuany
***"Mas Arka buruan ih! Kok lama!"Sekali lagi Aludra yang sejak tadi menunggu di sofa dekat tangga berteriak memanggil Arka yang tak kunjung turun. Padahal, sudah hampir sepuluh menit dia menunggu suaminya turun."Iya sayang, iya. Sebentar," sahut Arka. Memakai pakaian santai, pria itu turun dengan sedikit tergesa-gesa di tangga. "Enggak sabaran banget kamu tuh ya.""Bawaan bayi," celetuk Aludra sambil mengusap perutnya yang buncit. Minggu ini terhitung tiga puluh minggu sudah usia kandungan Aludra."Ck, alasan aja.""Emang kenyataannya gitu.""Regan sama Raiden mana?""Ke mall sama Papa dan Mama.""Beneran jadi anak Oma sama Opa ya mereka tuh," kata Arka."Ya begitulah."Sejak hamil, itensitas Aludra mengasuh anak-anak memang berkurang karena Raiden dan Regan lebih sering dipegang oleh Aurora.Selain sudah tak asi lagi, Aludra juga tak boleh kelelahan selama hamil, sementara Regan dan Raiden yang sudah genap berusia dua tahun semakin lama semakin aktif."Ya udah kita berangkat seka
***"Ini kamu seriusan mau lahiran enggak sih?"Melihat sang istri yang nampak begitu tenang menghadapi proses kontraksi, pertanyaan tersebut akhirnya dilontarkan Damar yang sejak tadi setia duduk di samping Arsya.Kehamilannya sudah mencapai tiga puluh delapan minggu, sore tadi Arsya mengalami sedikit pendarahan. Segera dibawa menuju rumah sakit, dokte kandungan lain yang selama ini menangani Arsya mengatakan jika perempuan itu sudah mengalami bukaan.Ketika datang, Arsya baru mengalami bukaan dua dan sekarang setelah tiga jam berlalu—tepatnya pukul delapan, bukaan tersebut baru sampai ke angka lima.Masih ada lima lagi angka yang harus dilewati Arsya sebelum bukaan lengkap dan bayi yang selama ini dia kandung bisa lahir ke dunia."Emang kenapa?" Arsya yang sejak tadi sibuk mengatur napas sambil menikmati gelombang cinta yang cukup luar biasa, lantas mendongak dan menatap suaminya itu. "Tenang banget," celetuk Damar. "Di film-film tuh yang aku lihat, cewek mau lahiran itu biasanya n
***"Ini seriusan enggak nyadar apa gimana?"Aludra dan Arka mengernyit tak paham sambil memandang Arsya setelah pertanyaan tersebut dilontarkan perempuan tersebut."Maksudnya?" tanya Aludra."Enggak sadar apa?" tanya Arka."Nih." Arsya menunjukkan testpack yang beberapa menit lalu dipakai Aludra. Bukan testpack biasa, testpack yang dipakai adalah testpack digital yang bisa langsung menunjukkan usia kehamilan seorang ibu karena memang saat ini Aludra sedang mengandung."Ten weeks pregnant," gumam Aludra-mengeja tulisan pada testpack lalu Arka yang ikut membaca, spontan menerjemahkan."Hamil sepuluh minggu," ucap Arka.Untuk beberapa detik, sepasang suami istri tersebut bisa dibilang nge-bug, karena setelah membaca testpack baik Aludra maupun Arka saling diam."Kok pada diem sih?" tanya Arsya."Jadi maksudnya aku hamil?" tanya Aludra."Yes, Ra. Kamu hamil," kata Arsya. "Udah sepuluh minggu malah kehamilan kamu tuh.""Kok bisa?" tanya Arka. "Aludra kan baru telat datang bulan dua bulan
***"Mas mandinya udah belum, aku udah siapin sarapan tuh. Katanya mau meeting sama Papa?"Masuk ke kamar, pertanyaan tersebut dilontarkan Aludra pada Arka ketika suaminya itu tak terlihat di dalam kamar."Mas!""Di wc, Ra!" teriak Arka—membuat Aludra seketika terkekeh karenanya."Oh lagi nabung, oke. Aku tunggu," kata Aludra. Melangkah masuk, dia duduk di pinggir kasur lalu merentangkan tubuhnya di sana.Tak lama berselang, Aludra menoleh ketika pintu kamar mandi terbuka—menampakkan Arka yang