“Capek?” tanya Aga pada sang istri ketika mereka berdua baru keluar dari kamar Awan. Setelah menghabiskan waktu dengan Awan hingga bocah itu tertidur, keduanya memutuskan untuk kembali ke kamar untuk beristirahat. Bening menguap sembari terus berjalan ke kamarnya. Dengan kelopak mata yang berat. Saat ini, Bening hanya ingin tidur dengan tenang. Memeluk Aga, lalu merajut mimpi indah bersama. “Ngantuk!” jawab Bening sembari membuka pintu kamar, dan tidak menutupnya karena ada Aga di belakang. “Tapi, Beb. Aku diem-diem kok jadi kepikiran sama bu Vira, ya.” Bening berbaring di ranjang dengan piyama lengan panjang yang tidak ia ganti. Rasa kantuk yang sudah menggantung di pelupuk mata, membuat Bening enggan melangkah ke walk in closet. Aga menutup pintu, lalu mematikan penerangan yang ada di kamar mereka. Beranjak menuju ranjang, lalu menyalakan lampu tidur yang ada di nakas. Aga berbaring di samping sang istri lalu memeluknya. “Kenapa dengan dia?” tanya Aga setelah mendapat posisi te
Sayup-sayup terdengar isak tangis seorang wanita yang merasuk ke dalam indra pendengaran Aga. Hanya isakan pelan, tapi cukup mengusik Aga yang tiba-tiba saja harus membuka mata. Pandangan Aga langsung tertuju pada asal suara. Melihat punggung sang istri, yang tengah duduk di meja kerjanya dengan penerangan yang ada di sana.Jika dilihat dari posisinya, Bening saat ini tengah menulis sesuatu. Sepertinya, istrinya itu kembali menorehkan luka yang masih tersisa di dalam dada. Mungkin, kabar kecelakaan Ilham semalam sudah sedikit mengusik Bening, hingga gadis itu merasa butuh melepas rasa sesaknya.Aga tidak bisa menyalahkan Bening atas sikap keras hati yang kini hinggap di hati sang istri. Mungkin, jika Aga berada di posisi Bening, ia bisa juga bersikap yang sama, mengingat semua penolakan yang sudah diterima sedari kecil.Dari Bening, sedikitnya Aga bisa bercermin, bagaimana harus memperlakukan Awan. Sementara Bening sendiri, jelas sudah sangat mengerti bagaimana harus bersikap dengan b
Bening menarik Aga ke sudut lobi rumah sakit, ketika mereka baru saja melewati pintu. Menghela sejenak, lalu bertolak pinggang. “Emang mereka butuh dijenguk, ya?” Perasaan skeptis, dan semua emosi Bening seketika bergejolak. “Mereka nggak butuh aku, Beb, dan nggak bakal ngarepin aku. Ini, tuh, sia-sia aja! Buang- buang waktu!” Aga menangkup wajah Bening, lalu menjepitnya dengan gemas hingga bibir sensual itu mengerucut paksa. Sejak mereka mengantarkan Awan ke rumah Arum, karena Vira ada janji mendadak dengan seseorang, Bening selalu saja mengoceh tentang keraguannya. Bahkan, istrinya itu sudah beberapa kali membujuk Aga untuk memutar arah tujuan kembali ke apartemen. “Beb—” “Ihh! Mukaku jangan digituin,” ujar Bening menyingkirkan tangan Aga dari wajahnya. “Tanganmu kotor, bakteri! Entar jerawatan.” “Astaga, masih sempat-sempatnya mikirin jerawat.” “Iyalah,” ujar Bening sewot. “Mukaku ini aset. Kalau aku nggak cakep, mana mungkin kamu maksa-maksa buat nikah, iya, kan?” Aga berde