sudah rapi dengan pakaian kantornya seperti biasa.Hampir setahun setelah kepindahannya ke Jakarta secara resmi, Arka tak lagi memegang jabatan manajer di perusahaan Dewa karena sang mertua memercayakan posisi CEO pada menantunya itu.Dan tentu saja jabatan yang dipegang Arka sekarang membuat pekerjaannya lebih sibuk dari biasa."Sakit perut aku tuh," kata Arka sambil melangkahkan kakinya mendekati Aludra yang langsung beringsut ketika Arka duduk di sampingnya."Mas. Kok kamu bau?" tanya Aludra—
***"Diem terus daritadi. Bisu ya?"Anindira menoleh ke arah Alister ketika pertanyaan tersebut dilontarkan pria itu padanya tepat setelah mereka selesai berbelanja di salah satu super market besar di kota Bandung."Enggak penting," ketus Anindira. Mendorong troli berisi belanjaan, dia berjalan menuju bagasi mobil Alister yang terparkir di bagian depan. Tanpa meminta bantuan, Anindira dengan mudah membuka bagasi lalu memasukkan beberapa kresek ke sana.Sementara Alister justru tersenyum sambil bersandar pada bagian samping mobil dengan kedua tangan yang berada di dada."Samson banget kamu tuh ya," celetuk Alister. "Penampilan anggun, tapi tenaga kaya kuli pasar.""Pulang," kata Anindira yang langsung berjalan ke sisi kiri mobil lalu masuk dan duduk di samping kursi kemudi.Sebenarnya Anindira ingin duduk di kursi belakang. Namun, sial. Semua itu tak bisa dia lakukan karena jok belakang dipenuhi beberapa pasang pakaian juga sepatu Alister yang katanya akan dipakai syuting besok pagi d
***"Akhirnya selesai juga.""Capek ya?"Damar yang baru saja menghempaskan tubuhnya ke kasur seketika menoleh—memandang Arsya yang sudah santai dengan celana joger juga sweater rajut.Rangkaian acara pernikahan—mulai dari akad hingga resepsi yang digelar hari ini akhirnya selesai, keluarga Damar dan Arsya memang menginap di salah satu vila mewah di Bandung agar privasi mereka terjaga.Rencananya besok, Damar dan Arsya pulang dari Bandung menuju bandara Soekarno hatta untuk langsung pergi berbulan madu menuju Maldives selama seminggu."Banget," kata Damar. "Gempor rasanya kaki aku berdiri berjam-jam nyalamin tamu."Arsya tersenyum lalu duduk di samping Damar. Tanpa aba-aba, dia langsung meraih lengan suaminya itu untuk memberikan sebuah pijatan."Kamu ngapain?" tanya Damar speecles. Menikahi Arsya memang rasanya seperti mimpi bagi dirinya.Selain umur Arsya yang tiga tahun lebih tua dari Damar, selama masa pacaran keduanya pun tak jarang terlibat cekcok karena perbedaan pendapat yang
***"Kok tegang ya, Ar?"Arka yang duduk tak jauh dari Damar mengukir senyuman tipis ketika ungkapan itu kembali terlontar dari mulut sahabat istrinya tersebut.Menempuh perjalanan dua jam, rombongan keluarga mempelai pria sampai di lokasi pernikahan. Tak mau membuang-buang waktu, akad nikah akan segera dilaksanakan sebelum hari menjelang siang."Bismillah," kata Arka mengingatkan."Udah, tapi tetap aja tegang," kata Damar."Tarik napas, hembuskan napas terakhir," celetuk Arka asal."Oh ok ... eh apa barusan? Hembuskan napas terakhir? Mati dong, Ar.""Bercanda.""Lagi tegang malah dibercandain.""Ya udah sih, rileks aja.""Mempelai perempuan memasuki area akad nikah."Arka dan Damar menghentikan obrolan mereka setelah suara sang pembawa acara terdengar dari pengeras suara—disusul suara gamelan yang mengiring kedatangan Arsya bersama Aludra juga Anindira.Memakai adat sunda, perempuan berwajah blasteran itu nampak cantik dengan siger juga kebaya putih yang dia pakai.Manglingi. Begitu