Bening benar-benar tidak menunjukkan senyum sama sekali, ketika sudah berada di ruang tempat sang papa dirawat. Dari wajahnya saja, sungguh terlihat jelas kalau Bening membesuk ilham karena sebuah keterpaksaan. Jika ingin membandingkan antara Ilham dan Clara, maka Bening lebih sering bertemu sang papa sepanjang hidupnya. Ilham yang merupakan anak tunggal Sinta, jelas sering mengunjungi wanita tua itu untuk sekadar berkunjung ke rumah. Meskipun begitu, tetap saja sikap Ilham sama dinginnya dengan Clara. Sementara Aga, langsung memperkenalkan diri sebagai suami Bening kepada Ilham. Aga juga tidak mau berbasa-basi, karena ingin mempercepat pertemuan yang ada. Ia tahu benar, kalau sang istri merasa tidak nyaman, ketika bertemu dengan Ilham seperti sekarang. “Suami?” Kedua alis Ilham berkerut menatap Bening untuk mencari kebenaran. “Kapan kalian menikah, dan kenapa nggak ada pemberitahuan?” “Emang mau datang kalau diundang?” Bening tidak segan memberi cebikan sambil memandang sang papa
Aga dan Bening kompak menghentikan langkah, ketika bertemu Rohit di lobi rumah sakit. Rohit terlihat memakai pakaian santai, dengan wajah lelah yang terlukis jelas.“Mau jenguk pak Ilham, Hit?” tanya Aga ketika mereka bertiga sudah saling bertegur sapa.Rohit menggeleng. “Mungkin nanti, semalam aku sudah lihat juga keadaannya. Aku baru selesai urus administrasi rumah sakit.”“Administrasi siapa?”“Dina, dia hamil di luar kandungan. Jadi harus digugurkan.” Rohit membuang napas panjang setelah menceritakan kondisi istrinya. “Dan, pagi ini sudah boleh pulang.”“Sorry to hear that,” ujar Aga disambut ucapan yang sama oleh Bening. Mereka turut bersedih atas apa yang menimpa Rohit saat ini.“It’s oke.” Walau berat, Rohit sudah ikhlas menerimanya. Tangan Rohit lantas terulur menepuk lengan Aga, karena terburu hendak mendatangi sang istri. “Aku jemput Dina dulu di dalam, dan … moga Awan cepat dapat adek.”Rohit tersenyum kecil pada Bening, lalu meneruskan langkahnya menuju ruang sang istri di
Bening melenguh. Punggungnya membentur tembok, dengan kedua tangan dikunci oleh Aga di atas kepala. Pasrah, ketika satu tangan bebas Aga sudah menjelajah dan bermain bebas pada tubuhnya. Kedua bibir mereka terkunci panas. Saling memagut, dan menyerang tanpa ada yang mau mengalah. “Beb … buruan.” Bening terdesak. sudah tidak sanggup lagi menerima serangan Aga. Aga melepas kunciannya. Tangan keduanya langsung beradu cepat. Saling melepas pakaian satu dengan yang lainnya. Namun, gerakan keduanya kompak terhenti bersamaan. Saling memandang, lalu menoleh pada jaket Aga yang baru saja teronggok di lantai. Ponsel pria itu berdering, hingga mengganggu fokus mereka yang hendak memadu kasih. “Udah biarin, nanti juga berhenti sendiri.” Aga kembali mengalihkan tatapannya pada Bening. Menunduk dan mulai menyerang leher sang istri dengan kecupan dan gigitan-gigitan kecil. Dering ponsel tersebut memang berhenti, dan keduanya kembali melanjutkan kegiatan panas yang tertunda. Akan tetapi, tidak s
Melihat kondisi Camila, Bening kembali mengingat hari-hari terakhirnya dengan Sinta. Beberapa benda yang menempel di tubuh wanita tua itu, tidak jauh berbeda dengan semua yang ada pada Sinta beberapa bulan silam. Melihatnya saja, hati Bening kembali dipenuhi dengan rasa sesal. Egoisme yang merajai hatinya kala itu, sungguh membuat Bening tidak bisa berpikir jernih. Semua rasa benci yang sudah lama tersimpan, langsung tertumpah begitu saja tanpa pernah memikirkan perasaan orang lain. Lantas, apa bedanya Bening dengan orang-orang yang sudah membuat luka di hatinya selama ini? Sama saja. Bening dan seluruh keluarga yang menganggapnya tidak ada, sama-sama egois. Sama-sama tidak peduli dengan perasaan orang lain. Sama-sama … kejam. Camila tersenyum lemah, tapi raut wajahnya terlihat sangat bahagia ketika Bening sudah berdiri di samping ranjang pasien, dan menggenggam tangannya. Wanita tua itu baru membuka mulut untuk menyapa, tapi, Bening buru-buru menyela. “Oma istirahat aja, aku udah
“Nggak usah maju gitu bibirnya.” Aga tahu, kalau kali ini tindakannya sudah salah. Membuat janji dengan Vira tanpa berbicara pada Bening terlebih dahulu, sungguh tidak ada di dalam rencana Aga hari ini. Namun, karena Vira meneleponnya pada saat Bening masih bersama Camila, maka Aga langsung mencetuskan sebuah pertemuan empat mata dengan mantan istrinya itu. Kemudian, Vira hanya memiliki waktu pada jam makan siang hari ini, karena besok pagi, ia akan kembali berangkat ke Solo. Bening menepis tangan Aga yang hendak menyentuh bibirnya dengan cepat. Belum melepas sabuk pengamannya, dan masih merungut menatap Aga. “Beb, Vira tadi nelpon karena dia mau ke Solo lagi besok pagi, dan Awan minta nginap sama kita,” ujar Aga mencoba memberi pengertian sekali lagi. “Awan nggak mau nginap di rumah omanya.” “Aku nggak masalahin Awan.” Bening kembali menepis tangan sang suami, yang kembali ingin menyentuh wajah. “Tapi, kamu janjian sama bu Vira nggak ngomong-ngomong dulu.” “Kan, ini sudah ngomo
Haluu Mba beb ... Sang Sekretaris beneran tamat dund. Mas Telaga Cakrawala sama mba Bening Bhanuwati mohon pamit undur diri dulu. Mereka mau istirahat. Kan, mau buatin adek buat Awan. :D :D :D Nanti, kita ketemu sama mereka lagi di spin off-nya dengan judul SANG PENGACARA, dan kita tuntasin hil-hil yang masih menggantung di sana. Daaan, berikut ini daftar penerima koin GN dari saia untuk 5 top fans pemberi Gems terbanyak di Sang Sekretaris. Datanya diambil per tanggal 30 June 2022 tepat pukul 06.00 WIB. RF Rifani : 1.000 koin GN + pulsa 200rb Tralala : 750 koin GN + pulsa 150 rb Demigoddess : 500 koin GN + pulsa 100 rb Zee Sandi : 350 koin GN + pulsa 50 rb Lili Ning Mardani : 200 koin Gn + pulsa 25 rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan kirim screenshoot ID dan kirim melalui DM Igeh @kanietha_ Saia tunggu konfirmasi sampai hari minggu ya, jadi, saia bisa setor
“Ayo, keluar.” Bening merengek, sembari menggelengkan kepala. Ia belum siap dengan ajakan Aga, untuk menemui sang mertua yang meminta mereka datang pagi ini. Karena Bening tahu, yang akan dibahas oleh Arum, pasti masalah itu lagi, itu lagi. “Dulu, waktu sama bu Vira, mama begini juga nggak, sih?” “Nggak.” Aga langsung menjawab dengan pasti. “Kok, sama aku begini?” sambar Bening secepat mungkin, sambil meremas tali sabuk pengaman yang masih belum ia buka. “Tapi sama bu Vira, nggak?” “Karena kami dulu masih muda, Beb,” jawab Aga lalu mencondongkan tubuh untuk membuka sabuk pengaman sang istri. “Masih sibuk meniti karir, dan betul-betul merintis semua dari nol.” “Eh, aku juga masih muda.” Bening kembali berkilah seperti biasa. “Tapi aku?” Aga menjatuhkan satu kecupan hangat di pipi sang istri. “Sebentar lagi, aku sudah kepala empat. Mama sama papa juga nggak akan selalu fit seperti sekarang.” “Kamu, tuh, sepertinya udah mulai oleng, deh.” Bening mencibir lalu memanyunkan bibir. “I
“Mama itu ada ngomong apa, sih, sama Awan?” Bening membuka rumah pemberian Aga yang baru saja selesai di bangun. Masih kosong, dan belum diisi furniture sama sekali. Ini pertama kalinya, Bening dan Aga menghampiri rumah mereka ketika semuanya sudah bersih dan siap diisi berbagai perabotan dan ditempati. Jika mengingat resepsi pernikahan mereka yang akan digelar sebentar lagi, keduanya sudah bisa menempatinya setelah pulang dari bulan madu. “Mama? Ku?” Aga bertanya ragu, karena mereka pagi tadi sempat mengajak Awan pergi ke rumah Clara. Sudah dua hari Awan menginap di apartemen, dan waktunya mengembalikan bocah itu pada Vira. Jika tidak, mantan istrinya itu pasti akan menelepon Aga tanpa henti. “Atau, mamamu?” “Mamamulah.” Hentakan ujung high heels Bening menggema pada lantai marmer di seluruh ruang yang masih kosong itu. “Mama Arum.” “Mamaku, ada ngomong apa?” Aga dengan cepat menyusul langkah Bening yang terlihat kesal. Namun, tidak berniat untuk mensejajarkan langkahnya. Ke ruan
Arum membuang napas panjang. Meskipun masih setengah hati, tapi ia sudah tidak bisa berbuat apapun lagi. Mengingat, bagaimana putranya itu terlihat sangat jatuh cinta dengan Bening, pun dengan Awan yang tidak mempermasalahkan semuanya, Arum menyerah. Namun, menyerah di sini bukan berarti Arum setuju, karena ada sebagian dari hatinya masih tertinggal dengan Vira.Dalam diam, terkadang Arum masih memikirkan nasib mantan menantunya itu. Arum mengerti jika sikap Vira memang tidak bisa dibenarkan, tapi Aga pun ternyata sudah patah arang dan tidak ingin melanjutkan rumah tangganya kembali. Jadi, hanya perpisahan yang menjadi jalan keluar satu-satunya.“Jadi, bagaimana kalau resepsinya dipercepat saja?” usul Clara di tengah-tengah pertemuan kedua keluarga yang diadakan di rumahnya. Sudah dua bulan berlalu dari pembacaan surat wasiat Camila kala itu, tapi baik Aga, maupun Bening tidak kunjung menyinggung masalah resepsi pernikahan. Sampai akhirnya, Clara meminta Aga menghubungi kedua orang tu
“Telaga … Cakrawala.”Pria paruh baya yang duduk santai pada kursi taman di belakang rumah, mengangguk-angguk ketika melihat Aga muncul di hadapannya.“Awalnya saya sangsi kalau yang disebut mendiang ibu Camila adalah Aga yang sama, tapi, sangat kecil kemungkinannya kalau ada dua orang yang namanya sama persis seperti kamu,” tunjuk pria itu, lalu menatap gadis yang berada di samping Aga.Seluruh anggota keluarga yang sudah lebih dulu berkumpul, hanya bisa tersenyum canggung. Selain berprofesi sebagai pengacara keluarga, pria paruh baya yang duduk bersama putranya itu, juga merupakan sahabat dekat mendiang Camila.Aga memberi senyum ramah, lalu segera menghampiri pria tersebut bersama Bening. “Apa kabar, Be? Kita lama nggak ketemu.”Pria paruh baya dengan nama asli Rasyid Pamungkas itu, segera berdiri untuk menyambut uluran tangan Aga. “Saya kaget, waktu Abi bilang kamu sudah nikah lagi. Lebih kaget lagi, waktu tahu kamu menantu dari mendiang ibu Camila.”Setelah menjabat tangan Aga, R
“Percuma beli mobil baru.” Bening berdecak, dan selalu saja sibuk membeo setiap kali jalan bersama Aga. “Pergi ke mana-mana selalu disupirin gini. Buang-buang uang tahu, nggak!”“Kan, lebih enak disupirin gini.”“Terus ngapain beli mobil baru, kalau aku nggak boleh nyetir sendiri,” protes Bening.“Siapa bilang nggak boleh nyetir sendiri?” sanggah Aga tetap tenang tanpa melirik sang istri sama sekali. Ia hanya menatap lurus pada jalan raya, sembari menahan tawa. “Kebetulan aku punya waktu luang, jadi mending aku yang nyupiri, kan?”“Kenapa kamu selalu punya waktu luang pas aku mau jalan.” Bening kembali protes karena curiga dengan sikap Aga. Semakin ke sini, pria itu semakin posesif saja. Ke mana pun Bening pergi, Aga akan selalu punya waktu pergi menemaninya. “Pas jam kerja juga gitu. Pasti mendadak bilang kerjaan selesai, kalau aku izin mau jalan.” “Karena kerjaanku memang sudah selesai,” jawab Aga santai tanpa beban. “Lagian mobilmu ini juga kepake, kan? Jadi, kita belinya nggak si
Meskipun Camila sudah beristirahat dengan tenang di pembaringan terakhirnya, suasana rumah duka yang begitu megah itu masih saja terlihat ramai. Para tamu datang silih berganti, untuk menyampaikan duka mendalamnya.Yang Bening perhatikan, Fikalah yang justru terlihat sangat kehilangan atas kepergian sang oma. Gadis itu bahkan sempat tidak sadarkan diri, ketika tubuh beku sang oma diturunkan ke peristirahatan abadinya. Untuk satu hal itu, Bening bisa merasakan semua yang dialami Fika karena pernah berada di posisi yang sama.Clara terlihat lebih tegar, dan terus mencoba menguatkan putri kesayangannya atas kehilangan mereka. Sungguh sebuah pemandangan yang membuat hati Bening kembali tercubit perih.Bening … cemburu dengan kedekatan Clara dan Fika.“Hei.” Aga mengusap lengan Bening yang berada dalam rangkulannya. “I know what you’re thinking.”“No, you’re not.”“Ayolah, Beb. Kamu harus paham situasinya.” Sedari tadi, Aga memperhatikan ke mana tatapan sang istri tertuju. Pun dengan ekspr
Aga berbalik, ketika mendengar pintu kamar mandi terbuka. Menelan ludah, saat melihat kaki jenjang itu melangkah pelan, dan menampilkan tubuh segar yang hanya berbalut handuk. Senyum jahil yang disematkan oleh sang istri yang tengah mengusap surai basahnya, sungguh membuat Aga ingin menghempas tubuh Bening ke ranjang dan memasukinya.Namun, jadwal bulanan yang tengah didapatkan sang istri, membuat Aga hanya bisa menggigit jari. Bersabar, karena Aga tahu penantiannya nanti tidak akan sia-sia.“Jam sepuluh balik, lho, ya,” ujar Bening mengingatkan dengan wajah semringah. “Kita cari mobil baruuu.”“Aku cuma di bawah, Beb.” Aga meraih pinggang ramping sang istri yang sudah berhenti tepat di depannya. “Kamu bisa susul ke bawah, terus kita langsung jalan.”Bening mengangguk setuju dengan usul Aga. Ia lalu berjinjit, dan memberi satu kecupan singkat pada bibir bawah Aga yang terbuka. “Awan jadi nginap di sini? Atau masih ditahan sama omanya?”“Omanya masih mau nahan karena kesepian, tapi Aw
“Lama banget pulangnya.” Dengan memegang sepiring bihun goreng yang masih tersisa separuh, Bening sedikit merajuk menyambut kedatangan sang suami.Aga melepas jaket bombernya, sembari menghampiri Bening. Melemparnya ke sembarang arah, lalu menghempas bokongnya di samping sang istri. Aga memberi kecupan pada pipi Bening terlebih dahulu, barulah menanggapi protes istrinya.“Tadi ada om Romi di bawah.” Pulang ke apartemen dan disambut dengan pemandangan indah seperti sekarang, sungguh membuat semua lelah Aga hilang seketika. Satu setel baju tidur yang terdiri dari tanktop dan celana pendek itu, sungguh memberi sebuah energi tersendiri bagi Aga.“Om Romi?” Bening menoleh sambil mengunyah bihunnya. “Ngapain malem-malem dateng ke sini? Sendirian apa sama istrinya?”Aga langsung mencapit bibir istrinya itu dengan gemas. “Istrinya om Romi itu, mamamuuu,” decak Aga lalu sedikit menggeser bokongnya untuk merebahkan diri, dan meletakkan kepala di paha mulus sang istri. “Om Romi datang sama Dean.